Policy Brief Menghentikan Tindak Intole

Menghentikan Tindak Intoleran: Strategi untuk Organisasi Masyarakat dan
Pemerintah Daerah dalam Mencegah Perilaku Diskriminatif terhadap
Kebebasan Beragama di Provinsi Jawa Barat
POLICY BRIEF

Oleh:
Ahmad Naufal Azizi

15/384251/SP/26963

Aliyah Almas S

15/385738/SP/27041

Anastasia Imelda C

15/384255/SP/26967

Intantri Kurnia Sari

15/379854/SP/26722


Maria Angelica Christy

15/384273/SP/26985

Reva Oktora

15/381326/SP/26789

Rostya Septiana

15/384283/SP/26995

Tegar Ario Yudhanto15/385690/SP/27083

Departemen Politik dan Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2017

A. Ringkasan Eksekutif
Jawa Barat menurut komnas HAM menjadi provinsi paling intoleran di
Indonesia. Ada 97 kasus intoleransi di Indonesia 2016 lalu yang diadukan ke Komnas
HAM, 21 kasus diantaranya terjadi di Provinsi ini –terbanyak dari provinsi manapun.
Pengaduan yang diterima oleh Komnas HAM beragam. Dari mulai kasus pelarangan
kegiatan keagamaan, pembubaran aksi keagamaan, hingga perusakan terhadap rumah
ibadah. Maraknya kasus yang terjadi di Jawa Barat ini tidak lepas dari semakin
meningkatnya organisasi keagamaan tertentu yang dianggap salah oleh organisasi
lainnya, merebaknya ormas yang menganggap perbedaan nilai dengan ormas lain
sebagai sebuah ancaman, hingga munculnya kelompok-kelompok radikal yang hobi
sweeping kegiatan keagamaan penganut agama lain.
Tidak cukup sampai disitu, catatan tindak diskriminasi terhadap kebebasan
beragama tidak hanya diaktori oleh organisasi kemasyarakatan. Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Barat, yang dalam hal ini merupakan representasi dari negara, merupakan
aktor lain yang berlaku diskriminatif terhadap hak-hak masyarakat dalam mendapatkan
perlakuan yang sama dalam hal kebebasan beragama. Provinsi Jawa Barat hingga hari
ini masih aktif dalam memproduksi Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat
diskriminatif. Tercatat ada 41 pasal bermasalah dari berbagai peraturan daerah di
Provinsi Jawa Barat yang masih suka mereduksi kebebasan penganut agama lain.
Oleh karena itu, penting kiranya bagi Pemerintah Daerah Jawa Barat, baik dari

Pemerintah Kabupaten/Kota maupun Provinsi untuk menata ulang regulasi yang sudah
diimplementasikan saat ini. Revisi terhadap regulasi yang bermasalah berguna baik
untuk mencegah adanya gesekan kebebasan beragama antar penganut agama lain.
Selain itu, urgensi atas tindakan tegas terhadap organisasi masyarakat yang bertindak
intoleran juga harus menjadi bagian penting dari proses pengimplementasian kebijakan
di Provonsi Jawa Barat nantinya.
B. Konteks dan Pentingnya Solusi Alternatif

Sampai pada titik ini, kebutuhan akan pembaharuan kebijakan oleh Provinsi
Jawa Barat menjadi penting terkait pencegahan segala bentuk tindak intoleransi baik
yang dilakukan ormas, perorangan, maupun pemerintah sendiri. Kebijakan ini menjadi
sangat darurat untuk segera dirumuskan karena menyangkut hajat hidup orang banyak
terkait masalah kenyamanan dan keamanan dalam mengekspresikan kebebasan
beragama setiap warga negara.
Jenis-jenis pembiaran yang selama ini justru dilakukan oleh Pemprov Jawa Barat
atas nama menjunjung tinggi demokrasi dengan kebebasan berpendapat, perlu dikaji
ulang dan diperbaiki karena jelas tindakan dan gerakan intoleran tersebut bukannya
mengimplementasikan nilai demokrasi, tetapi justru mematikan konsep demokrasi dan
multikulturalisme itu sendiri. Jika kebijakan ini tidak dirumuskan segera, artinya
Pemerintah Daerah Jawa Barat sekali lagi telah memilih untuk mengesampingkan

masalah yang akhirnya hanya akan memicu lahirnya “gerakan-gerakan” intoleran baru
yang akan mengganggu kehidupan sosial masyarakat di Jawa Barat.
Tidak tegasnya pemerintah dalam menghadapi persoalan ini hanya akan
memecah belah antar suku, agama, ras, dan kelompok tertentu. Selanjutnya, logika
mayoritas-minoritas akan tetap tumbuh subur di tanah multikultur ini. Pemerintah harus
cepat menentukan sikap dan segera melaksanakan kebijakan ini demi menjaga
harmonisasi di kalangan masyarakat. Tentu dengan mempertimbangkan kebijakan ini
akan memicu timbulnya protes-protes dari “gerakan” intoleran yang ada, namun sekali
lagi, perlu ditekankan bahwa pemerintah tidak boleh segan untuk menindak tegas
upaya-upaya intoleransi yang akan memecah belah bangsa ini, wabilkhusus yang terjadi
di Provinsi Jawa Barat.
C. Gambaran Umum Tingkat Intoleransi di Provinsi Jawa Barat
Jawa Barat menjadi daerah yang tidak aman bagi kelompok minoritas. Hal ini
dapat dilihat dari tingginya tingkat penyegelan, penutupan, serta perusakan rumah
ibadah hingga ancaman bagi kelompok minoritas dalam menjalankan ibadah mereka.
Secara singkat, berikut gambaran tindak intoleransi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat
yang bukan hanya diaktori oleh ormas tertentu, tetapi juga pemerintah daerah itu
sendiri.

(LBH) Bandung menemukan

383
peristiwa
tindak
kekerasan dan intoleransi
kebebasan beragama dan
berkeyakinan di Jawa Barat
pada 2005 hingga 2011

Hasil monitoring yang dilakukan. saat
ini ada 41 peraturan daerah di Jawa
Barat yang dianggap diskriminatif.
Bentuk intoleransi lain yang terjadi
adalah penyegelan hingga penutupan
rumah ibadah, pembubaran ibadah
kelompok atau agama tertentu,
bahkan terjadinya kekerasan fisik.

Menurut laporan Komnas
HAM, Jawa Barat memiliki
46 kebijakan yang diduga

diskriminatif.

Sejak Januari 2013 sampai Januari
2014 terjadi sebanyak 76 peristiwa
intoleransi, peristiwa tersebut
terjadi di beberapa daerah di Jawa
Barat seperti, Depok, Bekasi,
Cianjur, Sukabumi, Cirebon, Bogor,
dan Kabupaten Tasikmalaya.

Kekerasan tersebut berupa
aksi sweeping, demonstrasi,
menentang kelompok yang
dinilai menodai agama, atau
melakukan
penyerangan
rumah ibadah pemeluk
agama lain.

Sebanyak 19 kebijakan ada di

Kabupaten
Tasikmalaya,
Cianjur, dan Kuningan. Serta
ada kebijakan yang terbit di
Kota Bogor, Bekasi, dan
Bandung
sebanyak
27
kebijakan

Telah terjadi 46 peristiwa
pelanggaran kebebasan
beragama
dan
berkeyakinan di Jawa
Barat sepanjang 2015.

Jawa Barat merupakan
salah
satu

daerah
intoleransi
tertinggi
terutama
terhadap
kebebasan beragama di
Indonesia.

Data ini cukup menunjukkan
bahwa pemerintah di daerah
Jawa Barat cukup aktif dalam
menerbitkan
kebijakan
keagamaan
yang
diskriminatif.

D. Kritik Pilihan Kebijakan: Analisa 41 Pasal Bermasalah
Jawa Barat hingga hari ini masih dikenal sebagai provinsi paling intoleran di
Indonesia. Komnas HAM menyatakan bahwa di Jawa Barat terdapat sejumlah kebijakan

yang bermasalah berkaitan dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) serta
kebijakan diskriminatif yang berkaitan dengan agama dan golongan. Sejumlah masalah
itu berkaitan dengan pendirian rumah ibadah, aktivitas dakwah, pembentukan organisasi
agama serta status keagamaan. Kasus yang paling sering terjadi adalah penyesatan
agama, kriminalisasi agama, dan pelarangan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh
ormas yang tidak bertanggungjawab.
Namun, diskriminasi atas nama agama tidak hanya bersumber dari sikap
masyarakat saja yang tidak “siap” dalam menerima perbedaan. Peraturan daerah yang
diimplementasikan pemerintah daerah di Jawa Barat pun dapat memicu gesekan
berkepanjangan kebebasan beragama di provinsi ini. Terdapat 41 pasal bermasalah yang
melindungi agama tertentu atau memiliki tendensi keberpihakan terhadap agama
tertentu di Provinsi Jawa Barat. Kesalahan tafsir pada pasal tersebut mampu memicu
berbagai tindakan intoleran, seperti penyegelan hingga penutupan rumah ibadah,
pembubaran ibadah kelompok atau agama tertentu, bahkan terjadinya kekerasan fisik
secara nyata. Perda tersebut tidak mampu memberikan perlindungan kepada semua
agama yang sah di Indonesia. Beberapa agama yang dianggap minoritas diminta

menyesuaikan agama yang mayoritas. Banyak kita saksikan bahwa agama minoritas
harus bertoleransi dengan agama mayoritas, tetapi jarang kita saksikan tindakan
sebaliknya.

Pada tahun 2016, pemerintah daerah telah menyusun beberapa laporan yang
menjadi dasar indikator penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) sebagai reson pemerintah menanggapi peristiwa intoleransi ini. Namun,
sampai sekarang, peraturan baru yang tidak bias kebhinekaan belum juga segera
dirumuskan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat.
E. Rekomendasi Kebijakan: Revisi Peraturan Daerah yang Diskriminatif
Terhitung tahun lalu, ternyata sudah tujuh tahun berturut-turut Provinsi Jawa
Barat diketuk palu sebagai provinsi paling diskriminatif dan intoleran dari seluruh
provinsi di Indonesia. Indikator diskriminasi tersebut salah satunya dilihat dari
meningkatnya pengaduan kasus agama dan kekerasan atasnama agama setiap tahunnya.
Beberapa survei tahun 2016 lalu telah menunjukkan bahwa sampai saat ini, Jawa Barat
masih menjadi juaranya intoleransi akibat maraknya kasus intoleran yang dibungkus
dengan dalih agama, seperti kasus penyegelan masjid Ahmadiyah, pelarangan ibadah,
bahkan pemaksaan untuk meyakini agama mayoritas. Situasi di atas menjadi semakin
kompleks dengan kenyataan bahwa saat ini setidaknya ada 41 perda diskriminatif terkait
kehidupan beragama dan berkeyakinan. Pemerintah ternyata memiliki peran yang
signifikan dalam memelihara “penyakit” intoleran di provinsi ini.
Eksistensi gerakan intoleran dan kasus-kasus diskriminatif lainnya tidak akan
pernah selesai apabila pemerintah sendiri dengan sengaja membiarkan ─bahkan
terkesan mendukung gerakan intoleran tersebut tetap eksis di Jawa Barat melalui 41

perda di atas. Hadirnya 41 perda diskriminatif tersebut justru kontradiktif dan
menafikan kekhasan budaya Sunda yang selama ini kita kenal toleran, santun dan
terbuka. Publik jadi terjebak dengan paradoks bahwa masyarakat Sunda sebagai kaum
mayoritas terkesan memusuhi para pendatang dengan memaksakan keyakinan dan
kebebasan tertentu. Selain itu, perda-perda ini juga secara langsung menolak cita-cita
nasional negara yang tertuang dalam poin kesembilan Nawa Cita Jokowi tentang upaya
memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial.

Indonesia jelas berdiri atas keberagaman masyarakatnya. Semboyan Bhinneka
Tunggal Ika pun secara gamblang melindungi pluralisme, bukan mayoritas atau justru
minoritas. Maka dari itu, Pemprov Jabar seharusnya berpijak pada hukum dasar dan
konstitusi yang telah meresmikan enam agama besar di Indonesia, sehingga tidak ada
alasan lagi bagi pemerintah setempat untuk tetap memelihara 41 perda diskriminatif
tersebut demi keutuhan bangsa. Untuk Jawa Barat yang lebih harmonis dan minim
tindak kekerasan, harus segera dilakukan revisi terhadap perda bermasalah yang hanya
mengakomodir beberapa pihak saja. Hal ini sebagai bentuk implementasi dari sila
kelima Pancasila, bahwasanya keadilan sosial berlaku bagi semua rakyat Indonesia.
Pemerintah, baik di tingkat kabupaten/kota hingga provinsi, wajib mengupayakan
sedemikian rupa untuk menjaga keberagaman, salah satunya adalah dengan merevisi 41
perda diskriminatif tersebut.
Revisi dibutuhkan dalam rangka perbaikan dan penyesuaian keadaan dalam
dinamika masyarakat. Peristiwa-peristiwa intoleransi akan terus terjadi jika kekuatan
hukum masih lemah dan memihak. Hukum dalam implemenatasinya terbukti belum
mampu membendung aksi-aksi intoleran yang ada di masyarakat. Maka dari itu, perlu
dilakukan berbagai perbaikan salah satunya revisi kebijakan. Kebijakan yang menjadi
fokus utama pembahasan ini adalah kabijakan yang mengatur kebebasan beragama dan
kehidupan saling menghargai umat beragama lain dalam keberagaaman di Indonesia,
terutama di Jawa Barat tempat dimana presentase kasus intoleran paling banyak
ditemukan.
F.

Rekomendasi Kebijakan: Mendorong Penguatan Hukum terhadap Ormas
yang Bertindak Intoleran dan Tanggungjawab Pemerintah
1. Memberi kebebasan beribadah kepada umat beragama di Jawa Barat
sesuai amanat UUD 1945.
Dengan banyaknya kasus intoleran terhadap kebebasan beragama di
Jawa Barat yang tentunya sangat meresahkan warga sekitar. Kebebasan
dikekang tentu saja sangat bertentangan dengan dasar hukum yang menjamin
kebebasan beragama di Indonesia, yakni pasal yang memuat Hak Asasi Manusia.
Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi:
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih

pendidikan

dan

pengajaran,

memilih

pekerjaan,

memilih

kewarganegaraan,

memilih

tempat

tinggal

di

wilayah

negara

dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Selain itu dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak
untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945
dipertegas bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Kasus
intoleran di Jawa Barat ini bisa jadi karena kelalaian negara dalam menjamin
hak semua warga negara sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena hal tersebut,
pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih terhadap kebebasan
beribadah dan beragama di Provinsi Jawa Barat.
2. Menjamin kebebasan beragama, berpendapat, berserikat, dan berkumpul.
Pasal 28 E ayat (2) dan (3) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, berhak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
pasal 28E terdapat 3 poin penting yang mengatur mengenai kebebasan untuk
berkeyakinan, berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Dalam pasal
tersebut dijelaskan bahwa, setiap warga negara mempunyai kebebasan untuk
menentukan pilihan dan menyuarakannya.
Pemerintah dalam hal ini memiliki peranan besar untuk menjamin setiap
warga negara agar mendapatkan keadilan dalam kemajemukan yang sama.
Pemerintah harus menekankan kebijakan yang mengedepankan demokrasi,
perdamaian, keadilan dan dukungan terhadap perlindungan atas hak asasi
manusia. Dengan langkah strategis ini, diharapkan pemerintah daerah di Jawa
Barat dapat membuat kebijakan yang menitikberatkan peningkatan sinergi antar
aktor baik individu maupun kelompok di lingkungan masyarakat dan
pemerintah.
3. Menjaga persatuan, persaudaraan, perdamaian, dan toleransi antar umat,
kelompok, dan golongan.
Banyak terobosan yang dapat dilakukan guna meningkatkan toleransi
untuk menciptakan perdamaian dan persatuan di kalangan masyarakat. Beberapa
terobosan tersebut selain dengan merevisi perda‐perda sektarian yang
diskriminatif dan cenderung tendensius terhadap agama tertentu, juga dapat

dilakukan dengan memberikan sosialisasi terkait nilai‐nilai toleransi di kalangan
anak muda, berkolaborasi dengan masyarakat sipil untuk mendelegitimasi
ideologi radikalisme dan ekstrimisme, serta pemanfaatan kemajuan tekhnologi
digital untuk mengkampanyekan toleransi.
4. Menggerakkan Polri serta TNI (pihak yang berwenang) untuk tidak raguragu

menindak

tegas

segala

bentuk

tindakan

yang mengganggu

kebhinekaan
Kebebasan memeluk agama atau keyakinan merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang dijamin oleh hukum di Indonesia. Hak kebebasan dalam
berpikir, beragama, dan berkeyakinan merupakan hak yang sifatnya mutlak tidak
bisa dikurangi oleh pihak manapun. Namun, pada kenyataannya kasus intoleran
dalam beragama dan berkeyakinan di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa
Barat masih cukup tinggi. Penegakkan hukum harus dilakukan secara tegas
kepada siapapun yang melakukan pelanggaran terhadap agama dan keyakinan.
Pemerintah harus memiliki tindakan tegas terhadap organisasi masyarakat yang
intoleran terhadap kebebasan beragama melalui pihak yang berwenang, baik itu
Polri maupun TNI dengan sikap bertanggungjawab
G. Penutup
Dari paparan di atas, ada dua benang merah yang dapat ditarik menjadi
kesimpulan. Pertama, tindak diskriminasi di Jawa Barat yang menjadikan provinsi ini
menjadi jawara dalam tindak intoleransi tertinggi di Indonesia disebabkan atas dua hal.
Selain maraknya ormas keagamaan yang bertindak intoleran terhadap penganut agama
lain, peraturan daerah di Jawa Barat juga turut andil dalam membentuk pola
diskriminasi sosial maayarakat di Provinsi ini. Kedua aktor inilah yang jika dibiarkan
berlarut, tidak hanya dapat menciderai esensi demokrasi, tetapi juga cita-cita luhur
bangsa yang bhineka tunggal ika.
Kedua, sasaran dari adanya policy brief ini adalah solusi alternatif dalam
mencegah penyebaran tindak intoleran di Provinsi Jawa Barat dengan dua rekomendasi
kebijakan. Pertama dengan revisi ulang peraturan daerah yang diskriminatif, dan kedua
dengan melakukan supremasi hukum terhadap ormas yang berlaku intoleran dengan

tindakan tegas dari pihak pemerintah dengan aparatur yang berwenang dengan penuh
tanggungjawab.

Daftar Rujukan
Hukum Online.Com. (2010, September 17). Retrieved May 17, 2017, from
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6556/ham-dan-kebebasanberagama-di-indonesia
Elistya, Y. (2015, June 18). Kompasinasa.com. Retrieved May 17, 2017, from
http://www.kompasiana.com/yacynta.elstya/kebebasan-berserikat-berkumpuldan-berpendapat_54f5e1d5a33311c5728b457b
Loveita, Lola. 2017. Radikalisme Agama di Indonesia: Urgensi Negara
Hadir dan Kebijakan Publik yang Efektif. Jakarta: International Ngo Forum On
Indonesian Development.
Undang-Undang Dasar Negara Repuplik Indonesia Tahun 1945

Dokumen yang terkait

Analisis Terhadap Kualifikasi Tindak Pidana Yang Diatur Dalam Pasal 80 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Studi di POLRES Jombang)

0 27 33

Analisis Peran Ahli Psikiatri Forensik Dalam Membantu Penyidik Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan

6 101 24

Analisis Yuridis Pembuktian Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Putusan Nomor 795/Pid.B/2010/Pn.Jr)

0 8 13

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Di Bawah Umur Dalam Pandangan Hukum Pidana Islam : Kajian Atas Putusan PN Depok

0 21 86

Perlindungan Hukum Oleh Polisi Republik Indonesia (POLRI) Terhadap Sanksi Dan Korban Pada Proses Penyidikan Dalam Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia JUNCTO Und

0 12 105

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79

Kriminalisasi Gratifikasi Seks Sebagai Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

2 29 90

Implementasi Asas Pembuktian Terbalik Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3 29 45

Pengaruh Pyhsical Aspect, Reliability, Personal Interaction, Problem Solving, dan Policy terhadap Loyalitas Pelanggan Ritel ( Studi pada Chandra Supermarket & Dept. Store Metro )

2 24 113