Peran Pendidikan dalam Pembangunan di In (1)

1

Peran Pendidikan dalam Pembangunan di Indonesia
A. Pendahuluan
Dunia telah memasuki era globalisasi yang syarat akan persaingan. Agar
mampu berperan dalam persaingan global, maka Indonesia harus terus
mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia yang dimiliki.
Peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus
dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses
pembangunan. Salah satu upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dapat
dilakukan dengan meningkatkan mutu pendidikan, karena pendidikan adalah
human invesment yang merupakan salah satu indikator penentu kualitas sumber
daya manusia yang ada di sebuah negara
Data dari UNESCO (2000) menunjukkan tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.
Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99
(1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Data lain menunjukkan hal yang sama,
menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi

Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic
Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia, dan masih
menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai
follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Data tersebut menunjukkan buruknya tingkat pendidikan di Indonesia serta
diperlukannya peningkatan mutu sumber daya manusia. Hal tersebut
menyebabkan pemerintah bersama dengan berbagai kalangan telah dan terus
berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan
pendidikan yang lebih bermutu antara lain melalui pengembangan dan perbaikan
kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan
pengadaan materi ajar, serta pemberian pendidikan dan pelatihan bagi guru. Tetapi
upaya pemerintah tersebut belum memberikan dampak yang signifikan dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Adapun permasalahan khusus dalam pendidikan
di Indonesia yaitu rendahnya sarana fisik, rendahnya kualitas guru, rendahnya
kesejahteraan guru, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, mahalnya biaya
pendidikan. Solusi yang tepat sangat dibutuhkan untuk memecahkan berbagai
masalah pendidikan tersebut, agar mutu pendidikan meningkat dan menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas sebagai pondasi Pembangunan Nasional


B. Isi

2

Secara konseptual pembangunan adalah segala upaya yang dilakukan secara
terencana dalam melakukan perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan
meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan
meningkatkan kualitas manusia. Perbaikan taraf hidup memerlukan prakondisi
infrastruktur, sarana dan prasarana yang semua ini dapat memberi pengaruh
terhadap peningkatan harkat dan martabat bangsa. Pembangunan nasional
seharusnya diarahkan untuk mencapai keberhasilan ini yakni peningkatan harkat
dan martabat bangsa (Ali, 2009).
Kondisi Indonesia yang baik secara geografis dan politis, seta posisi
geostrategik yang dapat menjadi modal besar dalam upaya pembangunan
nasional. Modal besar tersebut akan dapat digunakan secara efektif dan efisien
terutama jika dikelola secara bijak dan ditunjang oleh kemampuan yang tinggi
dari para pengelola dan rakyatnya. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa
kualitas sumber daya manusia memegang peranan yang penting dalam
mensejahterakan suatu bangsa. Peningkatan kualitas sumber daya manusia agar

menjadi negara yang makmur dapat dimulai dari membangun sumberdaya
manusia melalui pendidikan atau memegang prinsip education first, prosperity
follows (Ali, 2009).
Partisipasi masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan sangat penting.
Pembangunan tidak akan mencapai hasil yang optimal dan keberhasilan yang
dicapai tidak dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat secara merata tanpa
partisipasi aktif mereka. Meskipun demikian, dalam batasan-batasan tertentu
melibatkan partisipasi aktif setiap lapisan dan anggota masyarakat terkadang
menemui berbagai kendala dan permasalahan, di antaranya adalah kendala
kemampuan dan kompetensi. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana secara
terus-menerus dilakukan upaya agar kendala kemampuan yang dimiliki oleh
semua lapisan dan anggota masyarakat dapat teratasi sehingga mereka dapat
berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional dan dapat pula menikmati hasil
pembangunan yang dicapai. Upaya yang paling efektif untuk mengatasi kendala
tersebut adalah melalui pendidikan (Ali, 2009).
Pengertian pendidikan menurut menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pengertian tersebut sejalan dengan Undang-undang Republik Indonesia No.2 Bab
II Pasal 4 Tahun 1989 menjelaskan bahwa Sistem Pendidikan Nasional bertujuan

mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha
Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Hasil dari pendidikan diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan Pembangunan
Nasional.
B.1 Kualitas Pendidikan di Indonesia

3

Kualitas pendidikan Indonesia jelas masih sangat tertinggal jika
dibandingkan dengan Negara Negara tetangga seperti, Malaysia, Singapura, dan
Brunei. Hal tersebut dapat dilihat melalui Human Development Index/ Indeks
Pembangunan Manusia pada tahun 2006 , jika dibandingkan dengan beberapa
Negara tetangga, Indonesia menempati urutan ke-108 dari 177 Negara, angka ini
masih sangat jauh jika melihat Singapura, Brunei, dan Malaysia yang masingmasing menempati urutan 25, 34 dan 61. Peringkat HDI tersebut menempatkan
Indonesia di level menengah sedangkan, Singapura, Brunei dan Malaysia berada
pada level tinggi.

Namun trend positif menandai indeks pembangunan di Indonesia yang
secara linier mengalami kenaikan Pada tahun 2007 dimana IPM Indonesia
mengalami kenaikan menjadi 0.728 dari 0,711 pada tahun 2006, laporan ini
dikeluarkan oleh UNDP pada 27 November 2007, namun hal tersebut tidak
mengubah urutan Indonesia yang masih berada pada peringkat 108 sedunia dan
masih dibawah Vietnam. Penilaian tersebut diantaranya usia harapan hidup
menempatkan Indonesia pada posisi ke-100. Tingkat pemahaman aksara dewasa
di Indonesia menempati urutan 56. Tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan
dan tinggi ada di urutan 110. Sedangkan untuk pendapatan domestik bruto (PDB)
per kapita berada di posisi 113. Pencapaian IPM Indonesia beberapa tahun
terakhir tentu berjalan linier dengan proses pembangunan manusia yang
diterapkan pada program-program pembangunan. Indeks ini merupakan sebuah
raport pembangunan manusia yang dicapai oleh pemerintah dan bangsa Indonesia.
Deskripsi kuantitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa bahwa
masih banyak kekurangan atau masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia. Perhatian khusus ditujukan pada pemerintah untuk
mampu bangkit mengejar ketertinggalan, dengan melakukan penataan kedalam
(birokrasi). Demikian pula kita harapkan kebijakan publik yang lahir akan
semakin mementingkan pembangunan manusia, sehingga terwujudnya masyarakat
yang adil dan makmur bukan semakin menjauh dari sasaran.

B.2. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Hingga saat ini, setelah lebih dari 63 tahun kemerdekaan Indonesia, kita
masih menghadapi menghadapi kenyataan yang menunjukkan bahwa cita-cita
luhur mencerdaskan kehidupan bangsa belum terwujud secara optimal. Hal ini
tentunya menjadi penghalang dalam meningkatkan pembangunan di Indonesia.
Saat ini setidaknya ada dua masalah besar yang mendasari buruknya kualitas
pendidikan di Indonesia, pertama, permasalahan akses pendidikan, yakni
pemerataan kesempatan bagi setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan
dan kedua, permasalahan kualitas dan relevansi pendidikan, yang dapat
menyebabkan kurangnya daya saing lulusan. Kedua permasalahan ini erat
kaitannya dengan tata kelola dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan
pendidikan yang juga berdampak kepada citra masyarakat terhadap pendidikan
nasional.
1. Permasalahan Akses Pendidikan
Kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, merupakan hal yang
dilindungi oleh undang-undang, tercantum dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 Bab III. Kesempatan itu diberikan kepada setiap

4


warga Negara tanpa melihat latar apapun, baik keterjangkauan daerah tempat
tinggal, etnis, agama, gender, status sosial-ekonomi maupun keunggulan fisik atau
mental. Dewasa ini kita masih menjumpai berbagai kenyataan yang menunjukkan
bahwa masih terkendalanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang
dialami oleh anak-anak yang hidup di daerah-daerah terpencil. Masalah ini bukan
hanya terkait akses terhadap pendidikan berkualitas semata, tetapi pendidikan
dengan tingkat kelayakan atau kualitas yang terbatas pun masih sangat sulit untuk
diperoleh.
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menetapkan
pendidikan kategori pertama ini, yaitu yang termasuk program wajib belajar
adalah jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun, yang meliputi SD/Mi dan
SMP/Mts. Jenjang pendidikan berikutnya, yaitu pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, bukan termasuk kategori program wajib belajar. Jenjangjenjang pendidikan ini meskipun pada prinsipnya setiap warga negara mempunyai
kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan pada jenjang-jenjang
pendidikan itu, namun ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi untuk
memasukinya, oleh karena itu, akses diberikan kepada mereka yang memenuhi
persyaratan tersebut. Sedangkan yang tidak mampu memenuhi persyaratan
tersebut tidak mampu memperoleh akses untuk pendidikan. Fenomena tersebut
adalah bentuk dari kesenjangan pendidikan di Indonesia.
Kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat dari angka

partisipasi sekolah pada pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 2003 rata-rata APS
penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada tahun 2003 sebesar 75,6 %. Sementara
APS penduduk perkotaan untuk periode dan kelompok usia yang sama sudah
mencapai 89,3 %. Kesenjangan yang lebih nyata terlihat untuk kelompok usia 1618 tahun. APS penduduk perkotaan tercatat sebesar 66,7 % sedangkan penduduk
perdesaan sebesar 38,9% atau separuh penduduk perkotaan.
Data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2003 menunjukkan
bahwa faktor ekonomi (75,7%) merupakan alasan utama putus sekolah atau tidak
melanjutkan pendidikan, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0%)
maupun karena harus bekerja (8,7%). Hal ini menunjukkan bahwa tingginya
angka partsipasi sekolah pada masyarakat kota dan penduduk kaya dikarenakan
tingkat pendapatan mereka relatif lebih tinggi dibanding penduduk yang tinggal di
desa dan masyarakat miskin.
Status pendidikan penduduk di perkotaan dan perdesaan bisa dikaitkan
dengan besar pengeluaran rumah tangga mereka per bulan. Mayoritas penduduk di
desa memiliki besar pengeluaran rumah tangga Rp 100.000-Rp 149.000 sebulan.
Sementara penduduk di kota lebih besar pengeluarannya, yaitu pada rsentang Rp
200.000-Rp 299.000. Ada dua hal yang melatar belakangi lebih besarnya
pengeluaran rumah tangga per bulan penduduk perkotaan dibandingkan dengan
perdesaan. Pertama, biaya hidup di kota lebih tinggi sehingga pengeluaran pun
lebih besar. Kedua, penghasilan penduduk perkotaan lebih besar. Ketimpangan ini

secara tidak langsung berdampak pada kesempatan mereka meperoleh pendidikan.
Jumlah pengeluaran yang lebih besar penduduk perkotaan mampu
mengalokasikan dana lebih besar pula untuk pendidikan.

5

Berdasarkan data dari Biro pusat Statistik tahun 2004, Kesenjangan akses
pendidikan juga dapat dilihat dari angka melek aksara. Penduduk melek aksara
usia 15 tahun ke atas sekitar 90,4 %, dengan perbandingan laki-laki sebesar 94,6%
dan perempuan sebesar 86,8%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 94,6%
dan di perdesaan 87%. Berdasarkan kelompok usia penduduk, angka melek aksara
terbesar adalah pada kelompok usia 15-24 tahun yaitu sekitar 98,7%. Ini
menunjukkan keberhasilan dari program wajib belajar 9 tahun. Angka buta aksara
pada kelompok usia ini masih ada sekitar 1,3 % yang buta aksara.
Masih adanya buta aksara ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Masih terjadinya anak putus sekolah, khususnya pada kelas-kelas rendah di
SD yaitu sekitar 250 ribu anak (tahun 2003) yang sebagian besar akan
menjadi buta aksara,
2. Sebagian dari yang melek aksara baru akan kembali menjadi buta aksara
karena kemampuan literasi yang telah dimiliki tidak digunakan lagi,

3. Menurunnya perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap upaya
pemberantasan buta aksara.
Di samping putus sekolah, masih terdapat pula sejumlah besar anak-anak
usia sekolah yang tidak dapat bersekolah sama sekali karena persoalan ekonomi
sehingga jika tidak ditangani segera akan menambah jumlah buta aksara secara
signifikan.
2. Permasalahan Kualitas dan Relevansi
Permasalahan kedua yang dihadapi oleh pendidikan nasional kita terkait
dengan peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan. Peningkatan kualitas dan
relevansi sangat erat hubungannya dengan upaya meningkatkan taraf hidup
masyarakat serta daya saing bangsa. Kualitas pendidikan selain dapat dilihat dari
kemampuan lulusan juga dapat dilihat dari meningkatnya penghayatan dan
pengamalan nilai-nilai kemanusiaan yang meliputi keteguhan iman dan takwa
serta berakhlak mulia, etika, kepribadian, karakter dan wawasan kebangsaan,
ekspresi estetika, dan kualitas jasmani. Indikator peningkatan kualitas pendidikan
diukur dari kecakapan akademik dan non-akademik yang memungkinkan lulusan
dapat bradaptasi terhadap perubahan masyarakat dalam berbagai bidang baik di
tingkat lokal, nasional maupun global.
Sebagai contoh hasil belajar siswa merupakan indikator kualitas pendidikan
yang sering digunakan. Untuk mengenali keadaan kualitas ini diantaranya

digunakan hasil ujian atau studi-studi tentang kemampuan siswa, baik secara
nasional maupun internasional. Dilihat dari hasil ujian, kualitas pendidikan masih
menghadapi masalah, yakni masih rendahnya kualitas hasil belajar yang ditandai
oleh standar kelulusan yang ditetapkan, yaitu 4,25 dari skala 10 dan 4,50 pada
tahun 2008. Seorang siswa dinyatakan lulus meski hanya mampu menyerap mata
pelajaran sebesar 4,25%. Dengan standar kelulusan yang rendah pun masih
banyak siswa yang tidak lulus pada ujian Nasional 2007. Jika melihat Negara
tetangga standar kelulusan yang ditetapkan di Indonesia masih tergolong rendah,
dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang menetapkan standar kelulusan
siswanya di atas angka lima. Kondisi ini mencerminkan kurang mampunya negara
kita bersaing dengan negara-negara tetangga, walaupun angka kelulusan ujian

6

nasional setiap tahun cenderung mengalami kenaikan namun masih tetap di bawah
negara-negara asia lain yang mematok angka di atas enam.
Faktor lain yang berpengaruh kepada kualitas dan daya saing pendidikan
adalah berbagai masukan pendidikan, baik terkait dengan proses pembelajaran
maupun pengelolaan pendidikan secara keseluruhan. Hal ini dilihat dari fungsi
pengawasan pendidikan, baik yang dilakukan oleh tenaga fungsional seperti
pengawas sekolah untuk tingkat SD/Mi dan atau penngawas bidang studi untuk
tingkat SMP/Mts dan SMA/MA, maupun pengawasan oleh kepala sekolah
sebagai manajer sekolah. Kelemahan pada aspek perencanaan, kegiatan
pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar tidak termonitor secara efektif oleh para
pengawas, sehingga kelemahan-kelemahan pada proses pembelajaran tidak dapat
teridentifikasi secara akurat.
Komponen masukan pendidikan yang secara signifikan berpengaruh
terhadap peningkatan kualitas pendidikan meliputi : (1) guru dan tenaga
kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas, kualitas maupun
kesejahteraannya, (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia dan belum
didayagunakan secara optimal, (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai
untuk menunjang kualitas pembelajaran dan (4) proses pembelajaran yang belum
efisien dan efektif
Faktor yang mempengaruhi masalah peningkatan kualitas dan daya saing
adalaha anggaran pendidikan yang belum memadai, baik ketersediaannya maupun
dalam efisiensi pengelolaannya. Komitmen pemerintah dalam melaksanakan
UUD 1945 dan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
alokasi pendidikan dari APBN/APBD, dan penyelenggaraan pendidikan dasar
tanpa memungut biaya secara bertahap sudah diwujudkan. Namun realisasi
anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD baru dimulai pada tahun
anggaran 2009, sehingga permasalahan terkait belum sepenuhnya terpecahkan.
Dalam kaitan dengan permasalahan relevansi pendidikan, perspektif analisis
ekonomi dan ketenagakerjaan terhadap pendidikan tetap diperlukan, namun belum
lengkap atas dasar perspektif pembentukan manusia dan masyarakat Indonesia
seutuhnya. Analisis ini diarahkan pasa keseimbangan struktural antara struktur
ekonomi dan ketenagakerjaan di satu pihak dengan struktur pendidikan di lain
pihak. Sistem pendidikan dianggap relevan jika memiliki keseimbangan secara
struktural dengan sistem ekonomi dan ketenagakerjaan. Artinya, bahwa lulusan
pendidikan memiliki kesesuaian dengan kebutuhan tenaga kerja sebagai pelaku
pembangunan di berbagai sektor.
B.3. Solusi dari permasalahan pendidikan di Indonesia
Agar pendidikan nasional berjalan pada jalurnya, maka diperlukan upaya-upaya
yang diharapkan dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.
Upaya-upaya itu sebenarnya merupakan langkah awal dalam pembangunan
pendidikan dalam konteks pembangunan nasional. Berikut ini adalah solusi yang
dapat dilakukan guna memperbaiki pendidikan nasional sehingga mampu
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
1. Mengatasi Permasalahan Akses
Sampai dengan tahun 2009 dilakukan berbagai upaya sistematis dalam
pemerataan dan perluasan pendidikan, khususnya dalam konteks pelaksanaan

7

wajib belajar sembilan tahun. Penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar
sembilan tahun memperhatikan pelayanan yang adil dan merata bagi penduduk
yang menghadapi hambatan ekonomi dan sosial-budaya (yaitu penduduk miskin,
memiliki hambatan geografis, daerah perbatasan, dan daerah terpencil). Demikian
juga anak-anak yang memiliki kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual.
Strategi yang diambil antara lain dengan membantu dan mempermudah mereka
yang belum berkesempatan mengikuti pendidikan, baik di sekolah atau di
madrasah, putus sekolah, serta lulusan SD/MI/SDLB yang tidak melanjutkan ke
SMP/MTs/SMPLB yang masih besar jumlahnya, untuk memperoleh layanan
pendidikan. Dalam strategi ini juga ditempuh penerapan kelas-kelas inklusi, yakni
dengan memberi kesempatan kepada peserta didik yang mempunyai kelainan
untuk belajar bersama peserta didik yang normal.
Solusi lain yang ditawarkan adalah, peningkatan akses pendidikan melalui
pembukaan kesempatan bagi pihak swasta dalam mendirikan lembaga pendidikan
tinggi baru. Namun, strategi ini harus dikaitkan dengan kualitas dalam rangka
peningkatan daya saing bangsa. Dalam pengendaliannya perlu dibuat persyaratann
yang ketat dalam mengijinkan partisipasi swasta ini. Untuk itu, pemerintah harus
membenahi peraturan dan perundang-undangan serta memperkuat kapasitas
kelembagaan yang terkait dengan fungsi pengendalian dan penjaminan kualitas.
Kebijakan perluasan pendidikan tinggi ini juga diarahkan dalam upaya membuka
kesempatan bagi calon mahasiswa yang berasal dari penduduk di atas usia ideal
pendidikan tinggi (lebih dari 24 tahun) seperti karyawan, guru, tenaga spesialis
industri, dan mencakup perluasan pendidikan non-gelar serta pendidikan profesi
yang mengutamakan penguasaan pengetahuan, ketrampilam dan teknologi yang
sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja industri.
Untuk menjangkau populasi yang lebih luas namun terkendala oleh berbagai
faktor, seperti letak geografis dan waktu, perluasan akses pendidikan tinggi juga
dilakukan melalui pengembangan kapasitas pembelajaran jarak jauh dengan
memanfaatkan teknologi komunikasi. Kemungkinan penggunaan modus
pembelajaran jarak jauh ini bukan hanya oleh universitas terbuka tetapi juga oleh
perguruan tinggi lain yang diberi izin dalam pengimplementasian strategi ini.
2. Mengatasi Permasalahan Kualitas dan Relevansi
Dalam mengatasi permasalahan kualitas dan relevansi pendidikan nasional
setidaknya ada delapan strategi yang dapat dilakukan yaitu :
1. Mengimplementasikan penerapan standar nasional pendidikan yang telah
dikembangkan berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005
tentang standar nasional pendidikan. Standar tersebut digunakan sebagai
dasar untuk melaksanakan akreditasi lembaga-lembaga pendidikan dan
berbagai program keahlian serta program studi yang dilakukan oleh BAN
S/M dan BAN PT, dan untuk penilainan program dan pendidikan,
peningkatan kapasitas pengelolaan pendidikan, peningkatan sumber daya
pendidikan, upaya penjaminan kualitas pendidikan.
2. Diterapkannya system penilaian pendidikan untuk UN dan UAS oleh sebuah
badan mandiri yang ditugasi untuk melaksanakannya. UN mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik berdasarkan standar kompetensi
lulusan yang ditetapkan secara nasional sebagai benchmark. Hasil UN

8

3.

4.
5.

6.

7.

8.

bukan satu-satunya alat untuk menentukan kelulusan siswa tetapi terutama
sebagai sarana untuk melakukan pemetaan dan analisis kualitas pendidikan
yang dimulai dari tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi
sampai tingkat nasional.
Adanya penjaminan kualitas melalui suatu proses analisis yang sistematis
terhadap hasil UN dan hasil evaluasi lainnya untuk menentukan faktor
pengungkit dalam upaya peningkatan kualitas, baik antar satuan pendidikan,
antar kabupaten/kota, antar provinsi, atau melalui pengelompokan lainnya.
Analisis dilakukan oleh pemerintah bersama pemerintah provinsi yang
secara teknis dibantu oleh lembaga penjaminan kualitas pendidikan (LPMP)
pada masing-masing wilayah. Hasil analisis tersbut, diberikan intervensi
terhadap atuan dan program pendidikan diantaranya melalui pendidikan dan
pelatihan terutama pengembangan proses pembelajaran efektif, bantuan
teknis, pengadaan dan pemanfaatan sumber daya pendidikan, serta
pemanfaatan TIK dalam pendidikan. Disamping itu, untuk mempercepat
tercapainya pemerataan kualitas pendidikan dilakukan pemberian bantuan
yang diarahkan pada satuan pendidikan yang belum mencapai standar
nasional.
Perlunya dilakukan tindakan afirmatif dengan memberikan perhatian lebih
besar pada satuan pendidikan yang kualitasnya masih rendah baik dari input,
proses, maupun outputnya.
Dilaksanakan akreditasi satuan dam program pendidikan untuk menentukan
tingkat kelayakan masing-masing. Hasil akreditasi dijadikan landasan untuk
melakukan progam pengembangan kapasitas dan peningkatan kualitas tiap
satuann atau program pendidikan.
Perlunya dilakukan pengembangan dan peningkatan profesionalisme guru.
Sebagai tenaga kerja profesional guru ataupun tenaga kependidikan harus
memiliki sertifikat profesi setelah menempuh pendidikan profesi dan
berdasarkan hasil uji kompetensi, sebagai imbalannya mereka diberi
tunjangan profesi. Standar profesi guru dikembangkan sebagai dasar bagi
penilaian kinerja guru yang dilakukan secara berkelanjutan atas dasar
kinerjanya baik pada tingkat kelas maupun satuan pendidikan.
Dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan diperlukan
pengembangan kurikulum yang relevan dengan pangsa pasar/dunia kerja.
Investasi juga dilakukan untuk pengembangan satuan pendidikan pada
pendidikan dasar dan menengah, non-formal dan pendidikan tinggi.
Dalam rangka mengejar keunggulan dan daya saing perlu dikembangkan
sejumlah sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang bertaraf internasional
menggunakan hasil pengukuran yang berstandar internasional dan
menggunakan benchmark institusi pendidiakn unggul di dunia. Tentunya ini
memerlukan kesiapan baik sarana dan prasarana yang mendukung. Dalam
rangka mendorong keunggulan juga perlu dikembangkan peningkatan
jumlah dan kualitas publikasi ilmiah dan hak atas kekayaan intelektual.
Kegiatan ini terutama berkaitan dengan peran perguruan tinggi yang
memiliki otonomi keilmuan dengan melakukan penelitian dan
pengembangan untuk kepentingan pengembangan sains dan teknologi.

9

C. Penutup
Pendidikan sebagai human invesment merupakan indikator kualitas
sumberdaya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang baik sangat diperlukan
dalam menghadapi persaingan global yang terjadi seperti sekarang. Pendidikan
merupakan hal yang pertama dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Namun pada kenyataannya, pendidikan Indonesia sekarang ini
menunjukkan kualitas yang rendah. Kualitas rendah secara garis besar disebabkan
oleh dua masalah yaitu, akses pendidikan yang kurang merata karena terdapat
persyaratan tertentu dan karena adanya kesenjangan ekonomi, serta buruknya
kualitas dan relevansi pendidikan seperti rendahnya standar kelulusan dan fungsi
pengawasan terhadap pendidikan di Indonesia. Masalah-masalah ini
membutuhkan pemecahan segera agar pembangunan dapat berjalan secara terarah
dan mencapai tujuan yang diinginkan. Peran serta pemerintah adalah faktor yang
paling berpengaruh dalam pemecahan masalah ini. Pemerintah dapat menciptakan
kebijakan-kebijakan dan strategi tertentu yang memungkinkan peningkatan mutu
pendidikan dengan membuka akses yang sama serta peningkatan kualitas dan
relevansi pendidikan nasional. Kebijakan yang dirumuskan pemerintah tersebut
pada akhirnya akan menjadi pedoman setiap aktor dalam pendidikan pada
khususnya, dan setiap warga negara pada umumnya, dalam melaksanakan proses
pendidikan nasional agar mencapai tujuan Pembangunan Nasional.

10

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. 2009. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Bandung: PT
Imperial Bhakti Utama.
Badan Pusat Statistik. 2003. Survey Sosial Ekonomi Nasional tentang Angka
Melek Aksara 2003. Jakarta: BPS.
Badan Pusat Statistik. 2006. Human Development Index 2006-2007. Jakarta:
BPS.
Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. 2006. Grand Design
Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun 2006-2009. Jakarta:
Departemen
Pendidikan
Nasional
dan
Departemen
Agama
RI.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005.Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
UNESCO. 2000. Human Development Index. Education for Sustainable
Development (ED/UNP/ESD), www.unesco.org/education/desd.
http://rizkir0811.student.ipb.ac.id/2010/06/20/peran-pendidikan-dalampembangunan-indonesia/