Representasi Kondisi Multikultur pada Ma
Representasi Kondisi Multikultur pada Masyarakat Urban Paris dalam Film
“Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran”1
Oleh Rosida E. Irsyad
Beberapa waktu yang lalu, saya mempresentasikan hasil temuan tesis saya
dalam sebuah diskusi informal di Cak Tarno Institute yang dihadiri oleh rekan-rekan
dari berbagai kalangan. Saat itu, kami membicarakan politik kebudayaan pemerintah
Prancis yang direpresentasikan oleh film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran
(François Dupeyron, 2003). Di balik manisnya representasi perayaan keberagaman
yang ditawarkan oleh film tersebut yang oleh Joesana Tjahjani dalam salah satu
artikelnya disebut “Dongeng Negeri Multikultur”, ada berbagai bias yang menyertai
representasi tersebut. Dalam konteks politik kebudayaan Prancis, posisi film MI
berada pada kutub yang berpihak pada kondisi multikultur Prancis dan secara optimis
mempromosikan kondisi multikultur dan ideologi lintas batas sebagai salah satu
metode memahami keberagaman. Film MI secara manis memberikan alternatif lain
pada tampilan wajah Islam yang garang setelah peristiwa 11 September 2001. Pada
saat memulai pengerjaan tesis saya mengenai film ini, saya paling tertarik dengan
masalah strategi representasi dalam film tersebut dan juga ideologi yang melatari
representasi tersebut. Saya akan menyampaikan beberapa hasil analisis yang
menarik yang terkait dengan permasalahan yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Dalam makalah ini, saya menyoroti representasi kondisi multikultur pada
masyarakat urban Paris dalam film MI. Saya memilih membahas film ini terutama
karena wacana keberagamaan yang direpresentasikan di dalamnya. Walaupun para
pembuat film ini mengatakan bahwa film ini bukan film relijius, paling tidak secara
diskursif, masalah tersebut muncul. Lebih khas lagi, wacana keberagamaan tersebut
diramu dalam kisah yang menampilkan keragaman budaya. Keberagamaan dalam
keragaman, ini tema yang menarik hati bagi saya. Keragaman di dalam film
ditampilkan melalui representasi kelompok pinggiran. Kelompok pinggiran yang
saya maksudkan adalah agama Islam dan Yahudi, kaum imigran muslim dan kaum
Yahudi di tengah dominasi masyarakat Prancis-Katolik. Dalam analisis yang saya
lakukan terhadap film ini, saya melakukan analisis pada tingkat wacana dengan
melihat berbagai tema yang direpresentasikan, kemudian memposisikan wacana
1
Makalah ini dibuat untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XVIII HISKI
pada bulan Agustus 2007.
1
tersebut secara biner dan menganalisis dialektika antara berbagai wacana untuk
membongkar berbagai ambiguitas yang muncul.
Film MI dianalisis dengan menggunakan kerangka teori kajian budaya, yaitu
representasi dan identitas yang cair. Pembahasan pertama tentang gambaran kondisi
multikultur akan memaparkan representasi ruang pada masyarakat urban dalam
perjalanan melintas batas dalam pengertian denotatif juga simbolik. Di dalam
Monsieur Ibrahim, permasalahan-permasalahan tersebut muncul secara dinamis
melalui aspek sinematografis dan dialog tokoh-tokohnya. Kedua adalah pembahasan
mengenai representasi agama dan spiritualitas yang akan memaparkan pandangan
keberagamaan
tokoh-tokoh
yang
ditampilkan
dalam
Monsieur
Ibrahim.
Permasalahan ruang dan spiritualitas urban ini akhirnya menjadi salah satu pilihan
strategis untuk menampilkan kondisi multikultur dalam MI.
Gambaran Kondisi Multikultur: Pusat dan Pinggiran
Monsieur Ibrahim merupakan sebuah representasi budaya yang berupa kisahkisah hidup seseorang (personal life narratives), dalam hal ini Moïse Schmitt atau
Momo- sang tokoh utama, yang ditampilkan dalam media film cerita. Sebagai sebuah
representasi, kisah hidup Momo merupakan salah satu cara untuk membentuk “selfdefinitions” dan identitas (Giles dan Middleton, 1999: 55). Apa yang ditampilkan di
dalam film ini merupakan sebuah dunia yang dilihat melalui pandangan seorang
Momo, remaja Yahudi-Prancis yang tinggal di kawasan urban di pinggiran Paris.
Kondisi multikultur yang ditampilkan merupakan gambaran yang terikat pada
kerangka berpikir Momo terhadap dunia.
Representasi keadaan multikultur ditampilkan dalam pencitraan yang
mewakili keragaman budaya. Keragaman etnisitas, agama, generasi, gender, dan
kelas berdialog dalam konteks hubungan dominan dan marjinal. Di awal film
diperdengarkan iringan musik yang seolah-olah keluar dari radio memperdengarkan
lagu dengan lirik “no matter, no matter what colour, why can’t we live together…”.
Pembukaan film tersebut memberikan sebuah pengantar yang cukup jelas untuk
mempersiapkan penonton memasuki cerita. Masih diiringi musik Why Can’t We Live
Together, adegan pertama yang muncul adalah seorang wanita kulit hitam berbaju
hijau toska berpolkadot dengan rambut pendek pirang mencolok, yang membeli satu
buket bunga mawar yang ditawarkan oleh seorang lelaki penjual bunga. Dengan
dandanan yang mencolok dan sikap yang selalu mengerling dan menggoda para
2
lelaki yang lewat, wanita tersebut adalah salah seorang penjaja cinta di daerah rue
Bleu (gambar 1). Di latar belakang terlihat seorang anak lelaki (Momo) mengenakan
kaos singlet putih dan celana panjang hitam tengah memperhatikan aktifitas pelacur
berkulit hitam itu dan rekan-rekannya dari teras kamarnya yang terletak berhadapan
di seberang jalan. Adegan pembuka itu berlangsung sekitar 1 menit sebelum
kemunculan judul Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran. Sejak awal, penonton
sudah dipersiapkan untuk menikmati film yang akan menampilkan suatu kelompok
masyarakat yang khusus dengan perbedaan kultural yang khas. Lagu pembuka Why
Can’t We Live Together muncul secara nondiegetik sebagai lagu tematik film ini.
Di sebuah adegan yang lain, Momo melakukan pengutilan di toko milik
seorang Arab, Ibrahim Dermidji. Dia menganggap si orang Arab pantas dicuri
barangnya. Momo merasa dirinya sebagai orang Prancis yang memiliki kekuasaan
untuk berbuat sekehendaknya terhadap etnis minoritas. Pada situasi tersebut,
prasangka rasial terhadap orang Arab ditampilkan. Setelah menyimpan barang yang
ia curi di kantongnya, sambil mengatakan pada dirinya sendiri melalui suara
internal,”Je m’en fous, c’est un Arabe, un Arabe, un Arabe. S’il n’était pas, ce sera
pareil” (Aku tak peduli, dia orang Arab, orang Arab, orang Arab. Kalaupun dia bukan
Arab, sama saja), Momo menghampiri Ibrahim untuk membayar sebagian barang
yang ia ambil. Ia memandang Ibrahim dengan tajam, tanpa menunjukkan rasa takut.
Hanya karena disangka Arab maka Ibrahim pantas dijadikan sasaran tindakan Momo
yang melanggar hukum.
Sejak awal, Monsieur Ibrahim mengangkat permasalahan-permasalahan
kelompok marjinal dan mengisahkan tokoh-tokoh yang secara sosial politis dan
sosial budaya adalah marjinal. Ibrahim adalah seorang tokoh keturunan Turki
beragama Islam, sementara Momo adalah seorang remaja Prancis Yahudi. Keduanya
merupakan representasi dari kelompok marjinal di Perancis yang didominasi oleh
budaya Katolik. Tokoh-tokoh lain yang dimunculkan juga mewakili kelompok
terpinggirkan tersebut, misalnya pelacur sebagai kelompok perempuan yang marjinal
dalam wacana moral.
Ruang Pinggiran dan Pusat pada Masyarakat Urban Paris
Kondisi
multikultur
yang
ditampilkan
dalam
Monsieur
Ibrahim
mengemukakan tentang pentingnya ruang dalam representasi multikultur pada
masyarakat urban. Monsieur Ibrahim menggambarkan ruang yang beragam dan
3
membentang mulai daerah yang sangat kecil di rue Bleu kemudian lebih besar, yaitu
Paris, dan keluar dari Prancis, yaitu Italia, Swiss, Yunani, Albania, dan Turki,
kemudian ke tempat yang sangat terpencil dan jauh, yaitu desa Ibrahim, akhirnya
kembali ke rue Bleu. Monsieur Ibrahim juga menampilkan ruang privat dan publik
secara bergantian. Pergerakan tokoh-tokoh dari satu ruang ke ruang lain memiliki
makna yang penting.
a. Perjalanan Kembali ke Asal: Tradisi Multikultur
Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo bertujuan untuk kembali
ke tanah asal Ibrahim yang telah ia tinggalkan selama 15 tahun. Perjalanan kembali
itu merupakan representasi dari kondisi multikultur pada masyarakat urban. Kondisi
multikultur terjadi pada awalnya, karena perpindahan penduduk dari satu wilayah ke
wilayah lain dengan berbagai alasan berupa mendapatkan penghidupan yang lebih
baik, pengusiran, genocide, bencana alam, kolonisasi, dll. Perpindahan tersebut
terjadi secara berkelompok maupun per individu dan hasil dari perpindahan tersebut
adalah diaspora, yaitu menyebarnya orang-orang ke berbagai wilayah. Perpindahan
itu membuat demografi suatu wilayah berubah dan menciptakan kondisi-kondisi
yang sebelumnya telah dijelaskan sebagai melting pot/ salad bowl/ pluriculture
(Prancis). Akibat meninggalkan tanah kelahiran, maka salah satu praktik budaya
penting dalam kondisi multikultur pada masyarakat urban adalah perjalanan kembali
ke tanah kelahiran. Dalam tradisi banyak agama, perjalanan itu dimaknai sebagai
sesuatu yang sakral yang disebut dengan ziarah. Bagi para penganutnya, melakukan
ziarah merupakan bagian dari ritual yang wajib dilakukan sebagai wujud ketaatan
pada perintah Tuhan. Perjalanan kembali memiliki makna yang berbeda-beda
tergantung faktor yang mendorong terjadinya migrasi.
Dalam konteks Monsieur Ibrahim, perjalanan kembali ke tanah kelahiran
Ibrahim merupakan sebuah momen untuk membimbing Momo mengenal dirinya
sendiri dan mengenal budaya lain, yaitu budaya ayah angkatnya, Ibrahim. Bagi
Ibrahim sendiri, perjalanan kembali itu membawanya ke masa lalu yang telah lama ia
tinggalkan. Perjalanan tersebut bermakna nostalgia. Arti dari perjalanan kembali
tersebut sangat penting secara psikologis bagi orang-orang seperti Ibrahim yang
meninggalkan tanah kelahirannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Perjalanan kembali itu harus dirayakan dengan pertunjukan keberhasilan (eksibisi)
4
yang ditampilkan melalui mobil merah yang ia beli dari hasil tabungannya selama 15
tahun.
b. Barat sebagai Pusat dan Timur sebagai Pinggiran
Ruang Barat (Prancis, Swiss dan Yunani) dan Timur (Turki) dimanfaatkan
dengan sangat baik untuk menggambarkan wacana pusat dan pinggiran. Rue Bleu,
bagian distrik Yahudi, terletak di daerah pinggiran Paris. Paris adalah pusat
peradaban Prancis dan dikenal dengan berbagai kebesarannya sebagai salah satu
pusat peradaban Eropa. Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo
melanjutkan representasi pusat budaya, yaitu melalui Italia (pusat mode dunia),
Swiss (pusat keuangan dunia) dan Yunani (pusat peradaban Eropa di jaman
pertengahan yang hingga kini warisan budayanya masih terasa). Perjalanan mereka
melintasi ruang yang membentang dari Barat menuju Timur. Setelah itu, mereka
memasuki representasi pinggiran yaitu Albania (negara miskin di Asia Tengah yang
baru melepaskan diri dari Rusia) dan Turki (negara Asia Tengah yang hingga kini
masih memperjuangkan pengakuannya sebagai bagian dari Uni-Eropa) dan berakhir
di wilayah yang sangat terpencil, yaitu desa Ibrahim (tidak disebutkan nama
daerahnya).
Perjalanan melintasi batas tersebut sangat menarik dan simbolik. Arah
perjalanan dari Barat ke Timur, melintas pinggiran menuju pusat kemudian kembali
ke pinggiran. Perubahan ruang tersebut menjadi bermakna jika diinterpretasikan
dengan Barat dan Timur sebagai dua wilayah dan dua wacana. Perjalanan menuju
Timur dapat dikatakan representasi dari pergeseran paradigma Barat yang kini
semakin Oriental-friendly atau simpatik terhadap Timur. Timur yang dulu dianggap
sebagai pinggiran atau subordinat kini menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan
pemerintah, perusahaan, pengobatan, perjodohan, membangun rumah, cara
berhubungan seks, peruntungan sampai pada cara-cara untuk meningkatkan
konsentrasi dan kecerdasan sejak usia dini. Kini Timur menjadi sumber pengetahuan
yang sangat diperhitungkan. Timur bergerak dari pinggiran ke pusat 2. Perubahan
2
Karya Fritjof Capra (2000), The Tao of Physics, secara kritis analitis melihat bagaimana transformasi
budaya selanjutnya perlu didasarkan pada paradigma yang dinamis dan holistis. Dalam hal ini, ia
merujuk pada ajaran Tao. Capra percaya bahwa kekurangan pada paradima Cartesian-Newtonian
Barat yang mengutamakan rasio akan diimbangi oleh paradigma yin dan yang yang holistis (rasionalspiritual) dalam Tao. Karya Sukidi (2002) mendukung Capra dalam memperlihatkan ajaran-ajaran
spiritual Timur dan pagan dikonsumsi oleh Barat untuk mengimbangi kekeringan spiritual dan
degradasi moral Barat.
5
paradigma itu secara simbolis ditampilkan dalam Monsieur Ibrahim melalui
perjalanannya dari Barat ke Timur, dari pusat ke pinggiran.
Kini, perjalanan kembali dari Timur ke Barat, dari pinggiran ke pusat,
memiliki makna baru yang berbeda, yaitu Barat yang telah bersentuhan dengan
Timur. Monsieur Ibrahim menggambarkan bahwa perjalanan kembali Momo dari
Turki ke Paris diakhiri dengan pembacaan wasiat yang ia terima dari Ibrahim. Momo
kembali menghadapi keseharian di negerinya sendiri yang individualis dan
birokratis3. Ia menerima surat wasiat Ibrahim yang isinya meninggalkan seluruh
hartanya kepada Momo sebagai anak angkatnya dan menitipkan Al Qur’an yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepada Momo. Wasiat Ibrahim dapat diinterpretasikan
bahwa ia mewariskan kebijakan yang ia dapatkan dari kitab sucinya kepada Momo.
‘Je sais ce qu’il y a dans mon Coran’4 yang beberapa kali dikatakan Ibrahim secara
eksplisit merupakan kata kunci untuk memahami kebijakannya. Satu menit terakhir
dari Monsieur Ibrahim merupakan akhir yang sangat penting. Akhir sebuah film
mampu mengungkapkan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh para
penciptanya. Gambar 7 menunjukkan bahwa Momo remaja kini telah dewasa dan
bekerja menjaga toko Ibrahim yang diwariskan kepadanya. Ia juga bertemu dengan
seorang anak lelaki yang masih sangat muda dengan nama yang sama: Momo. Dan
Momo dewasa bertindak seperti Ibrahim dulu. Akhir cerita yang membuat alur
menjadi siklik dapat diinterpretasikan sebagai perjalanan kembali dari Timur ke
Barat. Perjalanan kembali itu secara simbolik menggambarkan hasil dari perjalanan
yang dilakukan oleh Momo yaitu seorang warga negara di benua Eropa yang
‘menjadi’ seorang Timur (dalam hal ini Turki) di dalam jiwanya. Ia seorang remaja
Eropa di permukaan (tampilan luar) yang mengalami perubahan paradigma di dalam
dirinya. Penekanan yang dilakukan oleh para pembuat Monsieur Ibrahim bukan pada
permasalahan perpindahan agama, karena informasi tentang perpindahan agama
Momo dari Yahudi ke Islam tidak ada di dalam film. Akan tetapi, akhir yang
membuat Momo ‘menjadi’ Ibrahim dengan menggunakan baju penjaga toko milik
Ibrahim, di toko yang sama, dengan pengaturan toko yang tidak berubah
mengesankan bahwa Ibrahim ‘terlahir kembali’ pada Momo dewasa.
3
Adegan ini memperlihatkan bahwa selama pembacaan wasiat terlihat si pengacara yang sibuk
menerima telpon dari ibunya sedangkan Momo menanti-nanti kapan akan dibacakan surat tersebut
sampai tuntas. Akhirnya ia mengambil surat tersebut dan membacanya sendiri.
4
Saya tahu apa yang ada di dalam Al Qur’an saya. (terj.)
6
Jika dikaitkan dengan wacana Barat-Timur, akhir alur yang siklis dapat
dimaknai bahwa perjalanan kembali Barat ke Timur menghasilkan Barat (di
permukaan atau di luar) yang ‘menjadi’ Timur (di dalam) dan bernuansa Timur.
Perjalanan kembali dari Timur ke Barat membuat Timur ‘terlahir kembali’. Akhir
alur yang bersifat siklis merupakan representasi dari luruhnya batas-batas pusat dan
pinggiran. Makna dari perjalanan melintas batas-batas adalah perjalanan pengetahuan
dan pengalaman dalam berbagai budaya yang berbeda untuk mendapatkan wawasan
diri yang lebih baik. Baik dalam konteks Momo-Ibrahim maupun dalam konteks
Barat-Timur, perjalanan ‘menjadi’ dengan cara mengetahui dan mengalami budaya
yang lain bahkan yang pernah dianggap rendah oleh ‘yang memandang’ merupakan
perjalanan penemuan diri sendiri.
Perjalanan melintas batas itu hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang
yang bersedia mengadopsi pandangan hidup anti-esensialis dan inklusif yang akan
membantu para pelakunya lepas dari persangkaan budaya. Dalam konteks Monsieur
Ibrahim, perjalanan melintas batas mungkin dilakukan karena keduanya lepas
(melepaskan diri) dari hegemoni budaya komunal. Ibrahim adalah seorang TurkiMuslim yang hidup seorang diri, tidak memiliki komunitas yang membuatnya harus
melakukan negosiasi. Demikian pula dengan Momo yang melakukan tindakan yang
sangat berani dengan menolak kehadiran ibunya dan memilih bersama Ibrahim.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Muslim dan Yahudi di Prancis pada
umumnya hidup di ghetto dan distrik yang merupakan batas paling jelas dalam
pengkategorian identitas, sehingga budaya komunal masih terasa ketat. Baik Ibrahim
maupun Momo terlepas dari hegemoni budaya kelompoknya masing-masing. Mereka
adalah individu-individu yang ‘keluar’ dari kelompoknya dalam arti simbolis
maupun praktis. Dalam hal itu, mereka menjadi individualis yang tidak dipengaruhi
oleh budaya komunal.
Representasi ruang pusat dan pinggiran merupakan bagian penting dalam
mengkonstruksi kondisi multikultur dalam Monsieur Ibrahim. Hal itu tidak hanya
ditampilkan melalui perubahan ruang sebagai bagian dari framing dan mise en scene,
namun secara naratif memiliki makna penting untuk menyampaikan pesan tentang
perjalanan melintasi batas-batas ruang sosial dan wacana.
Representasi Agama dan Spiritualitas Urban
a. Islam dan Yahudi sebagai Agama Dunia
7
Dalam sejarah Prancis-Katolik, posisi Islam dan Yahudi adalah agama dan
kelompok minoritas agama yang marjinal. Secara konstitusional, semua orang punya
hak yang sama di depan hukum, namun dalam kenyataan sehari-hari, kelompok
minoritas tersebut merasakan perlakuan yang berbeda (Ramadhan, 2004: 715 dan
Silverman, 1999: 156). Kesamaan posisi marjinal keduanya ditampilkan dalam
Monsieur Ibrahim yang membuat film tersebut menjadi kisah tentang marjinalitas.
Representasi agama di dalam film diperlihatkan terutama melalui identitas
keagamaan para tokoh yaitu Momo yang Yahudi-Prancis dan Ibrahim yang MuslimTurki. Identitas tersebut juga ditampilkan melalui beberapa ungkapan Ibrahim berikut
ini.
Ibrahim: Je ne sais rien... Je sais juste ce qu’il y a dans mon Coran. Tu sais,
le début, c’est bien devient un professionel. Mais après, quand tu es le maître,
avec la complication des sentiments... Tu auras apprécié les novices.
Momo: Vous y allez, vous... À votre âge.
Ibrahim: Le ciel, il est à tout le monde, il n’est pas les affaires au mineur.
Ibrahim: Saya tidak tahu apa-apa... Saya hanya tahu apa yang ada di dalam
Al Qur’an saya. Kamu tahu, pada awalnya sangat bagus menjadi seorang
profesional. Tetapi setelah itu, ketika kamu memimpin, dengan keruwetan
perasaan... Kamu akan menghargai para pemula.
Momo: Anda juga menjadi begitu... Di usia Anda.
Ibrahim: Akhirat itu milik semua orang, itu bukan permasalahan sekelompok
orang saja.
Pada kutipan di atas terlihat beberapa kata yang terkait dengan agama seperti Coran
(Al Qur’an), les novices (para pemula) dan le ciel (akhirat). Dalam adegan di atas,
Momo dan Ibrahim tengah membicarakan tentang kehidupan profesional yang berat
dan akhirnya memiliki permasalahan spiritual. Ketika saatnya tiba, orang perlu mulai
memikirkan tentang hal-hal yang lebih abstrak dan berada di luar dirinya sendiri
yang diacu oleh Ibrahim dengan kata ‘le ciel’. Kata-kata yang mewakili agama
tersebut berurutan mulai dari yang khusus, yaitu Coran sebagai kitab suci umat
5
The fallout from political situations in Muslim countries and the active interests, and sometimes
manipulations, of governments cast a very negative light on Muslims living in the West and give rise
to a whole range of prejudices and preconceived ideas about Islam and Muslims. The consequence is
that laws, whose letter protects the rights of Muslims, are read, interpreted and used tendentiously
because of the atmosphere of suspicion and so become the “official” and legitimate justification for
obvious acts of discrimination.[…] Well before 11 September 2001 and the outrages in the United
States, Muslims were already experiencing every day the reality of suspicion and discrimination.
6
Jew and Judaism are perceived as ‘other’ to ‘Christian Europe’, ‘other’ to rationality, logocentrism
and the law, and ‘other’ to the autonomous and self-constituted self at the heart of Western ‘Hellenic’
humanistic philosophy.
8
Islam, kemudian les novices yang lebih jamak digunakan untuk mengacu pada para
calon pendeta Kristen, dan terakhir le ciel yang mengacu pada sebuah konsep yang
lebih umum dan awam tentang agama, yang merupakan representasi dari hal-hal
yang terkait dengan Tuhan.
Dalam adegan lain, Ibrahim membicarakan tentang peranan Tuhan dalam
kehidupan. Ia mengatakan pada Momo bahwa “Si Dieu veut te révéler la vie, Il n’a
pas besoin d’un livre”. Dalam hal ini, ia mengacu pada keinginan Momo, seorang
Yahudi, untuk membaca Al Qur’an. Bagi Ibrahim, permasalahannya bukan pada ia
membaca atau tidak membaca kitab suci tersebut, namun pada sifat ketuhanan sendiri
yang akan membukakan petunjuk pada siapa pun yang dikehendaki.
Kutipan berikut ini memperlihatkan tentang kesamaan antara kedua agama
yang dialami oleh Momo yaitu tentang permasalahan penyunatan.
Momo: Moi aussi, vous êtes circoncis.
Ibrahim: Les musulmans, comme les juives.
Momo: Donc, vous pourriez être un juif.
Ibrahim: C’est ma main, c’est ma bouche.
Momo: Je comprends pas.
Ibrahim: Peut être tu comprendrais avec ta tête.
Momo: Seperti saya, Anda juga disunat.
Ibrahim: Muslim sama dengan Yahudi.
Momo: Kalau begitu, Anda bisa menjadi seorang Yahudi.
Ibrahim: Ini tangan saya, ini mulut saya.
Momo: Saya tidak mengerti.
Ibrahim: Mungkin kelak kamu akan memahaminya dengan pikiranmu.
Dalam hal praktik ibadah, kedua agama mengenal beberapa praktik yang sama, yang
salah satunya adalah penyunatan bagi lelaki. Neusner, Sonn dan Brockopp (2000)
menunjukkan bahwa kesamaan praktik tersebut juga terdapat dalam masalah berdoa,
memberikan
sumbangan,
perkawinan,
perceraian,
berzakat,
dan
berpuasa.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim, bahwa orang Muslim juga seperti Yahudi.
Ketika Momo menyatakan bahwa Ibrahim juga dapat menjadi Yahudi karena
kesamaan tersebut, jawaban Ibrahim adalah ‘ini tanganku, ini mulutku’. Ungkapan
itu menunjukkan bahwa permasalahan agama merupakan sebuah pilihan individu.
Melihat persamaan dua agama, Islam dan Yahudi, merupakan langkah yang
sangat penting dalam memahami kondisi multikultur dalam film Monsieur Ibrahim.
Kedua agama tersebut memiliki hubungan yang buruk dalam sejarah masing-masing,
dipenuhi oleh kisah-kisah pengkhianatan, pembunuhan, dan agresi wilayah. Dalam
9
naratif besar Islam, Yahudi adalah kelompok yang di’kisah’kan sebagai kaum yang
mengkhianati perjanjian dengan Tuhan, mengkhianati perjanjian dengan nabi-nabi,
dan yang masih sangat relevan adalah mengkhianati perjanjian perdamaian dengan
bangsa-bangsa mayoritas Muslim di dunia masa kini. Stigma itu melekat erat pada
Yahudi dan Yudaisme. Bagi kaum muslim, menghilangkan stigma tersebut sangat
sulit, karena telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif dan kesejarahan. Upaya
menampilkan persahabatan antara dua pemeluk agama tersebut dalam Monsieur
Ibrahim merupakan langkah untuk melintasi batas-batas tradisi yang berakar dari
prasangka historis pada kedua agama.
Adegan lain yang memperlihatkan representasi agama dan menguatkan lintas
batas-batas tradisi adalah perjalanan Momo dan Ibrahim ke tempat-tempat ibadah
umat beragama yang lain, yaitu Kristen dan Islam. Perjalanan tersebut merupakan
perjalanan untuk membentuk wawasan Momo terhadap dunia yang berada di luar
dirinya dan rue Bleu. Adegan ini menunjukkan bahwa dalam film ini, representasi
agama ditampilkan selain melalui Islam dan Yahudi juga melalui Kristen Ortodox
dan Katolik. Wawasan Momo tentang agama-agama lain dibuka oleh Ibrahim melalui
sensitifitas inderawi, yaitu mendengarkan dan mencium bau. Pendekatan Ibrahim
memperkenalkan agama-agama bukan melalui logika dan argumentasi, sehingga
dalam representasinya, agama dapat dimaknai sebagai bagian dari kehidupan yang
dapat dirasakan, sama seperti merasakan tarian atau dansa (melalui pendengaran dan
gerakan), atau mencium bau. Agama direpresentasikan sebagai sesuatu yang empiris
dan praktis, bukan sebagai abstraksi kata-kata yang sukar dipahami melalui buku dan
kitab-kitab suci. Cara Ibrahim memandang agama sebagai sebuah penghayatan
sejalan dengan pandangan seorang pemikir Islam dari Prancis, Mohammad Arkoun,
yang mempopulerkan pengkajian kembali terhadap teks-teks suci agama Islam,
menggunakan metode yang lebih progresif agar Islam selalu sejalan dengan
perkembangan jaman. Ia mengatakan bahwa „semua penyelidikan diarahkan untuk
Islam yang dihayati, bukan Islam yang ditulis“ (2000: x).
Upaya
melintas
batas tradisi melalui penghayatan
agama tersebut
berlandaskan pada suatu gagasan bahwa semua agama di dunia melakukan pemujaan
terhadap satu Tuhan. Tuhan yang dimaksudkan adalah Tuhan yang sama, namun
disebut secara berbeda dan dipersepsi secara berbeda, sehingga jalan pemujaannya
pun berbeda. Tuhan diterima oleh setiap kelompok di suatu jaman berdasarkan
konsepsi yang khusus pada jaman tersebut. Oleh sebab itu, konsep Tuhan adalah
10
konsep yang selalu kontekstual dan fleksibel, karena ia selalu terikat pada ruang dan
waktu (Armstrong, 2001:20). Tuhan Yahudi dan Tuhan Islam adalah Tuhan yang
sama, namun Tuhan dipersepsi oleh orang Yahudi sebagai Tuhan yang terlibat dalam
kehidupan keseharian mereka, ikut serta dalam berbagai peristiwa yang dialami oleh
bangsa Israel (Armstrong, 2001:40). Sementara Tuhan orang Islam (yang ditampilkan
oleh Al Qur’an) adalah Tuhan yang Satu, yang transenden, tidak langsung
menyentuh, dan terlibat dalam realita kehidupan, namun selalu ada (Armstrong,
2001:203). Perbedaan persepsi tentang Tuhan tersebut memunculkan perbedaan
dalam cara memuja Tuhan.
Menarik untuk dipertimbangkan bahwa Monsieur Ibrahim mengambil latar
waktu cerita berkisar antara tahun 1960-an hingga 1990-an. Periode tersebut
merupakan masa perubahan paradigma yang sangat signifikan dalam cara masyarakat
Barat mempersepsi agama. Representasi agama yang ditampilkan oleh Monsieur
Ibrahim memperlihatkan kontekstualitas yang sejalan dengan laju perkembangan
jaman. Perspektif baru yang memunculkan wacana melintas batas tradisi masingmasing agama berkembang seiring pemikiran Barat yang semakin simpatik terhadap
ajaran-ajaran Timur dan ajaran-ajaran tradisional yang mengajak manusia mengenal
Tuhan. Sejak tahun 1960-an, wacana tersebut dipopulerkan melalui kelompokkelompok studi yang membicarakan tentang Pencerahan yang didapat melalui
eksplorasi terhadap Tuhan. Popularitas wacana tentang Pencerahan tersebut bergaung
dengan munculnya istilah New Age7 (Sukidi, 2001). Saat ini, gerakan-gerakan yang
mencerminkan semangat New Age tersebut dapat dijumpai sebagai bagian dari
spiritualitas urban8.
New Age mempopulerkan tradisi mistik dan mengetengahkan tradisi tersebut
dalam kerangka berpikir rasional bahwa akal dan hati memiliki satu tujuan, yaitu
mengenal Tuhan, mengenal diri sendiri. Penyatuan kembali antara akal dan intuisi
ketuhanan memasuki wacana yang semakin meluas, hingga ke permasalahan gender,
lingkungan, dan politik. Visi New Age adalah melintasi perbedaan-perbedaan untuk
7
Perkembangan New Age terkait erat dengan kemunculan aliran filsafat perennial yang
mempopulerkan gagasan bahwa semua agama di dunia bertujuan mendapatkan kebijaksanaan
(sophia). Lihat juga Emmanuel Wora, Perennialisme (2004) dan Komaruddin Nafis, Agama Masa
Depan (2003).
8
Dalam novel Sang Zahir, Paulo Coelho (Gramedia, 2006) menggambarkan kelompok-kelompok
subkultur di daerah urban Paris yang menghidupkan etno-religi dengan mengambil sumber religi
masyarakat nomad Azerbaijan, salah satu bekas negara bagian Rusia.
11
mengenal inti kemanusiaan. Melintasi batas-batas merupakan mentalitas penganut
New Age.
Kemunculan film Monsieur Ibrahim pada tahun 2003 dengan menampilkan
tokoh-tokoh Islam dan Yahudi, dan lebih spesifik lagi, wajah sufisme Islam. Gejalagejala tersebut dapat dikaitkan dengan gerakan New Age yang terus mempopulerkan
tradisi mistik agama-agama dan menguatkan asumsi bahwa tradisi spiritual dalam
agama baik monotheis maupun pagan, dapat menjadi kunci untuk menyatukan
agama-agama. Popularitas tradisi spiritual agama-agama monotheis di Prancis sendiri
diawali oleh seorang filosof muslim perennialis, yang juga seorang Prancis keturunan
Jerman dari Alsace, Fritjof Schuon. Secara akademis, uraian-uraian Schuon tentang
doktrin metafisika dalam agama-agama monotheis secara mengagumkan dapat
diterima oleh penganut semua agama yang ia bicarakan (Budhy Munawar-Rachman
dalam Hidayat dan Nafis, 2003: 27). Selanjutnya akademisi Prancis lain yang juga
mempopulerkan tradisi spiritual Islam di Prancis adalah René Guénon yang dianggap
sebagai salah satu akademisi penting dalam kajian Barat atas sufisme Islam. Dapat
disimpulkan bahwa film Monsieur Ibrahim dimungkinkan untuk diciptakan di
Prancis dengan membawa pesan tentang perdamaian dan dialog antar budaya, karena
adanya faktor-faktor eksternal secara budaya dan historis yang mendukung
penciptaan tersebut.
b. Wisata Spiritual9: Melintasi Tradisi Agama
Pesan-pesan untuk melintas batas tradisi keagamaan dalam Monsieur Ibrahim
terlihat pada beberapa adegan yang mengisahkan perjalanan mereka ke gereja dan ke
masjid. Ibrahim mengajak Momo untuk membuka pikirannya (pour ouvrir le sens10)
dengan melakukan wisata spiritual dalam perjalanan mereka ke Turki yang dimulai
dari gereja Katolik, gereja Ortodoks, kemudian masjid, dan diakhiri dengan tarian
darwis yang menjadi kekhasan sufisme Naqsyabandi.
Ibrahim dan Momo bersama-sama membuka pikiran terhadap apa yang
dianggap asing bagi mereka. Ketika jalan untuk berdialog telah terbuka, maka
identitas menjadi sesuatu yang dapat terus menerus dinegosiasikan. Perbedaan dan
persamaan dapat didialogkan. Setelah berakhirnya wisata spiritual mereka, Momo
mengatakan “je me sens soulagé, il n’y a plus de haine dedans”11. Komentar Momo
9
Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001.
Untuk membuka indera.
11
Aku merasa lega, tidak ada lagi kebencian di dalam diriku.
10
12
tersebut memperlihatkan optimisme terhadap semangat untuk melintasi batas tradisi
dan menemukan kedamaian dengan cara tersebut.
Monsieur Ibrahim menekankan pentingnya spiritualitas sebagai aktifitas
pengenalan Tuhan. Setiap agama memiliki tradisi dan kultus untuk meningkatkan
spiritualitas. Oleh karena semua agama membicarakan hal yang sama dalam
spiritualitas, maka melintasi tradisi agama untuk mengenal Tuhan diperkenalkan
dalam Monsieur Ibrahim sebagai wacana yang dapat menjadi jalan mempertemukan
perbedaan dan menghasilkan perdamaian.
Melintasi tradisi agama bukan berarti berpindah agama. Hal itu menjadi titik
tekan dalam Monsieur Ibrahim. Konversi Momo ke Islam tetap menjadi tanda tanya,
hingga film berakhir, karena bukan konversi atau ekspansi agama yang penting untuk
mempromosikan perdamaian, akan tetapi upayanya untuk membuka akal dan
memahami Tuhan melalui tradisi sufisme Islam, hingga berhasil membawanya ke
kedamaian. Dalam salah satu adegan di Turki, setelah menikmati tarian darwis
bersama Ibrahim, Momo mampu merasakan bahwa “Ma tête s’est vidée… Toute ma
haine… C’est ça prier?” (Pikiran saya kosong… Semua kebencian saya… Apakah
berdoa seperti itu?). Sambil mengatakan hal tersebut, Momo berbicara seperti
merenung dan berjalan di samping Ibrahim yang mendengarkannya sambil
tersenyum. Kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh Momo memang tidak lengkap
namun dari nada bicara yang sedikit heran dan bingung dapat disimpulkan bahwa ia
merasakan perubahan dalam dirinya dan pertanyaannya kepada Ibrahim “apakah
berdoa seperti itu?” menunjukkan betapa pengalaman itu sangat baru dan
mengherankan baginya. Hal itu menunjukkan bahwa wisata spiritual dapat menjadi
sebuah gagasan yang optimistik dalam mempromosikan kedamaian dan perdamaian.
c. Sufisme sebagai Tradisi Spiritual dalam Islam
Monsieur Ibrahim mengangkat masalah spiritualitas agama sebagai wacana
dominan dan meminggirkan wacana hukum dalam agama. Hal itu terlihat pada
perenungan Momo tentang legalisme dan sufisme. Sufisme dalam definisi yang ia
baca adalah “courant mystique de l’Islam de 8e siècle, opposé au légalisme. Il met
l’accent sur la réligion intérieure”12. Selanjutnya definisi legalisme yang ia baca
adalah “soucis de la respect à la loi”13. Dalam perenungannya, Momo berpikir
12
13
Aliran mistik dalam Islam yang berkembang sejak abad ke-8 yang menekankan pada kultus batin.
Aliran yang menghormati kesempurnaan syariat agama.
13
Ibrahim mewakili sufisme sedangkan ayahnya mewakili legalisme. Ia mengatakan
dalam pikirannya (melalui voice-off),”Ça veut dire qu’il oppose à la loi, qu’il n’est
pas toujours honnête. Si respecter la loi c’est comme lui, c’est trop triste”14, sambil
melihat ayahnya yang sedang membaca koran dari belakang. “Je préfères contre
légalisme. Réligion intérieure… C’est ennuyeux le dictionnaire, il y a toujours un
mot qu’on ne comprends pas. Réligion intérieure…”15 Ia menyimpulkan bahwa lebih
baik memilih sufisme daripada legalisme. Cara berpikir Momo yang naif tersebut
dapat dikatakan sebagai kritik terhadap legalisme agama yang dalam praktiknya
kerap kali kaku dan menimbulkan rasa takut. Perenungan Momo tersebut
menegaskan keanehan Ibrahim yang di sepanjang film ditampilkan hanya sekali
sedang berdoa ketika ia berada di masjid di Turki. Monsieur Ibrahim
merepresentasikan agama tidak dari aspek formal agama dengan ritus-ritus ibadah
sehari-hari dan cara berpakaian, namun dari aspek spiritual, yaitu cara yang
dilakukan oleh seorang penganut agama (dalam hal ini Ibrahim) untuk
menghidupkan keyakinannya terhadap Tuhan dalam kesehariannya. Hal itu
menjadikan Monsieur Ibrahim memasuki wilayah esoteris agama16.
Ibrahim tidak pernah mempermasalahkan perbedaan keyakinan antara dirinya
dan Momo, karena ia tahu bahwa pada tingkat formal, perbedaan itu dapat menjadi
sumber perselisihan. Ia membicarakan hal-hal yang dapat mereka alami bersama
tanpa pretensi seperti mengajarkan tentang senyum, kebersamaan, keindahan, dan
cinta. Ia tidak pernah menggunakan ayat-ayat Al Qur’an secara harafiah untuk
membicarakan hal-hal tersebut kepada Momo. Ia menyampaikan makna-makna yang
ia pahami dari Al Qur’an. Tentang senyum ia mengatakan pada Momo,”C’est sourire
qui te rends heureux”17. Pada bagian lain ia mengatakan,” La beauté, elle est partout,
où tu regards, ça s’est dans mon Coran”18. Sementara tentang cinta, Ibrahim
menjelaskan tentang pentingnya arti memberi dalam cinta,”Ce que tu donnes, c’est à
toi pour toujours. Ce que tu gardes, ce serait disparu pour toujours”19. Ia juga
membicarakan tentang memahami hidup dan mendapatkan kebahagiaan dan
14
Berarti dia (Ibrahim) berlawanan dengan syariat agama, dia tidak selalu jujur. Jika menghormati
syariat berarti seperti dia (ayah Momo), itu terlalu menyedihkan.
15
Saya lebih suka bertentangan dengan legalisme. Kultus batin... Kamus memang menyebalkan, selalu
ada kata yang tak dimengerti. Kultus batin...
16
Dalam kajian saya yang lain tentang aspek sinematografi film MI yaitu teknik pemilihan sound yang
menimbulkan kesan misterius pada tokoh Ibrahim sangat mendukung nuansa penuh teka-teki dalam
film Monsieur Ibrahim (lihat tesis Rosida Erowati di sub bab 3.2.1)
17
Senyuman-lah yang akan membuatmu bahagia.
18
Keindahan itu ada dimana-mana, dimanapun kamu memandang, itu ada dalam Al Qur’an-ku.
19
Apa yang kau berikan menjadi milikmu selamanya. Apa yang kau simpan akan hilang selama-nya.
14
kedamaian dalam hidup. Sekali lagi, dalam hal pelajaran-pelajaran tersebut, Ibrahim
harus diposisikan sebagai seorang penganut agama yang menghayati agamanya. Hal
itulah yang menyebabkan ia dapat menarik pelajaran dan makna dari ajaran-ajaran
agamanya. Baginya, agama bukan sebuah keharusan, namun sebuah kebutuhan yang
perlu dipenuhi.
Di dalam Islam sendiri, sufisme merupakan kecenderungan keagamaan yang
pinggiran jika dibandingkan dengan tradisional dan salafi 20. Sufisme dibicarakan
dalam Monsieur Ibrahim sebagai bagian dari kecenderungan keagamaan yang dipilih
oleh si tokoh utama, Ibrahim. Kecenderungan tersebut dikenal secara luas tapi tidak
terlalu populer di kalangan Muslim, dalam artian tidak dipraktikkan oleh sebagian
besar kaum Muslim21. Pemilihan sufisme sebagai bagian dari karakter tokoh utama
tersebut sangat menarik dalam kaitannya dengan kondisi multikultur.
Pemilihan judul Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran juga dapat
dikaitkan dengan pemilihan tradisi sufisme dalam film ini. Sebagai sebuah praktik
penghayatan terhadap Islam, sufisme mengangkat simbol-simbol alam sebagai
bagian dari analogi untuk menggambarkan cinta kepada Tuhan. Sufi-sufi terkenal
seperti Al Hallaj dan Rumi menggunakan simbol-simbol alam dalam puisi-puisi
sufistik mereka. Les Fleurs du Coran atau bunga-bunga Al Qur’an dapat dimaknai
secara referensial sebagai ayat-ayat Al Qur’an. Penggunaan metafor bunga-bunga
menunjukkan perbandingan antara Al Qur’an sebagai kitab suci dengan alam. Bunga
secara umum memiliki konotasi keindahan, keharuman dan kecantikan. Ketiga
konotasi tersebut inheren dalam film Monsieur Ibrahim yang sebagaimana dijelaskan
sebelumnya membicarakan aspek esoteris dari agama. Monsieur Ibrahim berbicara
tentang senyum sebagai sumber kebahagiaan, keindahan dalam semua aspek
kehidupan dan sensitifitas inderawi yang bukan hanya penciuman, tetapi juga
pendengaran. Konotasi-konotasi tersebut juga muncul dalam mise-en-scene yaitu
melalui pemilihan gambar bunga serta langit dan panorama alam. Pemilihanpemilihan tersebut membentuk pemaknaan tertentu terhadap les fleurs du Coran
yang dimaksudkan dalam film. Bunga-bunga Al Qur’an adalah pemaknaan metaforis
20
Lihat h. 24-28 tentang pembagian kecenderungan keagamaan dalam Islam (scholastic traditionalism, salafi literalism, salafi reformism, political literalist salafism, liberal reformism dan sufism)
dalam Tariq Ramadhan, Western Muslims and the Future of Islam terbitan Oxford University Press
(2004). Pembagian tersebut didasarkan pada cara masing-masing aliran mendekati Teks (Al Qur’an).
21
Idem, h.28, Ramadhan memperlihatkan bahwa sufisme di kalangan Muslim berkembang melalui
kelompok-kelompok persaudaraan internasional berdasarkan aliran-aliran tarikat yang ada dalam
sufisme seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Shadiliyyah.
15
terhadap sifat Al Qur’an sebagai kitab yang memberi petunjuk dan kebijakan hidup
kepada para penganutnya. Jika dipahami dan dihayati secara mendalam, maka para
penganutnya dapat merasakan dan menghayati Al Qur’an seperti merasakan dan
menikmati harum dan indahnya bunga-bunga.
Pemilihan seorang sufi sebagai tokoh utama Monsieur Ibrahim menegaskan
ideologi
dalam
film
yang
mengangkat
marjinalitas.
Monsieur
Ibrahim
mendemokratisasi marjinalitas tradisi sufi, membuat sufi dapat dinikmati oleh lebih
banyak orang melalui media film. Dengan menampilkan sufi, Monsieur Ibrahim
melepaskan kegarangan wajah Islam yang direpresentasikan dalam film-film Barat
pasca WTC dan mempromosikan tradisi spiritual dalam Islam yang selama ini
terpinggirkan. Monsieur Ibrahim menunjukkan bahwa kebaikan agama dapat
dirasakan jika agama digunakan untuk memahami Tuhan.
d. Sufisme dan Eksotisme Timur
Dalam penokohan, Monsieur Ibrahim mengikuti sebuah pola representasi
yang khas pandangan Perancis terhadap Islam, yaitu memandang agama yang dianut
M. Ibrahim bukan sekedar sebagai agama, namun juga sebuah jalan hidup ‘oriental’,
yang eksotik (Safran 1991: 33). Pola representasi tersebut khas jika dikaitkan dengan
orientalisme Barat. Ibrahim tidak ditampilkan sebagai seorang muslim yang
menjalankan agamanya secara kaku, namun secara fleksibel dan mempertimbangkan
konteks. Bias tersebut terlihat pada representasi Ibrahim sebagai seorang penganut
sufisme Turki yang unik, penuh misteri, tak terduga, dan memiliki daya tarik
eksotisme Timur. Ibrahim yang berkarakter eksotis (secara naratif) menyatu dengan
eksotisme pemerannya yaitu Omar Sharif.
Representasi Ibrahim lekat dengan ‘ketimuran’ bukan hanya ‘keislaman’.
Ibrahim ditampilkan lekat dengan kode budaya yang khas timur seperti menikmati
tarian darwis. Dikatakan khas timur karena jika Islam dipandang dari perspektif
normatif maka tarian darwis tidak terdapat pada berbagai literatur utama agama Islam
seperti Al-Qur’an dan Hadits. Maka dapat dikatakan bahwa tarian darwis merupakan
salah satu corak lokal keberagamaan di Turki.
Eksotisme dalam representasi agama dalam Monsieur Ibrahim dapat
dikaitkan dengan semangat New Age yang telah dijelaskan sebelumnya. Tampilnya
Islam dalam nuansa Timur mengukuhkan gagasan bahwa Islam merupakan bagian
dari agama-agama dunia yang dapat menjadi salah satu jalan menemukan kedamaian.
16
Melintas Batas: Wacana pada Masyarakat Urban
Pembahasan di atas yang terfokus pada masalah ruang dan spiritualitas dalam
konteks pinggiran dan pusat pada masyarakat urban Paris menunjukkan optimisme
untuk mempromosikan wacana lintas batas sebagai strategi untuk menghasilkan
identitas yang cair, fleksibel, dan inklusif. Wacana lintas batas dalam masyarakat
urban yang direpresentasikan dalam film Monsieur Ibrahim merupakan bagian dari
pengalaman masyarakat urban yang sangat lekat dengan perpindahan, fleksibilitas,
dan penemuan hal-hal baru yang dalam istilah Michel de Certeau disebut wandering
(berkelana)22.
Daftar Pustaka
Arkoun, M. 1984. Membedah pemikiran Islam. Diterjemahkan oleh Hidayatullah.
Bandung: Pustaka.
Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Capra, Fritjof. 2000. Titik balik peradaban: sains, masyarakat, dan kebangkitan
kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan
22
Dalam artikelnya “Walking in the City” (dalam During, 2003: 126-132), de Certeau
menggambarkan bagaimana tata kota Paris membuat orang-orang Paris terkadang memilih melewati
jalan yang berbeda-beda untuk menuju suatu tempat. Hal ini dilakukan lebih karena alasan
menemukan hal-hal baru.
17
Bentang Budaya.
De Certeau, Michel. 2003. “Walking in the City” dalam Cultural Studies Reader (2nd
edition) ed. Simon During. London: Routledge.
Gildea, Robert. 2002. France since 1945. New York: The Oxford University
Press.
Giles, Judy, dan Tim Middleton. 1999. Studying culture: A practical introduction.
London: Blackwell.
Hall, Stuart, ed. 1997. Representation: cultural representations and signifying
practices. London: Sage Publications dan The Open University.
Hargreaves, Alec C., dan Mark McKinney. 1997. Post-colonial cultures in
France. London: Routledge.
Hidayat, Komarudin dan Nafis, Muhammad Wahyudi. 2003. Agama Masa
Depan:Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Neusner, Jacob, Tamara Sonn dan Jonathan E. Brockopp. 2000. Judaism and
Islam in practice: a sourcebook. London: Routledge.
Ramadhan, Tariq. 2004. Western Muslims and the Future of Islam. New York:
Oxford University Press.
Safran, William. 1991. The french polity. 3rd ed. New York: Longman.
Silverman, Max. 1999. Facing Postmodernity: Contemporary French thought on
culture and society. London: Routledge.
Sukidi. 2001. New Age: wisata spiritual lintas agama. Jakarta: Gramedia.
Film:
Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (François Dupeyron)
Jurnal:
Cadence. Jurnal Pengajaran Bahasa, Budaya dan Sastra Prancis edisi 20/ Desember
2005.
18
“Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran”1
Oleh Rosida E. Irsyad
Beberapa waktu yang lalu, saya mempresentasikan hasil temuan tesis saya
dalam sebuah diskusi informal di Cak Tarno Institute yang dihadiri oleh rekan-rekan
dari berbagai kalangan. Saat itu, kami membicarakan politik kebudayaan pemerintah
Prancis yang direpresentasikan oleh film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran
(François Dupeyron, 2003). Di balik manisnya representasi perayaan keberagaman
yang ditawarkan oleh film tersebut yang oleh Joesana Tjahjani dalam salah satu
artikelnya disebut “Dongeng Negeri Multikultur”, ada berbagai bias yang menyertai
representasi tersebut. Dalam konteks politik kebudayaan Prancis, posisi film MI
berada pada kutub yang berpihak pada kondisi multikultur Prancis dan secara optimis
mempromosikan kondisi multikultur dan ideologi lintas batas sebagai salah satu
metode memahami keberagaman. Film MI secara manis memberikan alternatif lain
pada tampilan wajah Islam yang garang setelah peristiwa 11 September 2001. Pada
saat memulai pengerjaan tesis saya mengenai film ini, saya paling tertarik dengan
masalah strategi representasi dalam film tersebut dan juga ideologi yang melatari
representasi tersebut. Saya akan menyampaikan beberapa hasil analisis yang
menarik yang terkait dengan permasalahan yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Dalam makalah ini, saya menyoroti representasi kondisi multikultur pada
masyarakat urban Paris dalam film MI. Saya memilih membahas film ini terutama
karena wacana keberagamaan yang direpresentasikan di dalamnya. Walaupun para
pembuat film ini mengatakan bahwa film ini bukan film relijius, paling tidak secara
diskursif, masalah tersebut muncul. Lebih khas lagi, wacana keberagamaan tersebut
diramu dalam kisah yang menampilkan keragaman budaya. Keberagamaan dalam
keragaman, ini tema yang menarik hati bagi saya. Keragaman di dalam film
ditampilkan melalui representasi kelompok pinggiran. Kelompok pinggiran yang
saya maksudkan adalah agama Islam dan Yahudi, kaum imigran muslim dan kaum
Yahudi di tengah dominasi masyarakat Prancis-Katolik. Dalam analisis yang saya
lakukan terhadap film ini, saya melakukan analisis pada tingkat wacana dengan
melihat berbagai tema yang direpresentasikan, kemudian memposisikan wacana
1
Makalah ini dibuat untuk dipresentasikan dalam Konferensi Internasional Kesusastraan XVIII HISKI
pada bulan Agustus 2007.
1
tersebut secara biner dan menganalisis dialektika antara berbagai wacana untuk
membongkar berbagai ambiguitas yang muncul.
Film MI dianalisis dengan menggunakan kerangka teori kajian budaya, yaitu
representasi dan identitas yang cair. Pembahasan pertama tentang gambaran kondisi
multikultur akan memaparkan representasi ruang pada masyarakat urban dalam
perjalanan melintas batas dalam pengertian denotatif juga simbolik. Di dalam
Monsieur Ibrahim, permasalahan-permasalahan tersebut muncul secara dinamis
melalui aspek sinematografis dan dialog tokoh-tokohnya. Kedua adalah pembahasan
mengenai representasi agama dan spiritualitas yang akan memaparkan pandangan
keberagamaan
tokoh-tokoh
yang
ditampilkan
dalam
Monsieur
Ibrahim.
Permasalahan ruang dan spiritualitas urban ini akhirnya menjadi salah satu pilihan
strategis untuk menampilkan kondisi multikultur dalam MI.
Gambaran Kondisi Multikultur: Pusat dan Pinggiran
Monsieur Ibrahim merupakan sebuah representasi budaya yang berupa kisahkisah hidup seseorang (personal life narratives), dalam hal ini Moïse Schmitt atau
Momo- sang tokoh utama, yang ditampilkan dalam media film cerita. Sebagai sebuah
representasi, kisah hidup Momo merupakan salah satu cara untuk membentuk “selfdefinitions” dan identitas (Giles dan Middleton, 1999: 55). Apa yang ditampilkan di
dalam film ini merupakan sebuah dunia yang dilihat melalui pandangan seorang
Momo, remaja Yahudi-Prancis yang tinggal di kawasan urban di pinggiran Paris.
Kondisi multikultur yang ditampilkan merupakan gambaran yang terikat pada
kerangka berpikir Momo terhadap dunia.
Representasi keadaan multikultur ditampilkan dalam pencitraan yang
mewakili keragaman budaya. Keragaman etnisitas, agama, generasi, gender, dan
kelas berdialog dalam konteks hubungan dominan dan marjinal. Di awal film
diperdengarkan iringan musik yang seolah-olah keluar dari radio memperdengarkan
lagu dengan lirik “no matter, no matter what colour, why can’t we live together…”.
Pembukaan film tersebut memberikan sebuah pengantar yang cukup jelas untuk
mempersiapkan penonton memasuki cerita. Masih diiringi musik Why Can’t We Live
Together, adegan pertama yang muncul adalah seorang wanita kulit hitam berbaju
hijau toska berpolkadot dengan rambut pendek pirang mencolok, yang membeli satu
buket bunga mawar yang ditawarkan oleh seorang lelaki penjual bunga. Dengan
dandanan yang mencolok dan sikap yang selalu mengerling dan menggoda para
2
lelaki yang lewat, wanita tersebut adalah salah seorang penjaja cinta di daerah rue
Bleu (gambar 1). Di latar belakang terlihat seorang anak lelaki (Momo) mengenakan
kaos singlet putih dan celana panjang hitam tengah memperhatikan aktifitas pelacur
berkulit hitam itu dan rekan-rekannya dari teras kamarnya yang terletak berhadapan
di seberang jalan. Adegan pembuka itu berlangsung sekitar 1 menit sebelum
kemunculan judul Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran. Sejak awal, penonton
sudah dipersiapkan untuk menikmati film yang akan menampilkan suatu kelompok
masyarakat yang khusus dengan perbedaan kultural yang khas. Lagu pembuka Why
Can’t We Live Together muncul secara nondiegetik sebagai lagu tematik film ini.
Di sebuah adegan yang lain, Momo melakukan pengutilan di toko milik
seorang Arab, Ibrahim Dermidji. Dia menganggap si orang Arab pantas dicuri
barangnya. Momo merasa dirinya sebagai orang Prancis yang memiliki kekuasaan
untuk berbuat sekehendaknya terhadap etnis minoritas. Pada situasi tersebut,
prasangka rasial terhadap orang Arab ditampilkan. Setelah menyimpan barang yang
ia curi di kantongnya, sambil mengatakan pada dirinya sendiri melalui suara
internal,”Je m’en fous, c’est un Arabe, un Arabe, un Arabe. S’il n’était pas, ce sera
pareil” (Aku tak peduli, dia orang Arab, orang Arab, orang Arab. Kalaupun dia bukan
Arab, sama saja), Momo menghampiri Ibrahim untuk membayar sebagian barang
yang ia ambil. Ia memandang Ibrahim dengan tajam, tanpa menunjukkan rasa takut.
Hanya karena disangka Arab maka Ibrahim pantas dijadikan sasaran tindakan Momo
yang melanggar hukum.
Sejak awal, Monsieur Ibrahim mengangkat permasalahan-permasalahan
kelompok marjinal dan mengisahkan tokoh-tokoh yang secara sosial politis dan
sosial budaya adalah marjinal. Ibrahim adalah seorang tokoh keturunan Turki
beragama Islam, sementara Momo adalah seorang remaja Prancis Yahudi. Keduanya
merupakan representasi dari kelompok marjinal di Perancis yang didominasi oleh
budaya Katolik. Tokoh-tokoh lain yang dimunculkan juga mewakili kelompok
terpinggirkan tersebut, misalnya pelacur sebagai kelompok perempuan yang marjinal
dalam wacana moral.
Ruang Pinggiran dan Pusat pada Masyarakat Urban Paris
Kondisi
multikultur
yang
ditampilkan
dalam
Monsieur
Ibrahim
mengemukakan tentang pentingnya ruang dalam representasi multikultur pada
masyarakat urban. Monsieur Ibrahim menggambarkan ruang yang beragam dan
3
membentang mulai daerah yang sangat kecil di rue Bleu kemudian lebih besar, yaitu
Paris, dan keluar dari Prancis, yaitu Italia, Swiss, Yunani, Albania, dan Turki,
kemudian ke tempat yang sangat terpencil dan jauh, yaitu desa Ibrahim, akhirnya
kembali ke rue Bleu. Monsieur Ibrahim juga menampilkan ruang privat dan publik
secara bergantian. Pergerakan tokoh-tokoh dari satu ruang ke ruang lain memiliki
makna yang penting.
a. Perjalanan Kembali ke Asal: Tradisi Multikultur
Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo bertujuan untuk kembali
ke tanah asal Ibrahim yang telah ia tinggalkan selama 15 tahun. Perjalanan kembali
itu merupakan representasi dari kondisi multikultur pada masyarakat urban. Kondisi
multikultur terjadi pada awalnya, karena perpindahan penduduk dari satu wilayah ke
wilayah lain dengan berbagai alasan berupa mendapatkan penghidupan yang lebih
baik, pengusiran, genocide, bencana alam, kolonisasi, dll. Perpindahan tersebut
terjadi secara berkelompok maupun per individu dan hasil dari perpindahan tersebut
adalah diaspora, yaitu menyebarnya orang-orang ke berbagai wilayah. Perpindahan
itu membuat demografi suatu wilayah berubah dan menciptakan kondisi-kondisi
yang sebelumnya telah dijelaskan sebagai melting pot/ salad bowl/ pluriculture
(Prancis). Akibat meninggalkan tanah kelahiran, maka salah satu praktik budaya
penting dalam kondisi multikultur pada masyarakat urban adalah perjalanan kembali
ke tanah kelahiran. Dalam tradisi banyak agama, perjalanan itu dimaknai sebagai
sesuatu yang sakral yang disebut dengan ziarah. Bagi para penganutnya, melakukan
ziarah merupakan bagian dari ritual yang wajib dilakukan sebagai wujud ketaatan
pada perintah Tuhan. Perjalanan kembali memiliki makna yang berbeda-beda
tergantung faktor yang mendorong terjadinya migrasi.
Dalam konteks Monsieur Ibrahim, perjalanan kembali ke tanah kelahiran
Ibrahim merupakan sebuah momen untuk membimbing Momo mengenal dirinya
sendiri dan mengenal budaya lain, yaitu budaya ayah angkatnya, Ibrahim. Bagi
Ibrahim sendiri, perjalanan kembali itu membawanya ke masa lalu yang telah lama ia
tinggalkan. Perjalanan tersebut bermakna nostalgia. Arti dari perjalanan kembali
tersebut sangat penting secara psikologis bagi orang-orang seperti Ibrahim yang
meninggalkan tanah kelahirannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Perjalanan kembali itu harus dirayakan dengan pertunjukan keberhasilan (eksibisi)
4
yang ditampilkan melalui mobil merah yang ia beli dari hasil tabungannya selama 15
tahun.
b. Barat sebagai Pusat dan Timur sebagai Pinggiran
Ruang Barat (Prancis, Swiss dan Yunani) dan Timur (Turki) dimanfaatkan
dengan sangat baik untuk menggambarkan wacana pusat dan pinggiran. Rue Bleu,
bagian distrik Yahudi, terletak di daerah pinggiran Paris. Paris adalah pusat
peradaban Prancis dan dikenal dengan berbagai kebesarannya sebagai salah satu
pusat peradaban Eropa. Perjalanan yang dilakukan oleh Ibrahim dan Momo
melanjutkan representasi pusat budaya, yaitu melalui Italia (pusat mode dunia),
Swiss (pusat keuangan dunia) dan Yunani (pusat peradaban Eropa di jaman
pertengahan yang hingga kini warisan budayanya masih terasa). Perjalanan mereka
melintasi ruang yang membentang dari Barat menuju Timur. Setelah itu, mereka
memasuki representasi pinggiran yaitu Albania (negara miskin di Asia Tengah yang
baru melepaskan diri dari Rusia) dan Turki (negara Asia Tengah yang hingga kini
masih memperjuangkan pengakuannya sebagai bagian dari Uni-Eropa) dan berakhir
di wilayah yang sangat terpencil, yaitu desa Ibrahim (tidak disebutkan nama
daerahnya).
Perjalanan melintasi batas tersebut sangat menarik dan simbolik. Arah
perjalanan dari Barat ke Timur, melintas pinggiran menuju pusat kemudian kembali
ke pinggiran. Perubahan ruang tersebut menjadi bermakna jika diinterpretasikan
dengan Barat dan Timur sebagai dua wilayah dan dua wacana. Perjalanan menuju
Timur dapat dikatakan representasi dari pergeseran paradigma Barat yang kini
semakin Oriental-friendly atau simpatik terhadap Timur. Timur yang dulu dianggap
sebagai pinggiran atau subordinat kini menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan
pemerintah, perusahaan, pengobatan, perjodohan, membangun rumah, cara
berhubungan seks, peruntungan sampai pada cara-cara untuk meningkatkan
konsentrasi dan kecerdasan sejak usia dini. Kini Timur menjadi sumber pengetahuan
yang sangat diperhitungkan. Timur bergerak dari pinggiran ke pusat 2. Perubahan
2
Karya Fritjof Capra (2000), The Tao of Physics, secara kritis analitis melihat bagaimana transformasi
budaya selanjutnya perlu didasarkan pada paradigma yang dinamis dan holistis. Dalam hal ini, ia
merujuk pada ajaran Tao. Capra percaya bahwa kekurangan pada paradima Cartesian-Newtonian
Barat yang mengutamakan rasio akan diimbangi oleh paradigma yin dan yang yang holistis (rasionalspiritual) dalam Tao. Karya Sukidi (2002) mendukung Capra dalam memperlihatkan ajaran-ajaran
spiritual Timur dan pagan dikonsumsi oleh Barat untuk mengimbangi kekeringan spiritual dan
degradasi moral Barat.
5
paradigma itu secara simbolis ditampilkan dalam Monsieur Ibrahim melalui
perjalanannya dari Barat ke Timur, dari pusat ke pinggiran.
Kini, perjalanan kembali dari Timur ke Barat, dari pinggiran ke pusat,
memiliki makna baru yang berbeda, yaitu Barat yang telah bersentuhan dengan
Timur. Monsieur Ibrahim menggambarkan bahwa perjalanan kembali Momo dari
Turki ke Paris diakhiri dengan pembacaan wasiat yang ia terima dari Ibrahim. Momo
kembali menghadapi keseharian di negerinya sendiri yang individualis dan
birokratis3. Ia menerima surat wasiat Ibrahim yang isinya meninggalkan seluruh
hartanya kepada Momo sebagai anak angkatnya dan menitipkan Al Qur’an yang akan
mengajarkan segala sesuatu kepada Momo. Wasiat Ibrahim dapat diinterpretasikan
bahwa ia mewariskan kebijakan yang ia dapatkan dari kitab sucinya kepada Momo.
‘Je sais ce qu’il y a dans mon Coran’4 yang beberapa kali dikatakan Ibrahim secara
eksplisit merupakan kata kunci untuk memahami kebijakannya. Satu menit terakhir
dari Monsieur Ibrahim merupakan akhir yang sangat penting. Akhir sebuah film
mampu mengungkapkan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh para
penciptanya. Gambar 7 menunjukkan bahwa Momo remaja kini telah dewasa dan
bekerja menjaga toko Ibrahim yang diwariskan kepadanya. Ia juga bertemu dengan
seorang anak lelaki yang masih sangat muda dengan nama yang sama: Momo. Dan
Momo dewasa bertindak seperti Ibrahim dulu. Akhir cerita yang membuat alur
menjadi siklik dapat diinterpretasikan sebagai perjalanan kembali dari Timur ke
Barat. Perjalanan kembali itu secara simbolik menggambarkan hasil dari perjalanan
yang dilakukan oleh Momo yaitu seorang warga negara di benua Eropa yang
‘menjadi’ seorang Timur (dalam hal ini Turki) di dalam jiwanya. Ia seorang remaja
Eropa di permukaan (tampilan luar) yang mengalami perubahan paradigma di dalam
dirinya. Penekanan yang dilakukan oleh para pembuat Monsieur Ibrahim bukan pada
permasalahan perpindahan agama, karena informasi tentang perpindahan agama
Momo dari Yahudi ke Islam tidak ada di dalam film. Akan tetapi, akhir yang
membuat Momo ‘menjadi’ Ibrahim dengan menggunakan baju penjaga toko milik
Ibrahim, di toko yang sama, dengan pengaturan toko yang tidak berubah
mengesankan bahwa Ibrahim ‘terlahir kembali’ pada Momo dewasa.
3
Adegan ini memperlihatkan bahwa selama pembacaan wasiat terlihat si pengacara yang sibuk
menerima telpon dari ibunya sedangkan Momo menanti-nanti kapan akan dibacakan surat tersebut
sampai tuntas. Akhirnya ia mengambil surat tersebut dan membacanya sendiri.
4
Saya tahu apa yang ada di dalam Al Qur’an saya. (terj.)
6
Jika dikaitkan dengan wacana Barat-Timur, akhir alur yang siklis dapat
dimaknai bahwa perjalanan kembali Barat ke Timur menghasilkan Barat (di
permukaan atau di luar) yang ‘menjadi’ Timur (di dalam) dan bernuansa Timur.
Perjalanan kembali dari Timur ke Barat membuat Timur ‘terlahir kembali’. Akhir
alur yang bersifat siklis merupakan representasi dari luruhnya batas-batas pusat dan
pinggiran. Makna dari perjalanan melintas batas-batas adalah perjalanan pengetahuan
dan pengalaman dalam berbagai budaya yang berbeda untuk mendapatkan wawasan
diri yang lebih baik. Baik dalam konteks Momo-Ibrahim maupun dalam konteks
Barat-Timur, perjalanan ‘menjadi’ dengan cara mengetahui dan mengalami budaya
yang lain bahkan yang pernah dianggap rendah oleh ‘yang memandang’ merupakan
perjalanan penemuan diri sendiri.
Perjalanan melintas batas itu hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang
yang bersedia mengadopsi pandangan hidup anti-esensialis dan inklusif yang akan
membantu para pelakunya lepas dari persangkaan budaya. Dalam konteks Monsieur
Ibrahim, perjalanan melintas batas mungkin dilakukan karena keduanya lepas
(melepaskan diri) dari hegemoni budaya komunal. Ibrahim adalah seorang TurkiMuslim yang hidup seorang diri, tidak memiliki komunitas yang membuatnya harus
melakukan negosiasi. Demikian pula dengan Momo yang melakukan tindakan yang
sangat berani dengan menolak kehadiran ibunya dan memilih bersama Ibrahim.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Muslim dan Yahudi di Prancis pada
umumnya hidup di ghetto dan distrik yang merupakan batas paling jelas dalam
pengkategorian identitas, sehingga budaya komunal masih terasa ketat. Baik Ibrahim
maupun Momo terlepas dari hegemoni budaya kelompoknya masing-masing. Mereka
adalah individu-individu yang ‘keluar’ dari kelompoknya dalam arti simbolis
maupun praktis. Dalam hal itu, mereka menjadi individualis yang tidak dipengaruhi
oleh budaya komunal.
Representasi ruang pusat dan pinggiran merupakan bagian penting dalam
mengkonstruksi kondisi multikultur dalam Monsieur Ibrahim. Hal itu tidak hanya
ditampilkan melalui perubahan ruang sebagai bagian dari framing dan mise en scene,
namun secara naratif memiliki makna penting untuk menyampaikan pesan tentang
perjalanan melintasi batas-batas ruang sosial dan wacana.
Representasi Agama dan Spiritualitas Urban
a. Islam dan Yahudi sebagai Agama Dunia
7
Dalam sejarah Prancis-Katolik, posisi Islam dan Yahudi adalah agama dan
kelompok minoritas agama yang marjinal. Secara konstitusional, semua orang punya
hak yang sama di depan hukum, namun dalam kenyataan sehari-hari, kelompok
minoritas tersebut merasakan perlakuan yang berbeda (Ramadhan, 2004: 715 dan
Silverman, 1999: 156). Kesamaan posisi marjinal keduanya ditampilkan dalam
Monsieur Ibrahim yang membuat film tersebut menjadi kisah tentang marjinalitas.
Representasi agama di dalam film diperlihatkan terutama melalui identitas
keagamaan para tokoh yaitu Momo yang Yahudi-Prancis dan Ibrahim yang MuslimTurki. Identitas tersebut juga ditampilkan melalui beberapa ungkapan Ibrahim berikut
ini.
Ibrahim: Je ne sais rien... Je sais juste ce qu’il y a dans mon Coran. Tu sais,
le début, c’est bien devient un professionel. Mais après, quand tu es le maître,
avec la complication des sentiments... Tu auras apprécié les novices.
Momo: Vous y allez, vous... À votre âge.
Ibrahim: Le ciel, il est à tout le monde, il n’est pas les affaires au mineur.
Ibrahim: Saya tidak tahu apa-apa... Saya hanya tahu apa yang ada di dalam
Al Qur’an saya. Kamu tahu, pada awalnya sangat bagus menjadi seorang
profesional. Tetapi setelah itu, ketika kamu memimpin, dengan keruwetan
perasaan... Kamu akan menghargai para pemula.
Momo: Anda juga menjadi begitu... Di usia Anda.
Ibrahim: Akhirat itu milik semua orang, itu bukan permasalahan sekelompok
orang saja.
Pada kutipan di atas terlihat beberapa kata yang terkait dengan agama seperti Coran
(Al Qur’an), les novices (para pemula) dan le ciel (akhirat). Dalam adegan di atas,
Momo dan Ibrahim tengah membicarakan tentang kehidupan profesional yang berat
dan akhirnya memiliki permasalahan spiritual. Ketika saatnya tiba, orang perlu mulai
memikirkan tentang hal-hal yang lebih abstrak dan berada di luar dirinya sendiri
yang diacu oleh Ibrahim dengan kata ‘le ciel’. Kata-kata yang mewakili agama
tersebut berurutan mulai dari yang khusus, yaitu Coran sebagai kitab suci umat
5
The fallout from political situations in Muslim countries and the active interests, and sometimes
manipulations, of governments cast a very negative light on Muslims living in the West and give rise
to a whole range of prejudices and preconceived ideas about Islam and Muslims. The consequence is
that laws, whose letter protects the rights of Muslims, are read, interpreted and used tendentiously
because of the atmosphere of suspicion and so become the “official” and legitimate justification for
obvious acts of discrimination.[…] Well before 11 September 2001 and the outrages in the United
States, Muslims were already experiencing every day the reality of suspicion and discrimination.
6
Jew and Judaism are perceived as ‘other’ to ‘Christian Europe’, ‘other’ to rationality, logocentrism
and the law, and ‘other’ to the autonomous and self-constituted self at the heart of Western ‘Hellenic’
humanistic philosophy.
8
Islam, kemudian les novices yang lebih jamak digunakan untuk mengacu pada para
calon pendeta Kristen, dan terakhir le ciel yang mengacu pada sebuah konsep yang
lebih umum dan awam tentang agama, yang merupakan representasi dari hal-hal
yang terkait dengan Tuhan.
Dalam adegan lain, Ibrahim membicarakan tentang peranan Tuhan dalam
kehidupan. Ia mengatakan pada Momo bahwa “Si Dieu veut te révéler la vie, Il n’a
pas besoin d’un livre”. Dalam hal ini, ia mengacu pada keinginan Momo, seorang
Yahudi, untuk membaca Al Qur’an. Bagi Ibrahim, permasalahannya bukan pada ia
membaca atau tidak membaca kitab suci tersebut, namun pada sifat ketuhanan sendiri
yang akan membukakan petunjuk pada siapa pun yang dikehendaki.
Kutipan berikut ini memperlihatkan tentang kesamaan antara kedua agama
yang dialami oleh Momo yaitu tentang permasalahan penyunatan.
Momo: Moi aussi, vous êtes circoncis.
Ibrahim: Les musulmans, comme les juives.
Momo: Donc, vous pourriez être un juif.
Ibrahim: C’est ma main, c’est ma bouche.
Momo: Je comprends pas.
Ibrahim: Peut être tu comprendrais avec ta tête.
Momo: Seperti saya, Anda juga disunat.
Ibrahim: Muslim sama dengan Yahudi.
Momo: Kalau begitu, Anda bisa menjadi seorang Yahudi.
Ibrahim: Ini tangan saya, ini mulut saya.
Momo: Saya tidak mengerti.
Ibrahim: Mungkin kelak kamu akan memahaminya dengan pikiranmu.
Dalam hal praktik ibadah, kedua agama mengenal beberapa praktik yang sama, yang
salah satunya adalah penyunatan bagi lelaki. Neusner, Sonn dan Brockopp (2000)
menunjukkan bahwa kesamaan praktik tersebut juga terdapat dalam masalah berdoa,
memberikan
sumbangan,
perkawinan,
perceraian,
berzakat,
dan
berpuasa.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim, bahwa orang Muslim juga seperti Yahudi.
Ketika Momo menyatakan bahwa Ibrahim juga dapat menjadi Yahudi karena
kesamaan tersebut, jawaban Ibrahim adalah ‘ini tanganku, ini mulutku’. Ungkapan
itu menunjukkan bahwa permasalahan agama merupakan sebuah pilihan individu.
Melihat persamaan dua agama, Islam dan Yahudi, merupakan langkah yang
sangat penting dalam memahami kondisi multikultur dalam film Monsieur Ibrahim.
Kedua agama tersebut memiliki hubungan yang buruk dalam sejarah masing-masing,
dipenuhi oleh kisah-kisah pengkhianatan, pembunuhan, dan agresi wilayah. Dalam
9
naratif besar Islam, Yahudi adalah kelompok yang di’kisah’kan sebagai kaum yang
mengkhianati perjanjian dengan Tuhan, mengkhianati perjanjian dengan nabi-nabi,
dan yang masih sangat relevan adalah mengkhianati perjanjian perdamaian dengan
bangsa-bangsa mayoritas Muslim di dunia masa kini. Stigma itu melekat erat pada
Yahudi dan Yudaisme. Bagi kaum muslim, menghilangkan stigma tersebut sangat
sulit, karena telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif dan kesejarahan. Upaya
menampilkan persahabatan antara dua pemeluk agama tersebut dalam Monsieur
Ibrahim merupakan langkah untuk melintasi batas-batas tradisi yang berakar dari
prasangka historis pada kedua agama.
Adegan lain yang memperlihatkan representasi agama dan menguatkan lintas
batas-batas tradisi adalah perjalanan Momo dan Ibrahim ke tempat-tempat ibadah
umat beragama yang lain, yaitu Kristen dan Islam. Perjalanan tersebut merupakan
perjalanan untuk membentuk wawasan Momo terhadap dunia yang berada di luar
dirinya dan rue Bleu. Adegan ini menunjukkan bahwa dalam film ini, representasi
agama ditampilkan selain melalui Islam dan Yahudi juga melalui Kristen Ortodox
dan Katolik. Wawasan Momo tentang agama-agama lain dibuka oleh Ibrahim melalui
sensitifitas inderawi, yaitu mendengarkan dan mencium bau. Pendekatan Ibrahim
memperkenalkan agama-agama bukan melalui logika dan argumentasi, sehingga
dalam representasinya, agama dapat dimaknai sebagai bagian dari kehidupan yang
dapat dirasakan, sama seperti merasakan tarian atau dansa (melalui pendengaran dan
gerakan), atau mencium bau. Agama direpresentasikan sebagai sesuatu yang empiris
dan praktis, bukan sebagai abstraksi kata-kata yang sukar dipahami melalui buku dan
kitab-kitab suci. Cara Ibrahim memandang agama sebagai sebuah penghayatan
sejalan dengan pandangan seorang pemikir Islam dari Prancis, Mohammad Arkoun,
yang mempopulerkan pengkajian kembali terhadap teks-teks suci agama Islam,
menggunakan metode yang lebih progresif agar Islam selalu sejalan dengan
perkembangan jaman. Ia mengatakan bahwa „semua penyelidikan diarahkan untuk
Islam yang dihayati, bukan Islam yang ditulis“ (2000: x).
Upaya
melintas
batas tradisi melalui penghayatan
agama tersebut
berlandaskan pada suatu gagasan bahwa semua agama di dunia melakukan pemujaan
terhadap satu Tuhan. Tuhan yang dimaksudkan adalah Tuhan yang sama, namun
disebut secara berbeda dan dipersepsi secara berbeda, sehingga jalan pemujaannya
pun berbeda. Tuhan diterima oleh setiap kelompok di suatu jaman berdasarkan
konsepsi yang khusus pada jaman tersebut. Oleh sebab itu, konsep Tuhan adalah
10
konsep yang selalu kontekstual dan fleksibel, karena ia selalu terikat pada ruang dan
waktu (Armstrong, 2001:20). Tuhan Yahudi dan Tuhan Islam adalah Tuhan yang
sama, namun Tuhan dipersepsi oleh orang Yahudi sebagai Tuhan yang terlibat dalam
kehidupan keseharian mereka, ikut serta dalam berbagai peristiwa yang dialami oleh
bangsa Israel (Armstrong, 2001:40). Sementara Tuhan orang Islam (yang ditampilkan
oleh Al Qur’an) adalah Tuhan yang Satu, yang transenden, tidak langsung
menyentuh, dan terlibat dalam realita kehidupan, namun selalu ada (Armstrong,
2001:203). Perbedaan persepsi tentang Tuhan tersebut memunculkan perbedaan
dalam cara memuja Tuhan.
Menarik untuk dipertimbangkan bahwa Monsieur Ibrahim mengambil latar
waktu cerita berkisar antara tahun 1960-an hingga 1990-an. Periode tersebut
merupakan masa perubahan paradigma yang sangat signifikan dalam cara masyarakat
Barat mempersepsi agama. Representasi agama yang ditampilkan oleh Monsieur
Ibrahim memperlihatkan kontekstualitas yang sejalan dengan laju perkembangan
jaman. Perspektif baru yang memunculkan wacana melintas batas tradisi masingmasing agama berkembang seiring pemikiran Barat yang semakin simpatik terhadap
ajaran-ajaran Timur dan ajaran-ajaran tradisional yang mengajak manusia mengenal
Tuhan. Sejak tahun 1960-an, wacana tersebut dipopulerkan melalui kelompokkelompok studi yang membicarakan tentang Pencerahan yang didapat melalui
eksplorasi terhadap Tuhan. Popularitas wacana tentang Pencerahan tersebut bergaung
dengan munculnya istilah New Age7 (Sukidi, 2001). Saat ini, gerakan-gerakan yang
mencerminkan semangat New Age tersebut dapat dijumpai sebagai bagian dari
spiritualitas urban8.
New Age mempopulerkan tradisi mistik dan mengetengahkan tradisi tersebut
dalam kerangka berpikir rasional bahwa akal dan hati memiliki satu tujuan, yaitu
mengenal Tuhan, mengenal diri sendiri. Penyatuan kembali antara akal dan intuisi
ketuhanan memasuki wacana yang semakin meluas, hingga ke permasalahan gender,
lingkungan, dan politik. Visi New Age adalah melintasi perbedaan-perbedaan untuk
7
Perkembangan New Age terkait erat dengan kemunculan aliran filsafat perennial yang
mempopulerkan gagasan bahwa semua agama di dunia bertujuan mendapatkan kebijaksanaan
(sophia). Lihat juga Emmanuel Wora, Perennialisme (2004) dan Komaruddin Nafis, Agama Masa
Depan (2003).
8
Dalam novel Sang Zahir, Paulo Coelho (Gramedia, 2006) menggambarkan kelompok-kelompok
subkultur di daerah urban Paris yang menghidupkan etno-religi dengan mengambil sumber religi
masyarakat nomad Azerbaijan, salah satu bekas negara bagian Rusia.
11
mengenal inti kemanusiaan. Melintasi batas-batas merupakan mentalitas penganut
New Age.
Kemunculan film Monsieur Ibrahim pada tahun 2003 dengan menampilkan
tokoh-tokoh Islam dan Yahudi, dan lebih spesifik lagi, wajah sufisme Islam. Gejalagejala tersebut dapat dikaitkan dengan gerakan New Age yang terus mempopulerkan
tradisi mistik agama-agama dan menguatkan asumsi bahwa tradisi spiritual dalam
agama baik monotheis maupun pagan, dapat menjadi kunci untuk menyatukan
agama-agama. Popularitas tradisi spiritual agama-agama monotheis di Prancis sendiri
diawali oleh seorang filosof muslim perennialis, yang juga seorang Prancis keturunan
Jerman dari Alsace, Fritjof Schuon. Secara akademis, uraian-uraian Schuon tentang
doktrin metafisika dalam agama-agama monotheis secara mengagumkan dapat
diterima oleh penganut semua agama yang ia bicarakan (Budhy Munawar-Rachman
dalam Hidayat dan Nafis, 2003: 27). Selanjutnya akademisi Prancis lain yang juga
mempopulerkan tradisi spiritual Islam di Prancis adalah René Guénon yang dianggap
sebagai salah satu akademisi penting dalam kajian Barat atas sufisme Islam. Dapat
disimpulkan bahwa film Monsieur Ibrahim dimungkinkan untuk diciptakan di
Prancis dengan membawa pesan tentang perdamaian dan dialog antar budaya, karena
adanya faktor-faktor eksternal secara budaya dan historis yang mendukung
penciptaan tersebut.
b. Wisata Spiritual9: Melintasi Tradisi Agama
Pesan-pesan untuk melintas batas tradisi keagamaan dalam Monsieur Ibrahim
terlihat pada beberapa adegan yang mengisahkan perjalanan mereka ke gereja dan ke
masjid. Ibrahim mengajak Momo untuk membuka pikirannya (pour ouvrir le sens10)
dengan melakukan wisata spiritual dalam perjalanan mereka ke Turki yang dimulai
dari gereja Katolik, gereja Ortodoks, kemudian masjid, dan diakhiri dengan tarian
darwis yang menjadi kekhasan sufisme Naqsyabandi.
Ibrahim dan Momo bersama-sama membuka pikiran terhadap apa yang
dianggap asing bagi mereka. Ketika jalan untuk berdialog telah terbuka, maka
identitas menjadi sesuatu yang dapat terus menerus dinegosiasikan. Perbedaan dan
persamaan dapat didialogkan. Setelah berakhirnya wisata spiritual mereka, Momo
mengatakan “je me sens soulagé, il n’y a plus de haine dedans”11. Komentar Momo
9
Sukidi, New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama, Jakarta: Gramedia, 2001.
Untuk membuka indera.
11
Aku merasa lega, tidak ada lagi kebencian di dalam diriku.
10
12
tersebut memperlihatkan optimisme terhadap semangat untuk melintasi batas tradisi
dan menemukan kedamaian dengan cara tersebut.
Monsieur Ibrahim menekankan pentingnya spiritualitas sebagai aktifitas
pengenalan Tuhan. Setiap agama memiliki tradisi dan kultus untuk meningkatkan
spiritualitas. Oleh karena semua agama membicarakan hal yang sama dalam
spiritualitas, maka melintasi tradisi agama untuk mengenal Tuhan diperkenalkan
dalam Monsieur Ibrahim sebagai wacana yang dapat menjadi jalan mempertemukan
perbedaan dan menghasilkan perdamaian.
Melintasi tradisi agama bukan berarti berpindah agama. Hal itu menjadi titik
tekan dalam Monsieur Ibrahim. Konversi Momo ke Islam tetap menjadi tanda tanya,
hingga film berakhir, karena bukan konversi atau ekspansi agama yang penting untuk
mempromosikan perdamaian, akan tetapi upayanya untuk membuka akal dan
memahami Tuhan melalui tradisi sufisme Islam, hingga berhasil membawanya ke
kedamaian. Dalam salah satu adegan di Turki, setelah menikmati tarian darwis
bersama Ibrahim, Momo mampu merasakan bahwa “Ma tête s’est vidée… Toute ma
haine… C’est ça prier?” (Pikiran saya kosong… Semua kebencian saya… Apakah
berdoa seperti itu?). Sambil mengatakan hal tersebut, Momo berbicara seperti
merenung dan berjalan di samping Ibrahim yang mendengarkannya sambil
tersenyum. Kalimat-kalimat yang diungkapkan oleh Momo memang tidak lengkap
namun dari nada bicara yang sedikit heran dan bingung dapat disimpulkan bahwa ia
merasakan perubahan dalam dirinya dan pertanyaannya kepada Ibrahim “apakah
berdoa seperti itu?” menunjukkan betapa pengalaman itu sangat baru dan
mengherankan baginya. Hal itu menunjukkan bahwa wisata spiritual dapat menjadi
sebuah gagasan yang optimistik dalam mempromosikan kedamaian dan perdamaian.
c. Sufisme sebagai Tradisi Spiritual dalam Islam
Monsieur Ibrahim mengangkat masalah spiritualitas agama sebagai wacana
dominan dan meminggirkan wacana hukum dalam agama. Hal itu terlihat pada
perenungan Momo tentang legalisme dan sufisme. Sufisme dalam definisi yang ia
baca adalah “courant mystique de l’Islam de 8e siècle, opposé au légalisme. Il met
l’accent sur la réligion intérieure”12. Selanjutnya definisi legalisme yang ia baca
adalah “soucis de la respect à la loi”13. Dalam perenungannya, Momo berpikir
12
13
Aliran mistik dalam Islam yang berkembang sejak abad ke-8 yang menekankan pada kultus batin.
Aliran yang menghormati kesempurnaan syariat agama.
13
Ibrahim mewakili sufisme sedangkan ayahnya mewakili legalisme. Ia mengatakan
dalam pikirannya (melalui voice-off),”Ça veut dire qu’il oppose à la loi, qu’il n’est
pas toujours honnête. Si respecter la loi c’est comme lui, c’est trop triste”14, sambil
melihat ayahnya yang sedang membaca koran dari belakang. “Je préfères contre
légalisme. Réligion intérieure… C’est ennuyeux le dictionnaire, il y a toujours un
mot qu’on ne comprends pas. Réligion intérieure…”15 Ia menyimpulkan bahwa lebih
baik memilih sufisme daripada legalisme. Cara berpikir Momo yang naif tersebut
dapat dikatakan sebagai kritik terhadap legalisme agama yang dalam praktiknya
kerap kali kaku dan menimbulkan rasa takut. Perenungan Momo tersebut
menegaskan keanehan Ibrahim yang di sepanjang film ditampilkan hanya sekali
sedang berdoa ketika ia berada di masjid di Turki. Monsieur Ibrahim
merepresentasikan agama tidak dari aspek formal agama dengan ritus-ritus ibadah
sehari-hari dan cara berpakaian, namun dari aspek spiritual, yaitu cara yang
dilakukan oleh seorang penganut agama (dalam hal ini Ibrahim) untuk
menghidupkan keyakinannya terhadap Tuhan dalam kesehariannya. Hal itu
menjadikan Monsieur Ibrahim memasuki wilayah esoteris agama16.
Ibrahim tidak pernah mempermasalahkan perbedaan keyakinan antara dirinya
dan Momo, karena ia tahu bahwa pada tingkat formal, perbedaan itu dapat menjadi
sumber perselisihan. Ia membicarakan hal-hal yang dapat mereka alami bersama
tanpa pretensi seperti mengajarkan tentang senyum, kebersamaan, keindahan, dan
cinta. Ia tidak pernah menggunakan ayat-ayat Al Qur’an secara harafiah untuk
membicarakan hal-hal tersebut kepada Momo. Ia menyampaikan makna-makna yang
ia pahami dari Al Qur’an. Tentang senyum ia mengatakan pada Momo,”C’est sourire
qui te rends heureux”17. Pada bagian lain ia mengatakan,” La beauté, elle est partout,
où tu regards, ça s’est dans mon Coran”18. Sementara tentang cinta, Ibrahim
menjelaskan tentang pentingnya arti memberi dalam cinta,”Ce que tu donnes, c’est à
toi pour toujours. Ce que tu gardes, ce serait disparu pour toujours”19. Ia juga
membicarakan tentang memahami hidup dan mendapatkan kebahagiaan dan
14
Berarti dia (Ibrahim) berlawanan dengan syariat agama, dia tidak selalu jujur. Jika menghormati
syariat berarti seperti dia (ayah Momo), itu terlalu menyedihkan.
15
Saya lebih suka bertentangan dengan legalisme. Kultus batin... Kamus memang menyebalkan, selalu
ada kata yang tak dimengerti. Kultus batin...
16
Dalam kajian saya yang lain tentang aspek sinematografi film MI yaitu teknik pemilihan sound yang
menimbulkan kesan misterius pada tokoh Ibrahim sangat mendukung nuansa penuh teka-teki dalam
film Monsieur Ibrahim (lihat tesis Rosida Erowati di sub bab 3.2.1)
17
Senyuman-lah yang akan membuatmu bahagia.
18
Keindahan itu ada dimana-mana, dimanapun kamu memandang, itu ada dalam Al Qur’an-ku.
19
Apa yang kau berikan menjadi milikmu selamanya. Apa yang kau simpan akan hilang selama-nya.
14
kedamaian dalam hidup. Sekali lagi, dalam hal pelajaran-pelajaran tersebut, Ibrahim
harus diposisikan sebagai seorang penganut agama yang menghayati agamanya. Hal
itulah yang menyebabkan ia dapat menarik pelajaran dan makna dari ajaran-ajaran
agamanya. Baginya, agama bukan sebuah keharusan, namun sebuah kebutuhan yang
perlu dipenuhi.
Di dalam Islam sendiri, sufisme merupakan kecenderungan keagamaan yang
pinggiran jika dibandingkan dengan tradisional dan salafi 20. Sufisme dibicarakan
dalam Monsieur Ibrahim sebagai bagian dari kecenderungan keagamaan yang dipilih
oleh si tokoh utama, Ibrahim. Kecenderungan tersebut dikenal secara luas tapi tidak
terlalu populer di kalangan Muslim, dalam artian tidak dipraktikkan oleh sebagian
besar kaum Muslim21. Pemilihan sufisme sebagai bagian dari karakter tokoh utama
tersebut sangat menarik dalam kaitannya dengan kondisi multikultur.
Pemilihan judul Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran juga dapat
dikaitkan dengan pemilihan tradisi sufisme dalam film ini. Sebagai sebuah praktik
penghayatan terhadap Islam, sufisme mengangkat simbol-simbol alam sebagai
bagian dari analogi untuk menggambarkan cinta kepada Tuhan. Sufi-sufi terkenal
seperti Al Hallaj dan Rumi menggunakan simbol-simbol alam dalam puisi-puisi
sufistik mereka. Les Fleurs du Coran atau bunga-bunga Al Qur’an dapat dimaknai
secara referensial sebagai ayat-ayat Al Qur’an. Penggunaan metafor bunga-bunga
menunjukkan perbandingan antara Al Qur’an sebagai kitab suci dengan alam. Bunga
secara umum memiliki konotasi keindahan, keharuman dan kecantikan. Ketiga
konotasi tersebut inheren dalam film Monsieur Ibrahim yang sebagaimana dijelaskan
sebelumnya membicarakan aspek esoteris dari agama. Monsieur Ibrahim berbicara
tentang senyum sebagai sumber kebahagiaan, keindahan dalam semua aspek
kehidupan dan sensitifitas inderawi yang bukan hanya penciuman, tetapi juga
pendengaran. Konotasi-konotasi tersebut juga muncul dalam mise-en-scene yaitu
melalui pemilihan gambar bunga serta langit dan panorama alam. Pemilihanpemilihan tersebut membentuk pemaknaan tertentu terhadap les fleurs du Coran
yang dimaksudkan dalam film. Bunga-bunga Al Qur’an adalah pemaknaan metaforis
20
Lihat h. 24-28 tentang pembagian kecenderungan keagamaan dalam Islam (scholastic traditionalism, salafi literalism, salafi reformism, political literalist salafism, liberal reformism dan sufism)
dalam Tariq Ramadhan, Western Muslims and the Future of Islam terbitan Oxford University Press
(2004). Pembagian tersebut didasarkan pada cara masing-masing aliran mendekati Teks (Al Qur’an).
21
Idem, h.28, Ramadhan memperlihatkan bahwa sufisme di kalangan Muslim berkembang melalui
kelompok-kelompok persaudaraan internasional berdasarkan aliran-aliran tarikat yang ada dalam
sufisme seperti Naqsyabandiyah, Qadiriyah dan Shadiliyyah.
15
terhadap sifat Al Qur’an sebagai kitab yang memberi petunjuk dan kebijakan hidup
kepada para penganutnya. Jika dipahami dan dihayati secara mendalam, maka para
penganutnya dapat merasakan dan menghayati Al Qur’an seperti merasakan dan
menikmati harum dan indahnya bunga-bunga.
Pemilihan seorang sufi sebagai tokoh utama Monsieur Ibrahim menegaskan
ideologi
dalam
film
yang
mengangkat
marjinalitas.
Monsieur
Ibrahim
mendemokratisasi marjinalitas tradisi sufi, membuat sufi dapat dinikmati oleh lebih
banyak orang melalui media film. Dengan menampilkan sufi, Monsieur Ibrahim
melepaskan kegarangan wajah Islam yang direpresentasikan dalam film-film Barat
pasca WTC dan mempromosikan tradisi spiritual dalam Islam yang selama ini
terpinggirkan. Monsieur Ibrahim menunjukkan bahwa kebaikan agama dapat
dirasakan jika agama digunakan untuk memahami Tuhan.
d. Sufisme dan Eksotisme Timur
Dalam penokohan, Monsieur Ibrahim mengikuti sebuah pola representasi
yang khas pandangan Perancis terhadap Islam, yaitu memandang agama yang dianut
M. Ibrahim bukan sekedar sebagai agama, namun juga sebuah jalan hidup ‘oriental’,
yang eksotik (Safran 1991: 33). Pola representasi tersebut khas jika dikaitkan dengan
orientalisme Barat. Ibrahim tidak ditampilkan sebagai seorang muslim yang
menjalankan agamanya secara kaku, namun secara fleksibel dan mempertimbangkan
konteks. Bias tersebut terlihat pada representasi Ibrahim sebagai seorang penganut
sufisme Turki yang unik, penuh misteri, tak terduga, dan memiliki daya tarik
eksotisme Timur. Ibrahim yang berkarakter eksotis (secara naratif) menyatu dengan
eksotisme pemerannya yaitu Omar Sharif.
Representasi Ibrahim lekat dengan ‘ketimuran’ bukan hanya ‘keislaman’.
Ibrahim ditampilkan lekat dengan kode budaya yang khas timur seperti menikmati
tarian darwis. Dikatakan khas timur karena jika Islam dipandang dari perspektif
normatif maka tarian darwis tidak terdapat pada berbagai literatur utama agama Islam
seperti Al-Qur’an dan Hadits. Maka dapat dikatakan bahwa tarian darwis merupakan
salah satu corak lokal keberagamaan di Turki.
Eksotisme dalam representasi agama dalam Monsieur Ibrahim dapat
dikaitkan dengan semangat New Age yang telah dijelaskan sebelumnya. Tampilnya
Islam dalam nuansa Timur mengukuhkan gagasan bahwa Islam merupakan bagian
dari agama-agama dunia yang dapat menjadi salah satu jalan menemukan kedamaian.
16
Melintas Batas: Wacana pada Masyarakat Urban
Pembahasan di atas yang terfokus pada masalah ruang dan spiritualitas dalam
konteks pinggiran dan pusat pada masyarakat urban Paris menunjukkan optimisme
untuk mempromosikan wacana lintas batas sebagai strategi untuk menghasilkan
identitas yang cair, fleksibel, dan inklusif. Wacana lintas batas dalam masyarakat
urban yang direpresentasikan dalam film Monsieur Ibrahim merupakan bagian dari
pengalaman masyarakat urban yang sangat lekat dengan perpindahan, fleksibilitas,
dan penemuan hal-hal baru yang dalam istilah Michel de Certeau disebut wandering
(berkelana)22.
Daftar Pustaka
Arkoun, M. 1984. Membedah pemikiran Islam. Diterjemahkan oleh Hidayatullah.
Bandung: Pustaka.
Armstrong, Karen. 2001. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.
Capra, Fritjof. 2000. Titik balik peradaban: sains, masyarakat, dan kebangkitan
kebudayaan. Diterjemahkan oleh M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan
22
Dalam artikelnya “Walking in the City” (dalam During, 2003: 126-132), de Certeau
menggambarkan bagaimana tata kota Paris membuat orang-orang Paris terkadang memilih melewati
jalan yang berbeda-beda untuk menuju suatu tempat. Hal ini dilakukan lebih karena alasan
menemukan hal-hal baru.
17
Bentang Budaya.
De Certeau, Michel. 2003. “Walking in the City” dalam Cultural Studies Reader (2nd
edition) ed. Simon During. London: Routledge.
Gildea, Robert. 2002. France since 1945. New York: The Oxford University
Press.
Giles, Judy, dan Tim Middleton. 1999. Studying culture: A practical introduction.
London: Blackwell.
Hall, Stuart, ed. 1997. Representation: cultural representations and signifying
practices. London: Sage Publications dan The Open University.
Hargreaves, Alec C., dan Mark McKinney. 1997. Post-colonial cultures in
France. London: Routledge.
Hidayat, Komarudin dan Nafis, Muhammad Wahyudi. 2003. Agama Masa
Depan:Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Neusner, Jacob, Tamara Sonn dan Jonathan E. Brockopp. 2000. Judaism and
Islam in practice: a sourcebook. London: Routledge.
Ramadhan, Tariq. 2004. Western Muslims and the Future of Islam. New York:
Oxford University Press.
Safran, William. 1991. The french polity. 3rd ed. New York: Longman.
Silverman, Max. 1999. Facing Postmodernity: Contemporary French thought on
culture and society. London: Routledge.
Sukidi. 2001. New Age: wisata spiritual lintas agama. Jakarta: Gramedia.
Film:
Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran (François Dupeyron)
Jurnal:
Cadence. Jurnal Pengajaran Bahasa, Budaya dan Sastra Prancis edisi 20/ Desember
2005.
18