Wae Rebo Kampung di Atas Awan
Wae Rebo, Kampung di Atas Awan
Wae Rebo memang indah dan menakjubkan, diselimuti oleh kabut tipis di seluruh perkampungan
membuat Wae Rebo pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’. Secara geografis kampung ini
terletak diatas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Wae Rebo merupakan bagian dari
Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores.
Disini wisatawan mendapat kesempatan untuk melihat dan tinggal di Mbaru Niang, sebuah rumah
tradisional Flores yang masih tersisa dan hanya ada di kampung Wae Rebo. Pada tahun 2012 silam,
Mbaru Niang mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Pemandangan alam perbukitan dan hutan
hijau yang masih asri, dengan diselimuti kabut yang kadang tersibak oleh hembusan angin sehingga
memperlihatkan tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya, merupakan sebuah
pemandangan bak di negeri khayalan.
Menginjak Kampung di Atas Awan
Wae Rebo yang berpenghuni 112 Kepala Keluarga atau sekitar 625 jiwa penduduk (data 2012) ini
semakin mencuri perhatian wisatawan, terutama wisatawan dari mancanegara. Tidak bisa dipungkiri
bahwa selain faktor biaya yang relatif mahal untuk sampai ke tempat ini, perjalanannya sendiri pun
memberikan pengalaman berpetualang dan tantangan tersendiri. Dari data yang diperoleh pada tahun
2011, total ada 313 turis dari 19 negara yang datang berkunjung ke kampung ini.
Awalnya adalah Yori Antar, seorang arsitek asal Jakarta yang penasaran dengan Mbaru Niang dari
sebuah kartu pos. Hingga pada 2008, Yori Antar berhasil ‘menemukan’ kampung Wae Rebo hanya
berbekal kartu pos bergambar Mbaru Niang. Melalui laporannya, banyak wisatawan asing yang
akhirnya mengetahui tempat ini dan kerap berkunjung ke Wae Rebo.
Selain ingin mengetahui tentang Mbaru Niang, suasana Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota
juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Kearifan lokal masyarakat pedalaman yang masih
bergantung dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika berkunjung ke kampung di atas
awan ini. Salah satu kearifan lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian Mbaru Niang.
Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru Niang tidak kurang dan tidak lebih. Satu
rumah Mbaru Niang bisa ditempati enam sampai delapan keluarga. Sisa masyarakat yang tidak
tertampung di Wae Rebo harus pindah ke kampung Kombo, sebuah kampung yang terletak kira-kira
lima kilometer dari Wae Rebo yang kemudian mendapat julukan kampung kembaran Wae Rebo karena
sebagian besar penduduk kampung Kombo berasal dari Wae Rebo.
Penduduk Wae Rebo sendiri bukannya tanpa usaha selain mendapat tambahan dari wisatawan yang
berkunjung. Kopi dan kain cura adalah salah satu usaha yang menjadi penghasilan utama dari
penduduk kampung Wae Rebo. Kopi yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika. Sedangkan kain
cura menjadi kerajinan kain tenun yang dilakukan oleh ibu-ibu di Wae Rebo. Kain cura ini memiliki
motif khas berwarna cerah. Untuk pejalan yang memang tertarik untuk mengoleksi kain tenun dari
beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa menjadi pilihan tersendiri.
Satu hal yang disayangkan dari kampung Wae Rebo sendiri adalah dari sektor pendidikan. Tidak ada
sekolah di kampung ini. Oleh karena itu anak-anak harus menuntut ilmu di kampung Kombo, yang
artinya mereka sudah harus merantau sejak umur tujuh tahun, kelas 1 SD.
Menurut cerita dari mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan kebenarannya, diketahui bahwa sekitar
seribu tahun yang lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap disini. Mereka inilah yang
menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Wae Rebo.
Meniti Bumi Menuju Kampung Awan
Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Namun mengingat akses transportasi udara, akan lebih mudah jika perjalanan dimulai dari
Labuan Bajo. Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari Ruteng
sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo.
Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa,
hamparan sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan pesisir
pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules
dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge berperan sebagai desa transit bagi
para wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay
yang dikelola oleh warga Denge maupun Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan
perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge setelah perjalanan panjang dari
Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik
itu motor maupun mobil. Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk
memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi
tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat trekking menuju Wae
Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4
jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak desa Denge persis di tepi
pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan
hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat
jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki hutan, pengunjung akan
disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah
lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama perjalanan
melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil hasil
hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke
sanak keluarga, dan lain sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan longsor dan jalanan semakin
menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para
pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter
bebatuan yang besar, kerap menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai
kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk
orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. Poco Roko
merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini
biasanya warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia
luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update status di salah satu
jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita akan
sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama
seperti bahan yang digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat
di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang mengepulkan asap.
Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman
kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung Wae Rebo.
Merangkul Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal
sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’u.
Ritual ini dipimpin oleh salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan
kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut
meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung ketika sudah
sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai
saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk
melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil tentang beberapa hal yang tabu
dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai
pakaian sopan, artinya untuk para wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants, selain
karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan lawan jenis maupun sejenis,
seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri.
Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini.
Pengunjung juga diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang penggunaan uang administrasi bagi
wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya administrasi selalu
dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu
dikaitkan dengan korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut kearifan
lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang
administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan
memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar
generator set dan sumber air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae
Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti
kegiatan ini, seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan para
lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang biasanya dilakukan di depan
rumah. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat
malam tiba pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang namanya sudah
mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan
saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di
kampung ini, Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’. Bangunan
berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh
tanah, mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat
perapian yang terletak di tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah digunakan untuk
menyimpan drum pusaka suci dan gong yang merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi
dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini
melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik
pusatnya. Pada kenyataannya memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang
tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah
kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang keseluruhannya ditutup dengan ijuk.
Didalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang menggunakan rotan
untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang
artinya satu rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar. Konsep
arsitektur inilah yang membuat Yori Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini pada
tahun 2008. Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat. Masing-masing tingkat memiliki
nama dan fungsinya masing-masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi
sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang
berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga disebut
lentar, yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi dan kacangkacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat yang disediakan untuk
menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang
berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan
sesajian yang akan digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat dan fungsinya masih
ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang
rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo
dalam semangat gotong royong.
Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan penghargaan Award of Excellence
pada acara UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012 di Bangkok. Penghargaan ini diberikan kepada
proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari
lima puluh tahun. Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari 11 negara di Asia
Pasifik, antara lalin sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina dan Masjid
Khilingrong di Pakistan. Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan
proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu
konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.” Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur
yang masih kaya dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak eksplorasi budaya dan
wisata disini. Bukan untuk melakukan eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan
adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di lokasi wisata akan semakin baik, akses jalan
salah satunya, faktor transportasi juga perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama untuk
infrastrukturnya. Tidak heran kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi Wisata
Budaya Utama di Flores Barat.
Wae Rebo memang indah dan menakjubkan, diselimuti oleh kabut tipis di seluruh perkampungan
membuat Wae Rebo pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’. Secara geografis kampung ini
terletak diatas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Wae Rebo merupakan bagian dari
Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores.
Disini wisatawan mendapat kesempatan untuk melihat dan tinggal di Mbaru Niang, sebuah rumah
tradisional Flores yang masih tersisa dan hanya ada di kampung Wae Rebo. Pada tahun 2012 silam,
Mbaru Niang mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Pemandangan alam perbukitan dan hutan
hijau yang masih asri, dengan diselimuti kabut yang kadang tersibak oleh hembusan angin sehingga
memperlihatkan tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya, merupakan sebuah
pemandangan bak di negeri khayalan.
Menginjak Kampung di Atas Awan
Wae Rebo yang berpenghuni 112 Kepala Keluarga atau sekitar 625 jiwa penduduk (data 2012) ini
semakin mencuri perhatian wisatawan, terutama wisatawan dari mancanegara. Tidak bisa dipungkiri
bahwa selain faktor biaya yang relatif mahal untuk sampai ke tempat ini, perjalanannya sendiri pun
memberikan pengalaman berpetualang dan tantangan tersendiri. Dari data yang diperoleh pada tahun
2011, total ada 313 turis dari 19 negara yang datang berkunjung ke kampung ini.
Awalnya adalah Yori Antar, seorang arsitek asal Jakarta yang penasaran dengan Mbaru Niang dari
sebuah kartu pos. Hingga pada 2008, Yori Antar berhasil ‘menemukan’ kampung Wae Rebo hanya
berbekal kartu pos bergambar Mbaru Niang. Melalui laporannya, banyak wisatawan asing yang
akhirnya mengetahui tempat ini dan kerap berkunjung ke Wae Rebo.
Selain ingin mengetahui tentang Mbaru Niang, suasana Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota
juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. Kearifan lokal masyarakat pedalaman yang masih
bergantung dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika berkunjung ke kampung di atas
awan ini. Salah satu kearifan lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian Mbaru Niang.
Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru Niang tidak kurang dan tidak lebih. Satu
rumah Mbaru Niang bisa ditempati enam sampai delapan keluarga. Sisa masyarakat yang tidak
tertampung di Wae Rebo harus pindah ke kampung Kombo, sebuah kampung yang terletak kira-kira
lima kilometer dari Wae Rebo yang kemudian mendapat julukan kampung kembaran Wae Rebo karena
sebagian besar penduduk kampung Kombo berasal dari Wae Rebo.
Penduduk Wae Rebo sendiri bukannya tanpa usaha selain mendapat tambahan dari wisatawan yang
berkunjung. Kopi dan kain cura adalah salah satu usaha yang menjadi penghasilan utama dari
penduduk kampung Wae Rebo. Kopi yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika. Sedangkan kain
cura menjadi kerajinan kain tenun yang dilakukan oleh ibu-ibu di Wae Rebo. Kain cura ini memiliki
motif khas berwarna cerah. Untuk pejalan yang memang tertarik untuk mengoleksi kain tenun dari
beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa menjadi pilihan tersendiri.
Satu hal yang disayangkan dari kampung Wae Rebo sendiri adalah dari sektor pendidikan. Tidak ada
sekolah di kampung ini. Oleh karena itu anak-anak harus menuntut ilmu di kampung Kombo, yang
artinya mereka sudah harus merantau sejak umur tujuh tahun, kelas 1 SD.
Menurut cerita dari mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan kebenarannya, diketahui bahwa sekitar
seribu tahun yang lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap disini. Mereka inilah yang
menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Wae Rebo.
Meniti Bumi Menuju Kampung Awan
Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Namun mengingat akses transportasi udara, akan lebih mudah jika perjalanan dimulai dari
Labuan Bajo. Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari Ruteng
sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo.
Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa,
hamparan sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan pesisir
pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules
dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge berperan sebagai desa transit bagi
para wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay
yang dikelola oleh warga Denge maupun Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan
perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge setelah perjalanan panjang dari
Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik
itu motor maupun mobil. Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk
memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi
tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat trekking menuju Wae
Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4
jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak desa Denge persis di tepi
pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan
hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat
jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki hutan, pengunjung akan
disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah
lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama perjalanan
melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil hasil
hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke
sanak keluarga, dan lain sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan longsor dan jalanan semakin
menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para
pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter
bebatuan yang besar, kerap menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai
kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk
orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. Poco Roko
merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini
biasanya warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia
luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update status di salah satu
jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita akan
sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama
seperti bahan yang digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat
di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang mengepulkan asap.
Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman
kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung Wae Rebo.
Merangkul Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal
sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’u.
Ritual ini dipimpin oleh salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan
kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut
meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung ketika sudah
sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai
saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk
melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil tentang beberapa hal yang tabu
dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai
pakaian sopan, artinya untuk para wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants, selain
karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu
mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan lawan jenis maupun sejenis,
seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri.
Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini.
Pengunjung juga diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang penggunaan uang administrasi bagi
wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya administrasi selalu
dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu
dikaitkan dengan korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut kearifan
lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang
administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan
memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar
generator set dan sumber air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae
Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti
kegiatan ini, seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan para
lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang biasanya dilakukan di depan
rumah. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat
malam tiba pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang namanya sudah
mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan
saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di
kampung ini, Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’. Bangunan
berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh
tanah, mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat
perapian yang terletak di tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah digunakan untuk
menyimpan drum pusaka suci dan gong yang merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi
dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini
melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik
pusatnya. Pada kenyataannya memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang
tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah
kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang keseluruhannya ditutup dengan ijuk.
Didalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang menggunakan rotan
untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang
artinya satu rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar. Konsep
arsitektur inilah yang membuat Yori Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini pada
tahun 2008. Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat. Masing-masing tingkat memiliki
nama dan fungsinya masing-masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi
sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang
berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga disebut
lentar, yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi dan kacangkacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat yang disediakan untuk
menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang
berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan
sesajian yang akan digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat dan fungsinya masih
ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang
rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo
dalam semangat gotong royong.
Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan penghargaan Award of Excellence
pada acara UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012 di Bangkok. Penghargaan ini diberikan kepada
proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari
lima puluh tahun. Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari 11 negara di Asia
Pasifik, antara lalin sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina dan Masjid
Khilingrong di Pakistan. Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan
proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu
konservasi dalam cakupan yang luas di tataran lokal.” Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur
yang masih kaya dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak eksplorasi budaya dan
wisata disini. Bukan untuk melakukan eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan
adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di lokasi wisata akan semakin baik, akses jalan
salah satunya, faktor transportasi juga perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama untuk
infrastrukturnya. Tidak heran kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi Wisata
Budaya Utama di Flores Barat.