FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL. doc

FATWA HUKUM ISLAM LIBERAL
(KAJIAN ATAS FIQH LINTAS AGAMA)
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah
diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk saling
mengerti dan memahami. Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan
eksperimentasi

demokrasi,

umumnya

kelompok-kelompok

nonmuslim

seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan yang
sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai “warga kelas dua”, meskipun

secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada semacam
ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran mereka sepenuh
hati. Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang seolah-olah taken for
granted, yaitu bahwa orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik
yang menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan NabiNya.1
Keyakinan semacam ini merembes pada penafsiran hukum atas ayatayat al-Quran yang membicarakan status orang-orang nonmuslim.Para fuqaha’
hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa point hukum fiqih yang tidak
dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti kasus nikah
antaragama dan harta warisan bagi keluarga yang tak seagama. Dalam hal ini,
nonmuslim tidak diperbolehkan berhubungan dengan umat muslim karena
perbedaan agama tadi. Sementara itu, ada pula masa ’il fiqhiyyah di mana baik
umat muslim maupun non-muslim diperlakukan sejajar dan mendapat

1

Muhammad
Latif
Fauzi,
Rekonstruksi
Fiqih

Inklusif-Pluralis
(http://nahdliyinbelanda.wordpress.com/2007/10/02/rekonstruksi-fiqih-inklusif-pluralis/, diakses
pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 15.00 WIB.)

588

perlakuan hukum yang sama, seperti persoalan zakat dan kewajiban menaati
penguasa (uli al-amr).2
Para fuqaha’ tidak menyamakan status hukum semua orang
nonmuslim.Mereka menetapkan kategori-kategori tertentu yang memilah
antara kaum nonmuslim yang ahl al-kitab maupun nonmuslim yang
sepenuhnya musyrik. Sayangnya, kategorisasi itu-untuk konteks sekarangbelum cukup memadai untuk mewadahi pluralitas dan menjamin hubungan
yang efektif antara kaum muslim dan nonmuslim sendiri. Ada dua alasan
mendasar yang melatari.Pertama, kategori apakah seorang nonmuslim musyrik
atau bukan yang dibuat para fuqaha’ masih didominasi oleh asumsi teologi
skolastik yang melihat keimanan atau akidah orang-orang nonmuslim, tak
terkecuali kelompok ahl al-kitab, sebagai bentuk penyimpangan (deviasi) dari
kebenaran Islam, dan karena itu perlu “diluruskan”. Kedua, kategorisasi
semacam


ini

telah

mengabaikan

munculnya

komunitas-komunitas

keberagamaan yang lebih kompleks dan beragam daripada sekadar pembedaan
antara ahl al-kitab (Yahudi-Nasrani) dan musyrik yang dibuat para fuqaha’
abad pertengahan.3
Selain itu, menurut al-Jabiri, fiqih yang dikonstruksi para ulama
terdahulu tidak hanya menutupi masa depan atau masa setelah fiqih tersebut
dikodifikasi, melainkan juga tidak mengakomodasi tradisi yang berkembang
pada masa-masa sebelumnya. Hal itu terjadi karena fiqih ibarat pendulum
yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis.Fiqih hanya
dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap
sebuah aliran dan madzhab tertentu.4

Dalam problem fiqih era sekarang, adalah ketika dihadapkan pada
pembahasan yang melibatkan golongan diluar komunitasnya, yaitu nonMuslim, apapun itu agama dan aliran kepercayaannya.Dalam hal ini fiqih
klasik akan kehilangan dimensi universalnya. Fiqih lebih dulu menebar rasa
benci dan curiga terhadap kepercayaan lain.
2Ibid.
3Budi Setiawan, Warga Negara dalam Intervensi Agama dalam M. AS. Hikam, Fiqih
Kewarganegaraan(Intervensi Agama-Agama terhadap Masyarakat Sipil), (Jakarta: PB PMII,
2000), hlm. 53.
4Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Araby, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah
al-‘Arabiyyah, 1994), hlm. 98.

589

Ada beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fiqih klasik,
yaitu “musyrik”, “murtad”, dan “kafir”. Bila khazanah fiqih berpapasan dalam
komunitas tersebut, maka sudah barang tentu fiqih akan memberikan “kartu
merah” sebagai peringatan keras dalam menghadapi kalangan tersebut. Lalu
pertanyaannya, kenapa watak fiqih klasik bisa seperti itu?Apakah Islam
memang benar-benar sebagai agama yang menebarkan permusuhan dan
kekerasan, sebagaimana dituduh banyak orientalis? Jika tidak, apa yang mesti

kita lakukan guna menggali oase keislaman yang lebih mengedepankan
semangat toleransi dan kebersamaan?5
Pertanyaan-pertanyaan ini membuat kita harus berkerja keras dalam
membaca kembali fiqih klasik.Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu
meletakkannya kembali sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam
zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitabkitab fiqih, maka fiqih seakan-akan terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh
pembacanya, sehingga fiqih menjadi ilmu yang tak terjamah secara mendasar.
Padahal dari segi pemahamannya saja, fiqih berarti “pemahaman”. Dan proses
pemahaman mengharuskan adanya dialektika dinamis antara teks dan konteks.
Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman, melainkan sebagai respon faqih (ahli
fiqih) terhadap problem zamannya. Dalam perkembangannya saat ini, fiqih
menyimpan sejumlah problematika serius antara lain: mapannya paradigm
klasik dan lambannya upaya pembaruan, sehingga dengan mudah didapatkan
adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya kesenjangan.6
Menyikapi hal-hal tersebut, fiqih perlu melakukan tafsiran ulang atas
sumber-sumber normatif dalam menyikapi orang-orang nonmuslim, sekaligus
mengangkat pesan universal Islam yang rahmatan lil alamin.Upaya ini akan
membutuhkan kepedulian fuqaha’ untuk mencari jalan alternatif agar fiqih juga
berperan dalam membangun kerukunan antar umat beragama.

Dalam buku Fiqih Lintas Agama atau disingkat FLA, merupakan buah
pemikiran dari tim penulis dalam berbagai diskusi. Buku FLA bukan kumpulan
5Tim penulis Paramadina, Mun’im A. Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama:Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 2.
6Ibid., hlm. 3.

590

tulisan dari berbagai penulis, tetapi ditulis sebagai rangkuman dari hasil diskusi
yang melibatkan ahli dengan latar belakang yang berbeda.
Pada pembahasan buku Fiqih Lintas Agama diawali dengan tema
Pijakan Keimanan bagi Fiqih Lintas Agama.Pada bagian kedua, membahas
Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam.Bagian
kedua ini terdapat enam sub bab yaitu mengucapkan salam kepada nonmuslim, mengucapkan “selamat natal” dan selamat hari raya agama-agama
lain, menghadiri perayaan hari-hari besar agama-agama lain, doa bersama (doa
antar agama), dan mengizinkan non-muslim masuk masjid.Pada bagian ketiga,
Fiqih “menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama.Bagian
ketiga ini terdiri atas sembilan sub bab, yaitu fiqih teosentris dan jebakan
otoritarianisme, beberapa dilemma fiqih hubungan antaragama, konsep ahl aldzimmah, konsep jizyah, kawin beda agama, waris beda agama, menuju fiqih
yang peka terhadap pluralisme, Islam sebagai agama kemanusiaan, dan budaya

menerima agama lain.Pada bagian keempat, membahas Meretas Kerjasama
Lintas Agama.Bagian keempat ini terdiri atas lima sub bab, yaitu dari toleransi
ke dialog, belajar dari ketegangan Islam-Kristen, bentuk-bentuk dialog agama
(dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog teologis, dialog spiritual), dari
dialog ke kerjasama, dan bentuk-bentuk kerjasama.
Nurcholis Madjid, Komarudin Hidayat, dan teman-temannya yang
tergabung dalam tim penulis Paramadina, berusaha untuk membuka pemikiran
pembaca secara universal, untuk mengkritisi fiqih klasik dalam menjawab
persoalan kekinian.Hal tersebut semata-mata untuk membangun kerukunan dan
persaudaraan umat Muslim dengan kaum non-Muslim, dari berbagai agama
dan kepercayaan yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana biografi tim penulis Fiqih Lintas Agama?
2. Bagaimana kajian Fiqih Lintas Agama atas Fatwa Hukum Islam Liberal?
C. Tujuan Pembahasan

591


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penyusunan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui biografi singkat tim penulis Fiqih Lintas Agama.
2. Untuk mengetahui kajian Fiqih Lintas Agama atas Fatwa Hukum Islam
Liberal.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Singkat Tim Penulis Paramadina
1. Nurcholish Madjid
Rektor Universitas Paramadina, Jakarta, dan Guru Besar Bidang Pemikiran
Islam. Nurcholish Madjid, atau yang lebih akrab disapa Cak Nur,
merupakan alumni KMI Pesantren Modern Gontor, Ponorogo (1960) dan
alumni IAIN Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan (1968). Meraih
gelar doktor dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1984,
dengan disertasi Ibn Taymiyya on Kalam dan Falsafa.Pendiri Yayasan
Wakaf Paramadina ini telah menerbitkan puluhan buku dalam beragam
tema.7
2. Zainun Kamal
Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta.Meraih gelar doktor di IAIN

Jakarta pada tahun 1995, dengan judul disertasi Kritik Ibnu Taimia terhadap
Logika Aristotels.Master (MA) dalam bidang filsafat, Fakultas Darul Ulum
Universitas Kairo, Mesir pada tahun 1985.Penulis di beberapa buku dan
majalah. Sekarang dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta, FISIP Universitas
Indonesia, UIJ, IIQ, PTIQ, STF Driyarkara, Universitas Muhammadiyah
Jakarta, dan Perguruan Tinggi Madina Ilmi Jakarta.8
3. Kautsar Azhari Noer
Guru Besar di UIN Jakarta, dosen di Universitas Indonesia dan Universitas
Paramadina.Beliau menulis banyak artikel ilmiah tentang perbandingan
agama, filsafat, dan tasawuf di berbagai jurnal. Salah satu buku karyanya
7Tim penulis Paramadina, op. cit, hlm. 271.
8Ibid.

592

adalah Ibn al-‘Arabi: Wahdat dalam Perdebatan yang diterbitkan oleh
Paramadina, Jakarta pada tahun 1995.9
4. Budhy Munawar-Rachman
Direktur Pusat Studi Islam Yayasan Paramadina, juga pengajar filsafat pada
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Program Studi Falsafah dan Agama

Universitas Paramadina. Sebelumnya pernah bekerja sebagai Direktur
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), dan editor jurnal Ulumul
Qur’an. Beliau merupakan alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan
telah menyunting dan menulis beberapa buku diantaranya Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah, Islam Pluralis dan sekitar 15 artikel ilmiah
dalam buku-buku mengenai pemikiran Islam, gender, dan pluralisme.10
5. Masdar F. Mas’udi
Wakil Katib ‘Am Syuriah PBNU, Anggota Komisi Ombudsman Nasional
dan Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M). Beliau menamatkan S1 di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun
1979. Pasca Sarjana Filsafat UI, Jakarta tahun 1997. Menulis sejumlah buku
antara lain Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)dalam Islam, Pustaka
Firdaus, Jakarta tahun 1993,Islam dan Hak-hak Resproduksi Perempuan,
Mizan tahun 1997 dan menulis artikel di media massa nasional: Kompas,
Republika, Suara Pembaruan.
6. Zuhairi Misrawi
Intelektual

muda NU, komnis


dan peneliti pemikiran

keislaman

kontemporer. Lahir di Sumenep Madura, 5 Pebruari 1997. Beliau alumni
Pondok

Pesantren

TMI

al-Amien,

Prenduan,

Sumenep,

Madura

(1995).Menamatkan S1 di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar,
Kairo, Mesir tahun 2000.Selama menjadi mahasiswa di Kairo pernah
menjadi redaktur bulletin mahasiswa Terobosan, pemimpin redaksi
Informatika dan Jurnal Oase.Pernah kuliah S2 di Program Studi Ilmu
Politik, Universitas Indonesia.Aktivitas sehari-hari sebagai Koordinator
Program Islam Emansipatoris, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M).Pernah menjadi coordinator Program Kajian dan
9Ibid.
10Ibid.

593

Penelitian Lakpesdam NU, dan kini menjadi redaktur Jurnal Tashwirul
Afkar, Lakpesdam NU. Menulis di sejumlah Koran nasional, antara lain
Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Republika,
dan menjadi kontributor sejumlah buku, antara lainIslam Pribumi,
Mendialogkan Agama dan Membaca Realitas yang diterbitkan oleh
Airlangga tahun 2003, Begawan Jadi Capres (KPP, Paramadina, 2003),
Syariat Islam Yes, Syariat Islam No yang diterbitkan oleh Paramadina tahun
2003. Selain itu, menulis artikel ilmiah di sejumlah jurnal, antara lain Jurnal
Tashwirul Afkar, Jurnal Millah, Jurnal Postra, dan Jurnal Oase.11
7. Komaruddin Hidayat
Guru Besar Filsafat Islam UIN Jakarta, meraih gelar doktor dalam bidang
filsafat dari Middle East University, Ankara, Turki, Direktur Eksekutif
Lembaga Pendidikan Madania, Anggota Dewan Pembina Yayasan
Paramadina, kini ketua Pawaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Pusat. Bukubuku yang sudah ditulisnya adalah Memahami Bahasa Agama yang
diterbitkan oleh Paramadina pada tahun 1996, Tragedi Raja Midas dengan
penerbit yang sama di tahun 1999. Di samping menulis sejumlah buku,
beliau juga produktif menulis artikel di berbagai media massa seperti
Kompas, Republika, Koran Tempo, Majalah Tempo, Gatra, dan lain-lain.
8. Ahmad Gaus AF
Ketua Sidang Redaksi Penerbit Paramadina, Dewan Redaksi Mingguan
PESAN, Program Officer untuk penelitian tentang Etnik dan Civil Society
(INCIS-OTI-LP3ES) pada tahun 1998, terlibat dalam penelitian Fiqih
Siyasah (P3M) pada tahun 1999, tim kreatif dan sekaligus sutradara
tayangan “Kamera Demokrasi” di SCTV menjelang pemilu tahun 1999.
Selain meredaksi puluhan buku, ia juga telah menulis ratusan artikel dan
kolom menyangkut isu-isu politik kemahasiswaan, sastra budaya, politik
nasional, sosial keagamaan, dan naskah untuk radio. Tulisannya sejak
sekolah menengah, mahasiswa, hingga sekarang tersebar di berbagai media
massa nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Suara Karya,

11Ibid., hlm. 272.

594

Jayakarta, Terbit, Swadesi, Tabloid Salam, Tabloid Penta, Sinar pagi
Minggu, Majalah Gatra, Panjimas, dan lain-lain.12

B. Fatwa Hukum Islam Liberal dalam Kajian Fiqih Lintas Agama
1. Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam
Sekalipun semua ajaran agama pada intinya sama dan satu,
manifestasi sosio-kultural setiap agama secara historis berbeda-beda. AlQur’an menghendaki agar fenomena lahiriah tersebut tidak menghalangi
usaha menuju titik temu antara semuanya. Jika pun rumusan linguistik dan
verbal berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan
dimensi sosial kemanusiaannya sama, karena semuanya menyangkut kerja
nyata. Maka al-islam sendiri, menurut Nabi, paling tidak dinyatakan dalam
aktivitas kemanusiaan seperti menolong kaum miskin atau mengusahakan
perdamaian kepada semua orang tanpa kecuali.13
Kata Islam yang terdapat dalam al-Qur’an tidak dianggap sebagai
nama bagi suatu agama tertentu, tapi sebagai kata kerja, yang mempunyai
arti tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan arti
general ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa semua agama pada dasarnya
adalah agama Islam tanpa perlu memandang berbagai perbedaan yang ada.
Allah berfirman,





“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab 14 kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
12Ibid.
13Ibid. hlm. 63
14Maksudnya ialah kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.

595

mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya” (QS. Ali Imran: 19)



“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).
Dalam perspektif buku Fiqih Lintas Agama, kedua ayat tersebut
berarti perintah untuk memeluk “agama kepasrahan kepada Tuhan”, yakni
agama yang meyakini adanya Tuhan dan memerintahkan para penganutnya
untuk tunduk dan pasrah kepada-Nya. Ayat tersebut juga melarang atheisme
dan penyembahan berhala.Seluruh agama yang telah mengajarkan
kepasrahan kepada Tuhan dapat masuk ke dalam kriteria Islam dalam ayat
tersebut tanpa mempedulikan nama Tuhan dan “syari’ah” atau “minhaj”
masing-masing agama itu.
Pada saat kehidupan manusia semakin plural, terasa semakin
mustahil untuk menerima suatu kebenaran ajaran yang tidak sejalan dengan
ajaran kehanifan yang lapang warisan Ibrahim, bapak para Nabi.Inti ajaran
tersebut adalah pencarian dan pemihakan kepada kebenaran, ketulusan dan
kebaikan secara alami, dengan titik pusat pada paham Ketuhanan Yang
Maha Esa atau tauhid dan sikap pasrah kepada-Nya atau islam. Inilah yang
mendasari berbagai seruan dalam al-Qur’an baik langsung maupun tidak
langsung, kepada Nabi Muhammad saw untuk menangkap millat Ibrahim
millat Ibrahim yang hanifdan muslim itu, seperti pada bagian buku yang
pertama.15
Selain mengartikan Islam dengan arti agama ketundukan dan
kepasrahan, buku Fiqih Lintas Agama juga memberikan arti baru bagi ajaran
hanīfiyah Nabi Ibrahim yang dalam beberapa tempat disebut dengan istilah
“agama kehanifan”.Istilah hanīfiyah berasal dari kata hanīfā yang disebut
sepuluh kali dalam al-Qur’an.16 Salah satunya adalah ayat berikut:
15Tim penulis Paramadina, op. cit, hlm. 63.
16KH. Abdullah
Syamsul
Arifin,
Tela’ah
Kritis
Terhadap
Buku
Fiqih
Lintas Agama(http://faruqalkholily.wordpress.com/2011/05/21/telaah-kritis-terhadap-buku-fiqihlintas-agama/, diakses pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 09.00)

596

 


“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan
tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS Ali
Imran: 67)
Lurus dalam hal ini berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan
jauh dari kesesatan.
Menurut buku Fiqih Lintas Agama, jika dalam al-Qur’an disebutkan
bahwa Ibrahim bukanlah Yahudi atau Kristen, maka maksudnya ialah bahwa
dia tidaklah termasuk mereka yang pandangan keagamaannya sektarian dan
komunal, dengan klaim-klaim eksklusif sebagai pemegang satu-satunya
kebenaran. Lebih lanjut ditulis bahwa gaya keagamaan kaum Yahudi dan
Kristen pada masa nabi itu dijadikan sebagai model sektarianisme dan
komunalisme, suatu hal yang sesungguhnya dapat juga berlaku pada
sebagian pemeluk agama-agama lain, termasuk kaum Muslim sendiri. Kaum
Yahudi dan Kristen dijadikan model sektarianisme dan komunalisme dalam
al-Qur’an karena kecenderungan sikap mereka pada zaman Nabi
Muhammad yang menunjukkan hal itu. Mereka terbukti menolak Nabi dan
sebagian dari mereka menilai Nabi dan para pengikut beliau sebagai
golongan yang bakal celaka (tidak akan masuk surga).17
Pada bagian kedua dalam buku Fiqih Lintas Agama, tema yang
diangkat adalah “Fiqh yang peka keragaman ritual meneguhkan
inklusifisme Islam.”Sebagai kesinambungan bagian pertama, maka pada
bagian kedua dijelaskan bahwa teologi pluralis membutuhkan fiqh
pluralis.Fiqh hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis
adalah fiqh pluralis.Fiqh ekslusivis hanya sesuai dengan teologi
eksklusivis.Itulah sebabnya mengapa fiqh eksklusivis tidak mampu
menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di
dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota17KH. Abdullah Syamsul Arifin, op. cit.

597

anggotanya semakin meningkat. Fiqh yang sesuai dengan situasi ini adalah
fiqh pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu.18
Adapun masalah-masalah yang dibicarakan pada bagian kedua
adalah berbagai masalah keagamaan dalam hubungan antaragama dalam
bidang ibadah dan muamalat, seperti mengucapkan salam kepada nonmuslim, doa bersama (antaragama),

mengucapkan selamat Natal dan

selamat hari-hari raya agama-agama lain, mengizinkan orang non-muslim
masuk masjid, mengizinkan orang non-muslim masuk kota Makkah dan
Madinah, dan melaksanakan ibadah di tempat-tempat ibadah agama-agama
lain.
a. Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim
Apa hukum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim?
Pada

awalnya

para

ulama

berpendapat

bahwa

hukum

mengucapkan salam kepada orang non-Muslim adalah haram. Para ulama
tersebut merujuk pada hadis Nabi, yang salah satunya diriwayatkan oleh
Abu Hurairah, yang menceritakan bahwa ada sekelompok orang-orang
Yahudi dan Nasrani yang mendatangi Nabi sambil mengucapkan
“Assamu’alaikum” (“Kematian bagimu”, “Celaka bagimu”, “Kehinaan
bagimu”). Kemudian Rasulullah menjawab, “Wa’alaikum” (“Bagimu
(kematian)”).19
Alasan hadis-hadis yang meriwayatkan bahwa mengucap salam
kepada orang non-Muslim adalah haram karena, pertama, salam yang
diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan. Kedua,
yang memulai mengucapkan salam penghinaan adalah orang Yahudi,
bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi terhadap Nabi adalah sikap
kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan persahabatan.20
Tetapi sikap Nabi akan terbalik jika sikap daripada orang nonMuslim tersebut akan mencerminkan sikap persaudaraan dan perdamaian
bagi kaum Muslim. Seperti yang diriwayatkan dalam Bukhari dan
Muslim, Nabi mengatakan bahwa, “Apabila Ahli Kitab mengucapkan
18 Tim penulis Paramadina, Mun’im A. Sirry (editor), Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm. 65.
19Ibid., hlm. 68-69.
20Ibid. hlm. 69-70.

598

salam, maka jawablah: Wa’alaykum.” Meskipun dalam hadis ini yang
disebut adalah Ahli Kitab, tentu saja yang wajib dijawab oleh orangorang Muslim bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga salam orangorang non-Muslim lain.21
Merujuk pada peristiwa-peristiwa yang dijabarkan dalam buku
FLA dan beberapa hadis, hukum mengucapkan salam kepada orang nonMuslim adalah boleh. Mengucapkan salam kepada orang non-Muslim
adalah untuk kemaslahatan, yaitu persaudaraan dan persahabatan. Orang
non-Muslim dalam konteks ini adalah mereka yang mempunyai
hubungan baik dan bersahabat dengan orang-orang Muslim.
b. Mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-Agama
Lain
Apa hukum mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari
Raya agama-agama lain?
Banyak ulama berpendapat bahwa mengucapkan “Selamat Natal”
dilarang oleh ajaran Islam.Di antara alasan larangan ini adalah bahwa
mengucapkan “Selamat Natal” berarti membenarkan ajaran Kristen.
Alasan lain adalah bid’ah. Alasan lain adalah menyerupai orang-orang
kafir.22
Quraish Shihab menjelaskan, walaupun berkaitan dengan Isa alMasih, manusia agung lagi suci itu, namun ia dirayakan oleh umat kristen
yang pandangannya terhadap al-Masih berbeda dengan pandangan Islam.
Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat
menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan
akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih,
satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.
Dengan kacamata itu, lahir larangan dan fatwa haram itu, sampai-sampai
ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktifitas apapun yang
berkaitan dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk
keperluan Natal.23
21Ibid., hlm. 72.
22Tim penulis Paramadina, op. cit., hlm. 80.
23Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004) hlm. 372

599

Seperti terlihat, larangan itu muncul dalam rangka upaya
memelihara

akidah.Karena,

kekhawatiran

kerancuan

pemahaman,

agaknya lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan
kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ada seseorang yang ketika
mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai
dengan

kandungan

“Selamat

Natal”

Qur’ani,

kemudian

mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana hal itu diucapkan,
sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun
muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan adanya larangan itu.
Adakah

yang

berwenang

melarang

seseorang

membaca

atau

mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an.24
Apakah

orang-orang

Muslim

yang

mengucapkan

ucapan

“Selamat Natal” memahami dan menghayati ucapan itu?Apabila tidak,
mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidak dilarang. Apakah ucapan
“Selamat Natal” bagi orang-orang Muslim tidak lebih dari sekedar
ucapan selamat untuk pergaulan dan persaudaraan seperti “Selamat
Pagi”, “Selamat Siang”, “Selamat Sore”, dan “Selamat Ulang Tahun”,
tanpa dihayati? Apabila ya, mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidal
dilarang.Apakah ucapan “Selamat Natal” membuat orang-orang Muslim
yang mengucapkannya percaya pada ajaran Kristen tentang Isa al-Masih?
Apabila

tidak,

mengucapkan

ucapan

“Selamat

Natal”

tidak

dilarang.Apakah ucapan “Selamat Natal” mendorong orang-orang
Muslim yang mengucapkannya percaya bahwa Isa adalah Tuhan?Apabila
tidak, mengucapkan ucapan “Selamat Natal” tidak dilarang.25
Tujuan mengucapkan “Selamat Natal” adalah yang terpenting
hanya untuk persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan.Pergaulan,
persaudaraan, dan persahabatan adalah kemaslahatan.Dengan tujuan
kemaslahatan tersebut tentu tanpa mengorbankan akidah.
Mengucapkan “Selamat Natal” untuk orang-orang Kristen
diperbolehkan, dengan tujuan kemaslahatan tanpa mengorbankan akidah.

24Ibid.
25Tim penulis Paramadina, op. cit., hlm. 84.

600

Maka mengucapkan selamat hari raya kepada agama-agama lain juga
diperbolehkan dengan tujuan yang sama pula.
c. Menghadiri Perayaan Hari-Hari Besar Agama-Agama Lain
Apakah

ajaran

Islam

membolehkan

atau

melarang

para

penganutnya menghadiri perayaan hari-hari besar agama-agama lain?
Kembali kepada hukum mengucapkan “selamat” kepada orang
non-Muslim pada hari-hari besar agama mereka, maka mengahadiri
perayaan hari-hari besar agama lain juga diperbolehkan. Tentu saja tanpa
mengorbankan dan mengubah akidah umat Muslim. Berkaca pada
beberapa contoh pada buku ini antara lain, Presiden Palestina Yasser
Arafat bersama istrinya Suha, menghadiri misa tengah malam di Gereja
Saint Chatherine di Bethlehem, dan menghadiri Perayaan Malam Natal di
Gereja Kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan
mengikuti acara tarawih di masjid dekat gereja itu. Di gereja itu, Arafat
berdoa untuk perdamaian.26
Ketua MPR RI Amien Rais menghadiri perayaan natal di Gereja
Sentrum Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada
Selasa, 19 Desember 2000.27KH Abdurrahman Wahid dan Ketua MUI
pernah menghadiri perayaan Waisak pada tanggal 26 Mei 2002 di Jakarta
Convention Center (JCC).28 Menteri Agama Said Agil Husin AlMunawar termasuk contoh orang Muslim yang menghadiri perayaan
Waisak Nasional 2547 di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada kamis, 15
Mei 2003, bahkan dia diminta untuk memberikan sambutan pada
pertemuan itu.29
Dalam hal ini tujuan menghadiri perayaan hari besar agama lain
bukanlah untuk membenarkan apa yang mereka yakini, tetapi lebih
kepada ingin memperkokoh persaudaraan atau persatuan tanpa
mengorbankan akidah. Dalam sambutannya, Menteri Agama Saud Agil
Husin Al-Munawar menyampaikan bahwa persatuan antar agama

26 Kompas, 26 Desember 1999.
27 Kompas, 23 Desember 2000.
28Interfidei Newsletter, Edisi Juni 200, hlm. 6-7.
29Kompas, 17 Mei 2003..

601

diperlukan untuk turut mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia,
dalam hal ini tujuannya adalah untuk kemaslahatan.
d. Doa Bersama (Doa Antaragama)
Dalam menghadiri perayaan hari besar agama lain, tentu tidak
terlepas dari doa bersama yang dilakukan. Di Indonesia, doa bersama
sering dilakukan pada peringatan Hari Kemerdekaan (17 Agustus), Hari
Sumpah Pemuda (28 Oktober), dan Hari Pahlawan (10 November).
Pada tingkat Internasional, doa bersama pernah dijumpai di Mesir
yang mayoritas penduduknya adalah Muslim dalam acara Persaudaraan
Keagamaan (al-Ikha’ al-Dini) bersama orang-orang Kristen. Pada akhir
setiap pertemuan, semua peserta secara bersama membaca teks sebuah
doa yang disusun oleh almarhum Syaikh Ahmad Hasan al-Baquri, yang
semasa hidupnya pernah menjadi Menteri Wakaf Mesir dan Rektor
Universitas al-Azhar.30 Contoh lain adalah doa bersama yang dilakukan
PBB pada perayaan ulang tahunnya yang ke 50 di Markas Besar di New
York. Doa bersama itu diikuti oleh negara-negara anggota PBB,
diantaranya adalah negara-negara yang pada umumnya mayoritas
penduduknya adalah Muslim. Uskup Desmond Tutu dari Afrika Selatan
memimpin para hadirin dalam doa bersama itu.31
Doa bersama dalam pertemuan lintas agama itu dilakukan dengan
dua cara. Pertama, setiap wakil dari masing-masing kelompok
keagamaan, kepercayaan, dan spiritual membaca doa dengan caranya
sendiri. Kedua, semua hadirin secara bersama membaca sebuah teks
doa.32
Dalam hal ini, apa itu doa bersama? Bagaimana doa bersama itu
dilakukan? Apa tipe-tipe doa bersama yang pernah dilakukan?

30 Christian van Nispen, Called to be Together in Front of God: The Spiritual Link Between
Muslims and Christians, makalah disampaikan pada “Kursus Penataran Dosen Studi AgamaAgama tentang Hubungan Islam-Kristen,” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Agama-Agama
(PSAA) Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana, di Kaliurang, Yogyakarta, pada 21-25
Juli 1998, hlm. 6-7.
31Nicolas Jonathan Woly, Meeting at the Precincts of Faith: A Study on Twentieth Century
Christian and Muslim Views on Interreligious Relationships and Its Impact on Missiology
(Kampen: Drukkerij van den Berg, 1998), hlm. 2-3.
32Agenda Acara Doa Solidaritas Antaragama untuk Reformasi (Cianjur, Jakarta, 5 Juni 1998).

602

Doa (Arab: du’a) dalam Islam adalah seruan, permintaan, dan
permohonan, pertolongan, dan ibadah kepada Allah SWT supaya
terhindar dari bahaya dan mendapat manfaat.33
Dalam konteks ini, doa bersama yang dilakukan adalah doa yang
bertujuan

untuk

kemaslahatan

seperti

kedamaian,

kerukunan,

persaudaraan, dan solidaritas, maka diperbolehkan. Baik yang memimpin
doa tersebut adalah seorang Muslim maupun seorang non-Muslim selama
doa yang dibaca tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Persoalan akan berbeda jika tujuan dari doa itu berbeda. Salah
satu contohnya adalah orang-orang Muslin berdoa untuk orang-orang
non-Muslim untuk memintakan ampun.Hal tersebut dilarang.Ibn
Taimiyah mendukung pendapat ini.Ia mengatakan bahwa ciptaan yang
paling utama adalah Muhammad, kemudian Ibrahim. Nabi Muhammad
berhenti memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib, setelah datang
teguran dari Allah,
 

 
 

“kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan
ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan
ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan
memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena
mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At Taubah: 80)
Firman Allah yang lain,


 


“dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang
yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di
kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At Taubah: 84)
33Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Syuruq,
t.th), hlm. 1

603


 
 
 
“sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu
mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Munafiqun: 6)







 

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun
orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi
mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah
diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim
bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri
dari padanya.Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi Penyantun.” (QS. At Taubah: 113-114)
Pada ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, dipahami dalam
konteks larangan berdoa untuk orang-orang munafik dan orang-orang
musyrik,

khususnya

yang

telah

meninggal.Dan

perlu

segera

ditambahkan, bahwa tidak semua orang non-Muslim itu munafik dan
musyrik.Di antara non-Muslim terdapat orang-orang yang yang bertauhid
dan mempunyai hubungan baik dan bersahabat dengan Nabi dan orangorang Muslim.Larangan berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang
bukan munafik dan bukan pula musyrik tidak dapat diterapkan.34
Nabi pernah berdoa ketika beliau tengah merasakan betapa
beratnya beban dakwah Islam yang dipikulnya, beliau memohon agar
salah satu di antara dua orang (Abu al-Hakam ibn Hisyam dan Umar ibn

34 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 100-101.

604

al-Khtattab), untuk masuk Islam. Dan doa Nabi dikabulkan Allah, Umar,
salah seorang dari mereka masuk Islam.35
Berhubungan dengan hal tersebut, boleh atau tidaknya berdoa
untuk

orang-orang

non-Muslim

adalah

untuk

tujuan

kemaslahatan.Kemaslahatan selalu berkaitan dengan konteks kultural dan
sosial. Larangan berdoa memintakan ampun untuk orang-orang munafik
dan musyrik, khususnya yang telah meninggal, tidak berguna karena
nasib mereka di akhirat tidak akan berubah dan mereka akan tetap masuk
neraka. Berdoa untuk mereka adalah “mubazir”.Maka muncullah
larangan berdoa untuk mereka.Bolehnya berdoa untuk orang-orang nonMuslim adalah untuk kemaslahatan.Seperti Nabi yang mendoakan Abu
al-Hakam ibn Hisyam dan Umar ibn al-Khtattab, agar salah satunya
masuk Islam adalah untuk membantunya berdakwah, dengan tujuan
kemaslahatan.Berdoa untuk orang-orang non-Muslim yang buka musyrik
dan bukan munafik dibolehkan selama bertujuan untuk kemaslahatan.36
e. Mengizinkan Non-Muslim Masuk Masjid
Persoalan terakhir dalam bagian kedua buku Fiqih Lintas Agama
adalah tentang mengizinkan non-Muslim masuk masjid.Dulu, sewaktu
almarhum Buya Hamka masih hidup, banyak turis asing non-Muslim
berkunjung ke Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
dan Nurcholish Madjid yang waktu itu masih menjadi mahasiswa (S1) di
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selalu dimintai tolong
oleh Buya membimbing turis-turis masuk ke masjid itu. Berbeda dengan
pengalaman pada akhir 1960-an dan awal 1970-an yang diceritakan oleh
Nurcholish Madjid itu, sekarang ini semakin banyak masjid yang tidak
boleh dimasuki oleh orang-orang non-Muslim.37
Contoh lain masjid yang boleh dimasuki oleh orang-orang nonMuslim adalah Masjid al-Fajr, di Indianapolis, Indiana, Amerika Serikat.
38

contoh paling menarik dan langka memperkenankan non-Muslim

35Ibid.
36Ibid., hlm. 102-103.
37 Nurcholish Madjid, “Kata Pengantar”, dalam Komaruddin Hidayatdan Ahmad Gaus AF (ed),
Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerja sama
denganYayasan Wakaf Paramadina, 1998), hlm. Xl
38Shahid Athar, “Ramadhan and Interreligious Harmony”.

605

masuk masjid adalah kunjungan Paus Yohanes Paulus II dan
rombongannya ke Masjid Ummayah, Damaskus, Syria. Ketika situasi
hubungan politik antara Israel dan Syria tengah memanas, Paus Yohanes
Paulus II melakukan kunjungan ke Damaskus.Sebuah fenomena yang
menarik dan mempunyai makna yang mendalam dari kunjungan itu
adalah bahwa untuk pertama kali dalam sejarah seorang pemimpin
tertinggi umat Katolik Roma, yaitu Paus Yohanes Paulus II, masuk dan
berdoa dalam Masjid Umayyah, pada hari Minggu, 6 Mei 2001.39
Peristiwa mengizinkan orang-orang Kristen masuk masjid dan
melaksanakan kebaktian (salat) di dalamnya telah terjadi pada zaman
Nabi Muhammad.Ketika Nabi telah menetap di Madinah, beliau
dikunjungi oleh orang-orang Kristen dari Najran, sebuah negeri di
wilayah selatan Jazirah Arab, yang berjumlah enam puluh orang.Ketika
sampai di Madinah, mereka menuju masjid Nabi.Nabi dan para sahabat
hendak melaksanakan salat Ashar.Mereka mengenakan pakaiana jubbah
dan mantel Yaman.Ketika waktu kebaktian mereka tiba, mereka
melakukan kebaktian di masjid Nabi.Dikatakan bahwa mereka memang
diperkenankan oleh Nabi melaksanakan kebaktian di masjid itu.Mereka
melaksanakan kebaktian dengan menghadap ke timur.Berdasarkan
peristiwa itu, Ibn Qayyim al-Jauziyah membuat kesimpulan bahwa Ahli
Kitab diperbolehkan masuk masjid dan bahkan boleh melaksanakan
kebaktian di masjid asalakan tidak dijadikan kebiasaan rutin.40
Pada tahun pertama Nabi Muhammad tinggal di Madinah,
jaminan kebebasan inilah yang pertama beliau berikan kepada semua
umat beragama.Hal ini sesuai dengan Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 6,
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Artinya, walaupun tidak
bisa kompromi dalam objek dan cara penyembahan, tapi silakan saja
secara bebas melakukan penyembahan dengan cara yang ada dalam
keyakinan masing-masing.41

39Sabda, Edisi No. 05/Tahun IV/15 Mei-15 Juni 2001.
40 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma’ad (t.tp: Dar Iya al-Turats al-‘Arabi, t.th, edisi III), hlm.
49.
41Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 112.

606

Pada tahun ke-9 hijrah, Allah menurunkan kepada Nabi
Muhammad larangan terhadap kafir musyrik Quraisy memasuki Masjid
al-Haram, dalam firmannya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu
najis (kotor), sebab itu sesudah tahun ini (sembilan hijrah), janganlah
mereka memasuki Masjid al-Haram ” (QS. At Taubah: 28). Ayat tersebut
merupakan larangan yang tegas terhadapa kaum musyrikin Quraisy
memasuki bahkan mendekato Masjid al-Haram.Larangan ini disebabkan
sikap mereka yang selalu memusuhi bahkan memerangi Islam secara
kejam dan zalim.Mereka disebut najis dan kotor karena mempercayai
yang palsu, dongeng, dan kufarat, mempersekutukan Tuhan dengan
benda-benda, patung-patung yang tidak mendatangkan manfaat dan
menolak mudarat.Mereka memakan bangkai dan darah, serta bersenangsenang dengan judi dan zina.Mereka melakukan tawaf keliling Ka’bah
dan Sai antara Safa dan Marwah tanpa busana, membaca talbiyah kepada
tuhan-tuhan selain Allah.Karena itu mereka dilarang mendekati Masjid
al-Haram, apalagi memasukinya.42
Mempertimbangkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi,
ataupun ijtihad para ulama dan penguasa, berdasarkan paham teologis,
dan lainnya social politik, atas pertimbangan keamanan dan ketenangan
tempat ibadah itu. Artinya, jika ada di antara non-Muslim yang akan
memasuki rumah ibadah atau masjid dengan tujuan menodai dan
merusak tempat suci itu mengancam ketenangan dan keselamatan umat
Islam, maka dalam kondisi seperti itu larangan tidak boleh memasuki
tempat suci adalah tepat diperlakukan kepada mereka.43
2. Fiqih “Menerima” Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama
Beberapa tawaran fiqih inklusif yang didiskusikan dalam bagian
kedua, sejatinya menyadarkan kita betapa otentiknya ajaran-ajaran
kedamaian dalam Islam.Nabi Muhammad saw sendiri sebagaimana
dikemukakan terdahulu, telah memberikan banyak contoh perilaku hidup
42 Syekh Muhammad Abduh, Tafs Fathir al-Manar (Libanon: Dar al-Ma’rifah, t.th, vol. 10), hlm.
275.
43Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 120-121.

607

yang

mengedepankan

kerukunan

dan

toleransi

demi

menggapai

keharmonisan otentik. Dalam sejarah Islam periode awal – yang
sebagaimana dipertahankan oleh segelintir orang hingga sekarang –kita
mendapatkan banyak suguhan narasi-narasi historis kelapangan Islam
terhadap agama-agama lain, sehingga menginspirasi seorang sarjana
Muslim untuk menulis buku berjudul Shuwar min Samahat al-Islam, yang
berarti “Beberapa Potret dari Kelapangan Islam.”44
Dari sekian produk pemikiran klasik, fiqih menjadi ilmu keagamaan
yang belum terjamah secara adil. Fiqih klasik merupakan satu-satunya
bidang keilmuan yang bias bertahan untuk kurun waktu yang cukup lama,
dan fiqih menjadi kebutuhan primer umat Islam. Kenyataan ini ditunjukkan
oleh ketergantungan yang cukup besar terhadap fiqih.Namun hal yang
menjadi refleksi keberagaman mutakhir, bahwa fiqih klasik yang dianggap
“otoritatif” telah menghilangkan fungsi agama sebagai elan pembebasan dan
pencerahan.Bahkan, kemunculan fiqih bisa dikatakan sebagai salah satu
penyebab disakralkannya doktrin keagamaan, dan lebih parah lagi, agama
tidak bisa disentuh dengan pendekatan-pendekatan sosiologis dan
antropologis.45
Cara pandang masyarakat Muslim terhadap fiqih, pertama, fiqih bagi
banyak kalangan dianggap sebagai “ilmu inti” yang tak tersentuh.Kedua,
fiqih menjadi “identitas keagamaan”.Penguasaan terhadap fiqih seringkali
menentukan posisi seorang agamawan antara yang satu dengan yang
lainnya.Ketiga,

fiqih

diimani

sebagai

penentu

“keselamatan”,

“kemenangan”, dan “kebahagiaan”.Klaim keselamatan (claim of salvation)
seringkali ditentukan oleh sejauh mana keabsahan fiqih yang dipersepsikan
mazhab tertentu.Dengan demikian, fiqih menjadi salah satu ilmu yang
berpengaruh dan mempunyai gravitasi yang begitu kuat.Bukan hanya itu,
fiqih telah membentuk masyarakat. Di sini kita dapat mengerti, bahwa fiqih
bukan hanya sebagai ilmu yang mempunyai kekuatan kultural yang
menggurita ke akar rumput, melainkan juga memuat kekuatan yang bersifat
44 Abdul Aziz Abdurrahman Ibn Ali Al-Rabi’ah, Shuwar min Samahah al-Islam, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1998)
45 Tim Penulis Paramadina, op. cit., hlm. 129.

608

structural, karena fiqih bisa menyedot massa yang begitu besar.Kebesaran
intitusi keagamaan, seperti Al-Azhar dan NU bisa dikatakan sebagai berkah
dan jasa besar fiqih.46
Hal-hal seperti itu melahirkan cara pandang bahwa seseorang yang
ritual keagamaannya sempurna, maka keberislamannya sudah sempurna.
Sebaliknya, mereka yang ritual keagamaannya biasa-biasa saja, maka
keberislamannya selalu dipertanyakan.
Dalam bagian ketiga buku Fiqih Lintas Agama, yang akan dibahas
berkaitan dengan kerja sama agama-agama adalah Fiqih Teosentris dan
Jebakan Otoritarianisme, Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antaragama,
Konsep Ahl al-Dzimmah, Konsep Jizyah, Kawin Beda Agama, Waris Beda
Agama, Menuju Fiqih yang Peka terhadapa Pluralisme, Islam sebagai
Agama Kemanusiaan, dan Budaya Menerima yang Lain.
a. Fiqih Teosentris dan Jebakan Otoritarinisme
Bahasan pertama pada bagian ketiga buku FLA, membicarakan
bagaimana fiqih yang hanya terpusat pada Tuhan dan membuat umat
Muslim yang terjebak dalam pengetahuan yang dijamin oleh satu sumber.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, keduanya digunakan
sebagai Ushul Fiqih yang mengukuhkan Tuhan.Doktrin tersebut menjadi
‘korpus tertutup” yang tidak bisa diotak-atik, dan seluruh yang
bertentangan dengan doktrin tersebut dianggap bid’ah, tidak sesuai
dengan ajaran Tuhan.Al-Qur’an dianggap sebagai satu-satunya jembatan
untuk mengarungi samudra kebenaran.Seluruh penafsiran berkisar sekitar
dua model, yaitu tekstualis dan ideologis.47
Lalu kita masuk dalam jebakan otoritarianisme.Fiqih dijadikan
alat untuk membungkam kebebasan berpikir.Kenyataan ini bisa dilihat
dari munculnya sejumlah fatwa keagamaan yang secara eksplisit
menolak pembaruan pemikiran.Fiqih yang bersifat teosentris, fatalistik,
dan konservatif itu tidak hanya untuk menunjukkan kepatuhannya pada

46Ibid., hlm. 130-131.
47Ibid., hlm. 133-134.

609

Tuhan, akan tetapi di sisi lain digunakan sebagai batu loncatan untuk
membentuk kekuasaan baru yang berpusat pada otoritas tunggal.48
Karena itu, kita mesti beranjak dari fiqih teosentris menuju fiqih
antroposentris, yaitu fiqih yang menghindari perdebatan-perdebatan
konyol, sebagaimana terlihat dalam perdebatan fiqih ala mazhab-mazhab
besar. Fiqih antroposentris akan menghidupkan hakikat fiqih secara
komprehensif, sebagaimana disuarakan kalangan Mu’tazilah dalam
konsep al-‘adl wa al-tawhid, bahwa yang harus diutamakan adalah
dimensi keadilan dan ketauhidan.49
Karena itu, studi atas kesejarahan fiqih merupakan keniscayaan
yang harus dilalui guna menyingkap entitas fiqih. Tanpa proses tersebut
sulit rasanya untuk melakukan diskoneksitas epistemologis sebagai
metode untuk memperbarui fiqih. Memaknai fiqih dari teks-teks an sich
hanya akan membentuk pemahaman yang fundamentalistik dan
menggiring pada pemusatan fiqih sebagai entitas yang mesti diunggulkan
dan diprioritaskan. Satu hal yang tidak bisa dibantah, bahwa fiqih sebagai
teks merupakan produk budaya.Fiqih tidak bisa dipisahkan dari struktur
dan sosio-kultur yang membentuk kognisi dan psikologi historis.Tiga
abad pertama Islam (abad VII hingga IX M) adalah periode pembentukan
fiqih.Konstruk fiqih sangat terkait dengan watak territorial, geografis,
dan konteks sosial politik umat Islam.50
Fiqih merupakan sebuah proses, bukan hasil yang mesti
disakralkan. Fiqih merupakan produk yang tidak bisa lepas dari
sejarah.Dalam periode Mekkah dan Madinah terdapat dua corak yang
berbeda dari karakter penggunaan symbol.Dan ini yang mesti dipahami
secara mendalam, sehingga fiqih tidak terjebak dalam penjara masa
lalu.51
b. Beberapa Dilema Fiqih Hubungan Antaragama
Pada bahasan kedua bab ketiga, Beberapa Dilema Fiqih
Hubungan Antaragama. Diantara konsep yang dipedomani dan
48Ibid., hlm. 137.
49Ibid., hlm. 139.
50Ibid., hlm. 141.
51Ibid. hlm. 142.

610

dipertahankan para ulama fiqih dan belum mendapat perhatian serius
untuk dicermati secara seksama, yaitu mengenai isu pluralism, terutama
yang berkaitan dengan masalah hubungan mayoritas dengan minoritas,
hubungan umat Muslim dengan non-Muslim.Dalam banyak kasus, fiqih
masih terkesan menomorduakan non-Muslim. Bahkan bila ditanya,
persoalan apa dalam tradisi fiqih yang mendapatkan penyelesaian secara
adil? Tentu saja, jawabannya adalah fiqih hubungan antar agama.52
Persoalan ini memang cukup mendasar.Pertama, dikarenakan
fiqih sengaja ditulis dalam masa yang mana hubungan antara Muslim dan
non-Muslim tidak begitu kondusif. Nasr Hamid Abu Zaid menyebutkan,
bahwa kitab-kitab klasik, baik ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu fiqih ditulis
dalam sebuah zaman yang mana umat Islam sedang dalam menghadapi
perang salib, sehingga diperlukan upaya strategis untuk mempertahankan
identitas dan mengembalikan epistemology dalam kerangka “teks”.53
Kedua, fiqih ditulis dalam situasi internal umat Islam yang tidak
begitu solid, sehingga amat dimungkinkan para penguasa mengguakan
fiqih sebagai salah satu alat untuk mengambil hati masyarakat sehingga
para ulamanya mendesain fiqih yang seolah-olah memberikan perhatian
kepada umat Islam dan menolak kehadiran non-Muslim.54
Ketiga, adanya symbol-simbol keagamaan yang secara implisit
menganjurkan sikap keras terhadap agama lain. Dalam banyak ayat,
terutama bila dibaca secara harfiah, maka akan disimpulkan secara kaku
dan rigid. Misalnya, ayat 120 surah al-Baqarah yang berbunyi, “Dan
orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan membiarkanmu, sehingga
kamu mengikuti agama mereka”. Jika ayat ini dipahami secara harfiah,
maka sudah barang tentu akan menimbulkan kesan buruk te