Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja 19 (1)

Hubungan Diplomatik Indonesia-Kamboja (1950-1979)
Oleh: Muhamad Mulki Mulyadi Noor
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai dinamika hubungan diplomatik antara Indonesia dan Kamboja
di bawah tiga rezim yaitu rezim Sihanouk, Lon Nol dan Pol Pot, serta bagaimana pasang surut
hubungan tersebut di tengah konflik yang melanda wilayah Kamboja serta apa saja kebijakan
yang diambil oleh pihak Republik Indonesia dalam membina hubungan antara kedua negara.
Hubungan Kamboja-Indonesia adalah hubungan mutualisme yang pada awalnya kedua negara
memiliki visi dan misi yang sama, namun semenjak Pangeran Sihanouk tersingkir dari
kekuasaan kondisi politik semakin tidak menentu, disinilah terdapat upaya Indonesia untuk terus
menjalin hubungan diplomatik dengan rakyat Kamboja siapa pun penguasanya dan juga
bersama dengan ASEAN mencarikan jalan keluar politik bagi konflik internal yang
menghancurkan negeri itu.

A. Pendahuluan
Dalam sejarahnya, hubungan antara kepulauan Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara
daratan (Indocina) telah terjalin selama berabad-abad bahkan sebelum lahirnya kolonialisasi
wilayah ini. Wilayah Asia Tenggara sendiri memiliki daya tarik yang sangat besar karena
disamping tanahnya yang subur dan alamnya yang eksotik, hawa dan musimnya pun selalu stabil
sehingga mengakibatkan perdagangan dunia selama ribuan tahun seakan tiada putus-putusnya di
kawasan ini. Selain pertanian, perdagangan adalah kegiatan ekonomi yang paling vital bagi

daerah-daerah di kawasan Asia tenggara. Zaman keemasan Asia tenggara sebagai pusat
perdagangan dunia adalah pada awal abad kelima belas hingga akhir abad ke tujuh belas ketika
agama Islam telah memapankan kehadirannya dengan pembentukan masyarakat dagang yang
substansif di wilayah-wilayah pelabuhan di utara Sumatera, timur Jawa, Champa, dan pesisir
timur semenanjung Malaya.1
Masa itu merupakan puncak dari kejayaan dan kemandirian kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara,
Anthony Reid, menyebutnya sebagai zaman perdagangan sedangkan K.N Chaudhuri
menggambarkannya sebagai periode jaringan perdagangan jarak jauh di zona Samudera Hindia
yang telah membangun sistem kapitalisme perdagangan yang kuat di Asia. 2 Jalur-jalur
perdagangan terkenal yang melewati Asia Tenggara pada masa itu ada tiga yaitu jalur sutera,
jalur keramik dan jalur rempah-rempah. Jalur perdagangan ini setidaknya telah ada sejak abad
kedua sebelum masehi.3
Ramainya perdagangan di Asia Tenggara memberi andil besar dalam terbentuknya kota-kota
pesisir yang mendominasi perdagangan pada masa kejayaan jalur rempah-rempah seperti
Malaka, Aceh, Banten, Campa, Bangkok, Cirebon, Makassar, Ternate dan lain-lain. Hubungan
ekonomi dan politik antara negara-negara Asia Tenggara otomatis terputus pada masa
kolonialisme. Pada tahun 1900 kecuali Kerajaan Siam, semua pusat-pusat pemerintahan Asia
Tenggara telah tunduk kepada pemerintahan Kolonial Eropa meskipun di wilayah pinggiran yang

1 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia tenggara, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006, h. 60

2 Drs Ahmad Syahid MA Dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia tenggara, Jilid V, Bachtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 2002, h. 271
3 Tan Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas, Jakarta, 2010, h. 216

masih merdeka aksi pasifikasi telah diberlangsungkan oleh pemerintah Hindia Belanda hingga
tahun 1906.4
Kerajaan Kamboja sendiri telah menjadi protektorat perancis sejak tahun 1864 bersama Vietnam
dan Laos. Situasi perpolitikan di Kerajaan Kamboja itu sejak awal abad ke-17 sudah semakin
melemah karena menjadi wilayah proxy antara dua kekuatan besar masa itu yang saling bersaing
memperebutkan pengaruh di wilayah Indocina yaitu Siam dan Vietnam. Kelemahan Kamboja
juga disebabkan oleh faktor ekonomi serta konflik internal pihak kerajaan yang memungkinkan
kedua kerajaan tetangganya mengintervensi Kamboja secara ekonomi, politik dan budaya. Pada
tahun 1834 Kamboja secara resmi berada di bawah kepemimpinan Kerajaan Vietnam namun
kemudian pada tahun 1847 Kamboja berhasil mendapatkan kemerdekaan dan kedamaian di
bawah Raja Duang (1848-1860) yang merupakan gabungan antara kepemimpinan Siam dan
Vietnam sebelum akhirnya ketiga negara tersebut menjadi protektorat Perancis.
Berbeda dengan Vietnam dan Laos yang tidak mampu mempertahankan kepemimpinan
tradisionalnya, di Kamboja kepemimpinan Monarki tetap langgeng berkat bantuan Perancis. Raja
Kamboja berkontribusi penting dalam menciptakan persatuan, loyalitas dan kedamaian dalam
negeri meskipun dalam tekanan penjajahan. Pada awalnya Perancis membantu Raja Norodom

untuk memadamkan pemberontakan berdarah yang ditujukan kepada keluarga kerajaan pada
tahun-tahun antara perjanjian pertama (1863) dan perjanjian kedua (1884), dalam hal ini Perancis
mendapatkan posisi tawar yang kuat dalam pemerintahan Monarki, namun situasi berbalik ketika
pemberontakan rakyat ditujukan kepada pemerintahan Perancis. Posisi Raja Norodom semakin
kuat sehingga mampu untuk bekerjasama dengan Perancis untuk memulihkan ketertiban umum.5
Posisi Monarki Kamboja yang tetap memainkan peranan politik penting di wilayah ini
berlangsung hingga terjadinya perang dunia kedua dimana Kamboja diduduki oleh Jepang.
Setelah Jepang menyerah dan sekutu kembali menduduki Indocina, pihak Inggris yang telah
lemah tidak dapat mencegah Perancis untuk datang kembali ke Kamboja tanpa perlawanan yang
berarti. Raja Kamboja yang berkuasa ketika itu, Pangeran Norodom Sihanouk untuk sementara
dapat mempertahankan kepentingan politik Kamboja dengan menyesuaikan posisinya di mata
4 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, Pustaka Obor, Jakarta, 2011, h. xvii, Lihat juga:
M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, Komunitas Bambu,
Depok, 2013, h. 383
5 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 231-293

Perancis yang menahan pengaruh dari saingan Raja, seorang pemimpin Nasionalis yang bernama
Son Ngoch Thanh. Kamboja kemudian tetap berstatus sebagai Monarki konstitusional akan
tetapi tanpa kedaulatan penuh terhadap hubungan luar negeri bahkan terhadap tentaranya sendiri,
keduanya tetap berada di bawah komando Perancis.6

Pada tahun 1953 melalui perjanjian Jenewa, Perancis memberikan kemerdekaan bagi Kamboja
dan mengakhiri status perang Indocina pertama. Dengan deklarasi tersebut semua tentara asing
harus hengkang dari Indocina dengan meninggalkan Kamboja sebagai negara merdeka dengan
status netral. Dengan demikian posisi Monarki menjadi semakin tidak tergoyahkan dalam
mengkonsolidasikan kekuasaan eksekutifnya di dalam negeri. Maka, dimulailah era baru bagi
Kerajaan Kamboja untuk menentukan sendiri nasib negaranya serta hubungan internasionalnya
dengan negara-negara di dunia dan negara-negara ASEAN, khususnya dalam konteks hubungan
diplomatik dengan Republik Indonesia yang saat itu juga belum lama menerima pengakuan
kedaulatan pada tahun 1949. Hubungan diplomatik antara kedua negara yang baru merdeka
tersebut menarik untuk dikaji dalam pembahasan selanjutnya. Pembahasan ini diharapkan dapat
menjadi bahan kajian awal yang dapat menjadi diskusi menarik tentang sejarah hubungan
Indonesia dan Kamboja baik pada masa damai maupun pada masa konflik.
B. Rezim Sihanouk: Kesamaan Arah Politik
Awal hubungan Indonesia-Kamboja sangat dipengaruhi oleh adanya persamaan sikap dan
pandangan dalam politik luar negeri. Indonesia-Kamboja sama-sama tidak memihak dan
menolak campur tangan asing dalam urusan dalam negeri tiap-tiap negara. Indonesia yang baru
merdeka sangat anti penjajahan dan neo-imperialisme yang direpresentasikan oleh kekuatan
Amerika dan Uni Soviet. Prinsip-prinsip ini yang dipegang kedua negara dalam menciptakan
kedamaian serta menghormati kemerdekaan dan kedaulatan negara lain. 7 Situasi genting pada
masa Revolusi Cina, Perang Korea, dan kekalahan Perancis di Indocina membuat sekutu ingin

memperkuat jaringan militernya di Asia Tenggara dengan mendirikan SEATO 8 untuk
6 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 567-569
7 Nazaruddin nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, KBRI Pnom Penh Cambodia,
Jakarta, 2012, h. 10
8 SEATO (South East Asia Treaty Organization) adalah organisasi yang dibentuk bersama oleh Filipina, Amerika
Serikat, Perancis, Inggris, New Zealand, Australia, Thailand dan Pakistan pada tahun 1954 yang bermarkas di Kota
Bangkok, Thailand. Organisasi ini bertujuan untuk membendung pengaruh Uni Soviet dan Komunisme di kawasan
Pasifik dan Asia Tenggara serta menciptakan keamanan di kawasan tersebut. SEATO kemudian dibubarkan pada
tanggal 30 Juni 1977.

menghambat pergerakan Uni Soviet dan perkembangan Komunisme di Asia Tenggara. Meskipun
begitu Kamboja di bawah Pangeran Shihanouk tetap meneguhkan netralitas Kamboja di tengah
ancaman dan perang dingin dari kedua kubu.
Sihanouk pada awalnya ingin bergabung dengan SEATO namun karena banyak pertimbangan
seperti ancaman Vietnam Utara dan perlindungan Vietnam Selatan terhadap oposisi Kerajaan, ia
akhirnya mengurungkan niatnya. Pangeran Shihanouk menolak keanggotaan di SEATO namun
tetap mempertahankan keanggotaan Kamboja di PBB demi meraih dukungan Internasional serta
mengusahakan

bantuan


persenjataan

dari Amerika

Serikat,

di

samping

itu

untuk

mempertahankan keseimbangan politik Sihanouk juga tetap membuka hubungan diplomatik
dengan Cina dan Uni Soviet serta menandatangani perjanjian dagang dan ekonomi dengan
keduanya.
Sikap Indonesia sendiri sangat mendukung netralitas Pangeran Sihanouk dalam menghadapi baik
ancaman Komunisme maupun ancaman Barat karena Indonesia melihat bahwa Kamboja

merupakan wilayah yang strategis dalam membendung pengaruh SEATO serta menghadapi
perang dingin di Asia Tenggara. Indonesia bersama negara-negara non-blok lainnya seperti India,
Birma dan Yugoslavia berhasil membujuk Kamboja agar tidak merubah haluan politiknya. Bagi
Indonesia netralitas Kamboja berarti memperluas zona aman dan perdamaian di daratan Asia
Tenggara.9
Pada tahun 1955, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika diadakan di Bandung.
Konferensi Asia Afrika diinisiasi oleh beberapa negara yaitu Indonesia, Myanmar, Sri lanka,
India dan Pakistan yang bertujuan mempersatukan negara-negara di Asia dan Afrika yang baru
merdeka dalam menentang ideologi neo-imperialisme negara-negara Barat Konferensi ini
diawali dengan usulan Perdana Menteri Ali Sostroamijojo tentang perlunya kerjasana negaranegara di Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia, selanjutnya diadakan pertemuan di dua kota
yaitu Kolombo dan Bogor untuk merumuskan bagaimana bentuk konferensi yang akan digelar.
KTT Asia Afrika dihadiri oleh 29 negara termasuk Kerajaan Kamboja yang diwakili oleh
Pangeran Sihanouk. Keikutsertaan Kamboja dalam KTT Asia Afrika didukung penuh oleh
Presiden Soekarno, Perdana Menteri India Jawahral Nehru, dan Pemimpin Cina Zhou Enlai. Saat
9 Report of A Finnish Inquiry Commision, Kampuchea in The Seventies, Tampereen Pikakopio Oy, Tamperee, 1982,
h. 10

itu pertama kalinya sang Pangeran bertemu dengan Presiden Soekarno, yang datang untuk
menegaskan netralitas Kamboja namun masih berhati-hati terhadap negara tetangganya yang
Komunis.10 Secara keseluruhan pertemuan itu menimbulkan kesan yang baik bagi Pangeran

Norodom karena mengetahui bahwa Presiden Soekarno sangat piawai dalam berpidato dan
berbahasa asing. Hubungan ini berjalan baik dan Pangeran sendiri sangat mengagumi Soekarno
dan bertekad untuk meniru Ideologi NASAKOM besutan sang Presiden untuk diterapkan di
Kamboja.
Prestasi-prestasi Pangeran Sihanouk dalam kurun waktu sepuluh tahun (1950-1960) dalam
memperkuat kontrol pemerintah terhadap politik dalam negeri dan kesuksesan membina
hubungan luar negeri ternyata menimbulkan ketidakpuasaan dari kalangan oposisi yang tidak
setuju dengan kebijakannya. Menyusul dengan terjadinya konflik perbatasan dengan Thailand
pada tahun 1961, Kamboja memutuskan hubungan diplomatik dengan Thailand. Beberapa tahun
kemudian pada tahun 1965 Kamboja juga memutuskan program bantuan militer dari Amerika
sekaligus hubungan diplomatiknya keputusan tersebut kemudian membawa kejatuhan bagi rezim
Sihanouk pada tahun 1970.
Di samping itu kejatuhan Sihanouk juga tidak lepas dari hubungannya yang erat dengan pihak
komunis karena diam-diam pada tahun 1966 Sihanouk telah membuat kesepakatan dengan
Vietnam Utara dan menyediakan tempat berlindung bagi pasukan Viet-Cong di wilayah
territorial Kamboja.11 Kebijakan inilah yang menimbulkan penentangan tajam di pihak oposisi
nasionalis dan anti-komunis yang menamakan diri Khmer Serei (Free Khmer) di bawah
pimpinan Song Ngoch Tanh. Kelompok pemberontak ini utamanya beroperasi di wilayah
perbatasan Vietnam Selatan dan Thailand pada tahun 1950an. Mereka menentang Raja dan sejak
tahun 1960an telah merekrut sebanyak mungkin anggota dan menjadi salah satu milisi yang

disegani. Tujuan mereka kemudian adalah menjatuhkan kekuasaan Pangeran Norodom.12 Posisi
kekuatan Khmer Serei dibandingkan dengan mayoritas Khmer merah yang komunis ternyata
tidak menjadi tantangan serius bagi Kerajaan, pemberontakan Khmer Serei tidak berhasil

10 Michael Leifer, Cambodia: The Search for Security, Frederick A. Preager, USA, 1967, h. 62
11 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 584
12 Robert L. Turkoly-Joczik, The Khmer Serei Movement, Asian Affairs, Vol. 15, No. 1, Spring, 1988, h. 57

menjadi kenyataan sehingga organisasi tersebut secara formal dibubarkan oleh Tanh pada tahun
1969 dan kemudian menyatakan dukungan terhadap rezim Lon Nol.13
C. Awal Hubungan Diplomatik dan Budaya
Hubungan Indonesia-Kamboja berlanjut setelah KTT Asia Afrika dengan saling kunjungmengunjungi antara kedua kepada negara. Pangeran Sihanouk kemudian secara resmi
berkunjung untuk yang pertama kalinya ke Jakarta pada tahun 1959, kunjungannya tersebut
bertujuan agar Kamboja-Indonesia semakin mempererat kerjasama dengan mengadakan
perjanjian persahabatan sesuai dengan isi Dasasila Bandung yang dihasilkan dalam KTT Asia
Afrika. Dalam kunjungan itu Pangeran mengunjungi Kota Bandung dan Candi Borobudur,
selanjutnya

diadakan


pembicaraan

dengan

pemerintah

RI

yang

diakhiri

dengan

ditandatanganinya Perjanjian persahabatan (Treaty of Amity) dan Deklarasi Bersama (Joint
Declaration) yang menegaskan komitmen kedua negara mengamalkan prinsip-prinsip Dasasila
Bandung dalam menjaga serta memelihara perdamaian dunia.
Peristiwa tersebut menandai dibukanya hubungan Bilateral Indonesia-Kamboja yang disahkan
oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960, dengan demikian akan dibuka perwakilan diplomatik
pada masing-masing negara. Dengan dibukanya perwakilan diplomatik, Indonesia mengirimkan

Duta Besarnya yang pertama yaitu Abdul Karim Rasyid (1962-1965) yang berkedudukan di
Phnom Penh. Pada Maret 1962, Abdul karim resmi menjabat sebagai Duta Besar hingga tahun
1965 yang kemudian digantikan oleh Boediardjo hingga tahun 1968. Sebaliknya Kamboja
mengirimkan Duta Besar pertamanya yang bernama Mr. Koun Wick yang dilanjutkan oleh Mr.
Hem Phanrasy yang bertugas hingga tahun 1969.14
Setelah kunjungan Pangeran Sihanouk yang pertama, Presiden Soekarno kemudian mengadakan
kunjungan balasan resmi pertamanya ke Kamboja pada Juni 1959. Kunjungan ini disambut
secara meriah oleh rakyat Kamboja, Pangeran Sihanouk dan parlemen Kamboja. Milton Osborn
mencatat

bahwa

ketika

Soekarno

berkunjung,

Pangerang

Sihanouk

memperlihatkan

kebolehannya dalam berpidato menerjemahkan pidato berapi-api Presiden Soekarno yang

13 Ben Kiernan. How Pol Pot Came to Power: Colonialism, Nationalism, and Communism in Cambodia, 19301975, New Haven, Yale University Press, 1985, h. 47
14 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 25-37

menggunakan bhasa inggris ke dalam bahasa Khmer, penampilan impresif ini membuat kagum
banyak orang.15
Kunjungan ini juga bertujuan membagi pandangan dan sikap yang sama antara Soekarno dan
Sihanouk mengenai isu-isu internasional khususnya Asia Tenggara. Sihanouk dan Soekarno
sama-sama anti kolonialisme dan imperialisme dan juga sama-sama menghadapi situasi dalam
negeri yang genting terkait dengan komunisme. Sikap kedua pemimpin ini sama-sama berakibat
keduanya dijatuhkan oleh angkatan perang masing-masing. Selain kesamaan pandangan dan
sikap, keduanya juga memiliki kesamaan dalam cita rasa musik, nyanyian, cerita rakyat dan
lukisan. Karena itu Soekarno sangat menyukai Kamboja dan berkunjung kesana sebanyak lima
kali antara tahun 1959-1965. Ketika Pangeran Sihanouk berkunjung kembali ke Indonesia dalam
beberapa kunjungan resmi maupun tak resmi, ia bersama Soekarno sering bersama-sama
mengunjungi beberapa kepulauan Nusantara seperti Sumatera dan Bali.
Hubungan dalam bidang politik tersebut segera dilanjutkan dengan hubungan kebudayaan.
Selama berada di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta dan Solo Pangeran Sihanouk
menyaksikan berbagai pertunjukan tarian klasik Indonesia begitu pula dengan tim seni tari dari
Kamboja juga menampilkan berbagai seni tari klasik Kamboja. Dalam salah satu pagelaran
kebudayaan putri Sihanouk yang bernama Bopha Devi berhasil menarikan salah satu tarian
Indonesia hanya dalam beberapa jam setelah mempelajarinya. Hubungan lewat kebudayaan ini
terbukti mampu mempererat hubungan kedua negara berdasarkan kesamaan kultural. 16 Selain itu
Pangeran Norodom Sihanouk juga sangat terkesan dengan Presiden Soekarno yang dianggapnya
berwawasan luas dan sangat mencintai seni dan budaya, terlebih lagi antara kesenian Indonesia
dan Kamboja memiliki kesamaan karena berakar dari hubungan yang erat di masa lalu, karena
itu pula Pangeran Sihanouk sangat menyukai tarian-tarian asli Indonesia yang memiliki
kemiripan dengan tarian Kamboja. 17
D. Rezim Lon Nol dan Pengaruh Amerika
Keterlibatan Amerika di Vietnam dan eskalasi yang memuncak terhadap Vietnam Utara berimbas
pada kondisi perpolitikan di Kamboja, sedangkan bagi gerakan resistensi Vietnam, netralitas
15 Milton E. Osborne, Prince Sihanouk: Prince of Light, Prince of Darkness, University of Hawaii Press, Hawaii,
1994, h. 4
16 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 25-32
17 Milton E. Osborne, Prince Sihanouk: Prince of Light, Prince of Darkness, h. 153

Kamboja sangat menguntungkan demi memberikan perlindungan bagi gerakan perlawanan
tersebut. Pemutusan hubungan diplomatik dengan Amerika pada 1961 berimbas pada
kemerosotan ekonomi dan militer negara itu sebab sepertiga dari anggaran kepolisian dan militer
kamboja berasal bari bantuan Amerika Serikat. Pada pertengahan 60-an Amerika semakin aktif
di Vietnam sehingga dengan mudah memberikan bantuan kepada gerakan oposisi kanan di
Kamboja.
Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lon Nol dan Sirik Matak, Kamboja kembali menjalin
hubungan dengan Amerika Serikat. Golongan Pro-Amerika berhasil menguasai perpolitikan
negara dan menjadikan pemerintah beserta pegawainya menjadi pengikut sayap kanan sedangkan
golongan kiri memilih menyingkir ke desa-desa dan pegunungan demi melakukan perlawanan
bersenjata. Karena itu antara tahun 1967-1968 terjadi pemberotakan petani yang ditindas secara
kasar oleh pemerintah, pemberontakan ini menyebabkan meluasnya pengaruh gerakan Khmer
Merah di kalangan rakyat utamanya petani yang nantinya akan berimbas pada jatuhnya rezim
Lon Nol. Pada tahun 1969, hubungan diplomatik baru dengan Amerika dimulai dan bantuan
ekonomi Amerika mulai digulirkan kembali namun dibalik itu Amerika memerlukan tentara
Kamboja untuk ikut serta dalam perang Vietnam sehingga kebijakan netral Pangeran Sihanouk
menjadi ganjalan bagi Amerika dalam menjalankan kepentingannya tersebut.18
Maka, pada 18 Maret 1969 Pangeran Sihanouk dikudeta oleh militer Kamboja yang pro Amerika
yang dipimpin oleh Jenderal Lon Nol. Pangeran Sihanouk kemudian mengasingkan diri ke
Beijing dan melakukan gerakan oposisi. Kemudian sistem Kerajaan segera dihapuskan dengan
dibentuknya Republik Khmer. Dibalik jatuhnya Sihanouk terdapat aspek-aspek pertentangan
politik dan ideologi seperti yang terjadi di Indonesia. Di Kamboja terjadi pertentangan antara
kaum sosialis-komunis, kaum Monarki yang menginginkan hubungan bebas serta netralitas
negara, dan golongan sayap kanan yang di dukung oleh Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri
tiga golongan tersebut berupa Partai Komunis, Golongan Sukarnois (termasuk Angkatan Udara)
dan Angkatan Darat (ABRI). Angkatan bersenjata Kamboja yang telah diinfiltrasi oleh golongan
pro-Amerika berhasil menjatuhkan Sihanouk dari kekuasaannya, mendirikan Republik Khmer
dan ikut serta dalam perang Vietnam.
18 Kebijakan Amerika di Kamboja dapat di baca selengkapnya dalam: Robert G. Sutter The Cambodian Crissis &
U.S Policy Dillemmas, Westview Special Studies on South and Southeast Asia, Westview Press, USA, 1991, dan
Beryl William (ed), R.B Smith, Communist Indochina, Routledge Studies in the Modern Hitory of Asia, Routledge,
New York, 2012

Pemerintahan Lon Nol bertekad untuk bersikap lebih tegas terhadap komunis Vietnam dan
Kamboja. Ia memulai serangkaian kampanye militer melawan kedua musuh ini meski secara
umum usahanya tidak berhasil. Pemboman di pedesaan oleh Amerika Serikat menimbulkan
kemarahan rakyat yang menyebar luas terhadap pemerintah. Sihanouk sendiri pasca kudeta
memimpin pemerintahan oposisi yang dibekingi oleh kelompok komunis. Peran Sihanouk ini
pula yang menyebabkan bangkitnya Khmer Merah dan kekalahan rezim Lon Nol.19
Keikutsertaan dalam perang yang dikenal sebagai perang Indocina kedua ini sangat merugikan
bagi Kamboja. Sedikitnya sepuluh persen dari populasi menjadi korban (sekitar dua juta) dan
masifnya pemboman di wilayah pedesaan menjadikan kota-kota menjadi penuh dengan
pengungsi. Karena sistem transportasi dan industri kecil negara yang hancur lebur, produksi
tekstil, pangan dan kebutuhan pokok di Kamboja juga menurun lebih dari setengah dibandingkan
tahun sebelumnya dan sekitar 75 % dari industri peternakan telah hancur di negara itu.20
Pemerintahan Lon Nol terbukti lemah dengan hancurnya ekonomi dan korupsi yang merajalela
di kalangan pejabat administratif pemerintahannya. Ekonomi Kamboja hanya mengandalkan
bantuan dari Amerika Serikat dan perdagangan di pasar gelap. Semakin bertambahnya dukungan
bagi Khmer Merah serta pengaruh Pangeran Sihanouk yang juga tetap kuat di pengasingan
membuktikan bahwa pemerintahan Lon Nol telah gagal menghadapi oposisi yang terjadi di
dalam dan luar negeri bahkan di internal pemerintahan pun tidak terlalu solid. Keterlibatan
Kamboja dalam perang Indocina malah membuat posisi Kamboja semakin sulit dan rakyat makin
menderita. Perundingan-perundingan dengan pihak Khmer Merah tidak juga membuahkan hasil
termasuk sebuah pertemuan di Bangkok yang diinisiasi oleh ASEAN, perundingan itu gagal
setelah pihak Sihanouk dan Khmer Merah menolak menghadiri perundingan tersebut. 21
Kesempatan ini yang diambil oleh Khmer Merah untuk menyusun strategi agar dapat
mengalahkan Pnom Penh dan terbukti bahwa pada awalnya dengan dukungan Pangeran
Sihanouk, Khmer Merah dapat merebut kota Pnom Penh hanya dengan sedikit perlawanan dari
rezim Lon Nol.

19 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 585
20 Report of A Finnish Inquiry Commision, Kampuchea in The Seventies, h. 11-12
21 “Perundingan Damai Khmer di Bangkok”, Warta Berita Antara, 8 April 1975. Lihat dalam: Dirga Fawakih,
Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015

Posisi Indonesia sendiri dalam menyikapi rezim Lon Nol adalah dengan membuat kebijakan satu
Kamboja, dengan itu pemerintah mendukung negara Kamboja yang berdaulat dan bukan
pemerintah di dalamnya. Bantuan-bantuan diplomatik Indonesia terhadap pemerintahan Lon Nol
dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Menlu RI, Adam Malik pada 6 April 1970 yang menyatakan dukungan Indonesia
terhadap pemerintahan Lon Nol dan menghendaki semua pasukan asing agar keluar dari
Kamboja, selain itu pemerintah RI akan berupaya menjaga agar kamboja tetap netral agar
tidak terjadi perang saudara di negara itu. Kemudian akan dilakukan pertemuan antara
Menlu Indonesia dengan Menlu Thailand untuk membahas mengenai jalan keluar
mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemerintahan Lon Nol. Dukungan
tersebut kembali ditegaskan Menlu Adam Malik dalam pertemuan di Manila pada 11
April 1970 mengenai keharusan Kamboja mengambil sikap netral dan perlunya Komisi
Pengawasan Internasional dalam upaya mengeluarkan pasukan-pasukan asing dari
Kamboja.22
2. Indonesia juga segera mengadakan Konferensi Jakarta pada 16 Mei 1970 atas prakarsa
presiden Soeharto, konferensi ini membahas permasalahan Kamboja dan menghasilkan
komunike bersama yaitu mengupayakan terjaganya netralitas Kamboja dan penghentian
permusuhan di dalam negeri serta menunjuk Menlu Indonesia, Malaysia dan Jepang
untuk mencari cara agar mengaktifkan kembali Komisi Pengawasan Internasional dengan
tujuan menggelar sebuah konferensi Internasional yang akan membahas masalah
Kamboja hingga ke PBB sehingga dunia Internasional dapat membuka diri dalam
memecahkan masalah Kamboja secara damai sesuai dengan Piagam PBB dan Konferensi
Jenewa.
3. Bantuan juga diberikan oleh pemerintah Indonesia melalui Duta Besar RI di Mesir, Dr.
Soeharnoko A. Harbani untuk mengurusi kepentingan pemerintah Kamboja rezim Lon
Noldi Mesir yang memutuskan hubungan diplomatik dengan rezim Lon Nol karena
mendukung Pangeran Sihanouk.
4. Sebagai jawaban atas surat Lon Nol kepada Presiden Soeharto yang meminta bantuan
satu tim ahli dari Indonesia untuk mempelajari kemungkinan dilakukannya mobilisasi
umum dan menyelamatkan Kamboja dari bahaya Komunisme, maka pada 16 Juli 1970
pemerintah RI mengirim satu tim survey dari Departemen Pertahanan Keamanan
22 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 46-47

Indonesia bersama KBRI di Bangkok ke Pnom Penh untuk meninjau situasi di Kamboja.
Sebagai balasannya Menteri Luar Negeri Kamboja memberikan tanda penghargaan
tertinggi “Grand officer de Sahametrei” kepada Duta Besar RI di Bangkok.
5. Menlu Adam Malik menegaskan bahwa diterimanya pemerintahan pelarian Sihanouk ke
dalam Konferensi Non Blok di Guyana pada tahun 1972 merupakan sebuah pelanggaran
dalam praktek pengambilan keputusan dengan musyawarah yang selama ini dihormati
oleh negara-negara non-blok karena sebelumnya pada pertemuan di Lusaka pada tahun
1970, telah diputuskan bahwa kursi Kamboja tidak perlu diisi guna menghindari
bentrokan antara kedua pemerintahan.23
Sebagai bentuk apresiasi terhadap bantuan Indonesia dalam usahanya mencari jalan keluar bagi
pemerintahan Lon Nol. Lon Nol mengirim surat khusus kepada Presiden Soeharto yang berisi
ucapan terimakasih atas dukungan Indonesia di forum Internasional, selain juga memberikan
penghargaan tertinggi Kamboja kepada Duta Besar Indonesia di Bangkok dan Duta Besar
Indonesia untuk PBB atas bantuan yang diberikan oleh pihak RI.
Ketika pemerintahan Lon Nol telah mendekati titik kritisnya, pihak Indonesia bersikap tetap
akan mendukung siapapun yang memerintah di Kamboja. Pertemuan tertutup antara Presiden
Soeharto dengan PM Lon Nol di Bali dijelaskan oleh Menlu Adam Malik bukanlah sebuah
perundingan namun hanya pertemuan biasa. Pihak Indonesia telah menyadari bahwa
pemerintahan Lon Nol telah terdesak oleh pihak Komunis sehingga pemerintah telah
memperhitungkan bahwa Lon Nol sudah tidak bisa lagi kembali ke Kamboja dengan peralihan
kekuasaan yang hanya tinggal menunggu waktu saja. Sikap pemerintah Indonesia yang
menerima kunjungan Lon Nol merupakan formalitas dimana Lon Nol secara sah masih
merupakan kepala pemerintahan di Kamboja. Di pihak lain gerakan oposisi yang diketuai oleh
Pangeran Sihanouk yang diresmikan pada 5 Mei 1970 semakin kuat. Inti kekuatan oposisi ini
adalah Khmer Merah yang sebelumnya menentang Pangeran Sihanouk sewaktu masih berkuasa.
Pemerintah Indonesia dalam pernyataannya hanya dapat membantu penyelesaian damai
Kamboja dalam batas-batas kelayakan, formalitas serta kemanusiaan.24
E. Rezim Khmer Merah: Surutnya Hubungan Diplomatik
23 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 46-55
24 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 57-58

Naiknya Khmer Merah ke tampuk kekuasaan di Kamboja tidak lepas dari konflik internal dan
eksternal yang melanda Kamboja semenjak merdeka dari Perancis. Konflik internal berasal
Kebijakan Pangeran Sihanouk untuk netral namun dibarengi dengan godaan untuk mendekat ke
blok komunis karena terlampau yakin akan kemenangan pihak Vietnam Utara dalam perang
Indocina.25 Layaknya Soekarno, Sihanouk seperti bermain api diantara dua ideologi yang saling
berebut kekuasaan. Di satu sisi golongan kanan pro Amerika tidak ingin Sihanouk mendekat
kepada komunis namun di sisi lain pihak komunis juga mendapatkan dukungan rakyat berkat
sosok kharismatik Sihanouk.
Sedangkan penyebab eksternal adalah intervensinya Amerika dan Vietnam ke dalam perpolitikan
Kamboja disertai pengkhianatan angkatan darat sayap kanan yang berujung lengsernya Sihanouk
dan naiknya Lon Nol. Kudeta militer ini menjadi momen penting dalam kebangkitan komunisme
di Kamboja. Karena Sihanouk dari pengasingannya mendirikan Pemerintahan Kerajaan
Persatuan nasional Kamboja (GRUNK) dan butuh pendukung yang dapat mengembalikan
kekuasaannya, adapun Khmer Merah berniat memanfaatkan dukungan dari sang Pangeran serta
kebencian rakyat pada Amerika sebagai tameng untuk mengambil keuntungan politik.
Kota Pnom Penh jatuh pada 17 April 1975 dan pasukan Revolusioner memasuki kota dengan
kemenangan gemilang. Rezim Republik Khmer pun berakhir dengan tragis di tangan tentara
Khmer Merah yang dikenal kejam. Pada awalnya tentara Revolusioner bersikap seakan-akan
ingin mengembalikan Sihanouk kepada kekuasaannya, faktanya Pangeran tiba di Pnom Penh dan
kembali menjadi Kepala Negara hanya sebagai boneka Khmer Merah, maka setelah Sihanouk
mengundurkan diri dari pemerintahan, ia malah menjadi tahanan di istananya sendiri bahkan
beberapa anak dan cucunya menjadi korban pembunuhan. Khmer Merah kemudian mendirikan
Demokratik Kampuchea (DK) sebagai ganti dari Republik Khmer sementara Lon Nol sendiri
melarikan diri ke Amerika setelah sebelumnya berada di Indonesia selama dua minggu.
Kisah menarik datang dari catatan KBRI di Pnom Penh sebulan sebelum kota itu jatuh. Seorang
perwira dari Brigade Islam datang melaporkan bahwa Brigade Budhis yang bertempur di sisi
yang bersebelahan telah kalah sehingga Brigade Islam semakin terkepung. Ia menyarankan pada
KBRI agar meninggalkan Pnom Penh sebab ditakutkan bahwa pasukan Khmer menyerang KBRI
karena aktivitas yang pro rezim Lon Nol. Kemudian pada 6 Maret Kedubes Indonesia yang baru,
25 M.C. Ricklefs dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer, h. 584

Ishak Djuarsa mengadakan kunjungan kehormatan untuk menyerahkan surat-surat kepercayaan
kepada Menlu Kamboja, namun dua hari sebelum itu telah diadakan pertemuan para Duta Besar
ASEAN untuk membicarakan situasi Kamboja termasuk Evakuasi keluarga-keluarga Kedutaan
ASEAN di Pnom Penh. Dalam pembicaraan tersebut Thailand bersedia menyediakan pesawat
untuk keperluan evakuasi. Pada tanggal 18 Maret pihak KBRI mulai mengambil langkahlangkah evakuasi secara bertahap dan akhirnya pada 15 April 1975 KBRI Pnom Penh di tutup
dan dipindahkan ke Bangkok.26
Rezim Komunis Khmer Merah di bawah Pol Pot memerintah secara sadis dan di luar perkiraan,
mereka mengubah Kamboja menjadi tanah horror dan terror dan tak ada bandingnya dalam
sejarah dunia. Penduduk kota Pnom Penh dipaksa keluar dari kota menuju pedalaman dan desadesa, meninggalkan keadaan kota yang kosong dan hancur. Demi merubah tatanan sosial sesuai
dengan ajaran Komunisme, Pol Pot menghabisi siapa pun yang dulu menjadi saingannya. Tidak
diketahui secara pasti berapa korban jiwa selama masa pemerintahan Pol Pot.
Osborn menyebut bahwa kisaran korban eksekusi oleh Rezim Pol Pot mencapai dua ratus ribu
jiwa dan jumlah rakyat yang tewas selama tahun 1975-1979 antara lima ratus ribu hingga satu
juta jiwa rakyat Kamboja. Sebelumnya total penduduk Kamboja pada tahun 1975 sekitar 7,3 juta
jiwa mestinya dengan pertumbuhan sebesar 2,8 persen per tahun, rakyat Kamboja seharusnya
berjumlah 8,3 juta jiwa pada tahun 1981, namun setelah disensus pada tahun 1982 hanya tinggal
6,7 juta saja itu pun belum termasuk 300 ribu pengungsi di Thailand, lebih dari 100 ribu
pengungsi yang pindah ke negara-negara Barat, dan 250 ribu pengungsi yang menetap di
Vietnam setelah tahun 1975, sehingga total sekitar 7,4 juta jiwa jika semua penduduk Kamboja
dikumpulkan.27 Haing Ngor, seorang Dokter Kamboja menceritakan mengenai situasi ketika
Khmer Merah menaklukkan kota Pnom Penh:
“Aku berjalan menembus lautan manusia dan tabir asap api yang memenuhi jalan besar itu, kembali ke
arah pusat kota. Tidak mungkin bisa berjalan lurus, tapi berbelok-belok, melangkahhi tubuh-tubuh
manusia yang berkaparan tidur di atas aspal. Lampu-lampu jalan masih menyala, mungkin karena pihak
Khmer Merah tidak tahu bagaimana cara memadamkannya. Serangga terbang berkerumum di bawah
bola-bola lampu yang bersinar terang. Di timur laut muncul cahaya berwarna jingga di kaki langit.
26 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 62-64
27 Milton E. Osborne, Prince Sihanouk: Prince of Light, Prince of Darkness, h. 9 Lihat juga: Report of A Finnish
Inquiry Commision, Kampuchea in The Seventies, h. 35

Kemudian di arah lain, abu beterbangan di atas kepala. Kabarnya Khmer Merah membakari pasarpasar, pusat sistem yang mereka sebut Kapitalis dan laknat; padahal bagi kami, pasar-pasar selama itu
merupakan pusat kehidupan sehari-hari, tempat kami membeli bahan pangan segar dan dimana kami
bertukar berita dengan para tetangga.”28

Ribuan orang mati kelaparan selama evakuasi tersebut dan ribuan lagi dipaksa pindah ke wilayah
pedesaan baru yang tentu saja kekurangan bahan makanan dan obat-obatan. Rakyat Kamboja
dipaksa bekerja di sawah, ladang dan peternakan, sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak
pernah mereka lakukan di kota. Tentu saja pekerjaan ini memberatkan terlebih lagi dengan target
yang dicanangkan terlalu tinggi yaitu tiga ton beras per hektar dengan peralatan yang tidak
memadai.29 Karena itu bencana kelaparan dan malnutrisi melanda wilayah itu selama tahuntahun penuh teror tersebut. Rakyat juga disuruh mengenakan pakaian hitam sebagai lambang
kesetaraan dan kemudian memisahkan mereka menjadi dua golongan yaitu “orang lama” dan
“orang baru”. Mereka yang membangkan atau mempertanyakan keputusan Khmer Merah akan
segera dieksekusi.
Konstitusi baru segera disahkan yang menyatakan bahwa Demokratik Kampuchea (DK) adalah
negara komunis. Pemerintahan baru ini segera merestrukturisasi masyarakat Kamboja menjadi
sebuah masyarakat baru dengan menghancurkan peninggalan bersejarah, literature dan budaya
Khmer, serta agama Budha. Singkatnya rezim ini mengontrol setiap aspek kehidupan dan
menakut-nakuti rakyat agar patuh kepada pemerintahannya. 30 Selain itu Khmer Merah juga
mendiskriminasi

kelompok-kelompok

minoritas

terutama

agama

Islam

yang

susah

dikomuniskan. Kebijakan Eight Point Plan 31 diterapkan oleh Khmer Merah untuk
menghancurkan semua agama yang ada seperti gereja Katolik yang rata dengan tanah di pusat
kota Pnom Penh, para pendeta Budha yang dipaksa kerja di sawah dan umat Islam yang
28 Haing Ngor & Roger Warner, Neraka Kamboja: Awal Mula, M. Syafi’I Anwar (Penj), Gramedia, Jakarta, 1990,
h. 202
29 David P. Chadler dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Documents from Democtratic
Kampuchea 1976-1977, Yale University of Southeast Asian Studies, New haven, 1988, h. 37
30 Robert G. Sutter, The Cambodian Crisis & U.S Policy Dilemmas, Westview Special Studies on South and
Southeast Asia, Westview Press, USA, 1991, h. 14
31 Kedelapan kebijakan itu adalah: mengevakuasi seluruh penduduk dari kota, membakar seluruh pasar,
menggantikan seluruh mata uang pemerintahan Lon Nol dengan mata uang Khmer Merah yang telah di cetak,
membubarkan semua Pendeta Budha dan diperintahkan untuk bekerja di sawah, Mengeksekusi seluruh pemimpin
dari pemerintahan Lon Nol dimulai dari pemimpin tertinggi, meningkatkan kerjasama di semua kota dan
menjadikannya milik bersama, dan mengusir semua etnik Vietnam. Lihat: Farina So, The Hijab of Cambodia:
Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rogue, Document Center of Cambodia, Pnom Penh, 2011, h.
36,

diharuskan menjalankan kebijakan yang bertentangan dengan nilai agama Islam. Para pemimpin
agama Islam (Tuon dan Hakem) juga menjadi sasaran pembantaian, terdapat banyak motif
diskriminasi atas muslim ini diantaranya adalah motif diskriminasi ras dan loyalis rezim Lon Nol
dimana pemimpin militer Kamboja salah satunya ada dari kalangan muslim.32
Kebijakan diskriminasi atas muslim ini tertuang dalam Five Point Plans yang dibuat sebelum
konstitusi resmi Khmer merah disahkan. Isinya mengharuskan wanita memotong pendek
rambutnya sekaligus melarang mereka berhijab, Al-Qur’an di bakar, babi harus dijadikan
binatang peliharaan, dilarang Shalat dan semua masjid ditutup, dan keharusan menikah dengan
non-muslim.33 Reaksi umat Islam atas kebijakan ini adalah dengan melakukan pemberontakan
pada tahun 1975, selain itu umat Islam juga menolak masuk organisasi Khmer Merah dan
mengikuti segala kebijakan pertanian yang dicanangkan oleh rezim. Tragedi kemanusiaan ini
berbuntut terjadinya pemberontakan rakyat Kamboja di berbagai wilayah pada Juli 1978.34
Peran dan usaha diplomatik Indonesia untuk membangun hubungan kembali dengan Kamboja di
bawah Khmer Merah sama sekali tidak berhasil karena Khmer Merah telah tertutup bagi dunia
luar, hanya beberapa penasehat dari Cina dan Korea Utara yang ada di negeri itu. Perdagangan
luar negeri sangat terbatas, karena fokus pemerintah adalah swa-sembada pangan. Kebijakan luar
negeri rezim Pol Pot adalah kebijakan isolasi (Self Imposed isolation), sebab itu Kamboja
memutuskan hubungan dengan hampir semua negara di samping pemerintahan ini tidak di
dukung oleh PBB. Kerjasama luar negeri yang ada hanya terbatas kerjasama budaya dan
pendidikan dengan negara-negara komunis selain dengan India. Kedutaan Besar yang masih
membuka kantornya di Pnom Penh adalah Cina, Korea utara, Viet nam, Laos, Kuba, Yugoslavia,
dan Albania.
Dari pihak Indonesia sendiri setelah kepindahan KBRI ke Bangkok, Djundjuman
Kusumadihardja menjabat sebagai Kuasa Usaha Ad-Interim KBRI Pnom Penh di Bangkok dari
tahun 1976 hingga 1980 setelahnya ia digantikan oleh Jack Said Gaffar hingga tahun 1980. Pada
tahun 1978 rombongan pejabat KBRI berangkat ke Pnom Penh untuk melakukan pembicaraan
32 Baca lebih lanjut dalam: Dirga Fawakih, Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979), Skripsi
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015
33 Ysa osman, The Cham Rebbelion Survivors Stories From The Village, Documen Center of Cambodia, Pnom
penh, 2006, h. 55
34 “Situasi di Kamboja Gawat lagi”, Merdeka 13 Juli 1978. Lihat dalam: Dirga Fawakih, Muslim Kamboja di
bawah rezim Khmer Merah (1975-1979), Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015

dengan pejabat Khmer Merah mengenai kemungkinan penempatan staff di kota itu mengingat
politik Indonesia yang hanya mengakui negara dan bukan pemerintah. Kunjungan itu mendapat
tanggapan yang baik dari Menlu Kamboja. Namun sayang rencana mengaktifkan kembali KBRI
di Pnom Penh di bawah rezim Khmer Merah terhadang serbuan Vietnam yang mengambil alih
pemerintahan. Akhirnya Departemen Luar negeri RI membekukan semua kegiatan KBRI Pnom
Penh dan mengalihkannya kepada KBRI Bangkok.
Dengan begitu usaha-usaha Indonesia untuk tetap mempererat hubungan diplomatik dengan
Kamboja tidak berhenti karena pergantian rezim, mulai dari rezim Sihanouk hingga rezim Pol
Pot, Indonesia tetap menghargai Kamboja sebagai sebuah negara yang berdaulat meski
pemimpinnya berubah-ubah. Berbeda dengan sorotan media massa yang fokus terhadap
kekejaman Khmer Merah dan genosida yang terjadi. Surat kabar yang menyoroti perkembangan
Kamboja diantaranya adalah Kompas, The Indonesian Times, Berita Buana, dan Antara.35
Akhirnya setelah lima tahun berkuasa, rezim Pol Pot akhirnya jatuh ditangan pasukan Vietnam
Front Pembebasan Nasional Kamboja (KNUFNS) yang dipimpin oleh tiga mantan rekannya
sendiri yaitu Heng Samring. Heng Samring, Chea Sim dan Hun Sen. Mereka bertiga adalah
mantan komandan militer semasa Pol Pot berkuasa namun disingkirkan oleh Pol Pot dan diburu
sehingga mereka menyelamatkan diri ke Vietnam. Pasukan Vietnam menyerang Pnom Penh
dengan kekuatan penuh.pada 7 Januari 1979 dan menaklukkan kota itu pada tanggal 10 Januari.
Kemudian Vietnam mendirikan People’s Republik of Kampuchea (PRK) dengan Heng Samrin
sebagai kepala negara. Pol Pot melarikan diri ke pedalaman hingga kematiannya pada tahun
1998.36
F. Penutup
Kesannya susah untuk mencari sumber-sumber untuk menjelaskan bagaimana hubungan
Indonesia-Kamboja secara lebih komprehensif. Sebabnya adalah hubungan antara kedua negara
tidak hanya terbatas pada hubungan diplomatik antar pemerintah semata namun juga bidangbidang lainnya utamanya kebudayaan. Indonesia (Jawa) dan Kamboja merupakan negara yang
mempunyai kemiripan budaya karena adanya hubungan di masa lampau. Sebab itu Indonesia
selalu mendukung rakyat Kamboja agar keluar dari cengkeraman penjajahan asing. Indonesia
35 Nazaruddin Nasution dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, h. 74-82
36 Robert G. Sutter, The Cambodian Crisis & U.S Policy Dilemmas, h. 15-16

berperan dalam mendukung netralitas Kamboja dan membantu memecahkan persoalan konflik di
Kamboja lewat ASEAN dan PBB.
Maka dari itu menarik untuk dilakukan pembahasan selanjutnya mengenai hubungan kedua
negara dalam bidang lainnya seperti perdagangan dan pendidikan. Posisi Indonesia setelah invasi
Vietnam ke Kamboja dan lengsernya rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot adalah
sebagai interlocutor bagi terciptanya proses rekonsiliasi Kamboja yang saat itu masih didera
perang saudara. Namun juga perlu diperhatikan bahwa hubungan Indonesia-Kamboja mulai
kembali normal pada tahun 1993 berkat padanya negosiasi dari Menlu Ali Alatas dan peran PBB
dalam mengirimkan Pasukan Perdamaian termasuk Pasukan Garuda dalam menjaga proses
perdamaian di Kamboja. Berkat usaha Indonesia tersebut Kamboja akhirnya bergabung ke dalam
ASEAN pada 30 April 1999.
G. Daftar Pustaka
“Perundingan Damai Khmer di Bangkok”, Warta Berita Antara, 8 April 1975
“Situasi di Kamboja Gawat lagi”, Merdeka, 13 Juli 1978.
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia tenggara, Rosdakarya, Bandung, 2006
Chadler, David P. dkk., Pol Pot Plans The Future: Confidental Leadership Documents from
Democtratic Kampuchea 1976-1977, Yale University of Southeast Asian Studies, New
haven, 1988
Fawakih, Dirga, Muslim Kamboja di bawah rezim Khmer Merah (1975-1979), Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015
Haing Ngor & Roger Warner, Neraka Kamboja: Awal Mula, M. Syafi’I Anwar (Penj), Gramedia,
Jakarta, 1990, h. 202
Kiernan, Ben, How Pol Pot Came to Power: Colonialism, Nationalism, and Communism in
Cambodia, 1930-1975, New Haven, Yale University Press, 1985
Leifer, Michael, Cambodia: The Search for Security, Frederick A. Preager, USA, 1967
Nasution, Nazaruddin dkk, Pasang Surut Hubungan Diplomatik Indonesia Kamboja, KBRI
Pnom Penh Cambodia, Jakarta, 2012

Osman, Ysa, The Cham Rebbelion Survivors Stories From The Village, Documen Center of
Cambodia, Pnom penh, 2006
William, Beryl (ed), Smith, R.B, Communist Indochina, Routledge Studies in the Modern Hitory
of Asia, Routledge, New York, 2012
Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, Pustaka Obor, Jakarta, 2011
Report of A Finnish Inquiry Commision, Kampuchea in The Seventies, Tampereen Pikakopio Oy,
Tamperee, 1982
Ricklefs, M.C. dkk, Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer,
Komunitas Bambu, Depok, 2013,
Sen, Ta Ta, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas, Jakarta, 2010
So, Farina, The Hijab of Cambodia: Memories of Cham Muslim Women After the Khmer Rogue,
Document Center of Cambodia, Pnom Penh, 2011
Sutter, Robert G., The Cambodian Crisis & U.S Policy Dilemmas, Westview Special Studies on
South and Southeast Asia, Westview Press, USA, 1991
Syahid, Ahmad Dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia tenggara, jilid V, Bachtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2002
Turkoly, Robert L. & Joczik, The Khmer Serei Movement, Asian Affairs, Vol. 15, No. 1, Spring,
1988
Osborne, Milton E., Prince Sihanouk: Prince of Light, Prince of Darkness, University of Hawaii
Press, Hawaii, 1994