Mengukur Keadilan di Dalam Agenda Pemban

Kertas Posisi

Akses terhadap
Keadilan

2015


KERTAS POSISI
Mengukur Keadilan di Dalam

Agenda Pembangunan:

Rumusan Indikator-Indikator Pencapaian

Pemenuhan Akses terhadap Keadilan

Oleh Negara.


Tim Penyusun:


Yasmin Purba

Donny Ardyanto


Penerbit:
YLBHI

Didukung oleh:

INFID


2015


I. Pendahuluan: Akses terhadap Keadilan Sebagai Sebuah Definisi.
Ketika berbicara tentang akses terhadap keadilan, tidak ada definisi tunggal yang disepakati
bersama baik oleh para pemikir hukum, maupun praktisi sektor keadilan. Ada berbagai aliran yang

memiliki definisinya masing-masing tentang apa yang menjadi objek dari akses terhadap keadilan,
siapa yang berhak atas akses terhadap keadilan, dan apa tujuan dari akses terhadap keadilan.
Sebagian pemikir menganggap bahwa akses terhadap keadilan hanya meliputi aspek-aspek
prosedural dari keadilan itu saja. Salah satu pemikir aliran prosedural ini adalah Francesco Fracioni,
seorang profesor hukum internasional dari Institut Universitas Eropa, yang berpendapat bahwa
akses keadilan adalah “…hak seseorang untuk mendapatkan perlindungan hukum dan ketersediaan
mekanisme pemulihan hukum, baik di pengadilan maupun mekanisme-mekanisme perlindungan
quasi-judicial yang setara.”1 Pemikiran Fracioni ini masuk kedalam kategori konsep tradisional
dari akses terhadap keadilan.
Aliran pemikiran lainnya adalah aliran yang tidak hanya menekankan pada akses terhadap prosedur
keadilan, namun juga pada hasil (outcome) dari proses keadilan itu sendiri. Salah satu pemikir yang
mendukung aliran substantif ini adalah Lawrence M. Friedman, seorang profesor hukum dari
universitas Stanford, yang berargumen bahwa “Keadilan mungkin tidak merujuk pada suatu
lembaga atau suatu proses, namun pada suatu hasil yang kongkrit- yaitu, keadilan sebagai sebuah
hasil (outcome), atau memberikan hak yang selayaknya bagi seseorang.”2
Alberta Civil Liberties Research Centre, sebuah lembaga penelitian yang berfokus pada isu
kebebasan sipil dan hak asasi manusia di Kanada, membagi konsep tentang akses terhadap keadilan
kedalam 4 kategori yaitu:3
1. Hak untuk hadir di hadapan pengadilan. Pandangan ini dilihat sebagai konsep paling sempit dari
akses terhadap hak atas akses terhadap keadilan, di mana akses yang dimaksud hanya mencakup

hak formal seseorang untuk beracara atau membela diri di muka pengadilan.
2. Advokasi bagi mereka yang tidak mampu. Konsep ini berpandangan bahwa tujuan dari akses
terhadap keadilan adalah untuk memberikan pendampingan hukum bagi orang-orang yang tidak
mampu membayar jasa hukum.
3. Mereformasi sistem peradilan. Konsep ketiga ini memandang tujuan dari akses terhadap
keadilan bukan saja sekedar advokasi bagi orang-orang yang tidak mampu menyewa pengacara,
namun juga berfokus pada reformasi sistem peradilan melalui penguatan sistem bantuan hukum,
penyerdehanaan prosedur peradilan, serta membangun mekanisme gugatan kelompok atau
gugatan pihak ketiga.
4. Kesetaraan hasil (kualitas keadilan).
Konsep ini tidak hanya befokus pada kesetaraan
kesempatan bagi para pencari keadilan dari kelompok miskin saja, namun juga menyasar pada
kesetaraan hasil dengan mengatasi persoalan-persoalan yang menghambat mereka yang
mencoba mengakses sistem peradilan. Bentuk-bentuk pemulihan yang ditargetkan oleh para
pendukung advokasi kesetaraan kualitas keadilan ini adalah reformasi dan efisiensi berbagai
1 Francesco Francioni, “Access to Justice, Denial of Justice and International Investment Law”, The European Journal of

International Law, vol. 20, ed. 3, 2009.
2 Lawrence M. Friedman, “Access to Justice: Some Historical Comments”, Fordham Urban Law Journal, vol. 37, ed. 1, 2009.
3 Alberta Civil Liberties Research Centre, “What is Access to Justice?”, dapat diakses di: http://www.aclrc.com/what-is-access-to-


justice/

bidang di dalam sistem peradilan, serta mereformasi lembaga-lembaga sosial lainnya dengan
tujuan untuk menciptakan model layanan yang lebih holistik.
Sementara itu, UNDP, sebuah badan PBB yang berfokus pada pembangunan dan penghapusan
kemiskinan, memiliki definisinya sendiri terkait dengan akses terhadap keadilan. Menurut UNDP,
akses terhadap keadilan adalah “Kemampuan masyarakat untuk mencari dan mendapatkan
pemulihan melalui institusi keadilan, baik yang formal ataupun informal, yang sesuai dengan
standar-standar hak asasi manusia.”4
Untuk kepentingan pembuatan kertas posisi ini, YLBHI memutuskan untuk menggunakan definisi
akses terhadap keadilan yang dirumuskan oleh UNDP.
Ada dua alasan mengapa YLBHI
menggunakan definisi yang dirumuskan oleh UNDP tersebut:
1. Definisi tersebut mengakui mekanisme keadilan informal, namun tetap menekankan pada
standar hak asasi manusia sebagai landasan. Hal ini kami anggap penting, mengingat praktikpraktik penerapan mekanisme keadilan informal, khususnya di dalam sistem hukum adat, masih
cukup luas di Indonesia, sehingga perlu diterapkan sebuah standar yang dapat memastikan
bahwa mekanisme-mekanisme informal tersebut tetap dapat menjamin kompetensi,
independensi, dan kesetaraan bagi para pihak yang menggunakan mekanisme tersebut;
2. Definisi tersebut kami rasakan cukup tepat untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan hukum

masyarakat Indonesia. Kebutuhan-kebutuhan hukum ini akan kami elaborasi lebih jauh lagi di
dalam bab yang membahas tentang kondisi akses terhadap keadilan di Indonesia.
Kertas Posisi ini disusun oleh YLBHI dan INFID untuk memaparkan tentang pentingnya jaminan
akses terhadap keadilan bagi masyarakat sebagai sebuah tujuan pembangunan. Kami mengambil
tiga sudut pandang utama yaitu hak asasi manusia, perdamaian dan pembangunan yang berkeadilan,
sebagai menjadi landasan argumen tentang pentingnya akses terhadap keadilan di dalam proses
pembangunan. Kemudian, kami juga memaparkan kebutuhan-kebutuhan keadilan masyarakat
Indonesia yang perlu diakomodasi oleh pemerintah di dalam menentukan tujuan-tujuan
pembangunannya, dan kami mengusulkan indikator-indikator apa saja yang perlu ditetapkan untuk
mengukur keberhasilan pemerintah di dalam memenuhi akses terhadap keadilan bagi warganya.
Selain itu, Kertas Posisi ini kami susun untuk juga mendorong pemerintah untuk mengambil posisi
aktif di dalam mendorong proposal Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan pasca 2015 yang
diajukan oleh Kelompok Kerja Terbuka untuk Pembangunan yang Berkelanjutan, yang
menempatkan akses terhadap keadilan sebagai tujuan pembangunan yang berdiri sendiri.
II. Akses terhadap Keadilan Sebagai Unsur yang Instrumental di Bidang Hak Asasi Manusia,
Perdamaian dan Pembangunan.
Kami meyakini bahwa tujuan utama penyelenggaraan negara adalah terbangunnya tatanan
masyarakat yang merdeka dan bermartabat di mana setiap orang dapat terbebas dari belenggu
ketidakberdayaan yang diakibatkan baik oleh keterbatasan sosial, ekonomi, maupun keterbatasan
kemampuan fisik, posisi geografis dan keterbatasan-keterbatasan lainnya yang berada di luar

kontrol orang tersebut untuk mengatasinya.

4 Lihat, UNDP, “Programming for Justice: Access for All”, dapat diakses di: www.unrol.org/files/

justice_guides_programmingforjustice-accessforall.pdf

Perwujudan masyarakat yang merdeka dan bermartabat tersebut mensyaratkan, setidak-tidaknya,
tiga hal yaitu, jaminan terhadap hak asasi manusia, perdamaian dan pembangunan. Dalam
laporannya, yang diberi judul “In Larger Freedom”, kepada Majelis Umum PBB, mantan Sekretaris
Jendral PBB, Kofi Annan menyatakan sebagai berikut:
“Kemerdekaan yang lebih luas berarti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak atas
pemerintahan yang mereka sepakati, yang berdasarkan hukum, di dalam sebuah
masyarakat di mana para individunya dapat, tanpa adanya diskriminasi atau retribusi,
berbicara, beribadah dan berorganisasi secara bebas. Mereka juga harus terbebas dari
kemiskinan…dan bebas dari rasa takut—sehingga kehidupan dan penghidupan mereka
tidak terkoyak-koyak oleh kekerasan dan perang. Tentunya, semua orang berhak atas
keamanan dan pembangunan.”5

Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia, baik yang berdimensi sipil
dan politik, seperti kebebasan berpendapat atau hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan,

maupun yang berdimensi ekonomi, sosial dan budaya, seperti bebas dari kemiskinan, harus berjalan
beriringan dengan adanya jaminan keamanan dan pelaksanaan pembangunan untuk dapat saling
menguatkan perwujudannya.
Di dalam laporan yang sama, Kofi Annan menegaskan:
“Negara-negara yang memiliki tata pemerintahan yang baik dan menghormati hak asasi
manusia lebih berpeluang untuk menghindari kengerian konflik dan mengatasi hambatanhambatan pembangunan…Oleh karena itu, kita tidak akan bisa menikmati pembangunan
tanpa adanya keamanan, kita tidak akan bisa menikmati keamanan tanpa adanya
pembangunan, dan kita tidak akan bisa menikmati keduanya tanpa ada penghormatan
terhadap hak asasi manusia. Apabila kemajuan atas seluruh tujuan tesebut tidak didorong,
maka tidak akan ada satu tujuanpun yang berhasil.”

Kemanan di dalam konteks ini dimaknai sebagai upaya untuk memelihara perdamaian sebagai
jaminan bagi seluruh individu untuk terbebas dari rasa takut, terutama rasa takut akan kekerasan
dan perang yang dapat menghancurkan kehidupan suatu masyarakat.
II.1. Akses terhadap Keadilan dan Hak Asasi Manusia.
Di dalam tiga unsur utama bagi masyarakat yang merdeka yaitu, hak asasi manusia, perdamaian dan
pembangunan, akses terhadap keadilan memiliki peranan yang instrumental yang dapat
memperkuat perwujudan bagi masing-masing unsur tersebut.
Di dalam konteks hak asasi manusia, akses terhadap keadilan hak yang diakui di dalam hampir
seluruh instrumen internasional pokok hak asasi manusia seperti, Deklarasi Hak Asasi Manusia

(1948), Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (1966), Konvensi Menentang Penyiksaan (1984),
Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (1979), Konvensi tentang Hak
Anak (1989), Konvensi tentang Perlindungan Buruh Migran dan Keluarganya (1990), dll.
Di antara instrumen-instrumen pokok HAM tersebut, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (Kovenan Hak Sipol) adalah instrumen yang paling sering dirujuk terkait dengan rincian
akses terhadap keadilan yang harus diberikan kepada setiap individu.

5

Majelis Umum PBB, Laporan Sekretaris Jendral “In Larger Freedom: towards development, security and human rights for all”, 21
Maret 2005, A/59/2005 .

Pasal 14 Kovenan Sipol mengakui hak bagi setiap orang untuk diperlakukan sama di mata hukum
dan atas persidangan yang adil, yang diselenggarakan oleh pengadilan yang kompeten, independen
dan imparsial.6 Selain itu, untuk menjamin keadilan atas diri seseorang yang terkena tuduhan
melakukan tindak pidana, maka dia memiliki hak-hak untuk mengakses, antara lain7:
- Informasi terkait dengan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, dalam bahasa yang dia
pahami;
- Waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaan atas dirinya dan untuk
berkomunikasi dengan penasehat hukum yang dia pilih sendiri;

- Persidangan, atas dirinya, yang dilakukan tanpa penundaan yang berlarut-larut;
- Kesempatan untuk dihadirkan di persidangan;
- Kesempatan untuk membela dirinya sendiri atau melalui pendamping hukum yang dia pilih
sendiri;
- Informasi atas hak-haknya;
- Bantuan hukum, apabila dia tidak mampu membayar jasa pendampingan hukum;
- Mendapatkan bantuan penerjemah secara gratis, apabila dia tidak memahami bahasa yang
digunakan di pengadilan;
- Mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi;
- Mendapatkan kompensasi atas hukuman yang dijatuhkan atasnya sebagai akibat dari kelalaian
hukum.
Di samping hak atas akses terhadap keadilan bagi tersangka/terdakwa, Kovenan Hak Sipol tersebut
juga menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan pemulihan (remedy) yang efektif, apabila hak
dan/atau kebebasannya, yang dijamin oleh Kovenan, dilanggar.8
Tersebarnya jaminan hak atas akses terhadap keadilan di berbagai instrumen pokok hak asasi
internasional tersebut menunjukkkan betapa pentingnya akses terhadap keadilan bagi penikmatan
hak asasi manusia oleh setiap individu. Hal ini dikarenakan oleh sifat dari akses terhadap keadilan
itu sendiri yang bukan hanya sebuah hak yang asasi, namun juga merupakan alat yang penting
untuk melindungi dan mempertahankan hak-hak asasi manusia lainnya, yang diakui secara
universal. Dengan kata lain, akses keadilan dapat memberikan ruang yang setara bagi setiap

individu untuk mempertahankan haknya dan mendapatkan pemulihan apabila hak-hak asasinya
dilanggar.
II.2. Akses terhadap Keadilan dan Perdamaian.
Hak-hak asasi manusia haya dapat dinikmati secara penuh di dalam suatu masyarakat yang damai.
Sebaliknya, untuk memelihara perdamaian di dalam masyarakat, maka penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan syarat yang utama. Dengan kata lain, hak asasi
manusia dan perdamaian memiliki hubungan yang interdependen yang tidak dapat berdiri secara
terpisah.

6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1996, Pasal 14 paragraf (1).
7

Ibid, paragraf (3a-c).

8 Ibid, Pasal 2 paragraf (3 a-c).

Akses terhadap keadilan, selain sebagai alat untuk mempertahankan atau melindungi penikmatan
hak-hak asasi manusia, merupakan unsur yang penting di dalam upaya pemeliharaan perdamaian di
dalam masyarakat.
Dalam konteks perdamaian, YLBHI melihat bahwa akses terhadap keadilan menjadi faktor yang

penting karena:
1. Akses keadilan memberikan pilihan bagi masyarakat untuk menyelesaikan sengketa atau
konflik dengan tidak menggunakan kekerasan. Alternatif di luar kekerasan ini sangatlah penting
di dalam mengurangi ketegangan antar individu atau kelompok di dalam masyarakat; dan
2. Di dalam situasi pasca konflik, khususnya ketika terjadi pelanggaran HAM berat selama
terjadinya konflik, akses terhadap keadilan dapat mendorong akuntabilitas dan mencegah
impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM, sehingga dapat mencegah terulangnya kejahatan
yang dapat mengarah pada situasi konfilk yang baru.
II.3. Akses terhadap Keadilan dan Pembangunan yang Berkeadilan.
Karena tujuan negara adalah mewujudkan masyarakat yang merdeka dan bermartabat, maka targettarget pembangunan negara harus diarahkan pada upaya-upaya untuk membebaskan setiap individu
dari segala bentuk ketimpangan yang menimbulkan ketidakberdayaan dan segala keterbatasan yang
dapat membelenggu dan menghambat penikmatan hasil pembangunan dan melanggengkan
kemiskinan. Kami menyebut tujuan pembangunan ini sebagai pembangunan yang berkeadilan.
Dalam konteks ini, akses terhadap keadilan memiliki peran yang intrumental di dalam memperkuat
keberdayaan masyarakat, khususnya di bidang hukum. Masyarakat yang berdaya secara hukum
akan dapat memahami, menentukan prioritas-prioritas, serta dapat berpartisipasi di dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Asian Development Bank menemukan bahwa di dalam masyarakat
yang berdaya secara hukum terjadi mobilisasi kapasitas dan tuntutan kolektif yang dapat menekan
perbaikan-perbaikan institusional untuk memasukkan muatan-muatan pembangunan ke dalam
peraturan perundang-undangan.9
Mobilisasi kapasitas dan tuntutan secara kolektif yang dimungkinkan oleh akses terhadap keadilan
tersebut di atas menjadi sangat signifikan di dalam upaya melawan kemiskinan. Hal ini ditekankan
oleh Magdalena Sepulveda, Pelapor Khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi
Manusia, yang berpendapat bahwa.
“Tanpa adanya akses terhadap keadilan yang setara, mereka yang hidup di dalam
kemiskinan tidak akan dapat menuntut hak-hak mereka, atau melawan kejahatankejahatan, kesewang-wenangan atau pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap
mereka, yang membuat mereka terjebak di dalam lingkaran setan impunitas, penindasan
dan pengucilan. Akses terhadap keadilan yang setara dapat memberikan perlindungan dan
peningkatan bagi pendapatan dan penghidupan masyarakat miskin, namun lebih dari itu,
akses terhadap keadilan dapat meningkatkan kemampuan, pilihan, keamanan dan
kekuatan mereka.”10

9 Asian Development Bank, “LAW AND POLICY REFORM at THE ASIAN DEVELOPMENT BANK”, hlm. 8.
10 Majelis Umum, Laporan Pelapor Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia, ‘Promotion and protection of human

rights: human rights questions, including alternative approaches for improving the effective enjoyment of human rights and
fundamental freedoms.’ hlm.2, Agusttus 2012, A/67/278. Dapat diakses di: http://daccess-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/
N12/458/06/PDF/N1245806.pdf?OpenElement

Dengan demikian, kami memandang bahwa akses terhadap keadilan membuka ruang yang setara
bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam menentukan arah kebijakan pembangunan yang
berkeadilan serta memperkuat kontrol masyarakat untuk memastikan akuntabilitas negara di dalam
melaksanakan pembangunan itu sendiri.
III. Kondisi Akses terhadap Keadilan di Indonesia.
Pada tanggal 24 Februari, 2015 yang lalu, YLBHI bersama INFID mengadakan sebuah Focus
Group Discussion yang melibatkan berbagai kelompok masyarakat sipil yang bekerja di sektor
keadilan baik dari Jakarta maupun luar Jakarta, seperti Aceh dan NTT. Tujuan dari kegiatan diskusi
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi persoalan-persoalan dan tantangan-tantangan bagi proses pembangunan akses
terhadap keadilan di Indonesia;
2. Menyusun indikator-indikator yang dapat dijadikan acuan yang akurat bagi pemenuhan target
pembangunan di bidang akses terhadap keadilan; dan
3. Menyusun rencana tindak lanjut dan agenda bersama untuk mengawal proses inklusi indikatorindikator keadilan yang telah disusun bersama kedalam target pembangunan nasional dan
global.
Dari diskusi tersebut, ada beberapa hal yang disampaikan oleh para peserta terkait dengan kondisi
akses terhadap keadilan di Indonesia:
- Pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat masih sangat rendah;
- Akuntabilitas aparat penegak hukum masih rendah, sehingga masih terdapat praktik-praktik
korupsi di dalam proses penegakkan hukum;
- Penghormatan terhadap hak-hak asasi di kalangan aparat penegak hukum juga masih rendah,
sehingga cara-cara kekerasan masih banyak digunakan;
- Mekanisme kontrol terhadap institusi dan aparat penegak hukum masih lemah;
- Sistem hukum masih dalam proses pembangunan, sehingga masih banyak ketidaksesuaian antar
peraturan perundang-undangan serta tumpang-tindih antar berbagai prosedur dan mekanisme
hukum;
- Masyarakat Indonesia masih belum sampai ke tahap masyarakat hukum yang modern, hal ini
terlihat dari banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk mengakses mekanisme-mekanisme
hukum non-formal. Salah satu asumsi yang digunakan: semakin moderen sebuah masyarakat,
kesadaran untuk mengunakan mekanisme hukum formal semakin besar.
Masukan-masukan tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil survey indeks Rule of Law yang dibuat
oleh World Justice Project tahun 2014, yang menemukan bahwa kinerja penegak hukum Indonesia
di dalam menjalankan penyelidikan/penyidikan yang efektif sangatlah buruk (0.31), kemudian
penegakkan due process of law di dalam proses hukum pidana juga sama buruknya (0.35). Indeks
tersebut juga menunjukkan bahwa korupsi di kepolisian tinggi (0.37), begitu juga tingkat korupsi di
dalam sistem hukum pidana secara keseluruhan (0.38).11
Dengan mempertimbangkan masukan-masukan yang diberikan oleh para praktisi sektor keadilan di
Indonesia, serta hasi survey yang dilakukan oleh World Justice Project tersebut, maka jelas terlihat

11 World Justice Project, “The Rule of Law Index 2014”, dapat diakses di: http://worldjusticeproject.org/sites/default/files/files/

country_profiles.pdf

bahwa masyarakat Indonesia masih belum berdaya secara hukum dan keadilan masih belum dapat
diakses dengan setara oleh masyarakat Indonesia. Selain itu, hambatan yang paling utama di dalam
akses terhadap keadilan di Indonesia adalah praktik-praktik korupsi dan represi yang masih meluas
di kalangan aparat penegak hukum.
IV. Akses terhadap Keadilan sebagai Tujuan Pembangunan Nasional dan Indikator-Indikator
Pencapaiannya.
Dari masukan-masukan tentang kondisi akses terhadap keadilan di Indonesia, yang didapatkan
melalui proses focus group discussion bersama praktisi-praktisi sektor keadilan tersebut di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan keadilan (justice needs)
masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Adanya pemberdayaan hukum, terutama masyarakat miskin dan marjinal, sehingga mereka
dapat memahami hak-hak mereka dan dapat lebih berpartisipasi di dalam proses pembangunan
untuk meningkatkan kualitas hidup mereka;
2. Meningkatkan akses bantuan hukum yang lebih besar sehingga dapat menjangkau lebih banyak
lagi masyarakat miskin yang ingin menggunakan mekanisme-mekanisme hukum formal untuk
menyelesaikan sengketa dan/atau mempertahankan hak mereka;
3. Pembenahan institusi penegakkan hukum yang dapat menghilangkan praktik-praktik korupsi
dan kekerasan di dalam proses penegakkan hukum di Indonesia;
4. Pembenahan sistem hukum sehingga tidak terjadi ketidaksesuaian peraturan hukum ataupun
tumpang tindih antar mekanisme/institusi hukum.
Empat butir kebutuhan keadilan masyarakat tersebut, sebenarnya, telah diakomodasi oleh
pemerintah di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,
yang telah disahkan melalui Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015.
Meskipun di dalam RPJMN 2015-2019, akses terhadap keadilan tidak menjadi tujuan yang berdiri
sendiri, namun elemen-elemen utamanya sudah dicakup di dalam tujuan “Memperkuat Kehadiran
Negara Dalam Melakukan Reformasi Sistem Dan Penegakan Hukum Yang Bebas Korupsi,
Bermartabat Dan Terpercaya.”12 Tujuan ini sendiri kemudian dirinci kedalam 12 sasaran yang
antara lain adalah meningkatkan kualitas aparat penegak hukum, melakukan harmonisasi peraturan
terkait HAM, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, optimalisasi bantuan hukum dan
membangun budaya hukum.
Untuk memastikan bahwa target-target akses terhadap keadilan dapat dicapai di dalam pelaksanaan
program-program pembangunan pemerintah, maka YLBHI dan INFID mengusulkan indikatorindikator berikut ini untuk dijadikan alat ukur keberhasilan pemerintah di dalam upaya pemenuhan
hak atas akses terhadap keadilan bagi masyarakat Indonesia. Indikator-indikator ini diturunkan dari
kerangka analisis yang disusun berdasarkan asumsi dasar bahwa pemenuhan akses terhadap
keadilan selalu berkaitan dengan: kerangka hukum normatif, kesadaran dan pengetahuan hukum,
pendampingan dan bantuan hukum, intitusi resolusi konflik, serta pelaksanaaan dan penegakan hasil
keputusan, di mana pada saat yang bersamaan dilakukan upaya untuk memastikan transparansi dan
akuntabilitas melalui mekanisme kontrol secara institusional maupun melalui tuntutan dari

12

Untuk lengkapnya, silahkan lihat RPJMN 2015 - 2019 yang dapat diakses di: http://bappenas.go.id/index.php?
cID=5009?&kid=1422593892

masyarakat sebagai pemilik hak.13 Berangkat dari kerangka analisis tersebut kemudian
dikembangkan sebagai berikut:
Kerangka Hukum
• Jaminan perlindungan HAM
Sejauh mana norma-norma hak asasi manusia diadopsi dalam sistem hukum?
Apakah masih banyak aturan hukum yang berlaku yang masih membuka ruang bagi
pelanggaran HAM?
• Kejelasan aturan
Apakah aturan dan norma hukum yang ada cukup jelas dan mudah dipahami?
Apakah masih ada aturan hukum yang memiliki multi-interpretasi?
• Kesesuaian antar aturan
Apakah semua aturan hukum sudah tersinkronisasi dengan baik?
Apakah masih ada aturan hukum yang sama-sama berlaku namun bertentangan satu dengan
yang lainnya?
• Non-diskriminasi
Sejauh mana prinsip non-diskriminasi diadopsi dalam sistem hukum?
Apakah masih ada aturan hukum yang bersifat diskriminatif?
• Kebebasan memperoleh informasi
Sejauh mana kebebasan memperoleh informasi diatur dalam norma hukum yang ada?
• Identitas legal
Berapa banyak penduduk yang tidak memiliki akta kelahiran?
Berapa banyak penduduk dewasa yang tidak memiliki KTP?
Kesadaran dan Kepatuhan Hukum (Melek Hukum)
• Kesadaran hukum
Sejauh mana masayarakat memiliki kesadaran tentang hukum dan norma yang mengatur
kehidupan mereka?
• Pengetahuan hukum
Sejauh mana masayarakat memiliki pengetahuan tentang hukum dan norma yang mengatur
kehidupan mereka?
• Kepatuhan hukum
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum dan norma yang berlaku.
• Kepercayaan publik terhadap aturan hukum
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan norma yang berlaku. Hal ini juga
dipengaruhi oleh kepatuhan dari aparat penegak hukum terhadap hukum dan norma yang
berlaku.
• Akses informasi
Tingkat kesadaran masyarakat akan hak mereka untuk memperoleh informasi.
Tingkat akses informasi oleh masyarakat.
Bantuan Hukum
• Alokasi dana negara untuk bantuan hukum
• Rasio pengacara dibandingkan dengan jumlah penduduk
Rasio ini juga perlu dilihat hingga di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten)
• Rasio pengacara publik dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin
13

Lihat Henrik Alffram, Equal Access to Justice: Mapping Experience, SIDA, April 2011.





Rasio ini juga perlu dilihat hingga di tingkat lokal (provinsi dan kabupaten)
Kualitas dan integritas pengacara, termasuk pengacara publik.
Tingkat kepercayaan publik terhadap pengacara
Biaya pengacara

Aparatur Akses terhadap Keadilan
Institusi resolusi konflik kami bagi menjadi 3, yaitu dari sisi aparat, institusi serta prosedur. Dari sisi
aparat, indikator akses keadilan terdiri dari:
• Jumlah/rasio aparat hukum (polisi, jaksa, hakim) dibandingkan dengan jumlah penduduk di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.
• Jumlah/rasio petugas Rutan dan LP dibandingkan dengan jumlah tahanan dan narapidana di
setiap institusi Rutan/LP
• Kualitas SDM aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas Rutan dan LP)
• Integritas dan akuntabilitas aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas Rutan dan LP)
• Kepercayaan publik terhadap aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas Rutan dan LP)
Institusi Akses terhadap Keadilan
• Jumlah dan rasio kantor OBH terhadap penduduk miskin di tingkat nasional, provinsi
maupun kabupaten.
• Jumlah dan rasio kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan, Rutan dan LP
terhadap penduduk di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten.






Jangkauan/jarak dan persebaran kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan,
Pengadilan, Rutan dan LP terhadap tempat tinggal penduduk.
Kondisi fisik/infrastruktur kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan,
Pengadilan, Rutan dan LP.
Kondisi dan kualitas layanan kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan,
Pengadilan, Rutan dan LP.
Kecepatan layanan kantor OBH, kantor pengacara, kantor polisi, kejaksaan, Pengadilan,
Rutan dan LP.
Biaya yang harus dikeluarkan oleh pencari keadilan ketika menggunakan institusi keadilan.

Prosedur Akses terhadap Keadilan
• Adanya hukum acara yang adil, akuntabel dan menjamin HAM.
• Adanya sistem yang mengatasi kendala bahasa, serta mengadopsi kebutuhan kaum difabel.
• Tingkat independensi dalam kerja dan pengambilan keputusan dari aparat/institusi yang
melakukan resolusi konflik serta dispute resolution.
• Tersedianya mekanisme kontrol (internal and external oversight) serta mekanisme check
and balances dari/terhadap: Pengacara, Polisi, Jaksa, Hakim, Petugas Rutan dan petugas
Penjara
Pelaksanaan dan Penegakan Resolusi
• Keberadaan institusi dengan kewenangan yang jelas untuk mengeksekusi hasil.
• Adanya aturan yang jelas jika hasil putusan/kesepakatan tidak dilaksanakan/ dieksekusi.

V. Akses terhadap Keadilan Sebagai Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan Pasca 2015.

Millenium Development Goals (MDGs), sebagai kerangka kerja pembangunan global akan segera
berakhir pada tahun 2015. Untuk mempersiapkan kerangka kerja pembangunan selanjutnya, para
perwakilan negara di PBB, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan
lainnya sedang menegosiasikan sebuah kerangka kerja baru pembangunan Pasca-2015.
Dalam kaitannya dengan agenda pembangunan pasca 2015, YLBHI dan INFID mendukung
proposal Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan yang diajukan oleh Kelompok Kerja Terbuka
untuk Pembangunan yang Berkelanjutan yang mengusulkan 17 tujuan dan 169 target dalam
pembangunan Pasca-201514. Alasan utama kami mendukung usulan dari Kelompok Kerja Terbuka
tersebut adalah karena di dalam proposal tersebut, akses terhadap keadilan dijadikan tujuan
pembangunan yang berdiri sendiri
Di dalam proposal Tujuan Pembangunan yang Berkelanjutan tersebut, akses terhadap keadilan
dituangkan sebagai Tujuan ke-16 yang berbunyi “Mempromosikan masyarakat damai dan inklusif
untuk pembangunan yang berkelanjutan, memberikan akses terhadap keadilan bagi semua orang
dan membangun lembaga-lembaga yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan.”15
Tujuan ini kemudian diperjelas di dalam target no. 16.3 yang menyatakan “Pemajuan penegakkan
negara hukum di tingkat nasional dan internasional dan memastikan akses yang setara atas
keadilan bagi semua orang.”
Magdalena Sepulveda mengatakan bahwa penempatan akses keadilan sebagai target pembangunan
yang berdiri sendiri merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa pemenuhannya
ditempatkan sebagai hal yang vital di dalam pembangunan sosial dan ekonomi yang berpusat pada
manusia (human-centred social and economic development).16 Sementara, kami memandang
pentingnya akses terhadap keadilan ditempatkan sebagai target yang berdiri sendiri, dan bukan
sebagai faktor pendorong (enabling factor) atau sebagai landasan yang abstrak, adalah agar
pemenuhannya dapat diukur dengan indikator-indikator capaian yang spesifik.

VI. Penutup.
Kami meyakini bahwa keberhasilan pembangunan suatu negara hanya dapat tercapai di dalam
masyarakat yang damai di mana hak-hak asasi manusia setiap individu dihormati, dilindungi dan
dipenuhi oleh pemerintah.
Selain itu, kami juga menyadari bahwa proses pembangunan memiliki kompleksitasnya sendiri di
mana di dalamnya terdapat berbagai benturan kepentingan. Oleh karena itu, kami berpendapat
bahwa akses terhadap keadilan memiliki peran yang instrumental di dalam memastikan adanya
perangkat instrumen dan mekanisme yang efektif yang dapat melindungi hak-hak asasi manusia di
dalam proses pembangunan, dan memastikan bahwa setiap orang yang dilanggar haknya, dapat
memperjuangkan keadilan dan pemulihan atas dirinya. Selain itu, kami juga percaya bahwa akses
14 Untuk mengetahui secara lengkap target-target pembagunan yang diajukan oleh Kelompok Kerja Terbuka, silahkan lihat, Open

Working Group Proposal for Sustainable Development Goals, yang dapat diakses di https://sustainabledevelopment.un.org/
focussdgs.html
15 Ibid.
16 Majelis Umum, “Laporan Pelapor Khusus untuk Kemiskinan Ekstrim dan Hak Asasi Manusia”, Loc. Cit.

terhadap keadilan dapat menghindarkan masyarakat dari konflik dan kekerasan di dalam
menyelesaikan benturan-benturan kepentingan di dalam pelaksanaan pembangunan.
Oleh karena itu, kami menyambut baik upaya pemerintah yang telah mengakomodasi kebutuhan
keadilan masyarakat Indonesia atas akses terhadap keadilan di dalam RPJMN 2015-2019. Namun
demikian, untuk menghindari pergeseran dari target-target pemenuhan akses terhadap keadilan
tersebut hingga menjadi sekedar aspirasi belaka, maka kami mendorong pemerintah untuk
mengadopsi indikator-indikator pemenuhan akses terhadap keadilan yang kami usulkan di atas,
sebagai alat ukur keberhasilan pencapaian target akses terhadap keadilan oleh pemerintah.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia memiliki kepentingan yang besar terhadap
perdamaian dunia, oleh karena itu ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di suatu negara,
dengan sendirinya akan menjadi ancaman bagi perdamaian di seluruh dunia.
Maka, terkait dengan tujuan pembangunan global pasca 2015 ini, YLBHI dan INFID mendorong
pemerintah Indonesia untuk:
1. Mendukung proposal yang diajukan oleh OWG-SDGs yang memuat 17 tujuan dan 169 target
yang harus dicapai untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Kami
juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendukung proposal tersebut sebagai bagian dari
komitmennya untuk mencapai keadilan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia;
2. Mendukung Tujuan 16 dari proposal pembangunan yang berkelanjutan yaitu,
"[M]empromosikan masyarakat damai dan inklusif untuk pembangunan yang berkelanjutan,
memberikan akses terhadap keadilan bagi semua orang dan membangun lembaga-lembaga
yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan.” Dan mendorong pemerintah untuk
mendukung Goal 16 dan 12 targetnya tersebut sebagai bagian dari komitmen globalnya
terhadap perdamaian dunia;
3. Kami, secara khusus, mendukung target 16.3 dari proposal WOG-SDGs, yaitu “Pemajuan
penegakkan negara hukum di tingkat nasional dan internasional dan memastikan akses yang
setara atas keadilan bagi semua orang.” Dan kami juga mendorong Pemerintah Indonesia
untuk mendukung target tersebut sebagai salah-satu upaya pemenuhan hak setiap orang atas
kesetaraan di muka hukum dan atas pengadilan yang adil, sesuai dengan Pasal 14 Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik di mana Indonesia menjadi salah satu negara pihak di
dalamnya.
4. Selain itu, kami juga meyakini bahwa segala akses terhadap keadilan, baik keadilan hukum,
serta keadilan-keadilan lainnya yang mencakup dimensi sipil, politik, sosial, ekononomi dan
kebudayaan akan sulit untuk didapatkan tanpa adanya pengakuan hukum atas individu,
khususnya dalam bentuk akta kelahiran dan identitas hukum lainnya. Untuk itu, kami turut
mendukung Goal 16.9 yaitu “Menyediakan identitas hukum bagi semua orang, termasuk akta
kelahiran pada tahun 2030.” Kami juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk mendukung
Goal 16.9 tersebut sebagai bentuk pemenuhan kewajiban hak asasi manusianya sesuai dengan
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Pasal 24 ayat (3) yang menyatakan
bahwa “Setiap anak berhak atas kewarganegaraan” dan juga di dalam Konvensi Hak Ana Pasal
7 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya, dan
sejak kelahirannya berhak untuk memperoleh sebuah nama, untuk memperoleh
kewarganegaraan, dan, sebisa mungkin, untuk mengetahui orang tuanya dan dibesarkan oleh
orang tuanya.”