Ijtihad Melawan Radikalisme Agama di Ind
IJTIHAD MELAWAN RADIKALISME AGAMA DI INDONESIA:
Post-Tradisionalisme, Formulasi Gerakan Pemuda
dalam Merajut Islam Indonesia
Moh. Roychan Fajar1
Pendahuluan
Peradaban Barat-modern sampai kini menempatkan agama
dalam posisi yang “hina”. Agama—termasuk Islam—yang lahir
dan berkembang sebagai misi penyelematan, cinta dan kasih,
semangat egaliter, telah mulai diragukan dan dipertanyakan
relevansinya. Mengingat, ragam dan banyaknya aksi kekerasan
mengatasnamakan agama, dari dulu hingga kini terjadi silih
berganti. Seolah, senjata dan darah, sudah menjadi simbol baru
yang tak dapat dipisahkan dari hikayat perkembangan Islam
Indonesia. Yang pada titik klimaksnya, menempatkan Islam
sebagai rahmatan lil’alamin sebatas gagasan yang tak lebih
berharga dari sebongkah fosil yang miskin substansi.
Setidaknya ada beberapa praktik kekerasan atas nama
agama yang sampai hari ini masih membekas dalam ingatan
kita. Sebut saja, kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang
terjadi sampai 15 kali dari tahun 2010 hingga 2011, 2 kekeraasan
terhadap Jama’ah Qiyadah al Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang
1 Lahir Sumenap 23 September 1994, nyantri di Pondok Pesantren
Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-Guluk Sumenep Madura, kini kuliah di
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk, Semester VIII Jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI). Aktif di sejumlah organisasi dan komunitas:
sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat GulukGuluk angkatan Gema Demokrasi, Mantan Ketua Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) Fajar Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Periode 2015-2016 M.
juga sebagai penggagas komunitas kajian Filsafat “Ijtihadul Falasifah.”
Tulisannya yang berjudul, Pesantren dan Moral; Sebagai Wahana Pendidikan
Pembebasan didaulat sebagai Karya Ilmiah Juara I dalam LKTI Mahasiswa di
STAIN Pamekasan. Suara Mahasiswa di Tengah Ruang Global adalah buku esai
pertamanya (OBSESI Press: Purwokerto 2015). Hingga kini, ia tinggal di
alamat, [email protected].
2
Lihat
lebih
lanjut
dalam,
http://www.tempo.com/re-d/news/2011/02/07/078311528/seta-hun,-15-‘kekerasan’-terhadap-ahmadiyah.
Diakses pada pada hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 20:15 WIB.
1
Sumatra Barat tahun 2007,3 sampai kekerasan terhap Jemaat
Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga
2007.4
Pun
tak
dapat
terlupakan,
tindak
diskriminasi
dan
kekerasan yang dialami oleh salah satu santri pasca meledaknya
bom di Pondok Pesantren Umar bin Khattab (UBK), Desa Sanolo,
Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, 11 Juli
2011 lalu.5 Selain itu juga tindakan diskriminasi pada penduduk
Syi’ah di Sampang tahun 2013,6 kasus kekerasan terhadap umat
katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014, 7 sampai penyerangan
kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul
Fitri tahun 20158 yang lalu.
Sejatinya, tindakan-tindakan intoleransi, diskriminasi yang
berujung pada sikap anarkisme dan bahkan teror di Indonesia
tersebut
banyak
dipraktekkan
oleh
kelompok-kelompok
3 Lihat lebih seksama dalam, Mulya Sarmono, “Menggugat Kekerasan
Atas Nama Agama”, dalam http://www.ind-onesiana.tempo.co/red/2-1871/2014/09/12/menggugat-kekerasan-atas-nama-agama. Diakses pada pada
hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 20:15 WIB.
4 Mulya Sarmono, “Menggugat…
5 Dalam ledakan ini, salah satu pengurus pesantren, Firdaus, tewas.
Polisi juga menemukan 26 buah bom pipa beserta beberapa rangkaian listrik
dan bateri telepon di sekitar lokasi. Lebih jauh lihat dalam,
www.tribunnews.com. Diakses pada hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul
21:15 WIB.
6 Lihat lebih lanjut dalam, http://www.tempo.com/red/news/2013/07/24/078499176/Kasus-Syiah-Sampang-Pemerintah-Akui-Terpojok. Diakses
pada hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 19:15 WIB.
7
Lihat
lebih
lanjut
dalam,
http://www.tempo.com/red/news/2014/06/05/06-3582-691/Penyerang-UmatKatolik-Bawa-Samurai-dan-Penyetrum. Diakses pada hari Selasa, 4 Agustus
2016 M. pukul 19:15 WIB.
8 Tim Penulis Program Studi Agama dan Lintas Budaya/Center for
religion and Cross-cultureal Studies (CRCS), Sekola Pascasarjana
UGM
Yogyakarta, “Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, MayoritasMinoritas dan Perjuangan Tanah Damai”, dalam http://crcs.ugm.ac.id. Diakses
pada Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 19:55 WIB.
2
fundamentalis9-radikal10. Kelompok ini senantiasi melegitimasi
tindak
kekerasannya
sebagai
bagian
dari
Jihad,
yang
memberikan kesan seakan-akan Islam mewajibkan pemeluknya
untuk berperang untuk menyelesaikan segala bentuk problem;
dan
terkesan
Islam
menolak
keras
perdamaian
dengan
mempercayai hanya akan memperkuat hegemoni kekuatan NonMuslim.11
Tepat pada konteks inilah, cendikiawan muslim Tanah Air,
Prof. Dr. Abd. A’la, menyebut ikhwal keadaan ini sebagai
“jahiliyah kontemporer”. Satu bentuk hegemoni nalar kekerasan
bernafaskan
agama;
dimana
tindak
diskriminatif,
sikap
intoleransi, dehumanisasi menjadi pilihan satu-satunya untuk
selalu dipraktikkan. Dalam hal ini, kehidupan menunjukkan
bahwa nilai substanstif agama mengalami pemudaran cukup
9 Istilah fundamentalisme pertama kali digunakan oleh kelompok
protestan Amerika Serikat pada awal abad ke-20 sebagai respon kekhawatiran
terhadap perkembangan ilmu dan teknologi yang dapat mengancam iman.
Baca, Teuku Kemal Fasya, “Pluralisme Vs Fundamentalisme”, Kompas, 14
Februari 2011. Sementara istilah fundamentalisme Islam mulai populer di
Barat menyusul pecahnya revolusi Islam di Iran tahun 1978-1979, yang
membuktikan kemenangan sejarah kaum militan Islam atas rezim sekuler.
Dalam konteks Islam, istilah ini juga seringkali juga digunakan untuk
menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu tarikan
nafas kebangkitan Islam (Islamic revival). Umi Sumbulah, “Agama dan
Kekerasan: Menelisik Akar Kekerasan dalam Tradisi Islam” dalam
http://syariah.uin-malang.ac.id. Diakses tanggal 04 Februari 2011.
10 Penyematan istilah radikal di sini untuk menghindari adanya
generalisir bahwa semua aliran fundamentalisme Islam mengekspresikan pola
dan perjuangannya dalam bentuk kekerasan. Sebab, pada kenyataannya
fundamentalisme Islam tidak monolitik, ada pula yang tidak radikal. Dalam
konteks tulisan ini, sebutan fundamentalisme mengacu pada kelompok
fundamentalisme yang radikal, dimana pola perjuangannya kaku dan keras
terhadap kelompok yang berbeda dalam internal Islam maupun terhadap
kelompok agama lain.
11 Bahwa Keterpakuan umat Islam dalam kekurang-arifan menikapi
realitas makna jihad, menjadikan jihad mengalami reduksi makna sebatas
perang dan sejenisnya. Bahkan menguatnya Islam sebagai ideologi politik
pada sebagian kelompok Muslim membuat mereka membiasakan dan
mendistorsi terma tersebut menjadi serangan yang bernuansa teroristik. Lihat
lebih rinci dalam, Asghar Ali Anginer, On Developing Theology of Peace in
Islam, terj. Rizqan Khamami, (Yogyakarta: Alinea, 2004), hal. 6. Bandingkan
dengan Prof. Dr. Abd A’la, M.Ag, Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar
Kekerasan, (Yogyakarta: LKiS, 2014), hal. 148.
3
akut. Beberapa kelompok sektarian mulai meninggalkan ajaran
moral agama yang dilihat dari perspektif manapun sejatinya
merupakan core velue dalam agama. Agama tidak lagi dijadikan
pijakan moral bagi sikap dan perilaku masyarakat.12
Kelompok ekstremis ini memiliki pola paradigma kembali
pada wajah islam Abad Pertengan dulu. Karena masa itu, mereka
nilai
sebagai
masa
yang
paling
sempurna
yang
dapat
merangkum heterogitas dalam satu titik harmoni yang bijaksana.
Sehingga wajar, yang selalu menjadi jargon bagi barisan
kelompok ini adalah kembali pada al-Qur’an dan Hadits. 13
Dengan sikap seperti itulah, meraka bermimpi untuk merebut
kemajuan dari tangan Negara maju seperti Amerika, China,
Jerman dan Inggris.
Dari itulah, sebagai kelompok yang ambisi untuk kembali
berkiblat seutuhnya pada masa lalu, mereka monolak segala
bentuk
system
politik
dan
budaya,
seperti:
skularisme,
demokrasi, plurisme, modernisme, sebagai prodak wacana dan
pijaka hidup masyarakat Eropa dalam satu bentuk kekuatan
besar
bernama
globalisasi.
Dalam
titik
perkembangannya,
kelompok ini menginginkan seluruh tatanan Negara harus
berdasarkan syari’at Islam secara murni, hingga kini, istilah
tersebut dikenal sebagai Khilafah Islamiyah; sebuah sistem
Negara yang dulu dipraktekkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya.
Dalam
memahami
teks-teks
agama,
kelompok
ini
menggunakan pendekatan literal-skriptual, menolak penafsiran
12 Ibid., hal. 5
13 Hal ini terjadi lewat pemikiran pemikir modernis pada abad XX M.,
mereka menformulasikan praktik Islam yang cocok untuk era modern, mereka
mengibarkan selogan “kembali pada sumber asli Islam: al-Qura’an dan
Hadist”. Baca tulisan, Martin Van Bruinessen, “Tradisi Menyongsong Masa
Depan: Rekonstruksi Wacana Tradisionalis dalam NU”, dalam sebuah karya
buku bertajuk, Tradisionalisme Radikal Persinggungan NU-Negara, cet. I,
(Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 207
4
baru,
dan
cenderung
memonopoli
tafsir
kebenaran.
Kecenderungan memonopoli kebenaran ini membuat mereka
tidak toleran terhadap pemahaman Islam yang lain maupun
agama
lain.
Sikap
militan
dan
pendekatan
yang
radikal
mendorong mereka ke arah ekstremisme (tatharrufiyah) dan
kekerasan (al-unfiyah) yang merugikan orang lain.14
Pada akhirnya, sebagai salah satu dari gerakan keagamaan
dalam tubuh Islam, gelombang radikalisme dan ekstemisme ini,
melahirkan pandangan keagamaan yang menolak keragaman,
kesetaraan dan kedamaian15 yang sejatinya dari dulu telah
menjadi tradisi lokal masyarakat nusantara.
Pemahaman demikian tentu sudah merupakan bentuk
perlawanan terhadap ideologi Pancasila dan sistem politik
demokrasi yang telah lama mejadi pijakan utuh Negara bernama
Indonesia ini. Karena harus disadari, dengan Pacasila dan
Demokrasi itulah, sampai detik ini Indonesia berhasil meringkus
ragam-perbedaan, seperti: ras, suku, agama, budaya dan tradisi,
dalam satu prinsip primordial “Bhinika Tunggal Ika”. Yang pada
tatanan lebih lanjut menjadikan Islam tanah air (berhasil)
merepresentasikan dunia Islam pada umumnya yang memiliki
karakteristik
tersediri,
yaitu
mampu
mendialogkan
dogma
keagamaan dengan kultur dan realitas kontemporer.16
Dari
itulah,
radikalisme
agama
merupakan
ekspresi
keagamaan yang tak boleh dibiarkan begitu saja. Hal itu terjadi
karena wacana, doktrin dan gerakan yang diusung oleh kaum
modernis dinilai tidak produktif bagi lahirnya transformasi dan
14 M. Imdadun Rahmat dan Khamami Zada, “Agenda Politik Gerakan
Islam baru” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 16. Tahun 2004, hal. 26.
15 Lihat lalu baca dalam, Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat:
Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 104
16 Ibid., Zuhairi Misrawi, PANDANGAN… hal. 103
5
revolusi sosial dalam tubuh Islam itu sendiri. Istilah yang muncul
kemudian adalah “Post-Tradisionalisme Islam”.
Post-tradisionalisme
Islam,
adalah
perkembangan
dan
gerakan intelektual Islam Indonesia yang dapat dibilang baru
dalam gelombang khazanah pemikiran Islam Indonesia. Posttradisionalisme
Islam,
demikian
terobosan
itu
disebut,
merupakan himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, dan
ditransformasikan secara meloncat; yakni pembentukan tradisi
baru yang berakar pada tradisi miliknya, akan tatapi mempunyai
jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif
dalam tranformasi dirinya.17
Pada konteks inilah generasi muda harus bergerak. Dengan
post-tradisionalisme, pemuda bangsa ini akan menempatkan
identitasnya yang sejati, dengan senantiasa berpijak pada tradisi
Islam Indonesia; yang moderat dan lentur dalam melakukan
pembaharuan, dari radikalisme agama menuju progresivitas
agama yang dapat membuktikan seutuhnya bahwa lahirnya
Islam membawa misi suci, rahmatan lil ‘alamin.
Akar Radikalisme Agama
In the relegious context, violence is
usually done in the name of seme good, and often in the name of
God
--- Lester Kurtz, “Gods in The Global Village “ (1995)18
Membuminya Islam phobia di dunia Barat dengan segala
macam bantuknya, adalah bentuk reaksi atas praktik-praktik
17 Lihat lebih lanjut, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB.
18 Lester Kurtz, Gods in The Global Village (California: Pine Forge Press,
1995), hal. 215
6
kekerasan bermotif agama dalam Islam. Tak dapat dipungkiri,
tindakan radikal atau kekerasan dengan label agama seringkali
diterjemahkan oleh sebagian orang sebagai legal doctrine yang
harus dilaksanakan. Pembolehan (permissiveness) terhadap bentuk tindakan radikal atau kekerasan resmi terus ditoleransi dan
bahkan disetujui.19
Sam Harris dalam bukunya, The End of Faith, secara lebih
tegas
menyatakan
bahwa
kekerasan
atas
nama
agama
bersumber dari kepercayaan inheren dalam agama. Ia menolak
tesis “politisasi agama”.20
memang
lahir
dari
Artinya, sikap kekerasan tersebut
struktur
gagasan
umat
agama
dalam
memahami agama itu sendiri. Menurutnya, karena keajaiban
kepercayaanlah yang melahirkan tindakan di luar nalar manusia,
atau meminjam bahasa Harris, “reason in exile”, seperti bom
bunuh diri dan semacamnya.21
Pandangan demikian terbukti dalam jejak sejarah lahir dan
berkembangnya Islam di bumi ini. Bahwa keberadaan Islam yang
setia terhadap perdamaian, juga tak absen dalam aksi kekerasa
yang mewujudkan diri aksi peperangan. Khususnya dalam proses
penaklukan atau pembebasan (futuhat) yang dilakukan terutama
mulai abad ke-7. Pun demikian Agama Kristen yang mengklaim
diri sebagai agama cinta kasih, namun sejarah kekristenan dalam
19 Lihat lebih lanjut dalam, Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 43
20 “Politisasi agama” dalam hal ini menjadikan agama legitimasi
terhadap berbagai kepentingn, termasuk kepentingan politik. Dalam kaitannya
dengan radikalisme agama, agama bukan sebab utama terjadinya radikalisasi,
tapi aspek politik, ekonomi, etnik, dan lainnya lah yang menjadi pemicu
utama.
21 Menurut Harris, semua agama memang mengalami represi-politik
dan ekonomi, tetapi penyikapannya bisa berbeda sesuai dengan ajaran dalam
agama masing-masing. Orang Kristen Palestina, meski sama-sama menderita
akibat invasi Israel, tidak memilih tindakan bom bunuh diri sebagaimana kaum
muslim Palestina. Demikian pun dengan kaum Budha Tibet yang tidak
bertindak apa-apa terhadap kekejaman Cina. Baca, Sam Harris, The End of
Faith, (New York: W. W. Norton & Company, 2005), hal. 234
7
kasus perang agama/perang salib (crusade) dan kolonialisme
barat atas dunia muslim abad ke-18 dan 19, juga sarat dengan
kekerasan.22
Eratnya kaitan antara agama dan kekerasan di sini dapat
dipahami karena di samping posisi agama yang sublime dan
emosional dalam kehidupan manusia, juga karena dalam agama
terkandung ajaran yang menuntut adanya penerimaan dan
pelaksanaan melalui kepercayaan. Inilah yang disebut dengan
aspek ortodoksi (ortodokxy) dan ortopraksis (ortopraxy) agama.23
Kendati pun demikian, tak pernah ada agama—termasuk
pula Islam—yang memiliki ajaran kekerasan, diskriminasi dsb.
Semua
agama
mengajarkan
tentang
kasih
sayang
dan
perdamaian. Dari itulah, kekerasan dalam tubuh agama, tak
dapat seutuhnya dilihat secara internal dalam agama itu sendiri.
Namun,
perlu
melihat
pula
agama
sebagai
“fenomena
eksternal”24 yang dapat dikaji melalui berbagai disiplin khazanah
ilmu-pengetahuan kontemporer.
Sehingga pada kontek inilah, kita akan menemukan bahwa
radikalisme dalam agama yang tak jarang berujung konflik dan
kekerasan, merupakan reaksi: Pertama, reaksi terhadap kondisi
sosial-politik-ekonomi yang timpang dan cenderung memihak
yang kuat.25 Radikalime dalam berbagai bentuknya tidak akan
22 Umi Sumbulah, “Agama dan Kekerasan: Menelisik Akar Kekerasan
dalam Tradisi Islam” dalam http://syariah.uin-malang.ac.id, diakses pada
tanggal 04 Agustus 2011.
23 Ahnad Saerozi dan Muhammad Fathoni Hasyim, “Konstruksi Ideologis
dan Pola Jaringan Organisasi Mahasiswa Islam Fundamentalis di Surabaya”
dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Volume 06, Nomor
01, Tahun 2007 hal 59.
24 Melihat agama sebagai “fenomena eksternal”, adalah bagian dari
serpihan pemikiran Muhammad AlFayyadl dalam satu essainya, “Marx dan
Ateisme” di, http://indoProgress.com. Dalam ikhwal ini, ia meletakkan agama
sebagai entitas sosial yang juga bisa diamati dan dapat berubah seiring
perkembangan zaman dan perubahan tata sosial yang membentuk dan
dibentukkannya.
25 Ahmad Fuad Nawawi, “Radikalisme dan Pembiaran” dalam Kompas,
30 April 2011. Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, Syafi’I Ma’arif
8
pernah lahir jika kehidupan masyarakat bisa sejahtera. Kedua,
respons terhadap penetrasi modernitas. Karena umat Islam tidak
mampu mengimbangi “ketertinggalan” atas barat, maka sebagai
kaum muslim mencoba menghalau penetrasi modernitas dengan
segala eksesnya dengan jalan kekerasan.26 Tak jauh berbeda
dengan pandangan Max Weber (1958) yang menganggap teror
dan ancaman sebagai bentuk kekerasan dan merupakan unsur
penting kekuatan (power), kemampuan untuk mewujudkan
keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang
berlawanan.27
Ketiga, protes terhadap “standar ganda” yang diterapkan
dalam politik barat, khususnya Amerika. Amerika dalam berbagai
kesempatan
senantiasa
mencangkan
akan
pentingnya
penegakan HAM, namun hal itu terasa mandul saat berhadapan
dengan negara kuat seperti Israel. Kemmpat, solidaritas terhadap
saudara seiman yang ditindas. Penindasan terhadap masyarakat
Palestina, Afghanistan, dan lainnya telah memantik emosi umat
Islam untuk melawan. Sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum
seiman, mereka melakukan perlawanan, baik secara langsung
atau tidak langsung.28
Pada keadaan yang lebih lanjut, faktor-faktor ini kemudian
dijustifikasi
oleh
tafsir
eksklusif
(literal-skriptual)
terhadap
menyatakan bahwa penyebab maraknya gerakan fundamentalisme Islam
yang berujunga pada radikalisme agama juga disebabkan karena kegagalan
Negara dalam membangun kesejahteraan dan keadilan untuk rakyatnya. M.
Syafi’ie Ma’arif, “Masa Depan Islam di Indonesia” sebuah prolog pada buku,
Abdurrahman Wahid (Ed.). Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia,(Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika-The Wahid
Institute-Maarif Insdtitute, 2009), hal. 9
26 M. Syafi’ie Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Membingkai
Potret Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid” pengantar pada buku,
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita; Agama Masyarakat
Negara Demokrasi”(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. xxvi
27 Lebih lanjut baca selengkapnya dalam, Max Weber, Sosiologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 103
28 M. Syafi’ie Maarif, “Islamku,…” hal. 8
9
doktrim-doktrin agama. Pendekatan tekstual seperti ini, tidak
akan mempertimbangkan doktrin agama secara konteks, ia tidak
peduli terhadap aspek sosial yang melatar belakangi lahir dan
datangnya ayat al-Qur’an atau Hadist tersebut. Pendekatan ini,
bersifat ahistoris, membuang jauh aspek budaya, tradisi, politik
dimana teks itu lahir.
Pola pendekatan tafsir seperti ini, melahirkan monopoli
tafsir yang totaliter. Mereka merasa yang paling benar dalam
memahami agama, karena langsung mengambil dari sumbernya
(baca: al-Qur’an dan Hadis).29, Hal demikian ketika ditopang
dengan sikap militan terhadap agama, maka akan menjadikan
mereka ekstrem dan menuding kelompok lain yang berbeda
pemahaman sebagai kelompok yang sesat, bid’ah, dan bahkan
kafir.
Dalam
perkembangan
selanjutnya,
kekerasan
verbal
tersebut mengerucut pada kekerasan fisik yang merusak dan
merugikan orang lain. Sebagaimana sejarah kekerasan agama
yang terjadi jauh pada masa Khalifah Ali bin Thalib.30
29 Inilah yang oleh Gus Dur disebut pendangkalan agama.
Pendangkalan agama ini terjadi lantaran latar keilmuan kaum fundamentalis
pada umumnya adalah eksak yang akrab dengan hitungan-hitungan rasional
dan empiric. Dalam memahami agama, mereka mengambil jalan pintas
dengan langsung merujuk pada teks al-Qur’an dan Hadis, tanpa merasa perlu
mempelajari berbagai penafsiran dan pendapat-pendapat hukum yang sudah
berjalan berabad-abad lamanya. Abdurrahman Wahid, “Gandhi, Islam, dan
Kekerasan” dalam Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita; Agama Masyarakat
Negara Demokrasi”(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 348
30 Sejarah Islam memaparkan kepada kita betapa kekerasan fisik
bermula dari kekerasan verbal yang bersumber dari hasil interpretasi terhadap
teks-teks agama. Sahabat Ali bin Abi Thalib dihalalkan darahnya oleh
kelompok Khawarij, karena dianggap kafir. Label kafir ini diberikan kepada
sayyidina Ali karena beliau dianggap tidak berpegang teguh kepada hukum
Allah dengan menerima Arbitrase (tahkim) dengan Muawiyah, berdasar Firman
Allah, “wa man lam yahkum bi ma anzala Allah fa ulaika hum al-kafirun”
(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir), QS. AL-Maidah [5]: 44.
Dalam pemahaman mereka, setiap orang kafir harus dibunuh. Akibatnya
sungguh tragis, Ali kemudian dibunuh oleh Ibnu Muljam, seorang shaleh yang
taat beribadah dari sekte Khawarij. Lihat lebih lanjut dalam, KH. Husein
Muhammad,
“Menangkal
Radikalisme
Melalui
Pesantren”
di
http://buntetpesantren.org. diakses pada tanggal 4 Oktober 2016.
10
Hingga dalam perkembangannya lahir gagasan tentang
politik Islam, yang kemudian dipahami pula sebagai bagian dari
Islam
fundamentalis
atau
Islam
radikal.
Secara
umum,
fundamentalisme di Indonesia muncul sekurang-kurangnya pada
dekade 1950-an. Strategi perjuangan Islam Politik menginginkan
institusionalisasi Islam dalam bentuk negara Islam, 31 misalnya ini
diwakili oleh kelompok Wahabiyah di Arab yang muncul dan lahir
dalam gelombang pertama—abad 18 dan awal abad 19—
pemikiran Islam, yang disebut Fazlur Rahman sebagai “Gerakan
Revivalis”,32
pandangan
tersebut
sampai
di
Indonesia
mewujudkan diri dalam kelompok, DI/TII, HTI, JAT, dan FPI.
Kontras
dengan
pandangan
fundamentalis-radikal,
kelompok tradisionalis yang kemudian mengelompokkan diri
menjadi
Nahdlatul
Ulama’
(NU).
Sedangkan
antitesa
dari
kelompok ini adalah, gerakan modernis, yaitu: Muhammadiyah.
Kelompok modernis yang sejatinya bila diurai secara detail, garis
geneologi
pemikirannya,
bersambung
kepada
Wahabi
dan
berpuncak kepada Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas mencerca
tradisionalis.33
Mengingat hingga saat ini kekerasan yang bermotif agama
senantiasa tetap berlangsung, ini berarti indikasi bahwa pola
pemikiran dan pandangan fundamentalisme tampil semakin
kuat. Yang pada titik lebih lanjut melahirkan “Post-Tradisionalisme
Islam” tampil sebagai istilah baru, setelah mengalami dialektika
31 Lihat secara seksaa dalam, M. Ahyar Fadly, “Gerakan Radikalisme
Agama; Perspektif Ilmu Sosial”, dalam jurnal Dinamika, Volume IX Nomor 1
Januari - Juni 2016.
32 Lihat Fazlur Rahman, “Islam: Past Influent and Present Challenge”,
dalam Alford T. Welch dan Cachia Pierre (ed.), Islam: Challenges and
Opportunities, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), hlm. 315-330.
33 Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme
Islam” dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 9 Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU,
2000), hlm. 32.
11
yang cukup panjang, baik dengan pemikiran lain maupun dengan
realitas sosial dan tardisi komunitas yang melahirkannya.34
Post-Tradisionalisme Islam35:
Epistemologi, Rekonstruksi “Tradisi” dan Revitalisasi
Gerakan Pemuda
Terminologi post-tradisionalisme dalam Islam sejatinya lahir
dari dialektika wacana berpikir pemuda tradisionalis Indonesia
yang merasa perlu untuk merumuskan satu gagasan yang dapat
menjeleskan tentang identitas dirinya. Di tengah berbagai
ideologi berbasis intelektual-keagamaan juga marak digagas,
tapi justru bersifat elitis sehingga tidak bisa sampai pada titik
dimana masyarakat membutuhkannya; gagal menjadi jembatan
atara prangkat teoritis dan realitas yang kongkret.
Post-tradisionalisme atau yang akrab disebut “POSTRA”
merupakan produk pemikiran yang bebasis pada tradisi dan
ditransformasikan secara meloncat; yakni pembentukan tradisi
34 Op. Chit, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB.
35 Postra kali pertama muncul ketika ISIS (Institute for Social and
Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola anak-anak muda NU di
Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi uuntuk mengamati munculnya
gairah baru intelektual dikalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta.
Gema dari waca ini terus meluas terutama setelah LKiS menjadikan “postra”
sebagai landasan ideologisnya dalam strategi planning pada Mei 2000 di
Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang menjadi judul buku terjemahan
Ahmed Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed Al-Jabiri. Sampai disini
meskipun kata postra tersebar, namun belum ada tanggungjawab secara
ilmiyah mengenai basis epistimologis istilah tersebut. Buku terjemahan
Ahmad Baso, meskipun memakai kata “Post-Tradisionalisme Islam” namun
didalamnya tidak menjelaskan sama sekali apa sebenarnya makna dari postra
itu sendiri. Beberapa bulan kemudia beberapa aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri
dan Zaini Rahmad memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku
berjudul “Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak dan Gerakan PMII.
(Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah
bulletin yang diberinama “postra”. Wacan “postra” semakin matang ketika
LAKPESDAM NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam
jurnal Taswirul Afkar No. 9 Tahun 2000. Setelah itu postra telah benar-benar
menjadi waca public dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai
diskusi, seminar, dan juga liputan media massa. Lihat dalam,
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/post-tradisionalisme-islam.html.
Diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 M. pukul 09:23 WIB.
12
baru yang berakar pada tradisi miliknya,36 ia memperbahuri
dirinya sendiri dengan praksis dialog tanpa batas—tradisi—
dengan
budaya
modernitas-kontemporer.
Fonomena
transformatif ini bersifat continou, hingga pada titik klimaksnya
melakukan “loncatan” tanpa sadar dari struktur pembentukan
tradisi baru yang dahulunya direncanaka, menjadi wujud yang
tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Pandangan ini tentu sangat kontras dengan kaum modernis
yang bersikap acuh bahkan ingin menghancurkan tradisi yang
sudah menjadi identitas muslim Indonesia itu. Namun bagi posttradisionalisme,
ia
meletakkan
tradisi
sebagai
ekspresi
pengetahuan yang memiliki cakupan konprehensif. Ia meliputi
yang bersifat maknawi (al-turats al-maknawi) seperti pemikiran,
yang berbentuk material (al-turats al-madiy) seperti norma dan
kebudayaan, tradisi nasional kebangsaan (al-turats al-qaumy)
yang datang dari pendahulu kita, serta tradisi kemanusiaan pada
umumnya (al-turats al-insany) yang kita terima dari khazanah
masa lalu orang lain.37
Secara metedologis, seolah ia hendak menyamai, tradisi
dalam kajian-kajian Poskolonial. Pada kontes tersebut tradisi
bukan hanya dipahami sesuatu yang naratif, simbolik, atau yang
kuno. Tapi juga—yang lebih penting—sesuatu yang teatrikal,
alegorikal, dan juga kontemporer.38 Dalam imajinasi kaum
Nahdliyin, tradisi selalu diarahkan pada dua konteks seklaigus,
“al-muhâfazhah `ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al36 Op. Chit, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB.
37 Op. Chit, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB. Yang juga mengutip,
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Turats wa al-Hadatsah: Dirasat wa Munaqasyat,
(Beirut: al_markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1991), hlm. 45.
38 Lihat misalnya Bhikhu Parekh, Colonialism, Tradition and Reform: An
Analysis of Gandhi’s Political Discourse (London: Sage, 1999), edisi revisi.
13
ashlâh. Sebagaimana pula yang diyakini oleh Ahmad Baso bahwa
tradisi, singkatnya, adalah local knowledge penduduk pribumi.39
Lebih
jauh,
Ahmad
Baso
memberikan
penjelasan
epistemologis post-tradisionalisme Islam. Menurutnya, secara
historis
post-tradisionalisme
Islam
adalah
sebuah
konstruk
intelektualisme yang berpijak pada dinamika budaya lokal
Indonesia dan bukan merupakan tekanan dari luar, yang
berinteraksi secara terbuka bukan hanya dengan berbagai jenis
kelompok masyarakat, tapi kemudian mengkondisikan mereka
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran luar yang bukan berasal
dari dalam kultur tradisional NU. Post-tradisionalisme Islam juga
mengapresiasi dan mengakomodasi bukan cuma pemikiranpemikiran liberal dan radikal semacam Hassan Hanafi, Mahmoud
Toha, al-Na’im, Arkoun, Abu Zayd, Syahrour dan Khalil Abd Karim,
tapi juga tradisi pemikiran sosialis Marxis, Post-Strukturalis, PostModernisme, gerakan feminisme dan civil society.40
Sehingga, post-tradisionalisme dengan upaya tersebut
memiliki infrastruktur gagasan yang konfrehensif dan kontekstual
untuk kehidupan kita ini. Utamanya dalam menjadikan tradisi
sebagai referensi primer dalam melakukan proyeksinya—dalam
khazanah Islam Islam Indonesia. Tepat sebagaimana yang juga
diyakini oleh Hassan Hanafi, bahwa pembaharuan hanyalah
rekonstruksi
interpretasi
terhadap
tradisi
sesuai
dengan
kebutuhan zaman. Dengan demikian, tradisi merupakan pijakan
sekaligus “washilah” menuju pembaharuan.41
39 Lihat sebuah makalah, Ahmad Baso, “NU Studies Vis-À-Vis Islamic
Studies Perspektif dan Metodologi dari, oleh dan untuk Islam Indonesia Pasca
11 September”(tt.)
40 Ahmad Baso, ”Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme
Islam,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 10 Tahun 2001, hal. 33
41 Hassan Hanafi, Al-Turats wa al-Tajdid: Mauqifuna min al-Turats alQadim, (Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasr wa al-Tauzi’,
1992), hlm. 13.
14
Dari itulah, tradisi dalam domain post-tradisionalisme
merupakan sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang
berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau masa lalu
orang lain, apakah masa lalu itu dekat atau jauh. Dari definisi ini
dapat dipahami bahwa tradisi adalah sesuatu yang menyertai
kekinian
kita,
yang
tetap
hadir
dalam
kesadaran
atau
ketidaksadaran kita. Kehadirannya tidak sekedar kehadiran masa
lalu melainkan sebagai masa lalu dan masa kini yang menyatu
dengan tinjauan dan cara berpikir kita. Maka tradisi tidak sekedar
tradisi yang tertulis akan tetapi realitas sosial kekinian kita. 42
Sehingga, meninggalkan tradisi43 akan menjadi salah besar
dalam melakukan upaya pembaharuan dalam Islam itu sendiri.
Melalui hal ini, post-tradisonalisme akan menjadi piijakan
baru dalam melakukan pembacaan, rekonstruksi, dekonstruksi,
atau malah bongkar-pasang tradisi yang sudah terjadi, sedang
berlangsung atau bahkan sebagai formulasi tradisi di masa yang
akan datang nanti. Pada saat tertentu, ia akan melakukan
rekonstruksi sebuah tradisi yang kirangnya penting namun perlu
di modifikasi prangkat metedologi, stragi atau bahkan aksi
gerakannya. Namun di saat yang berbeda ia akan melakukan
dekonstruksi terhadap bangunan tradisi yang hanya menjadi
benalu dan tembok besar menghadang kemajuan, dengan
42 Mohammed Abid al-Jabiri, Post-tradisionalisme Islam, penerj. Ahmad
Baso (Yogyakarta; LKiS, 2000), hal. 45.
43 Bahkan Mohammad Arkoun membedakan makna tradisi dari dua
sisi. Pertama, tradisi dengan menggunakan T besar, yakni tradisi transenden
yang selalu dipahami dan dipersepsikan sebagai tradisi yang ideal, yang
datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah. Kedua, tradisi yang
menggunakan t kecil, yakni tradisi yang dibentuk oleh sejarah dan budaya
manusia, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan melalui teks-teks suci.
Lihat Mohammad Arkoun, al-Fikr al-Islami: Qira’at al-Islamiyah (Beirut; Markaz
al-‘Arabi, 1987), hal. 19-39. Sebagaimana dikutip oleh Lukman S. Thahir,
Harun Nasution (1919-1998): Interpretasi Nalar Theologis dalam Islam
(Yogyakarta; Disertasi PPs. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003). hal. 12
15
membangun tradisi baru berdasarkan “gesekan” tradisi lama
yang tidak produktif itu.
Meski
pada
hakikatnya
post-tradisinalisme
ini
diproyeksikan sebagai “ideologi” yang kemudian diperhadapkan
dengan “islam liberal” yang pro-kapital, kampium neo-liberal,
namun lewat hal ini, paling tidak “POSTRA” menjadi pondasi
struktur argumentative yang secara genealogis, diharap dan
diupayakan melihirkan sikap gerakan yang massif melalui “local
wisdom” sebagai pondasi epistemologinya, menuju kontribusi
yang kongkret.
Pada konteks inilah, generasi muda bisa menempati
identitasnya. Karena dalam jejak historisnya, apa yang disebut
dulu sebagai “zaman bergerak” memang dimotori oleh pemuda.
Hanya pemudalah, yang menempati posisi strategis-kredibel
untuk mengejawantahkan post-tradisionalisme sebagai piranti
dalam
membongkar
pandangan
keagamaan
fundamentalis-
radikal yang seringkali berakhir dengan kekerasan, ekstremisme
dan diskriminasi bermotifkan agama.
Post-Tradisionalisme, “Local Knowledge”:
Formulasi Gerakan Pemuda, Melampaui Positivisasi
Radikalisme Agama
Semakin maraknya gerakan-gerakan agama “garis keras”,
membangkitkan kembali gairah lebih intens lagi dalam merawat
dan melestarikan tradisi yang sejatinya telah melahirkan jati diri
bangsa ini. Membedah tradisi secara kritis dengan meramu
segala bentuk disiplin kontemporer, memang merupakan pijakan
baru
untuk
melakukan
pembaharuan
dalam
tubuh
Islam.
Utamanya nanti bila dihadapkan dengan kelompok radikalisme
agama.
16
Gerakan yang harus dimotori oleh generasi muda ini,
merupakan satu ikhtiar perjuangan dimana spirit dan nilainilainya mengalir dari “masa lalu”. Karena memperjuangkan diri
untuk menjadi generasi yang berpikir dan bersikap posttradisionalis sejatinya adalah juga sebuah rediscovery atau
penemuan kembali tentang identitas pemuda yang telah lama
tenggelam dalam sistem diskursif bernama: Neo-Liberalisme.
Pada keadaan barisan anak muda hari ini yang lebih
tertarik terhadap “budaya populer” dibandingkan “local wisdom”,
adalah gejala dimana “desain global” neo-liberalisme itu semakin
menggurita di Tanah Air ini. Sehingga pada situasi inilah, banyak
generasi muda mengalami gengsi dan merasa tak ada gunanya
bila peduli terhadap tradisi lokal yang telah membesarkan
pribadinya itu. Keadaan ini menjadi semakin krusial, saat
radikalisme agama di Indonesia menjadi problem keagamaan
yang semakin serius.
Berangkat dari alasan tersebut, post-tradisonalisme mejadi
satu kerangka dan strategi gerakan untuk mengatasi problem
serius keagamaan: fundamentalisme dan radikalisme agama itu
sendiri. Dengan meletakkan pemuda sebagai aktor utamanya.
Sehingga
dengan
stragi
gerakan
seperti
ini,
juga
akan
meletakkan generasi muda pada militansi kuat untuk memilih
preoritas gerakan terhadap agama dan stabilitas kebangsaan—
berhadapan secara langsung dengan hegemoni radikalisme
agama.
Berbicara hegemoni radikalisme, berarti kita juga berarti
berbicara
positivisasi
radikalisme
agama.
Sederhananya,
positivisasi menginginkan pen-total-an sebuah ajaran untuk
diterapkan pada setiap kondisi, tempat bahkan dengan cara
apapun. Olehnya, ia selalu mengandaikan segalanya serba
17
“Islami”, mulai dari “Islamic Society”, “Islamic Art”, “Islamic
Bank”, “Islamic Economy”, “Islamic Politic” hingga “Islamic food
and parfum”. Berbicara tentang Islam sebagai obyek agama
yang dipakemkan di Arab, diyakini bisa juga berlaku di negerinegeri lainnya seperti: Indonesia. Meraka hendak menafikkan
khazanah
lokalitas
yang
dari
dulu
telah
dijunjung
dan
dilestarikan.
Berbeda dengan post-tradisionalisme, karena ia memiliki
ikatan sistemik terhadap apa yang selalu disebut oleh Edwar
Said, “local kowledge”. yang akan membawa penggunanya
menjadi pribadi yang kritis terhadap sebuah teks atau produk
pengetahuan, lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi
atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori manapun,
menurut
Said,
lokalitasnya.
muncul
Ketika
dari
lokus
bermigrasi
tertentu,
keluar,
ia
dari
konteks
kehilangan
elastisitasnya; kekuatan dan maknanya jadi melemah. Dalam
bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa
metode-metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh
sejumlah adaptasi, konstruksi baru, intervensi, negosiasi, atau
resistensi di luar dari lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya
mengambil
alih
posisi
pemikiran
awal
yang
dicetuskan.
Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal “teori traveling”
atau “kritik sekuler”.44
Dalam post-tradisionalisme ia memiliki intensi secara
“totalitas” untuk mendialogkan tradisi dan modernitas sehingga
terciptalah apa yang disebut—dalam Post-Tradisionalisme Islam
—“loncatan tradisi”, menuju tradisi baru yang representatif dan
kontestual dalam menyerap seluruh keragaman di negeri ini.
Pada keadaan itulah, melahirkan dan merekonstruksi sikap
44 Lihat dalam, Edward Said, “Traveling Theory”, dalam The World, the
Text, and the Critic (London: Vintage, 1983), hal. 226-247
18
keterbukaan, kontekstualisasi dan kritisisme dalam melakukan
interpretasi atas segala ajaran keagamaan yang ada.
Mendialogkan tradisi dan modernitas merupakan ekspresi
emansipatoris untuk agama dan bangsa ini secara umum.
Sehingga,
dengan
sendirinya,
bisa
diharapkan
terciptanya
hubungan yang lebih harmonis, penuh toleransi di antara
masing-masing umat yang berbeda. Dan hal ini, merupakan
mekanisme internal umat beragama untuk prevensi dan resolusi
konflik yang bernuansa agama.45 Karena bila hal ini tetap
dibiarkan begitu saja, maka tradisi lokal yang sejak dulu menjadi
tiang khazanah keislaman kita akan roboh dan hancur.
Melalui Genrasi Muda, “Intelektual Organik”:
Merajut Islam Idonesia
Pemahaman agama yang telah terdistosi oleh beberapa
kelompok radikalisme kini melahirkan sikap kekerasan yang terus
dipraktikkan di atas dalih sebuah pengabdian. Fenomena ini
tentu harus mendapatkan respon aktif dari generasi muda.
Sehingga ia dapat mengejawantahkan sebuah strategi gerakan
baru,
sebagaimana
yang
terjabarkan
di
atas.
Post-
tradisionalisme, begitulah strategi baru itu disebut, mejadi
pijakan baru yang relevan dengan keadaan Indonesia hari ini;
dimana toleransi, kemanusiaan, dan keadilan, menjadi barang
mahal untuk dinikmati.
Para pemuda, melalui post-tradisionalisme hendak menarik
Islam pada ruang yang kaffah; dengan meradikalkan bahwa alfabeta ajaran agama tiada lain adalah seutuhnya etik-moral yang
harus dilabuhkan kedalam kenyataan dan menjadi dasar sikap,
45 Lihat, Azyumardi Azra, “AKAR RADIKALISME KEAGAMAAN Peran
Aparat Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat
Beragama”, dalam Makalah yang ia sampaikan pada Diskusi ‘Memperkuat
Toleransi Melalui Sekolah’ The Habibie Center, Hotel Aston, Bogor Bogor, 14
Mei 2011
19
pandangan
dan
perilaku
dalam
segala
kehidupan
yang
dijalaninya.46 Bukan malah kekerasan. Karena pada dasarnya,
agama
tidak
lahir
hanya
dengan
seprangkat
spiritualitas-
transendental, di sebrang yang berbeda ia (baca: agama) juga
lahir dengan sikap sosial-kemanusiaan yang justru sangat
membenci diskriminasi, dehumanisasi, sikap aniaya dan praktik
kekerasan lainnya.
Tentu, peoblem kekerasan atas nama agama ini, bukan
semata-semata persoalan khazanah pemikiran, tapi juga tentang
strategi gerakan yang bersifat kongkret. Maka dari itu, barisan
pemuda harus mejadi sebagaimana yang diharapkan oleh
Antonio Gramsci, sebagai pribadi “intelektual organik”. Sosok
intelek yang tidak hanya duduk di atas menara gading, dengan
membanggakan pangkat akademisnya, tapi juga ikut terlibat
bersama masyarakat yang tengah mengalami persoalan. Pada
keadaan itula, pemuda harus mempraktikkan metode, ajaran,
ideology dari sebuah agama yang telah ia imana, sehingga ia
tidak sekedar menjadi muslim yang kaya wacana namun miskin
gerakan.
Di
sinilah,
mengejawantahan
generasi
muda
identitasnya,
mendapatkan
sebagai
seorang
perannya,
muslim
progresif yang selalu sadar bahwa penistaan atas nama agama
harus segera dilawan dengan strategi dan metodologi apapun;
dari reduksi kelonpok radikalisme agama terhadap makna agama
yang sejati, rekonstruksi itu ingin menyegerkan ulang bahwa
agama memiliki spirit pembebasan yang tidak akan bisa
melakukan strasformasi tanpa “menggesekkan” entah dalam
46 Lihat lebih lanjut, Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag, “Dinamika
Keberagamaan”, dalam http://www.uinsby.ac.id. Diakses pada tanggal 15
Oktober 2016 M. pukul 24:29 WIB.
20
aspek ontologism atau epistemologis dengan khazanah tradisi
umat muslim pinggiran.
Penutup
Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Hanya
saja, ketika agama tersebut terlalu tekstual maka pemahaman
islam akan beku dan tidak akan bisa meng-akrab-kan diri dengan
prangkat sosial yang luas. Terjadilah positivisasi. Satu keinginan,
atau
pemaksaan
untuk
meng-Islam-kan
seluruh
tatanan
kehidupan semenanjung tanah Ibu Pertiwi ini. Sampai pada
tataran politikpun, dipaksanakan utuk menggunaka syari’at
Islam.
Maka pada titik klimaksnya, kekerasan-lah yang kemudian
terjadi. Kekeransan atas nama agama, yang terus menjadi-jadi
akhir-akhir
ini,
kemudian
melahirkan
istilah,
“post-
tradisionalisme” sebagai gagasan pemikiran anak muda NU yang
sangat
mempuni
dalam
melakukan
rekonstruksi
terhadap
tetanan ke-islam-an kita, yang telah terporak-porandakan oleh
gerakan radikalisme agama.
Post-tradisionalisme, karena ia memiliki ikatan sistemik
terhadap apa yang selalu disebut oleh Edwar Said, “local
kowledge”. Yang akan membawa penggunanya menjadi pribadi
yang kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan, lalu
mengembalikannya kepada konteks, situasi atau lokalitasnya.
Sebuah pengetahuan atau teori manapun, menurut Said, muncul
dari lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya. Sehingga, dengan
sendirinya, bisa diharapkan terciptanya hubungan yang lebih
harmonis, penuh toleransi di antara masing-masing umat yang
berbeda. Dan hal ini, merupakan mekanisme internal umat
21
beragama untuk prevensi dan resolusi konflik yang bernuansa
agama.
Maka di sinilah, sejatinya gerakan para pemuda dapat
dimulai. Para pemuda, melalui post-tradisionalisme akan dengan
sendirinya menarik Islam pada porsi yang ideal-kontekstual;
dengan meradikalkan bahwa alfa-beta ajaran agama tiada lain
adalah seutuhnya etik-moral yang harus dilabuhkan kedalam
kenyataan dan menjadi dasar sikap, pandangan dan perilaku
dalam
segala
kehidupan
yang
dijalaninya.47
Bukan
malah
kekerasan.
Pemuda sebagai generasi yang memiliki peran strategis
dalam persoalan ini, harus benar-benar bersikap aktif. Maka dari
itu, barisan pemuda harus mejadi sebagaimana yang diharapkan
oleh Antonio Gramsci, sebagai pribadi “intelektual organik”.
Sosok intelek yang tidak hanya duduk di atas menara gading,
dengan membanggakan pangkat akademisnya, tapi juga ikut
terlibat bersama masyarakat yang tengah mengalami persoalan.
Pada keadaan itula, pemuda harus mempraktikkan metode,
ajaran, ideology dari sebuah agama yang telah ia imani,
sehingga ia tidak sekedar menjadi muslim yang kaya wacana
namun miskin gerakan.
Wallahua’lam…
47 Lihat lebih lanjut, Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag, “Dinamika
Keberagamaan”, dalam http://www.uinsby.ac.id. Diakses pada tanggal 15
Oktober 2016 M. pukul 24:29 WIB.
22
Post-Tradisionalisme, Formulasi Gerakan Pemuda
dalam Merajut Islam Indonesia
Moh. Roychan Fajar1
Pendahuluan
Peradaban Barat-modern sampai kini menempatkan agama
dalam posisi yang “hina”. Agama—termasuk Islam—yang lahir
dan berkembang sebagai misi penyelematan, cinta dan kasih,
semangat egaliter, telah mulai diragukan dan dipertanyakan
relevansinya. Mengingat, ragam dan banyaknya aksi kekerasan
mengatasnamakan agama, dari dulu hingga kini terjadi silih
berganti. Seolah, senjata dan darah, sudah menjadi simbol baru
yang tak dapat dipisahkan dari hikayat perkembangan Islam
Indonesia. Yang pada titik klimaksnya, menempatkan Islam
sebagai rahmatan lil’alamin sebatas gagasan yang tak lebih
berharga dari sebongkah fosil yang miskin substansi.
Setidaknya ada beberapa praktik kekerasan atas nama
agama yang sampai hari ini masih membekas dalam ingatan
kita. Sebut saja, kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah yang
terjadi sampai 15 kali dari tahun 2010 hingga 2011, 2 kekeraasan
terhadap Jama’ah Qiyadah al Islamiyah Siroj Jaziroh di Padang
1 Lahir Sumenap 23 September 1994, nyantri di Pondok Pesantren
Annuqayah daerah Lubangsa, Guluk-Guluk Sumenep Madura, kini kuliah di
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Guluk-guluk, Semester VIII Jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI). Aktif di sejumlah organisasi dan komunitas:
sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat GulukGuluk angkatan Gema Demokrasi, Mantan Ketua Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) Fajar Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) Periode 2015-2016 M.
juga sebagai penggagas komunitas kajian Filsafat “Ijtihadul Falasifah.”
Tulisannya yang berjudul, Pesantren dan Moral; Sebagai Wahana Pendidikan
Pembebasan didaulat sebagai Karya Ilmiah Juara I dalam LKTI Mahasiswa di
STAIN Pamekasan. Suara Mahasiswa di Tengah Ruang Global adalah buku esai
pertamanya (OBSESI Press: Purwokerto 2015). Hingga kini, ia tinggal di
alamat, [email protected].
2
Lihat
lebih
lanjut
dalam,
http://www.tempo.com/re-d/news/2011/02/07/078311528/seta-hun,-15-‘kekerasan’-terhadap-ahmadiyah.
Diakses pada pada hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 20:15 WIB.
1
Sumatra Barat tahun 2007,3 sampai kekerasan terhap Jemaat
Gereja di Bandung Jawa Barat tahun 1995, 1999, 2005 hingga
2007.4
Pun
tak
dapat
terlupakan,
tindak
diskriminasi
dan
kekerasan yang dialami oleh salah satu santri pasca meledaknya
bom di Pondok Pesantren Umar bin Khattab (UBK), Desa Sanolo,
Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, 11 Juli
2011 lalu.5 Selain itu juga tindakan diskriminasi pada penduduk
Syi’ah di Sampang tahun 2013,6 kasus kekerasan terhadap umat
katolik di Sleman Yogyakarta, tahun 2014, 7 sampai penyerangan
kaum Kristiani terhadap warga Muslim saat dalam suasana Idul
Fitri tahun 20158 yang lalu.
Sejatinya, tindakan-tindakan intoleransi, diskriminasi yang
berujung pada sikap anarkisme dan bahkan teror di Indonesia
tersebut
banyak
dipraktekkan
oleh
kelompok-kelompok
3 Lihat lebih seksama dalam, Mulya Sarmono, “Menggugat Kekerasan
Atas Nama Agama”, dalam http://www.ind-onesiana.tempo.co/red/2-1871/2014/09/12/menggugat-kekerasan-atas-nama-agama. Diakses pada pada
hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 20:15 WIB.
4 Mulya Sarmono, “Menggugat…
5 Dalam ledakan ini, salah satu pengurus pesantren, Firdaus, tewas.
Polisi juga menemukan 26 buah bom pipa beserta beberapa rangkaian listrik
dan bateri telepon di sekitar lokasi. Lebih jauh lihat dalam,
www.tribunnews.com. Diakses pada hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul
21:15 WIB.
6 Lihat lebih lanjut dalam, http://www.tempo.com/red/news/2013/07/24/078499176/Kasus-Syiah-Sampang-Pemerintah-Akui-Terpojok. Diakses
pada hari Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 19:15 WIB.
7
Lihat
lebih
lanjut
dalam,
http://www.tempo.com/red/news/2014/06/05/06-3582-691/Penyerang-UmatKatolik-Bawa-Samurai-dan-Penyetrum. Diakses pada hari Selasa, 4 Agustus
2016 M. pukul 19:15 WIB.
8 Tim Penulis Program Studi Agama dan Lintas Budaya/Center for
religion and Cross-cultureal Studies (CRCS), Sekola Pascasarjana
UGM
Yogyakarta, “Tolikara, Idul Fitri 2015: Tentang Konflik Agama, MayoritasMinoritas dan Perjuangan Tanah Damai”, dalam http://crcs.ugm.ac.id. Diakses
pada Selasa, 4 Agustus 2016 M. pukul 19:55 WIB.
2
fundamentalis9-radikal10. Kelompok ini senantiasi melegitimasi
tindak
kekerasannya
sebagai
bagian
dari
Jihad,
yang
memberikan kesan seakan-akan Islam mewajibkan pemeluknya
untuk berperang untuk menyelesaikan segala bentuk problem;
dan
terkesan
Islam
menolak
keras
perdamaian
dengan
mempercayai hanya akan memperkuat hegemoni kekuatan NonMuslim.11
Tepat pada konteks inilah, cendikiawan muslim Tanah Air,
Prof. Dr. Abd. A’la, menyebut ikhwal keadaan ini sebagai
“jahiliyah kontemporer”. Satu bentuk hegemoni nalar kekerasan
bernafaskan
agama;
dimana
tindak
diskriminatif,
sikap
intoleransi, dehumanisasi menjadi pilihan satu-satunya untuk
selalu dipraktikkan. Dalam hal ini, kehidupan menunjukkan
bahwa nilai substanstif agama mengalami pemudaran cukup
9 Istilah fundamentalisme pertama kali digunakan oleh kelompok
protestan Amerika Serikat pada awal abad ke-20 sebagai respon kekhawatiran
terhadap perkembangan ilmu dan teknologi yang dapat mengancam iman.
Baca, Teuku Kemal Fasya, “Pluralisme Vs Fundamentalisme”, Kompas, 14
Februari 2011. Sementara istilah fundamentalisme Islam mulai populer di
Barat menyusul pecahnya revolusi Islam di Iran tahun 1978-1979, yang
membuktikan kemenangan sejarah kaum militan Islam atas rezim sekuler.
Dalam konteks Islam, istilah ini juga seringkali juga digunakan untuk
menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu tarikan
nafas kebangkitan Islam (Islamic revival). Umi Sumbulah, “Agama dan
Kekerasan: Menelisik Akar Kekerasan dalam Tradisi Islam” dalam
http://syariah.uin-malang.ac.id. Diakses tanggal 04 Februari 2011.
10 Penyematan istilah radikal di sini untuk menghindari adanya
generalisir bahwa semua aliran fundamentalisme Islam mengekspresikan pola
dan perjuangannya dalam bentuk kekerasan. Sebab, pada kenyataannya
fundamentalisme Islam tidak monolitik, ada pula yang tidak radikal. Dalam
konteks tulisan ini, sebutan fundamentalisme mengacu pada kelompok
fundamentalisme yang radikal, dimana pola perjuangannya kaku dan keras
terhadap kelompok yang berbeda dalam internal Islam maupun terhadap
kelompok agama lain.
11 Bahwa Keterpakuan umat Islam dalam kekurang-arifan menikapi
realitas makna jihad, menjadikan jihad mengalami reduksi makna sebatas
perang dan sejenisnya. Bahkan menguatnya Islam sebagai ideologi politik
pada sebagian kelompok Muslim membuat mereka membiasakan dan
mendistorsi terma tersebut menjadi serangan yang bernuansa teroristik. Lihat
lebih rinci dalam, Asghar Ali Anginer, On Developing Theology of Peace in
Islam, terj. Rizqan Khamami, (Yogyakarta: Alinea, 2004), hal. 6. Bandingkan
dengan Prof. Dr. Abd A’la, M.Ag, Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar
Kekerasan, (Yogyakarta: LKiS, 2014), hal. 148.
3
akut. Beberapa kelompok sektarian mulai meninggalkan ajaran
moral agama yang dilihat dari perspektif manapun sejatinya
merupakan core velue dalam agama. Agama tidak lagi dijadikan
pijakan moral bagi sikap dan perilaku masyarakat.12
Kelompok ekstremis ini memiliki pola paradigma kembali
pada wajah islam Abad Pertengan dulu. Karena masa itu, mereka
nilai
sebagai
masa
yang
paling
sempurna
yang
dapat
merangkum heterogitas dalam satu titik harmoni yang bijaksana.
Sehingga wajar, yang selalu menjadi jargon bagi barisan
kelompok ini adalah kembali pada al-Qur’an dan Hadits. 13
Dengan sikap seperti itulah, meraka bermimpi untuk merebut
kemajuan dari tangan Negara maju seperti Amerika, China,
Jerman dan Inggris.
Dari itulah, sebagai kelompok yang ambisi untuk kembali
berkiblat seutuhnya pada masa lalu, mereka monolak segala
bentuk
system
politik
dan
budaya,
seperti:
skularisme,
demokrasi, plurisme, modernisme, sebagai prodak wacana dan
pijaka hidup masyarakat Eropa dalam satu bentuk kekuatan
besar
bernama
globalisasi.
Dalam
titik
perkembangannya,
kelompok ini menginginkan seluruh tatanan Negara harus
berdasarkan syari’at Islam secara murni, hingga kini, istilah
tersebut dikenal sebagai Khilafah Islamiyah; sebuah sistem
Negara yang dulu dipraktekkan oleh Rasulullah dan para
sahabatnya.
Dalam
memahami
teks-teks
agama,
kelompok
ini
menggunakan pendekatan literal-skriptual, menolak penafsiran
12 Ibid., hal. 5
13 Hal ini terjadi lewat pemikiran pemikir modernis pada abad XX M.,
mereka menformulasikan praktik Islam yang cocok untuk era modern, mereka
mengibarkan selogan “kembali pada sumber asli Islam: al-Qura’an dan
Hadist”. Baca tulisan, Martin Van Bruinessen, “Tradisi Menyongsong Masa
Depan: Rekonstruksi Wacana Tradisionalis dalam NU”, dalam sebuah karya
buku bertajuk, Tradisionalisme Radikal Persinggungan NU-Negara, cet. I,
(Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 207
4
baru,
dan
cenderung
memonopoli
tafsir
kebenaran.
Kecenderungan memonopoli kebenaran ini membuat mereka
tidak toleran terhadap pemahaman Islam yang lain maupun
agama
lain.
Sikap
militan
dan
pendekatan
yang
radikal
mendorong mereka ke arah ekstremisme (tatharrufiyah) dan
kekerasan (al-unfiyah) yang merugikan orang lain.14
Pada akhirnya, sebagai salah satu dari gerakan keagamaan
dalam tubuh Islam, gelombang radikalisme dan ekstemisme ini,
melahirkan pandangan keagamaan yang menolak keragaman,
kesetaraan dan kedamaian15 yang sejatinya dari dulu telah
menjadi tradisi lokal masyarakat nusantara.
Pemahaman demikian tentu sudah merupakan bentuk
perlawanan terhadap ideologi Pancasila dan sistem politik
demokrasi yang telah lama mejadi pijakan utuh Negara bernama
Indonesia ini. Karena harus disadari, dengan Pacasila dan
Demokrasi itulah, sampai detik ini Indonesia berhasil meringkus
ragam-perbedaan, seperti: ras, suku, agama, budaya dan tradisi,
dalam satu prinsip primordial “Bhinika Tunggal Ika”. Yang pada
tatanan lebih lanjut menjadikan Islam tanah air (berhasil)
merepresentasikan dunia Islam pada umumnya yang memiliki
karakteristik
tersediri,
yaitu
mampu
mendialogkan
dogma
keagamaan dengan kultur dan realitas kontemporer.16
Dari
itulah,
radikalisme
agama
merupakan
ekspresi
keagamaan yang tak boleh dibiarkan begitu saja. Hal itu terjadi
karena wacana, doktrin dan gerakan yang diusung oleh kaum
modernis dinilai tidak produktif bagi lahirnya transformasi dan
14 M. Imdadun Rahmat dan Khamami Zada, “Agenda Politik Gerakan
Islam baru” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 16. Tahun 2004, hal. 26.
15 Lihat lalu baca dalam, Zuhairi Misrawi, Pandangan Muslim Moderat:
Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian, (Jakarta: Kompas, 2010), hal. 104
16 Ibid., Zuhairi Misrawi, PANDANGAN… hal. 103
5
revolusi sosial dalam tubuh Islam itu sendiri. Istilah yang muncul
kemudian adalah “Post-Tradisionalisme Islam”.
Post-tradisionalisme
Islam,
adalah
perkembangan
dan
gerakan intelektual Islam Indonesia yang dapat dibilang baru
dalam gelombang khazanah pemikiran Islam Indonesia. Posttradisionalisme
Islam,
demikian
terobosan
itu
disebut,
merupakan himpunan tradisi, pencerahan dan kritisisme, dan
ditransformasikan secara meloncat; yakni pembentukan tradisi
baru yang berakar pada tradisi miliknya, akan tatapi mempunyai
jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif
dalam tranformasi dirinya.17
Pada konteks inilah generasi muda harus bergerak. Dengan
post-tradisionalisme, pemuda bangsa ini akan menempatkan
identitasnya yang sejati, dengan senantiasa berpijak pada tradisi
Islam Indonesia; yang moderat dan lentur dalam melakukan
pembaharuan, dari radikalisme agama menuju progresivitas
agama yang dapat membuktikan seutuhnya bahwa lahirnya
Islam membawa misi suci, rahmatan lil ‘alamin.
Akar Radikalisme Agama
In the relegious context, violence is
usually done in the name of seme good, and often in the name of
God
--- Lester Kurtz, “Gods in The Global Village “ (1995)18
Membuminya Islam phobia di dunia Barat dengan segala
macam bantuknya, adalah bentuk reaksi atas praktik-praktik
17 Lihat lebih lanjut, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB.
18 Lester Kurtz, Gods in The Global Village (California: Pine Forge Press,
1995), hal. 215
6
kekerasan bermotif agama dalam Islam. Tak dapat dipungkiri,
tindakan radikal atau kekerasan dengan label agama seringkali
diterjemahkan oleh sebagian orang sebagai legal doctrine yang
harus dilaksanakan. Pembolehan (permissiveness) terhadap bentuk tindakan radikal atau kekerasan resmi terus ditoleransi dan
bahkan disetujui.19
Sam Harris dalam bukunya, The End of Faith, secara lebih
tegas
menyatakan
bahwa
kekerasan
atas
nama
agama
bersumber dari kepercayaan inheren dalam agama. Ia menolak
tesis “politisasi agama”.20
memang
lahir
dari
Artinya, sikap kekerasan tersebut
struktur
gagasan
umat
agama
dalam
memahami agama itu sendiri. Menurutnya, karena keajaiban
kepercayaanlah yang melahirkan tindakan di luar nalar manusia,
atau meminjam bahasa Harris, “reason in exile”, seperti bom
bunuh diri dan semacamnya.21
Pandangan demikian terbukti dalam jejak sejarah lahir dan
berkembangnya Islam di bumi ini. Bahwa keberadaan Islam yang
setia terhadap perdamaian, juga tak absen dalam aksi kekerasa
yang mewujudkan diri aksi peperangan. Khususnya dalam proses
penaklukan atau pembebasan (futuhat) yang dilakukan terutama
mulai abad ke-7. Pun demikian Agama Kristen yang mengklaim
diri sebagai agama cinta kasih, namun sejarah kekristenan dalam
19 Lihat lebih lanjut dalam, Thomas Santoso, Teori-Teori Kekerasan,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 43
20 “Politisasi agama” dalam hal ini menjadikan agama legitimasi
terhadap berbagai kepentingn, termasuk kepentingan politik. Dalam kaitannya
dengan radikalisme agama, agama bukan sebab utama terjadinya radikalisasi,
tapi aspek politik, ekonomi, etnik, dan lainnya lah yang menjadi pemicu
utama.
21 Menurut Harris, semua agama memang mengalami represi-politik
dan ekonomi, tetapi penyikapannya bisa berbeda sesuai dengan ajaran dalam
agama masing-masing. Orang Kristen Palestina, meski sama-sama menderita
akibat invasi Israel, tidak memilih tindakan bom bunuh diri sebagaimana kaum
muslim Palestina. Demikian pun dengan kaum Budha Tibet yang tidak
bertindak apa-apa terhadap kekejaman Cina. Baca, Sam Harris, The End of
Faith, (New York: W. W. Norton & Company, 2005), hal. 234
7
kasus perang agama/perang salib (crusade) dan kolonialisme
barat atas dunia muslim abad ke-18 dan 19, juga sarat dengan
kekerasan.22
Eratnya kaitan antara agama dan kekerasan di sini dapat
dipahami karena di samping posisi agama yang sublime dan
emosional dalam kehidupan manusia, juga karena dalam agama
terkandung ajaran yang menuntut adanya penerimaan dan
pelaksanaan melalui kepercayaan. Inilah yang disebut dengan
aspek ortodoksi (ortodokxy) dan ortopraksis (ortopraxy) agama.23
Kendati pun demikian, tak pernah ada agama—termasuk
pula Islam—yang memiliki ajaran kekerasan, diskriminasi dsb.
Semua
agama
mengajarkan
tentang
kasih
sayang
dan
perdamaian. Dari itulah, kekerasan dalam tubuh agama, tak
dapat seutuhnya dilihat secara internal dalam agama itu sendiri.
Namun,
perlu
melihat
pula
agama
sebagai
“fenomena
eksternal”24 yang dapat dikaji melalui berbagai disiplin khazanah
ilmu-pengetahuan kontemporer.
Sehingga pada kontek inilah, kita akan menemukan bahwa
radikalisme dalam agama yang tak jarang berujung konflik dan
kekerasan, merupakan reaksi: Pertama, reaksi terhadap kondisi
sosial-politik-ekonomi yang timpang dan cenderung memihak
yang kuat.25 Radikalime dalam berbagai bentuknya tidak akan
22 Umi Sumbulah, “Agama dan Kekerasan: Menelisik Akar Kekerasan
dalam Tradisi Islam” dalam http://syariah.uin-malang.ac.id, diakses pada
tanggal 04 Agustus 2011.
23 Ahnad Saerozi dan Muhammad Fathoni Hasyim, “Konstruksi Ideologis
dan Pola Jaringan Organisasi Mahasiswa Islam Fundamentalis di Surabaya”
dalam Jurnal ISTIQRO’, Jurnal Penelitian Islam Indonesia, Volume 06, Nomor
01, Tahun 2007 hal 59.
24 Melihat agama sebagai “fenomena eksternal”, adalah bagian dari
serpihan pemikiran Muhammad AlFayyadl dalam satu essainya, “Marx dan
Ateisme” di, http://indoProgress.com. Dalam ikhwal ini, ia meletakkan agama
sebagai entitas sosial yang juga bisa diamati dan dapat berubah seiring
perkembangan zaman dan perubahan tata sosial yang membentuk dan
dibentukkannya.
25 Ahmad Fuad Nawawi, “Radikalisme dan Pembiaran” dalam Kompas,
30 April 2011. Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, Syafi’I Ma’arif
8
pernah lahir jika kehidupan masyarakat bisa sejahtera. Kedua,
respons terhadap penetrasi modernitas. Karena umat Islam tidak
mampu mengimbangi “ketertinggalan” atas barat, maka sebagai
kaum muslim mencoba menghalau penetrasi modernitas dengan
segala eksesnya dengan jalan kekerasan.26 Tak jauh berbeda
dengan pandangan Max Weber (1958) yang menganggap teror
dan ancaman sebagai bentuk kekerasan dan merupakan unsur
penting kekuatan (power), kemampuan untuk mewujudkan
keinginan seseorang sekalipun menghadapi keinginan yang
berlawanan.27
Ketiga, protes terhadap “standar ganda” yang diterapkan
dalam politik barat, khususnya Amerika. Amerika dalam berbagai
kesempatan
senantiasa
mencangkan
akan
pentingnya
penegakan HAM, namun hal itu terasa mandul saat berhadapan
dengan negara kuat seperti Israel. Kemmpat, solidaritas terhadap
saudara seiman yang ditindas. Penindasan terhadap masyarakat
Palestina, Afghanistan, dan lainnya telah memantik emosi umat
Islam untuk melawan. Sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum
seiman, mereka melakukan perlawanan, baik secara langsung
atau tidak langsung.28
Pada keadaan yang lebih lanjut, faktor-faktor ini kemudian
dijustifikasi
oleh
tafsir
eksklusif
(literal-skriptual)
terhadap
menyatakan bahwa penyebab maraknya gerakan fundamentalisme Islam
yang berujunga pada radikalisme agama juga disebabkan karena kegagalan
Negara dalam membangun kesejahteraan dan keadilan untuk rakyatnya. M.
Syafi’ie Ma’arif, “Masa Depan Islam di Indonesia” sebuah prolog pada buku,
Abdurrahman Wahid (Ed.). Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia,(Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika-The Wahid
Institute-Maarif Insdtitute, 2009), hal. 9
26 M. Syafi’ie Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Membingkai
Potret Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid” pengantar pada buku,
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita; Agama Masyarakat
Negara Demokrasi”(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. xxvi
27 Lebih lanjut baca selengkapnya dalam, Max Weber, Sosiologi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 103
28 M. Syafi’ie Maarif, “Islamku,…” hal. 8
9
doktrim-doktrin agama. Pendekatan tekstual seperti ini, tidak
akan mempertimbangkan doktrin agama secara konteks, ia tidak
peduli terhadap aspek sosial yang melatar belakangi lahir dan
datangnya ayat al-Qur’an atau Hadist tersebut. Pendekatan ini,
bersifat ahistoris, membuang jauh aspek budaya, tradisi, politik
dimana teks itu lahir.
Pola pendekatan tafsir seperti ini, melahirkan monopoli
tafsir yang totaliter. Mereka merasa yang paling benar dalam
memahami agama, karena langsung mengambil dari sumbernya
(baca: al-Qur’an dan Hadis).29, Hal demikian ketika ditopang
dengan sikap militan terhadap agama, maka akan menjadikan
mereka ekstrem dan menuding kelompok lain yang berbeda
pemahaman sebagai kelompok yang sesat, bid’ah, dan bahkan
kafir.
Dalam
perkembangan
selanjutnya,
kekerasan
verbal
tersebut mengerucut pada kekerasan fisik yang merusak dan
merugikan orang lain. Sebagaimana sejarah kekerasan agama
yang terjadi jauh pada masa Khalifah Ali bin Thalib.30
29 Inilah yang oleh Gus Dur disebut pendangkalan agama.
Pendangkalan agama ini terjadi lantaran latar keilmuan kaum fundamentalis
pada umumnya adalah eksak yang akrab dengan hitungan-hitungan rasional
dan empiric. Dalam memahami agama, mereka mengambil jalan pintas
dengan langsung merujuk pada teks al-Qur’an dan Hadis, tanpa merasa perlu
mempelajari berbagai penafsiran dan pendapat-pendapat hukum yang sudah
berjalan berabad-abad lamanya. Abdurrahman Wahid, “Gandhi, Islam, dan
Kekerasan” dalam Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita; Agama Masyarakat
Negara Demokrasi”(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 348
30 Sejarah Islam memaparkan kepada kita betapa kekerasan fisik
bermula dari kekerasan verbal yang bersumber dari hasil interpretasi terhadap
teks-teks agama. Sahabat Ali bin Abi Thalib dihalalkan darahnya oleh
kelompok Khawarij, karena dianggap kafir. Label kafir ini diberikan kepada
sayyidina Ali karena beliau dianggap tidak berpegang teguh kepada hukum
Allah dengan menerima Arbitrase (tahkim) dengan Muawiyah, berdasar Firman
Allah, “wa man lam yahkum bi ma anzala Allah fa ulaika hum al-kafirun”
(Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir), QS. AL-Maidah [5]: 44.
Dalam pemahaman mereka, setiap orang kafir harus dibunuh. Akibatnya
sungguh tragis, Ali kemudian dibunuh oleh Ibnu Muljam, seorang shaleh yang
taat beribadah dari sekte Khawarij. Lihat lebih lanjut dalam, KH. Husein
Muhammad,
“Menangkal
Radikalisme
Melalui
Pesantren”
di
http://buntetpesantren.org. diakses pada tanggal 4 Oktober 2016.
10
Hingga dalam perkembangannya lahir gagasan tentang
politik Islam, yang kemudian dipahami pula sebagai bagian dari
Islam
fundamentalis
atau
Islam
radikal.
Secara
umum,
fundamentalisme di Indonesia muncul sekurang-kurangnya pada
dekade 1950-an. Strategi perjuangan Islam Politik menginginkan
institusionalisasi Islam dalam bentuk negara Islam, 31 misalnya ini
diwakili oleh kelompok Wahabiyah di Arab yang muncul dan lahir
dalam gelombang pertama—abad 18 dan awal abad 19—
pemikiran Islam, yang disebut Fazlur Rahman sebagai “Gerakan
Revivalis”,32
pandangan
tersebut
sampai
di
Indonesia
mewujudkan diri dalam kelompok, DI/TII, HTI, JAT, dan FPI.
Kontras
dengan
pandangan
fundamentalis-radikal,
kelompok tradisionalis yang kemudian mengelompokkan diri
menjadi
Nahdlatul
Ulama’
(NU).
Sedangkan
antitesa
dari
kelompok ini adalah, gerakan modernis, yaitu: Muhammadiyah.
Kelompok modernis yang sejatinya bila diurai secara detail, garis
geneologi
pemikirannya,
bersambung
kepada
Wahabi
dan
berpuncak kepada Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas mencerca
tradisionalis.33
Mengingat hingga saat ini kekerasan yang bermotif agama
senantiasa tetap berlangsung, ini berarti indikasi bahwa pola
pemikiran dan pandangan fundamentalisme tampil semakin
kuat. Yang pada titik lebih lanjut melahirkan “Post-Tradisionalisme
Islam” tampil sebagai istilah baru, setelah mengalami dialektika
31 Lihat secara seksaa dalam, M. Ahyar Fadly, “Gerakan Radikalisme
Agama; Perspektif Ilmu Sosial”, dalam jurnal Dinamika, Volume IX Nomor 1
Januari - Juni 2016.
32 Lihat Fazlur Rahman, “Islam: Past Influent and Present Challenge”,
dalam Alford T. Welch dan Cachia Pierre (ed.), Islam: Challenges and
Opportunities, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), hlm. 315-330.
33 Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme
Islam” dalam Tashwirul Afkar Edisi No. 9 Tahun 2000, (Jakarta: Lakpesdam NU,
2000), hlm. 32.
11
yang cukup panjang, baik dengan pemikiran lain maupun dengan
realitas sosial dan tardisi komunitas yang melahirkannya.34
Post-Tradisionalisme Islam35:
Epistemologi, Rekonstruksi “Tradisi” dan Revitalisasi
Gerakan Pemuda
Terminologi post-tradisionalisme dalam Islam sejatinya lahir
dari dialektika wacana berpikir pemuda tradisionalis Indonesia
yang merasa perlu untuk merumuskan satu gagasan yang dapat
menjeleskan tentang identitas dirinya. Di tengah berbagai
ideologi berbasis intelektual-keagamaan juga marak digagas,
tapi justru bersifat elitis sehingga tidak bisa sampai pada titik
dimana masyarakat membutuhkannya; gagal menjadi jembatan
atara prangkat teoritis dan realitas yang kongkret.
Post-tradisionalisme atau yang akrab disebut “POSTRA”
merupakan produk pemikiran yang bebasis pada tradisi dan
ditransformasikan secara meloncat; yakni pembentukan tradisi
34 Op. Chit, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB.
35 Postra kali pertama muncul ketika ISIS (Institute for Social and
Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola anak-anak muda NU di
Jakarta, menyelenggarakan sebuah diskusi uuntuk mengamati munculnya
gairah baru intelektual dikalangan anak muda NU pada Maret 2000 di Jakarta.
Gema dari waca ini terus meluas terutama setelah LKiS menjadikan “postra”
sebagai landasan ideologisnya dalam strategi planning pada Mei 2000 di
Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang menjadi judul buku terjemahan
Ahmed Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed Al-Jabiri. Sampai disini
meskipun kata postra tersebar, namun belum ada tanggungjawab secara
ilmiyah mengenai basis epistimologis istilah tersebut. Buku terjemahan
Ahmad Baso, meskipun memakai kata “Post-Tradisionalisme Islam” namun
didalamnya tidak menjelaskan sama sekali apa sebenarnya makna dari postra
itu sendiri. Beberapa bulan kemudia beberapa aktivis ISIS, Muh. Hanif Dhakiri
dan Zaini Rahmad memberi sedikit “muatan” dengan menerbitkan buku
berjudul “Post-Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak dan Gerakan PMII.
(Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000). ISIS kemudian menerbitkan sebuah
bulletin yang diberinama “postra”. Wacan “postra” semakin matang ketika
LAKPESDAM NU melakukan kajian yang agak serius mengenai tema ini dalam
jurnal Taswirul Afkar No. 9 Tahun 2000. Setelah itu postra telah benar-benar
menjadi waca public dan banyak diperbincangkan orang dalam berbagai
diskusi, seminar, dan juga liputan media massa. Lihat dalam,
http://maqalah2.blogspot.com/2015/01/post-tradisionalisme-islam.html.
Diakses pada tanggal 12 Oktober 2016 M. pukul 09:23 WIB.
12
baru yang berakar pada tradisi miliknya,36 ia memperbahuri
dirinya sendiri dengan praksis dialog tanpa batas—tradisi—
dengan
budaya
modernitas-kontemporer.
Fonomena
transformatif ini bersifat continou, hingga pada titik klimaksnya
melakukan “loncatan” tanpa sadar dari struktur pembentukan
tradisi baru yang dahulunya direncanaka, menjadi wujud yang
tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Pandangan ini tentu sangat kontras dengan kaum modernis
yang bersikap acuh bahkan ingin menghancurkan tradisi yang
sudah menjadi identitas muslim Indonesia itu. Namun bagi posttradisionalisme,
ia
meletakkan
tradisi
sebagai
ekspresi
pengetahuan yang memiliki cakupan konprehensif. Ia meliputi
yang bersifat maknawi (al-turats al-maknawi) seperti pemikiran,
yang berbentuk material (al-turats al-madiy) seperti norma dan
kebudayaan, tradisi nasional kebangsaan (al-turats al-qaumy)
yang datang dari pendahulu kita, serta tradisi kemanusiaan pada
umumnya (al-turats al-insany) yang kita terima dari khazanah
masa lalu orang lain.37
Secara metedologis, seolah ia hendak menyamai, tradisi
dalam kajian-kajian Poskolonial. Pada kontes tersebut tradisi
bukan hanya dipahami sesuatu yang naratif, simbolik, atau yang
kuno. Tapi juga—yang lebih penting—sesuatu yang teatrikal,
alegorikal, dan juga kontemporer.38 Dalam imajinasi kaum
Nahdliyin, tradisi selalu diarahkan pada dua konteks seklaigus,
“al-muhâfazhah `ala al-qadîm al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al36 Op. Chit, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB.
37 Op. Chit, Zaini Rahman, “Post-Tradisionalisme Islam: Antara
Epistemologi dan Praksis Sosial” dalam http://acemedia.edu.co.id. Diakses
pada tanggal 13 Oktober 2016, pukul 08:55 WIB. Yang juga mengutip,
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Al-Turats wa al-Hadatsah: Dirasat wa Munaqasyat,
(Beirut: al_markaz al-Tsaqafi al-‘Araby, 1991), hlm. 45.
38 Lihat misalnya Bhikhu Parekh, Colonialism, Tradition and Reform: An
Analysis of Gandhi’s Political Discourse (London: Sage, 1999), edisi revisi.
13
ashlâh. Sebagaimana pula yang diyakini oleh Ahmad Baso bahwa
tradisi, singkatnya, adalah local knowledge penduduk pribumi.39
Lebih
jauh,
Ahmad
Baso
memberikan
penjelasan
epistemologis post-tradisionalisme Islam. Menurutnya, secara
historis
post-tradisionalisme
Islam
adalah
sebuah
konstruk
intelektualisme yang berpijak pada dinamika budaya lokal
Indonesia dan bukan merupakan tekanan dari luar, yang
berinteraksi secara terbuka bukan hanya dengan berbagai jenis
kelompok masyarakat, tapi kemudian mengkondisikan mereka
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran luar yang bukan berasal
dari dalam kultur tradisional NU. Post-tradisionalisme Islam juga
mengapresiasi dan mengakomodasi bukan cuma pemikiranpemikiran liberal dan radikal semacam Hassan Hanafi, Mahmoud
Toha, al-Na’im, Arkoun, Abu Zayd, Syahrour dan Khalil Abd Karim,
tapi juga tradisi pemikiran sosialis Marxis, Post-Strukturalis, PostModernisme, gerakan feminisme dan civil society.40
Sehingga, post-tradisionalisme dengan upaya tersebut
memiliki infrastruktur gagasan yang konfrehensif dan kontekstual
untuk kehidupan kita ini. Utamanya dalam menjadikan tradisi
sebagai referensi primer dalam melakukan proyeksinya—dalam
khazanah Islam Islam Indonesia. Tepat sebagaimana yang juga
diyakini oleh Hassan Hanafi, bahwa pembaharuan hanyalah
rekonstruksi
interpretasi
terhadap
tradisi
sesuai
dengan
kebutuhan zaman. Dengan demikian, tradisi merupakan pijakan
sekaligus “washilah” menuju pembaharuan.41
39 Lihat sebuah makalah, Ahmad Baso, “NU Studies Vis-À-Vis Islamic
Studies Perspektif dan Metodologi dari, oleh dan untuk Islam Indonesia Pasca
11 September”(tt.)
40 Ahmad Baso, ”Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme
Islam,” dalam Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi No. 10 Tahun 2001, hal. 33
41 Hassan Hanafi, Al-Turats wa al-Tajdid: Mauqifuna min al-Turats alQadim, (Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-Nasr wa al-Tauzi’,
1992), hlm. 13.
14
Dari itulah, tradisi dalam domain post-tradisionalisme
merupakan sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang
berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau masa lalu
orang lain, apakah masa lalu itu dekat atau jauh. Dari definisi ini
dapat dipahami bahwa tradisi adalah sesuatu yang menyertai
kekinian
kita,
yang
tetap
hadir
dalam
kesadaran
atau
ketidaksadaran kita. Kehadirannya tidak sekedar kehadiran masa
lalu melainkan sebagai masa lalu dan masa kini yang menyatu
dengan tinjauan dan cara berpikir kita. Maka tradisi tidak sekedar
tradisi yang tertulis akan tetapi realitas sosial kekinian kita. 42
Sehingga, meninggalkan tradisi43 akan menjadi salah besar
dalam melakukan upaya pembaharuan dalam Islam itu sendiri.
Melalui hal ini, post-tradisonalisme akan menjadi piijakan
baru dalam melakukan pembacaan, rekonstruksi, dekonstruksi,
atau malah bongkar-pasang tradisi yang sudah terjadi, sedang
berlangsung atau bahkan sebagai formulasi tradisi di masa yang
akan datang nanti. Pada saat tertentu, ia akan melakukan
rekonstruksi sebuah tradisi yang kirangnya penting namun perlu
di modifikasi prangkat metedologi, stragi atau bahkan aksi
gerakannya. Namun di saat yang berbeda ia akan melakukan
dekonstruksi terhadap bangunan tradisi yang hanya menjadi
benalu dan tembok besar menghadang kemajuan, dengan
42 Mohammed Abid al-Jabiri, Post-tradisionalisme Islam, penerj. Ahmad
Baso (Yogyakarta; LKiS, 2000), hal. 45.
43 Bahkan Mohammad Arkoun membedakan makna tradisi dari dua
sisi. Pertama, tradisi dengan menggunakan T besar, yakni tradisi transenden
yang selalu dipahami dan dipersepsikan sebagai tradisi yang ideal, yang
datang dari Tuhan dan tidak dapat diubah-ubah. Kedua, tradisi yang
menggunakan t kecil, yakni tradisi yang dibentuk oleh sejarah dan budaya
manusia, atau penafsiran manusia atas wahyu Tuhan melalui teks-teks suci.
Lihat Mohammad Arkoun, al-Fikr al-Islami: Qira’at al-Islamiyah (Beirut; Markaz
al-‘Arabi, 1987), hal. 19-39. Sebagaimana dikutip oleh Lukman S. Thahir,
Harun Nasution (1919-1998): Interpretasi Nalar Theologis dalam Islam
(Yogyakarta; Disertasi PPs. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003). hal. 12
15
membangun tradisi baru berdasarkan “gesekan” tradisi lama
yang tidak produktif itu.
Meski
pada
hakikatnya
post-tradisinalisme
ini
diproyeksikan sebagai “ideologi” yang kemudian diperhadapkan
dengan “islam liberal” yang pro-kapital, kampium neo-liberal,
namun lewat hal ini, paling tidak “POSTRA” menjadi pondasi
struktur argumentative yang secara genealogis, diharap dan
diupayakan melihirkan sikap gerakan yang massif melalui “local
wisdom” sebagai pondasi epistemologinya, menuju kontribusi
yang kongkret.
Pada konteks inilah, generasi muda bisa menempati
identitasnya. Karena dalam jejak historisnya, apa yang disebut
dulu sebagai “zaman bergerak” memang dimotori oleh pemuda.
Hanya pemudalah, yang menempati posisi strategis-kredibel
untuk mengejawantahkan post-tradisionalisme sebagai piranti
dalam
membongkar
pandangan
keagamaan
fundamentalis-
radikal yang seringkali berakhir dengan kekerasan, ekstremisme
dan diskriminasi bermotifkan agama.
Post-Tradisionalisme, “Local Knowledge”:
Formulasi Gerakan Pemuda, Melampaui Positivisasi
Radikalisme Agama
Semakin maraknya gerakan-gerakan agama “garis keras”,
membangkitkan kembali gairah lebih intens lagi dalam merawat
dan melestarikan tradisi yang sejatinya telah melahirkan jati diri
bangsa ini. Membedah tradisi secara kritis dengan meramu
segala bentuk disiplin kontemporer, memang merupakan pijakan
baru
untuk
melakukan
pembaharuan
dalam
tubuh
Islam.
Utamanya nanti bila dihadapkan dengan kelompok radikalisme
agama.
16
Gerakan yang harus dimotori oleh generasi muda ini,
merupakan satu ikhtiar perjuangan dimana spirit dan nilainilainya mengalir dari “masa lalu”. Karena memperjuangkan diri
untuk menjadi generasi yang berpikir dan bersikap posttradisionalis sejatinya adalah juga sebuah rediscovery atau
penemuan kembali tentang identitas pemuda yang telah lama
tenggelam dalam sistem diskursif bernama: Neo-Liberalisme.
Pada keadaan barisan anak muda hari ini yang lebih
tertarik terhadap “budaya populer” dibandingkan “local wisdom”,
adalah gejala dimana “desain global” neo-liberalisme itu semakin
menggurita di Tanah Air ini. Sehingga pada situasi inilah, banyak
generasi muda mengalami gengsi dan merasa tak ada gunanya
bila peduli terhadap tradisi lokal yang telah membesarkan
pribadinya itu. Keadaan ini menjadi semakin krusial, saat
radikalisme agama di Indonesia menjadi problem keagamaan
yang semakin serius.
Berangkat dari alasan tersebut, post-tradisonalisme mejadi
satu kerangka dan strategi gerakan untuk mengatasi problem
serius keagamaan: fundamentalisme dan radikalisme agama itu
sendiri. Dengan meletakkan pemuda sebagai aktor utamanya.
Sehingga
dengan
stragi
gerakan
seperti
ini,
juga
akan
meletakkan generasi muda pada militansi kuat untuk memilih
preoritas gerakan terhadap agama dan stabilitas kebangsaan—
berhadapan secara langsung dengan hegemoni radikalisme
agama.
Berbicara hegemoni radikalisme, berarti kita juga berarti
berbicara
positivisasi
radikalisme
agama.
Sederhananya,
positivisasi menginginkan pen-total-an sebuah ajaran untuk
diterapkan pada setiap kondisi, tempat bahkan dengan cara
apapun. Olehnya, ia selalu mengandaikan segalanya serba
17
“Islami”, mulai dari “Islamic Society”, “Islamic Art”, “Islamic
Bank”, “Islamic Economy”, “Islamic Politic” hingga “Islamic food
and parfum”. Berbicara tentang Islam sebagai obyek agama
yang dipakemkan di Arab, diyakini bisa juga berlaku di negerinegeri lainnya seperti: Indonesia. Meraka hendak menafikkan
khazanah
lokalitas
yang
dari
dulu
telah
dijunjung
dan
dilestarikan.
Berbeda dengan post-tradisionalisme, karena ia memiliki
ikatan sistemik terhadap apa yang selalu disebut oleh Edwar
Said, “local kowledge”. yang akan membawa penggunanya
menjadi pribadi yang kritis terhadap sebuah teks atau produk
pengetahuan, lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi
atau lokalitasnya. Sebuah pengetahuan atau teori manapun,
menurut
Said,
lokalitasnya.
muncul
Ketika
dari
lokus
bermigrasi
tertentu,
keluar,
ia
dari
konteks
kehilangan
elastisitasnya; kekuatan dan maknanya jadi melemah. Dalam
bentuknya yang melemah ini, teori tidak lain hanya berupa
metode-metode strategis yang keberlakuannya dikondisikan oleh
sejumlah adaptasi, konstruksi baru, intervensi, negosiasi, atau
resistensi di luar dari lokusnya semula. Sistem dan prosedurnya
mengambil
alih
posisi
pemikiran
awal
yang
dicetuskan.
Pandangan seperti inilah yang kemudian dikenal “teori traveling”
atau “kritik sekuler”.44
Dalam post-tradisionalisme ia memiliki intensi secara
“totalitas” untuk mendialogkan tradisi dan modernitas sehingga
terciptalah apa yang disebut—dalam Post-Tradisionalisme Islam
—“loncatan tradisi”, menuju tradisi baru yang representatif dan
kontestual dalam menyerap seluruh keragaman di negeri ini.
Pada keadaan itulah, melahirkan dan merekonstruksi sikap
44 Lihat dalam, Edward Said, “Traveling Theory”, dalam The World, the
Text, and the Critic (London: Vintage, 1983), hal. 226-247
18
keterbukaan, kontekstualisasi dan kritisisme dalam melakukan
interpretasi atas segala ajaran keagamaan yang ada.
Mendialogkan tradisi dan modernitas merupakan ekspresi
emansipatoris untuk agama dan bangsa ini secara umum.
Sehingga,
dengan
sendirinya,
bisa
diharapkan
terciptanya
hubungan yang lebih harmonis, penuh toleransi di antara
masing-masing umat yang berbeda. Dan hal ini, merupakan
mekanisme internal umat beragama untuk prevensi dan resolusi
konflik yang bernuansa agama.45 Karena bila hal ini tetap
dibiarkan begitu saja, maka tradisi lokal yang sejak dulu menjadi
tiang khazanah keislaman kita akan roboh dan hancur.
Melalui Genrasi Muda, “Intelektual Organik”:
Merajut Islam Idonesia
Pemahaman agama yang telah terdistosi oleh beberapa
kelompok radikalisme kini melahirkan sikap kekerasan yang terus
dipraktikkan di atas dalih sebuah pengabdian. Fenomena ini
tentu harus mendapatkan respon aktif dari generasi muda.
Sehingga ia dapat mengejawantahkan sebuah strategi gerakan
baru,
sebagaimana
yang
terjabarkan
di
atas.
Post-
tradisionalisme, begitulah strategi baru itu disebut, mejadi
pijakan baru yang relevan dengan keadaan Indonesia hari ini;
dimana toleransi, kemanusiaan, dan keadilan, menjadi barang
mahal untuk dinikmati.
Para pemuda, melalui post-tradisionalisme hendak menarik
Islam pada ruang yang kaffah; dengan meradikalkan bahwa alfabeta ajaran agama tiada lain adalah seutuhnya etik-moral yang
harus dilabuhkan kedalam kenyataan dan menjadi dasar sikap,
45 Lihat, Azyumardi Azra, “AKAR RADIKALISME KEAGAMAAN Peran
Aparat Negara, Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat
Beragama”, dalam Makalah yang ia sampaikan pada Diskusi ‘Memperkuat
Toleransi Melalui Sekolah’ The Habibie Center, Hotel Aston, Bogor Bogor, 14
Mei 2011
19
pandangan
dan
perilaku
dalam
segala
kehidupan
yang
dijalaninya.46 Bukan malah kekerasan. Karena pada dasarnya,
agama
tidak
lahir
hanya
dengan
seprangkat
spiritualitas-
transendental, di sebrang yang berbeda ia (baca: agama) juga
lahir dengan sikap sosial-kemanusiaan yang justru sangat
membenci diskriminasi, dehumanisasi, sikap aniaya dan praktik
kekerasan lainnya.
Tentu, peoblem kekerasan atas nama agama ini, bukan
semata-semata persoalan khazanah pemikiran, tapi juga tentang
strategi gerakan yang bersifat kongkret. Maka dari itu, barisan
pemuda harus mejadi sebagaimana yang diharapkan oleh
Antonio Gramsci, sebagai pribadi “intelektual organik”. Sosok
intelek yang tidak hanya duduk di atas menara gading, dengan
membanggakan pangkat akademisnya, tapi juga ikut terlibat
bersama masyarakat yang tengah mengalami persoalan. Pada
keadaan itula, pemuda harus mempraktikkan metode, ajaran,
ideology dari sebuah agama yang telah ia imana, sehingga ia
tidak sekedar menjadi muslim yang kaya wacana namun miskin
gerakan.
Di
sinilah,
mengejawantahan
generasi
muda
identitasnya,
mendapatkan
sebagai
seorang
perannya,
muslim
progresif yang selalu sadar bahwa penistaan atas nama agama
harus segera dilawan dengan strategi dan metodologi apapun;
dari reduksi kelonpok radikalisme agama terhadap makna agama
yang sejati, rekonstruksi itu ingin menyegerkan ulang bahwa
agama memiliki spirit pembebasan yang tidak akan bisa
melakukan strasformasi tanpa “menggesekkan” entah dalam
46 Lihat lebih lanjut, Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag, “Dinamika
Keberagamaan”, dalam http://www.uinsby.ac.id. Diakses pada tanggal 15
Oktober 2016 M. pukul 24:29 WIB.
20
aspek ontologism atau epistemologis dengan khazanah tradisi
umat muslim pinggiran.
Penutup
Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Hanya
saja, ketika agama tersebut terlalu tekstual maka pemahaman
islam akan beku dan tidak akan bisa meng-akrab-kan diri dengan
prangkat sosial yang luas. Terjadilah positivisasi. Satu keinginan,
atau
pemaksaan
untuk
meng-Islam-kan
seluruh
tatanan
kehidupan semenanjung tanah Ibu Pertiwi ini. Sampai pada
tataran politikpun, dipaksanakan utuk menggunaka syari’at
Islam.
Maka pada titik klimaksnya, kekerasan-lah yang kemudian
terjadi. Kekeransan atas nama agama, yang terus menjadi-jadi
akhir-akhir
ini,
kemudian
melahirkan
istilah,
“post-
tradisionalisme” sebagai gagasan pemikiran anak muda NU yang
sangat
mempuni
dalam
melakukan
rekonstruksi
terhadap
tetanan ke-islam-an kita, yang telah terporak-porandakan oleh
gerakan radikalisme agama.
Post-tradisionalisme, karena ia memiliki ikatan sistemik
terhadap apa yang selalu disebut oleh Edwar Said, “local
kowledge”. Yang akan membawa penggunanya menjadi pribadi
yang kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan, lalu
mengembalikannya kepada konteks, situasi atau lokalitasnya.
Sebuah pengetahuan atau teori manapun, menurut Said, muncul
dari lokus tertentu, dari konteks lokalitasnya. Sehingga, dengan
sendirinya, bisa diharapkan terciptanya hubungan yang lebih
harmonis, penuh toleransi di antara masing-masing umat yang
berbeda. Dan hal ini, merupakan mekanisme internal umat
21
beragama untuk prevensi dan resolusi konflik yang bernuansa
agama.
Maka di sinilah, sejatinya gerakan para pemuda dapat
dimulai. Para pemuda, melalui post-tradisionalisme akan dengan
sendirinya menarik Islam pada porsi yang ideal-kontekstual;
dengan meradikalkan bahwa alfa-beta ajaran agama tiada lain
adalah seutuhnya etik-moral yang harus dilabuhkan kedalam
kenyataan dan menjadi dasar sikap, pandangan dan perilaku
dalam
segala
kehidupan
yang
dijalaninya.47
Bukan
malah
kekerasan.
Pemuda sebagai generasi yang memiliki peran strategis
dalam persoalan ini, harus benar-benar bersikap aktif. Maka dari
itu, barisan pemuda harus mejadi sebagaimana yang diharapkan
oleh Antonio Gramsci, sebagai pribadi “intelektual organik”.
Sosok intelek yang tidak hanya duduk di atas menara gading,
dengan membanggakan pangkat akademisnya, tapi juga ikut
terlibat bersama masyarakat yang tengah mengalami persoalan.
Pada keadaan itula, pemuda harus mempraktikkan metode,
ajaran, ideology dari sebuah agama yang telah ia imani,
sehingga ia tidak sekedar menjadi muslim yang kaya wacana
namun miskin gerakan.
Wallahua’lam…
47 Lihat lebih lanjut, Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag, “Dinamika
Keberagamaan”, dalam http://www.uinsby.ac.id. Diakses pada tanggal 15
Oktober 2016 M. pukul 24:29 WIB.
22