PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN TERHADAP PERILAKU PEGAWAI PEMDA DENGAN KETIDAKPASTIAN TUGAS DAN JOB INSECURITY SEBAGAI VARIABEL MODERATING

PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN TERHADAP PERILAKU PEGAWAI PEMDA DENGAN KETIDAKPASTIAN TUGAS DAN JOB INSECURITY SEBAGAI VARIABEL MODERATING

   DILA MUTIARA SARI DILA MUTIARA SARI Department of Accountancy, University of Lampung, Indonesia, Email: (+62) 857 682 97711

  YULIANSYAH Department of Accountancy, University of Lampung, Indonesia, Email: (+62) 821 797 69602

LEGO WASPODO

  Department of Accountancy, University of Lampung, Indonesia, Email: (+62) 127 800 0770 Abstract

  This study aims to examine the influence of environmental uncertainty on the employee’s behavior by task uncertainty and job insecurity as moderate variables. In order to achieve the objective of the study, this research was conducted in the city of Bandarlampung and Metro, Lampung Province. According to 87 respondents, data were tested analysed SmartPLS. The result illustrates that Job Insecurity is fully moderated on the influence between environmental uncertainty and employee’s behavior. This seems that political nuance in public sector create higher job insecurity that possible creates dysfunctional Behavior.This study has contributions in there aspect to enrichment of management accounting literature: research framework and research field.

  Keywords: Environmental Uncertainty, Task Uncertainty, Job Insecurity, dysfunctional Behavior, public sector

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

  Penelitian mengenai ketidakpastian lingkungan telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti di bidang akuntansi manajemen, seperti Fleming (2001), Krishnan et al., (2006), Rowley et al., (2000), Hariyanto dan Pinasti (2002), Anwar (2004), Sulaksono (2005), Wang and Shih-Chieh Fang (2010) dll. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa seseorang akan mengetahui dengan jelas prestasi yang dicapai bila ia bekerja dalam kondisi stabil (Hirst dalam Hariyanto dan Pinasti 2002). Hal ini dikarenakan seseorang tersebut memiliki informasi yang cukup untuk memprediksi masa depan secara tepat. Dalam kondisi ketidakpastian lingkungan yang rendah (kondisi relatif stabil) individu dapat memprediksi keadaan di masa depan sehingga langkah-langkah yang akan dilakukannya dapat direncanakan lebih akurat (Duncan dalam Fauziyah, 2000). Ketidakpastian lingkungan akan menimbulkan ketidakpastian tugas karena kurangnya pemahaman tentang suatu kegiatan dan kurangnya informasi mengenai proses pelaksanaan tugas (Hirst dalam Syam, 2000). Hal ini didukung oleh pernyataan Duncan (1972, pp. 318) yang menyatakan bahwa “The lack of information regarding the

  

environmental factors […] if the decision were incorrect, and inability to assign

probabilities with any degree of confidence with regard to how environmental factors

are going to affect the success or failure of the decision unit in performing its function”.

  Menurut Ramanauskas dan Marconi (1989) seperti dikutip oleh Hariyanto dan Pinasti (2002), pada hakekatnya organisasi dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja sebenarnya merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam melaksanakan perannya dalam organisasi. Jika perilaku seseorang dalam melaksanakan perannya dalam organisasi baik maka kinerjanya pun akan baik.

  Studi mengenai ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job insecurity di Indonesia masih belum banyak dikaji. Sampai saat ini, bagaimana ketidakpastian lingkungan mempengaruhi perilaku pegawai masih belum diteliti di Sektor Publik.

  Kebanyakan penelitian sebelumnya mengkaji pengaruh ketidakpastian lingkungan di luar negeri dan perusahaan yang profit oriented (lihat: Fleming, 2001; Krishnan et al., 2006; Rowley et al., 2001; Rimandha, 2004; Susanto, 2008; Chiristina, 2009). Di perusahaan yang profit oriented ketidakpastian lingkungan berasal dari lingkungan internal dan eksternal. Ketidakpastian ini lebih dominan berasal dari lingkungan dikatakan Krishnan bahwa “Environmental uncertainty means that the future direction

  

of the market along with the actions of external rivals and competitors are very difficult

to anticipate, understand and predict” (Krishnan et al., 2006 pp. 894-917).

  Dalam prakteknya, kebanyakan job rotasi di Pemda memiliki nuansa politik yang tinggi (Thoha, 2002). Hal ini mengakibatkan terbentuknya sikap, perilaku, sistem, dan opini para pimpinan bahwa kelembagaan birokrasi pemerintah sudah selayaknya mendukung kekuatan politik yang berkuasa. Akibatnya, pegawai bekerja berdasarkan perintah atasan (ekstrinsik) dan bukan berdasarkan kemampuan yang mereka miliki. Mereka akan merasa tidak aman dengan adanya job rotation ataupun non job yang tidak dapat diprediksi.

  Berdasarkan analisa di atas, penulis menduga nuansa politik yang tinggi akan memberikan dampak negatif terhadap moral dan perilaku yang akan mempengaruhi kinerja pegawai. Dampaknya diperkuat oleh ketidakpastian tugas dan job insecurity. Padahal, perilaku dan moral yang positif akan memotivasi dan meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan (Rimandha, 2004). Nuansa politik yang tak menentu inilah yang menjadi suatu ketidakpastian lingkungan yang akan memunculkan ketidakpastian tugas dan job insecurity, […] unpredictable and

  uncertain conditions have a considerable impact on organizational performance

  (Krishnan et al., 2006 pp. 894-917; Moorman and Miner, 1997 pp. 91-106). Sebatas pengetahuan penulis, belum ada penelitian sebelumnya yang mengkaji bagaimana pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi yaitu research framework dan research

  

field. Pertama, hubungan ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai telah

  banyak dilakukan dengan menggunakan faktor moderasi atau moderasi ketidakpastian tugas, job insecurity, budaya organisasi dan sebagainya. Padahal, salah satu dampak adanya ketidakpastian lingkungan di Pemerintahan adalah ketidakpastian tugas dan job

  

insecurity . Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku pegawai dalam

  menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, mengambil ide dari Hyvonen (2007) bahwa research framework mengenai penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan teori dalam bidang akuntansi manajemen. Kontribusi kedua mengenai research field. Banyak penelitian terlah dilakukan bagaimana ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job insecurity di private sektor, Akan tetapi, penelitian bidang akuntansi manajemen mengenai hubungan pernyataan Kihn (2005, pp.468 - 492), ”The performance of employees, accountants

  

and managers of non-for-profit organizations (such as charities) has been analyzed far

less ”. Oleh karena itu, penelitian ini, diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat

  memberikan pemahaman tentang pentingnya faktor-faktor intrinsik seperti ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job insecurity dalam rangka menjalankan otonomi daerah.

2. Literatur Review dan Pengembangan Hipotesis

  2.1.1 Ketidakpastian Lingkungan

  Individu akan mengalami ketidakpastian lingkungan yang tinggi jika merasa lingkungan tidak dapat diprediksi dan tidak dapat memahami bagaimana komponen lingkungan akan berubah (Krishnan et al., 2006). Begitu pula sebaliknya, dalam ketidakpastian lingkungan rendah (lingkungan dalam keadaan relatif stabil), individu dapat memprediksi keadaan sehingga langkah-langkah yang akan diambil dapat direncanakan dengan lebih akurat (Duncan, 1972). Ketidakpastian lingkungan yang dirasakan oleh seorang pemimpin atau manajer adalah jika manajer berada dalam ketidakpastian lingkungan dalam organisasinya atau khususnya komponen-komponen dalam lingkungannya yang tidak dapat diprediksi, sehingga merasa tidak pasti terhadap tindakan relevan yang diambil […] because of

  

difficulties in anticipating and assimilating environmental conditions (Dwyer and

  Welsh, 1985 pp. 397-414). Berkenaan dengan pihak-pihak yang berhubungan dengannya seperti: pesaing, pelanggan, pemerintah dan pemegang saham (Krishnan et al., 2006).

  2.1.2 Ketidakpastian Tugas

  Adapun ketidakpastian tugas dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan jumlah informasi yang telah dimiliki oleh organisasi (Galbraith dalam Kim et al 1998). Penelitian yang dilakukan Kim et.al (1998) dalam David (2001) membagi ketidakpastian tugas dalam dua dimensi, yaitu kemampuan menganalisis tugas (task analyzability) dan variabilitas tugas (task

  ). Task analyzability adalah pengetahuan atau pemahaman yang kongkrit

  variability mengenai suatu kegiatan dan tingkat kompleksitas proses pelaksanaan tugas.

  Variabilitas tugas menunjukkan banyaknya variasi sub-tugas, yang ditimbulkan oleh melakukan analisis terhadap hubungan antara output dan inputnya juga akan jelas (Astuti, 2003). Apabila suatu perusahaan memberikan ketidakpastian tugas (task uncertainty) yang rendah dengan memberikan peraturan dan ketentuan yang jelas tentang pelaksanaan kerja, seperti adanya pembagian tugas yang jelas, menggunakan prosedur atau metode yang tetap, menugaskan orang yang berkompeten di bidangnya, dan tipe pekerjaan telah ditentukan sebelumnya, maka hal ini menyebabkan para manajer dapat bekerja dengan baik, tidak perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pekerjaan, mudah mengikuti prosedur, tidak mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan karena memiliki seluruh informasi yang dibutuhkan, dan tidak ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keputusan para manajer yang bersangkutan (Syam dan Kusuma, 2001).

  2.1.3 Job Insecurity

  Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Greenglass et.al (2002) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang tidak aman. Sementara Smithson dan Lewis (2000) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seorang karyawan yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kond isi lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen, menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity (Smithson & Lewis, 2000). Davy (dalam Haugen, 2004) mendefinisikan job insecurity sebagai ekspektasi atau harapan individu terhadap kelanjutan pekerjaan mereka. Sedangkan menurut Rosenblatt dan Ruvio (1999), job insecurity adalah perhatian menyeluruh terhadap keberadaan pekerjaan. Heaney, Israel, dan House (dalam Sverke dan Hellgren, 2002) mendefinisikan bahwa job insecurity sebagai persepsi mengenai potensi ancaman terhadap kelanjutan pekerjaan seseorang yang sekarang.

  2.1.4 Perilaku Pegawai

  Dharma (2003:34) mengemukakan bahwa “Perilaku pada dasarnya berorientasi tujuan, artinya bahwa perilaku orang pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk meraih sangat berpengaruh terhadap kualitas birokrasi itu sendiri. Pernyataan tersebut sejalan dengan pandangan Rondinelli dalam Simamora (1995:52) yang mengatakan bahwa : Kualitas birokrasi pemerintahan lokal sangat ditentukan oleh perilaku, sikap dan kultur yang kondusif, sehingga mereka responsive untuk mengambil keputusan, memiliki kepedulian dan bertanggung jawab terhadap peningkatan program pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok sasaran (penduduk miskin) yang perlu mendapat perhatian khusus. Penulis mencermati pandangan di atas, bahwa perilaku birokrasi senantiasa bersinggungan dengan berbagai aktivitas aparatur dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, secara operasional menurut Ndraha (2009:52) bahwa “perilaku birokrasi akan mencerminkan seberapa tinggi kinerja seorang pegawai dalam menjalankan tugasnya, sehingga pada akhirnya tujuan akan tercapai sesuai dengan rencana yang telah ditentukan”.

2.2 Pengembangan Hipotesis

  Hipotesis yang diberikan dalam penelitian ini menunjukkan hubungan atau adanya pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job

  

insecurity dan variabel dependen adalah perilaku pegawai Pemda. Otonomi daerah yang

  seharusnya dapat dijalankan dengan professional nampaknya tidak mampu dijalankan dengan baik karena adanya nuansa politik yang tinggi di Pemerintah Daerah. Ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job insecurity memberikan pengaruh terhadap perilaku pegawai Pemda. Kinerja bukan lagi berdasarkan kemampuan, keterampilan, dan pengalaman kerja namun berdasarkan siapa pimpinan kita dan dukungan kita terhadap pimpinan tersebut. Jadi pegawai bekerja atas dasar ekstrinsik melihat siapa atasan mereka. Penulis menggambarkan model hubungan antara ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, job insecurity, dan perilaku pegawai Pemda adalah sebagai berikut:

  

===GAMBAR 1 DISINI===

2.2.1 Hubungan Ketidakpastian Lingkungan dan Perilaku Pegawai

  Penulis beranggapan bahwa ketidakpastian lingkungan berpengaruh terhadap perilaku pegawai. Ketidakpastian lingkungan yang dirasakan oleh seorang pemimpin atau berada dalam ketidakpastian lingkungan dalam organisasinya atau khususnya komponen-komponen dalam lingkungannya yang tidak dapat diprediksi, mereka akan merasa tidak pasti terhadap tindakan relevan yang diambil berkenaan dengan pihak- pihak yang berhubungan dengannya. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa seseorang akan mengetahui dengan jelas prestasi yang dicapai bila ia bekerja dalam kondisi stabil (Hirst dalam Hariyanto dan Pinasti 2002). Hal ini dikarenakan dalam kondisi yang tidak stabil seseorang tersebut tidak memiliki informasi yang cukup untuk memprediksi masa depan secara tepat. Dalam kondisi ketidakpastian lingkungan yang rendah (kondisi relatif stabil) individu dapat memprediksi keadaan di masa depan sehingga langkah-langkah yang akan dilakukannya dapat direncanakan lebih akurat (Duncan dalam Fauziyah, 2000). Oleh sebab itu ketidakpastian lingkungan akan mempengaruhi perilaku dan kinerja manajer. Menurut Ramanauskas dan Marconi (1989) seperti dikutip oleh Hariyanto dan Pinasti (2002), pada hakekatnya organisasi dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja sebenarnya merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam melaksanakan perannya dalam organisasi. Hal ini menandakan bahwa jika perilaku seseorang dalam melaksanakan perannya dalam organisasi baik maka kinerjanya pun akan baik. Penulis menduga bahwa ketidakpastian lingkungan akan mempengaruhi perilaku pegawai Pemda. Ketidakpastian lingkungan membuat pegawai sulit menentukan suatu perencanaan dan sulit untuk membuat suatu keputusan karena kurangnya informasi untuk memprediksi masa depan secara tepat. H : Terdapat hubungan positif antara ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai.

  1

  

2.2.2 Ketidakpastian Tugas dalam Memperkuat Pengaruh Ketidakpastian

Lingkungan dan Perilaku Pegawai

  Penulis menduga bahwa ketidakpastian tugas memoderasi pengaruh dari ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Hal ini didasarkan pada analisa penulis, semakin tinggi ketidakpastian tugas maka semakin tinggi pula pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketidakpastian lingkungan akan menimbulkan ketidakpastian tugas karena kurangnya pemahaman tentang suatu kegiatan dan kurangnya informasi mengenai proses pelaksanaan tugas (Hirst dalam Syam, 2000). Lebih lanjut dikatakan oleh Brownell dan Hirst (1986) bahwa ketidakpastian tugas mempengaruhi kinerja manajer. Semakin tinggi ketidakpastian tugas maka kinerja manajer akan menurun dan sebaliknya. Perbedaan antara jumlah informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan jumlah informasi yang telah dimiliki oleh organisasi inilah yang menimbulkan ketidakpastian tugas (Galbraith dalam Kim et al 1998). Jika setiap sub-tugas dapat dianalisis dengan mudah, maka untuk melakukan analisis terhadap hubungan antara output dan inputnya juga akan jelas (Astuti, 2003). Apabila seorang manajer mengetahui tugas yang harus dikerjakannya dengan jelas, maka prestasi para manajer akan meningkat karena manajer tersebut bekerja dalam kondisi ketidakpastian tugas yang rendah. Sebaliknya, apabila manajer tidak mengetahui tugas yang harus dikerjakannya maka prestasi para manajer tersebut menurun karena berada dalam kondisi ketidakpastian tugas yang tinggi. H

  

2 : Semakin kuat ketidakpastian tugas semakin kuat pengaruh ketidakpastian

  lingkungan terhadap perilaku pegawai

  

2.2.3 Job Insecurity dalam Memperkuat Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan

dan Perilaku Pegawai

  Greenglass et.al (2002) mendefinisikan job insecurity sebagai ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam kondisi kerja yang tidak aman. Sementara Smithson dan Lewis (2000) mengartikan job insecurity sebagai kondisi psikologis seorang karyawan yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah (perceived impermanance). Dalam prakteknya, kebanyakan job rotasi dan non-job di Pemda memiliki nuansa politik yang tinggi (Thoha, 2002). Hal ini mengakibatkan terbentuknya sikap, perilaku, sistem, dan opini para pimpinan bahwa kelembagaan birokrasi pemerintah sudah selayaknya mendukung kekuatan politik yang berkuasa. Ketika pegawai di suatu instansi tersebut tidak mendukung pimpinan maka posisi atau jabatan mereka pun tidak aman. H

  

3 : Semakin kuat job insecurity semakin kuat pengaruh ketidakpastian lingkungan

terhadap perilaku pegawai.

3. Metodologi Penelitian

  3.1 Sampel Penelitian

  Pemilihan sampel didasarkan pada Metode pengambilan sampel bertujuan (purposive

  

sampling ), yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan

  adalah berdasarkan pertimbangan (judgment), sehingga disebut sebagai judgment

  

sampling . Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini adalah pegawai

  struktural eselon 2-4 di SKPD (dinas, kantor, dan badan) dan sudah menjabat minimal selama 1 (satu) tahun. Pegawai struktural eselon 2-4 yang telah menjabat selama 1 (satu) tahun atau lebih di SKPD, dipandang telah memiliki pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang ada di dalam SKPD serta terlibat dalam pengambilan keputusan.

  3.2 Pengukuran Instrumen

Ketidakpastian lingkungan. Ketidakpastian lingkungan dalam hal ini adalah kondisi

  dimana SKPD mengalami ketidakpastian yang dapat disebabkan adanya pengaruh dari luar SKPD, seperti sering terjadinya perubahan pimpinan, terjadinya mutasi staf, job rotation, maupun non job SKPD yang cepat, dan lain sebagainya. SKPD dituntut untuk menyesuaikan diri dengan kondisi dengan kondisi yang ada, baik dalam praktik maupun operasionalnya. Variabel ini diukur dengan menggunakan instrument dari Duncan (1972) yang terdiri dari 12 item pertanyaan dengan poin skala likert 1-5. Instrumen ini juga telah digunakan oleh peneliti seperti Chenhall dan Morris (1986), Gul dan Chia (1994), gregson et al (1994), Muslimah (1998) dan Isti R (1999).

  

Ketidakpastian Tugas (Task Uncertainty). Ketidakpastian tugas dalam hal ini adalah

  aturan pelaksanaan tugas. Hirst (1983) dalam penelitiannya berargumen bahwa makin tidak pasti tugas seorang pimpinan atau pegawai, maka akan semakin sulit untuk menyusun target yang memuaskan untuk dijadikan penilaian prestasi. Instrumen ketidakpastian tugas dukur dengan mengembangkan pertanyaan yang dilakukan oleh Hirst (1983) dan Withey et. al. (1983) yang kemudian dikembangkan oleh Saleke (1994) (dikutip dari Fazli Syam 2001) dengan menekankan pada tingkat ketidakpastian tugas pegawai dalam bekerja. Terdapat empat instrument pertanyaan yang digunakan untuk mengukur ketidakpastian tugas dengan lima poin skala likert.

  

Job Insecurity. Job Insecurity dalam hal ini adalah kondisi dimana pegawai merasakan

  ketidakamanan kerja karena adanya ancaman mengenai kekelangsungan bekerja atau ancaman kehilangan pekerjaan diwaktu yang akan dating yang akan menyebabkan yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari job insecurity scale yang dikembangkan oleh Ashford et al (1989) dan telah diadaptasi oleh Patrina (2002). Terdapat lima instrument pertanyaan yang digunakan untuk mengukur job insecurity dengan lima poin skala likert.

  

Perilaku Pegawai Pemda. Perilaku pegawai dalam hal ini adalah kemampuan pegawai

  dalam pelaksanaan tugasnya, termasuk moral dari pegawai tersebut. Menurut Ramanauskas dan Marconi (1989) seperti dikutip oleh Hariyanto dan Pinasti (2002), Pada hakekatnya organisasi dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja sebenarnya merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam melaksanakan perannya dalam organisasi. Instrumen perilaku diukur dengan menggunakan item-item pertanyaan yang berkaitan dengan sikap dan tindakan responden terhadap penilaian prestasi dan kinerja. Ukuran perilaku manajer diambil dari seberapa besar nilai sikap dan tindakan yang mereka ambil. Sikap dan tindakan ini dinilai dengan menggunakan skala Likert 1 (sangat rendah) sampai 5 (sangat tinggi).

4. Hasil

  4.1 Analisis Deskriptif Data dan Responden

  Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui kuesioner. Kuesioner yang disebar berjumlah 130 kuesioner di Pemerintah Kota Bandarlampung dan Pemerintah Kota Metro. Kuesioner yang telah diisi lengkap dan dikembalikan berjumlah 87 kuesioner dengan tingkat pengembalian respon rate sebesar 66,92 %. Namun hanya 86 kuesioner yang dapat dijadikan sampel dan dianalisis, karena terdapat 1 kuesioner yang tidak memenuhi kriteria. Berdasarkan Tabel 1 tentang deskriptif data diketahui bahwa jumlah sampel yang dapat diolah sebanyak 86 sampel dan menggunakan 5 point skala likert, poin 1 untuk sangat tidak setuju hingga poin 5 untuk sangat setuju. Dari ketiga variabel di atas terlihat bahwa rata-rata responden memilih nilai sebenarnya yaitu minimal 1 dan maksimal 5.

  4.2 Demografi Responden

  Berdasarkan Tabel 1 mengenai informasi umum responden penelitian dapat dilihat bahwa sebagian besar responden penelitian ini didominasi oleh responden pria yaitu berjumlah 57 orang (66%) dari total 87 responden, dan responden wanita berjumlah 30 responden atau 39%. Responden lain berusia kurang dari 30 tahun sebanyak 17 responden atau 20%, usia 31 – 40 sebanyak 23 orang atau 26% dan responden dengan usia lebih dari 51 tahun berjumlah 13 orang atau 15%. Jika dilihat dari pendidikan terakhir, kebanyakan responden memiliki pendidikan terakhir Sarjana/S1 yaitu 39 responden atau 45%. Di urutan kedua, responden dengan pendidikan terakhir S2/S3 sebanyak 28 responden atau 32%, paling sedikit adalah responden berpendidikan terakhir SMA/D3 yaitu hanya 20 responden atau 23% dari total keseluruhan. Dari Tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa responden pada penelitian ini 8 orang Kepala Dinas atau 9%, 11 orang Kabag atau 13%, 19 orang Kasubag atau 22%, 26 orang Kasubid/Kasi atau 30%, dan 23 orang Staf atau 26% dari total keseluruhan. Dari divisi kerja, sebanyak 23 responden atau 26% berada pada divisi keuangan, 21 responden atau 24% pada divisi umum, 10 responden atau 11% pada divisi SDM dan 33 responden atau 38% berada pada divisi selain yang telah disebutkan di atas. Seluruh responden yang berjumlah 87 orang tersebut telah bekerja minimal 1 tahun.

  ===TABEL 1 DISINI===

  4.3 Analisis Data ===TABEL 2 DISINI===

4.3.1 Model Pengukuran

  4.3.1.1 Uji Reliabilitas Pemeriksaan reliabilitas konstruk adalah dengan melihat cronbach’s alpha atau output

  

composite reliability lebih dari 0,7. Pada Tabel 3 menunjukan reliabilitas konstrak yang

dilihat dari nilai cronbach’s alpha dan composite reliability.

  ===TABEL 3 DISINI===

  Dari Tabel tersebut terlihat konstrak ketidakpastian lingkungan memiliki nilai

  

cronbach’s alpha 0,771 serta composite reliability 0,831. Kedua nilai ini lebih dari 0,70

  maka konstruk ketidakpastian lingkungan dikatakan reliabel. Konstruk job insecurity serta moderasi KL*KT dan KL*JI juga telah memenuhi syarat kriteria untuk dikatakan reliabel karena memiliki nilai di atas 0,70. Sedangkan konstruk ketidakpastian tugas memiliki nilai 0,50 namun nilai ini dianggap cukup karena konstruk ini masih merupakan pengembangan tahap awal (Chin, 1998 dalam Ghozali, 2008).

4.3.1.2 Uji Validitas A.

  Uji Validitas Konvergen Pengujian validitas diskriminan dengan melihat nilai AVE (average variance

  

extracted). Uji validitas diskriminan dikatakan baik jika memiliki nilai AVE lebih dari

0,50.

  ===TABEL 5 DISINI=== B.

  Uji Validitas Diskriminan Pengujian validitas diskriminan diukur dengan melihat nilai cross loading dan fornell- larcker .

  ===TABEL 6 DISINI===

  Pengukuran validitas diskriminan menggunakan cross loading berasumsi bahwa nilai faktor loading tiap item harus lebih tinggi dari variabel lainnya. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat hubungan KL2 0.424, KL3 0.700, KL4 0.478, KL7 0.775, KL8 0.621, KL9 0.509, KL10 0.490, KL11 0.763, dan KL12 0.552 nilai korelasi konstruk KL lebih tinggi daripada nilai korelasi konstruk lainnya. Sama halnya dengan indikator lainnya yang berkorelasi lebih tinggi dengan konstruknya masing-masing dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini berarti bahwa konstruk memiliki nilai validitas diskriminan yang baik. Selain itu, untuk melihat validitas diskriminanyang baik adalah membandingkan antara nilai kuadrat korelasi antara konstrak dengan nilai AVE atau korelasi antara konstrak dengan akar AVE. Tabel 6 menunjukkan laten variabel korelasi. Pada Tabel 6 tersebut terlihat korelasi maksimal konstrak ketidakpastian lingkungan dengan konstrak lainnya adalah 0,006. Korelasi konstrak lainnya yaitu, KT, JI dan PP memiliki nilai akar AVE lebih tinggi dari korelasi antar konstrak. Sehingga data ini memiliki validitas diskriminan yang baik.

  4.3.1.3 Pengukuran Model Struktur

  2 Pengukuran model stuktur diukur dengan melihat R variabel dependen dan uji

  koefisien jalur. Hubungan antar konstruk dikatakan kuat apabila koefisien jalur lebih besar dari 0,100 dan hubungan antar variabel dikatakan cukup signifikan jika lebih dari 0,050 (Urbach & Ahlemann, 2010). Pengujian koefisien jalur dilakukan menggunakan prosedur bootstrap dengan 500 pengganti.

  ===TABEL 7 DISINI===

  2 Berdasarkan hasil pada Tabel 7 terlihat bahwa nilai R dari PP adalah 0,474. Kriteria

  2

  2

  0,1 dan berdasarkan persyaratan tersebut, dapat terlihat bahwa Coefficient of

  

determination dalam penelitian ini layak sehingga langkah berikutnya adalah menguji

hipotesis.

4.4 Pengujian Hipotesis

  4.4.1 Hipotesis 1

  Hipotesis 1 : Terdapat hubungan positif antara ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai. Dalam pengujian hipotesis pertama pengukuran struktural model dalam Tabel 7 mengindikasikan bahwa variabel ketidakpastian lingkungan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku pegawai. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan pengukuran struktural model dengan nilai (β= 0,189, t= 0,998, p< 0,05). Tabel 7 menunjukkan nilai t statistic berada di bawah batas 1,988 sehingga dapat diartikan bahwa hipotesis pertama ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh antara ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai tidak signifikan. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa seseorang tidak memiliki informasi yang cukup untuk memprediksi masa depan secara tepat apabila berada dalam kondisi yang tidak stabil. Dalam kondisi ketidakpastian lingkungan yang rendah (kondisi relatif stabil) individu dapat memprediksi keadaan di masa depan sehingga langkah-langkah yang akan dilakukannya dapat direncanakan lebih akurat (Duncan dalam Fauziyah, 2000). Namun kondisi ini ternyata tidak berpengaruh secara langsung terhadap perilaku pegawai. Hal ini dimungkinkan pegawai telah menjalankan tupoksi sesuai dengan SOP yang berlaku di instansi tersebut. Sehingga, ketika pegawai berada dalam ketidakpastian lingkungan namun telah menjalankan pekerjaan sesuai dengan tupoksinya maka hal ini tidak akan berpengaruh terhadap perilaku pegawai tersebut.

  4.4.2 Hipotesis 2

  Hipotesis 2 : Semakin kuat ketidakpastian tugas semakin kuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Dalam pengujian hipotesis kedua pengukuran struktural model dalam Tabel 7 mengindikasikan bahwa variabel ketidakpastian tugas tidak berpengaruh secara signifikan dalam memperkuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan pengukuran struktural model dengan bawah batas 1,988 sehingga dapat diartikan bahwa hipotesis kedua ditolak. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa ketidakpastian tugas tidak memperkuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Penelitian sebelumnya menunjukkan apabila suatu organisasi memberikan ketidakpastian tugas (task uncertainty) yang rendah dengan memberikan peraturan dan ketentuan yang jelas tentang pelaksanaan kerja. Hal ini menyebabkan para pegawai dapat bekerja dengan baik, tidak perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam pekerjaan, mudah mengikuti prosedur, tidak mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan karena memiliki seluruh informasi yang dibutuhkan (Syam dan Kusuma, 2001). Namun berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketidakpastian tugas tidak memperkuat hubungan antara ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai. Hal ini dimungkinkan pegawai telah menjalankan tupoksi sesuai dengan SOP yang berlaku di instansi tersebut. Sehingga ketika pegawai telah menjalankan pekerjaan sesuai dengan tupoksinya maka hal ini tidak akan berpengaruh terhadap perilaku pegawai tersebut.

4.4.3 Hipotesis 3

  Hipotesis 3 : Semakin kuat job insecurity semakin kuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Dalam pengujian hipotesis ketiga pengukuran struktural model dalam Tabel 7 mengindikasikan bahwa variabel job insecurity berpengaruh secara signifikan dalam memperkuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Hal ini didasarkan pada hasil perhitungan pengukuran struktural model dengan nilai (β= 0,701, t= 9,344, p< 0,05). Tabel 7 menunjukkan nilai t statistik berada jauh di atas nilai batas 1,988 sehingga dapat diartikan bahwa hipotesis ketiga diterima. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa job insecurity memperkuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai. Ini sesuai dengan Thoha (2002) yang mengungkapkan dalam prakteknya kebanyakan job rotasi dan non-job di Pemda memiliki nuansa politik yang tinggi. Hal ini mengakibatkan terbentuknya sikap, perilaku, sistem, dan opini para pimpinan bahwa kelembagaan birokrasi pemerintah sudah selayaknya mendukung kekuatan politik yang berkuasa. Ketika pegawai di suatu instansi tersebut tidak mendukung pimpinan mereka maka posisi atau jabatan mereka pun tidak aman.

  Berdasarkan analisa ketiga hipotesis di atas, hasil keseluruhan hipotesis adalah sebagai berikut:

  ===TABEL 8 DISINI===

5. Kesimpulan, implikasi, dan keterbatasan

  5.1 Kesimpulan

  Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dampak ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai melalui ketidakpastian tugas dan job insecurity sebagai variabel moderasi. Untuk menjawab tujuan di atas, penulis melakukan survey kuesioner atas Pemerintah Kota di Lampung, yaitu Pemerintah Kota Bandar Lampung dan Metro.

  

Berdasarkan data 86 pejabat eselon 2-4, kami menganalisis data tersebut dengan

menggunakan Structural Equation Modeling (SEM), khususnya SmartPLS.

  

Penulis menemukan bahwa ketidakpastian lingkungan tidak berpengaruh positif dan

secara statistik tidak signifikan terhadap perilaku pegawai, sehingga hipotesis pertama

ditolak. Hasil uji hipotesis kedua ketidakpastian tugas tidak berpengaruh positif dalam

memperkuat hubungan ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai. Oleh karena

itu, hipotesis kedua ditolak. Hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa job

insecurity berpengaruh positif dan secara statistik sangat signifikan dalam memperkuat

hubungan antara ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai. Hal ini menunjukan

bahwa tidak ada dampak langsung dari ketidakpastian lingkungan dan perilaku pegawai.

sehingga hipotesis ketiga diterima.

  Dari hasil analisa di atas, job insecurity merupakan fully moderated karena hipotesis job

  

insecurity sebagai pemoderasi diterima, sedangkan pengaruh langsung ketidakpastian

  lingkungan terhadap perilaku pegawai serta ketidakpastian tugas sebagai hipotesis model moderasi tidak terdukung. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa job insecurity dapat memperkuat pengaruh ketidakpastian lingkungan terhadap perilaku pegawai Pemda. Hal ini sesuai dengan realita yang ada akibat nuansa politik yang berkembang di birokrasi Pemerintah Daerah yang berdampak terhadap perilaku pegawai.

  5.2 Implikasi Penelitian

  Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi yaitu research framework dan research penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan teori dalam bidang akuntansi manajemen. Kontribusi kedua mengenai research field. Banyak penelitian terlah dilakukan bagaimana ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job

  

insecurity di private sektor, Akan tetapi, penelitian bidang akuntansi manajemen

  mengenai hubungan tersebut sangat langka sekali di lakukan di public sector. Oleh karena itu, penelitian ini, diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan pemahaman tentang pentingnya faktor-faktor intrinsik seperti ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas, dan job insecurity dalam rangka menjalankan otonomi daerah

5.3 Keterbatasan

  Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu penelitian sedikit. Hal ini terjadi karena keterbatasan penulis jika ingin melakukan penelitian dengan objek Pemda se-Lampung. Sehingga sampel penelitian ini berfokus pada Pemerintah Kota di provinsi Lampung. Penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya memperluas objek yang diteliti sehingga sampel yang diperoleh bisa lebih banyak. Berdasarkan hasil penelitian ini penulis mengharapkan Kepala Daerah agar memperbaiki, meningkatkan, dan memformulasikan kebijakannya di masa yang akan datang sehingga pejabat ataupun birokrasi di Pemrintahan berjalan sebagaimana mestinya bukan karna pengaruh faktor ekstrinsik.

  References

  Anwar, Kasyful. 2004. Pengaruh Ketidakpastian Tugas dan Ketidakpastian Lingkungan

  yang Dipersepsikan terhadap Hubungan Informasi Akuntansi dengan Kinerja

Manajer. Tesis Universitas Diponegoro (dipublikasikan). Semarang.

  Astuti, Sri, 2003, “Pengaruh Diversitas Kemanfaatan dan Lingkup Pengembangan Kemanfaatan Teknologi Informasi Terhadap Kepuasan Pemakai: Ketidakpastian Tugas Sebagai Faktor Moderasi”, Kompak, No. 7, Januari- April: 94-117.

  Brownell, Peter and Hirst, Mark. 1986. “Reliance on Accounting Information, Budgetary Participation, and Task Uncertainty: Test of a Three-way Interaction.” Journal of Accounting Research. pp. 241-249.

  Chenhall, R. H. 2004. The Role of Cognitive and Affective Conflict in Early Implementation of Activity-Bast Cost Management. Behavioral Research in Accounting . Vol. 16, pp. 19-44.

  Chenhall, R. H. and Morris D. (1986). “The Impact of Structure, Environtment and Interdependence on the Perceived Usefulness of Management Accounting Systems”. The Accounting Review. pp. 16-35.

  Chiristina, Vita. 2010. Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Senjangan Anggaran

  dengan Ketidakpastian Lingkungan sebagai Variabel Moderating pada Pt Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk . Universitas Sumatera Utara

  (dipublikasikan). Medan. Dess, G.G. and Beard, D.W. (1984), “Dimensions of organizational task environments”, Administrative Science Quarterly, Vol. 29, pp. 52-73.

  Duncan, R. B. “Characteristic of Organizational Environment and Perceived Environmental Uncertainty”. Administrative Science Quarterly 17 (1972): hal.313- 27.

  Fibrianti dan Riharjo. 2013. “Pengaruh Partisipasi Anggaran, Desentralisasi, Komitmen Organisasi, dan Ketidakpastian Lingkungan terhadap Kinerja Manajerial pada Pemerintahan Kota Surabaya.” Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, Januari 2013: 108-121.

  Fisher, C. 1996. “The Impact of Perceived Environmental Uncertainty and Individual Differences on Management Information Requirement, A Research Note”. Fitri, Fauziah A. 2000. Pengaruh Organizational Commitment, Information Asymmetry

  dan Budget Emphasis dalam Hubungan antara Partisipasi dan Slack Anggaran . Tesis Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

  Fleming, L. (2001), “Recombinant uncertainty in technological search”, Management Science, Vol. 47 No. 1, pp. 117-32.

  th

  Greenberg, J & Baron, R A. 2003. Behavior in Organization (8 ed). Singapore: Allyn & Bacon. Greenglass, Esther, Ronald Burke and Lisa Fiksenbaum. 2002. “Impact of

  Restructuring, Job Insecurity and Job Satisfaction in Hospital Nurses.” Sress News January, 14(1):1-10. Govindarajan, V. 1984. “Appropriateness of Accounting Data in Performance

  Evaluation: An Empirical Examination of Envirsomental Uncertainty as An Intervening Variable”. Accounting Organizations and Society 9(2): 125-135. Hariyanto, Eko dan Margani Pinasti, 2002, “Pengaruh Keikutsertaan Manajer Dalam

  Penyusunan Budget Terhadap Perilaku Manajer yang Kinerjanya Dinilai Dengan Informasi Akuntansi”, Simposium Nasional Akuntansi V, September: 674-685. Hirst, M.K. 1981. “Accounting Information and The Evaluation of Subordinate Performance”. Journal of Applied Psychology 56 (4): 771-784. Hyvonen, J.2007. “Strategy, Performance Measurement Techniques and Information Technology of The Firm and Their Links to Organizational Performance”.

  Management accounting research, Vol. 18. Pp. 343-366. Krishnan, R., Martin, X. and Noorderhaven, N.G. (2006), “When does trust matter to alliance performance?”, Academy of Management Journal, Vol. 49 No. 5, pp.

  894-917. Lili-Anne Kihn, (2010) "Performance outcomes in empirical management accounting research: Recent developments and implications for future research",

  International Journal of Productivity and Performance Management, Vol. 59 Iss: 5, pp.468 - 492

  Moorman, C. and Miner, A.S. (1997), “The impact of organizational memory on new product performance and creativity”, Journal of Marketing Research, Vol. 34 No. 1, pp. 91-106. Rahayu, Isti. 1999. Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan terhadap Partisipasi

  

Penganggaran dan Kinerja Manajerial. Jurnal Akuntansi dan Auditing

Indonesia (JAAI) Vol. 3 No. 2.

  Rimandha, Yosita. 2004. Pengaruh Ketidakpastian Tugas terhadap Perilaku Manajer.

  Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. Rinarti, Deasy & Renyowijoyo, Muindro. 2007. “Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan dan Budaya Organisasi terhadap Partisipasi Penganggaran dan Kinerja

  Manajerial.” Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 8, No. 2, 124-135. Simamora, Henry. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, STIE YKPN. Smithson, J; Lewis, S. 2000. “Is job insecurity changing the psychological contract?”

  Personel Review, Vol.29, No.6, (dalam http://www.emeraldinsight.com/Insight/manualDocumentRequest.do;jsession id. Sulaksono,Tri. 2005. Budaya Organisasi dan Ketidakpastian Lingkungan sebagai

  

Variabel Moderating dalam Hubungan antara Gaya Evaluasi Atasan

  Tesis Universitas terhadap Tekanan Kerja dan Kepuasan Kerja Bawahan. Diponegoro (dipublikasikan). Semarang. Syam, Fazli. BZ dan I.W.Kusuma. 2001. “Pengaruh Informasi Akuntansi dan Ketidakpastian Tugas terhadap Perilaku Manajer: Sebuah Eksperimen Semu”.

  SNA. p. 250-276.

  Thoha, Miftah. 2002. “Reformasi Birokrasi Pemerintah.” Seminar Good Governance.

  Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta