Strategi Adaptasi Arsitektur Masjid di L

STRATEGI ADAPTASI ARSITEKTUR MASJID DI LINGKUNGAN MINORITAS
Studi Kasus: Masjid-Masjid di Kota Denpasar Dan Kabupaten Badung,
Provinsi Bali.
Andika Saputra

Mahasiswa S-2 Teknik Arsitektur Universitas Gadjah Mada
Sleman, Yogyakarta, Indonesia
e-mail: andikasapoetra87@yahoo.com

Muhammad Rochis

Alumni Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Warmadewa
Denpasar, Bali, Indonesia
e-mail: muhammadrochis_90@yahoo.com

Abstract

Mosque for Muslims living in the Province of Bali in the middle of minority neighborhoods not only serves as a
symbolic marker for the presence of the Islamic community, but also have a central role because it is the only
gathering place for fellow Muslims. In contemporary times, Muslims in the province of Bali is facing various
challenges that encourage adaptation strategies of mosque architecture for the existence of mosque in the

neighborhood can be accepted by large society. This early study aims to acknowledging the adaptation
strategies of mosque architecture undertaken Muslims in the province of Bali along with the factors that
encourage adaptation. Studies conducted using qualitative inductive method. Locus studies are in the Kota
Denpasar and Kabupaten Badung which is the center of activity and concentration of Muslims living in the
province of Bali with a different background neighborhood. Object of study used a large mosques that are the
main base of Muslims activity. The findings showed that there were three types of mosque architecture
adaptation strategies undertaken namely (1) the external factor are responded with apply the dominant
Balinese style architectural elements, (2) awareness of the self to apply Balinese style architectural elements,
and (3) the desire of the self to apply the mosque architecture typical of the Middle East-style is considered to
represent an ideal identity as Muslims.
Keywords: adaptation strategies, mosque architecture, minority neighborhood

Abstrak

Masjid bagi umat Islam di Provinsi Bali yang hidup di tengah lingkungan minoritas tidak saja berfungsi simbolis
sebagai penanda keberadaan komunitas Islam namun juga memiliki peran sentral karena merupakan satusatunya tempat berkumpul bagi sesama umat Islam. Di masa kekinian, umat Islam di Provinsi Bali tengah
menghadapi berbagai tantangan yang mendorong dilakukannya strategi adaptasi arsitektur masjid agar
keberadaan masjid di lingkungannya dapat diterima oleh masyarakat luas. Kajian awal ini bertujuan untuk
mengetahui strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan umat Islam di Provinsi Bali beserta dengan
faktor-faktor yang mendorong dilakukannya adaptasi. Kajian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif

induktif. Lokus kajian berada di Kota Denpasar dan Kabupaten badung yang merupakan pusat kegiatan dan
konsentrasi kehidupan umat Islam di Provinsi Bali dengan latar belakang lingkungan yang berbeda. Obyek kajian
yang digunakan merupakan masjid-masjid besar yang merupakan basis utama kegiatan umat Islam. Hasil kajian
menunjukkan bahwa terjadi tiga tipe strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan yaitu (1) tuntutan dari
luar yang ditanggapi dengan dominan menerapkan unsur arsitektur gaya Bali; (2) kesadaran dari dalam diri
untuk menerapkan unsur arsitektur gaya Bali; dan (3) keinginan dari dalam untuk menerapkan ciri khas
arsitektur masjid gaya Timur Tengah yang dianggap ideal merepresentasikan identitasnya sebagai umat Islam.
Kata kunci: strategi adaptasi, arsitektur masjid, lingkungan minoritas

Pendahuluan

Jumlah umat Islam di Provinsi Bali pada tahun
20101 tercatat sebanyak 323.853 jiwa yang
menempati posisi kedua setelah umat Hindu yang
berjumlah lebih dari 2,7 juta jiwa dengan jumlah
keseluruhan penduduk Provinsi Bali mencapai 3,2

juta jiwa. Setiap tahun jumlah umat Islam di Provinsi
Bali
semakin

bertambah
seiring
semakin
bertambahnya warga pendatang dari Pulau Jawa
yang merantau disebabkan motif ekonomi. Di masa
kini konsentrasi kehidupan umat Islam di Pulau Bali
berlangsung di Kota Denpasar yang merupakan
Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
Malang, 7 November 2013 | 73

ibukota Provinsi Bali dan Kabupaten Badung yang
merupakan tujuan pariwisata utama di Provinsi Bali
di mana kedua kabupaten tersebut merupakan pusat
kegiatan ekonomi di Provinsi Bali.
Hidup di lingkungan minoritas tidak menjadikan
umat Islam di Provinsi Bali tidak menunjukkan syiarsyiar Islam. Salah satu syiar Islam adalah masjid,
sebagaimana pernyataan Syaikh Khairuddin Wanili2,
Masjid merupakan syiar Islam. Jika tidak ada adzan,
tidak ada shalat, dan tidak ada shalat berjama ah,
maka di daerah itu tidak ada Islam dan tidak ada

kamu Muslimin .
Syaikh Huri Yasin Husain3 menyatakan bahwa
masjid memiliki peranan yang penting sepanjang
sejarah umat Islam yang mendapatkan prioritas
utama dan perhatian yang mendalam dari pemimpin
umat Islam dan seluruh kaum Muslimin. Karenanya
kebudayaan umat Islam terlahir dari masjid yang
bergantung pada fungsi masjid4.
Masjid bagi umat Islam di Provinsi Bali tidak
saja berfungsi simbolis sebagai penanda keberadaan
komunitas umat Islam di daerah tersebut, namun
juga memiliki peran sentral sebagai pusat kegiataan
bagi umat Islam, mengingat hidup di tengah
lingkungan minoritas menjadikan masjid merupakan
satu-satunya tempat berkumpul bagi sesama umat
Islam.
Di masa kini, umat Islam di Provinsi Bali
menghadapi berbagai tantangan di berbagai bidang
kehidupan untuk dapat beradaptasi guna membaur
dengan kebudayaan warga mayoritas. Terlebih pasca

peristiwa Bom Bali pada tahun 2002 yang
menimbulkan sikap kecurigaan yang berlebihan
terhadap umat Islam di Provinsi Bali pada umumnya,
dan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung pada
khususnya yang merupakan lokasi peristiwa Bom Bali.
Hamdan Basyar berdasarkan hasil penelitiannya
di Provinsi Bali pada tahun 2010 5 mengungkapkan,
walaupun di permukaan terlihat hubungan yang
harmonis, namun umat Islam di Provinsi Bali hidup di
bawah tekanan akibat dominasi warga Hindu dalam
kehidupan keagamaan, sosial, ekonomi, dan budaya,
yang salah satunya berdampak pada kesulitan untuk
mendapatkan izin pendirian masjid dan perda yang
bernuansa nilai agama Hindu.
Hidup di tengah lingkungan minoritas dengan
berbagai tantangan kekinian yang harus dihadapi,
mendorong
umat
Islam
di

Provinsi
Bali
memaksimalkan fungsi masjid-masjid yang telah ada
untuk mewadahi aspirasi dan kegiatan umat. Di satu
sisi umat Islam ingin menunjukkan identitas
keagamaannya melalui bentuk arsitektur masjid yang
dianggap ideal, namun di sisi lain terdapat tuntutan
menerapkan ciri khas arsitektur gaya Bali yang telah
disahkan dalam perda serta tuntutan untuk menjaga
kerukunan antar umat beragama karena adanya
kekhawatiran dengan menunjukkan identitas Islam

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
74 | Malang, 7 November 2013

dapat memicu terjadinya konflik horizontal antar
umat beragama.
Penelitian ini merupakan kajian awal yang
bertujuan untuk mengetahui strategi adaptasi
arsitektur masjid yang dilakukan umat Islam di

Provinsi Bali beserta dengan faktor-faktor yang
mendorong untuk dilakukannya adaptasi. Hasil kajian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
dua aspek. Pertama, bagi praktik arsitektur hasil
kajian ini dapat menjadi panduan dalam kegiatan
perancangan arsitektur masjid di Provinsi Bali.
Kedua, bagi umat Islam hasil kajian ini dapat
memberikan informasi perihal strategi adaptasi
dalam bidang arsitektur masjid yang dilakukan umat
Islam di Provinsi Bali sebagai upaya mempertahankan
keberadaan masjid yang merupakan syiar Islam di
tengah lingkungan minoritas.
Dengan diketahuinya strategi adaptasi yang
dilakukan, dapat memberikan gambaran mengenai
identitas umat Islam di Provinsi Bali, sebagaimana
yang dinyatakan oleh Prof. Syaom Barliana 6 bahwa
masjid merupakan representasi dari umat Islam yang
melahirkan dan memakmurkannya, yang hadir dari
segenap kemampuan yang dimiliki masyarakatnya.


Metode Penelitian

Kajian awal ini menerapkan metode kualitatif
induktif, dengan pemilihan lokus dan obyek kajian
secara purposive. Dipilihnya lokus kajian di Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung dikarenakan dua
kabupaten
tersebut
merupakan
konsentrasi
kehidupan dan pusat kegiatan umat Islam di Provinsi
Bali dengan latar belakang lingkungan yang berbeda
di mana Kota Denpasar ketat dalam penerapan nilai
budaya lokal karena merupakan ibukota provinsi
sedangkan Kabupaten Badung lebih longgar dalam
penerapan nilai budaya lokal karena merupakan
tujuan wisata utama di Provinsi Bali dengan latar
belakang budaya masyarakat yang lebih heterogen.
Obyek kajian yang digunakan adalah masjidmasjid besar di kedua kabupaten yang merupakan
basis utama kegiatan umat Islam yaitu Mushola alQomar dan Masjid Agung Sudirman di Kota Denpasar

serta Masjid Nurul Huda dan Masjid Asasuttaqwa di
Kabupaten Badung.
Di masa mendatang kajian akan dilanjutkan
dengan menambah kuantitas obyek kajian yang
berada di lokasi dengan latar belakang lingkungan
yang lebih beragam sehingga akan didapatkan hasil
penelitian yang lebih komprehensif mengenai
strategi adaptasi arsitektur masjid yang dilakukan
umat Islam di Provinsi Bali.
Variabel yang digunakan untuk mengkaji
strategi adaptasi arsitektur masjid di Kota Denpasar
dan Kabupaten Badung adalah unsur eksterior
bangunan masjid yang dilihat dari aspek bentuk,
bahan, ornamen, dan warna. Variabel yang
digunakan dibatasi karena kajian ini merupakan

kajian yang bersifat pendahuluan, sehingga di masa
mendatang dimungkinkan dilakukannya penambahan
variabel kajian.


Profil Obyek

1. Mushola al-Qomar, Denpasar.
Obyek penelitian berlokasi di Jl. Pura Demak,
Teuku Umar Barat, Kecamatan Denpasar Barat.
Mushola al-Qomar dibangun pada tahun 1980-an yang
digagas oleh para sesepuh lingkungan setempat yang
pada awal dibangunnya hanya merupakan bangunan
yang sangat sederhana. Seiring waktu, Mushola alQomar mengalami dua kali renovasi, yaitu pada
tahun 1995 dan tahun 2001, sehingga menjadi
bentuk bangunannya yang sekarang dengan luas
bangunan 400 m2.

Gambar 2. Tampak Depan Mushola al-Qomar
(Sumber: survey, 2013)

Gambar 1. Peta Lokasi Obyek Kajian
(Sumber: survey, 2013)

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik

observasi dan wawancara semi terstruktur dengan
pemilihan narasumber secara purposive dengan
kriteria narasumber yang memiliki otoritas terhadap
objek kajian, yaitu sebagai berikut:
1. Suhaeri, selaku Ketua Yayasan dan Ketua
Takmir Mushola al-Qomar.
2. Tri Sudirman, selaku Wakil Ketua Takmir
Masjid Agung Sudirman.
3. H. Abdul Malik, selaku Ketua Takmir Masjid
Nurul Huda.
4. Priyatno Adi, selaku sesepuh jama ah Masjid
Nurul Huda.
5. H. Hanafi, selaku Sekretaris Umum Takmir
Masjid Asasuttaqwa.
Data non fisik yang didapatkan dalam kajian
awal ini belum mencapai taraf jenuh karena
keterbatasan waktu dalam pengumpulan data
maupun keterbatasan pihak narasumber yang dapat
ditemui sehingga di masa mendatang pencarian data
dapat dilanjutkan dengan menerapkan teknik
snowball sampling untuk memperdalam kualitas data
sekaligus triangulasi data.

2. Masjid Agung Sudirman, Denpasar.
Obyek penelitian berlokasi di Jl. Slamet Riyadi,
Kecamatan Denpasar Timur, di lingkungan Kodam
Udayana. Pendirian masjid dikarenakan kebutuhan
ruang untuk beribadah bagi umat Islam di lingkungan
Kodam Udayana yang jumlahnya semakin bertambah
dari tahun ke tahun.

Gambar 3. Tampak Depan Masjid Agung Sudirman
(Sumber: survey, 2013)

Pada bulan Ramadhan tahun 1972 dan tahun
1973, langgar yang terdapat di Kompleks Kodam
Udayana tidak mampu lagi mewadahi jumlah
jama ah shalat tarawih sehingga para jama ah
terpaksa melaksanakan shalat tarawih berpindahpindah di bangunan kantor, lapangan, dan bangunan
gudang. Sehingga pada tahun 1974 diputuskan untuk
membangun masjid atas gagasan Drs. Zainuddin, H.

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
Malang, 7 November 2013 | 75

Mat Nur, dkk, yang merupakan anggota TNI yang
sedang ditugaskan di Kota Denpasar.
Dari sejak didirikannya, Masjid Agung Sudirman
telah beberapa kali mengalami renovasi yaitu pada
tahun 1979 untuk memperbaiki bangunannya yang
telah rusak, dan pada tahun 1994 untuk memperluas
bangunannya sekaligus merubah keseluruhan bentuk
bangunannya atas usulan dari dewan pengurus
masjid. Renovasi selesai pada tahun 2000 sehingga
menjadi bentuk bangunannya yang sekarang dengan
luas bangunan 900m2.
3. Masjid Nurul Huda, Badung.
Obyek penelitian berlokasi di Jl. Sentani,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, di
lingkungan Bandara Ngurah Rai. Masjid Nurul Huda
berdiri di atas lahan yang diperuntukkan untuk
bangunan peribadatan bagi umat Islam, umat Hindu,
dan umat Kristen, oleh karenanya Masjid Nurul Huda
bersebelahan dengan bangunan pura di sebelah
timur dan bangunan gereja di sebelah selatan.
Masjid Nurul Huda dibangun pada tahun 1970
atas gagasan Ir. Hertoto dan dibangun oleh pihak PT.
Angkasa Pura 1. Pada awal dibangunnya, bentuk
bangunan masjid sangat sederhana dengan luas
bangunan 100m2. Pada tahun 2003, Masjid Nurul
Huda mengalami renovasi secara keseluruhan
sehingga menjadi bentuk bangunannya yang sekarang
dengan luas bangunan 484m2.

jangka waktu setahun dan berjalan dengan lancar
dikarenakan kuatnya dukungan materi dan non
materi dari umat Islam di sekitar lingkungan masjid
maupun umat Islam dari kalangan pejabat
pemerintahan.

Gambar 5. Tampak Depan Masjid Asasuttaqwa
(Sumber: survey, 2013)

Analisis

1. Mushola al-Qomar, Denpasar.
Pada kegiatan renovasi terakhir yang dilakukan
tahun 2001 dilakukan perubahan secara keseluruhan
bentuk bangunan Mushola al-Qomar dengan
menerapkan unsur khas arsitektur gaya Bali. Dari
aspek
bentuknya,
bangunan
obyek
kajian
menerapkan pembagian kaki-badan-kepala yang
identik dengan konsep tri angga pada arsitektur gaya
Bali. Bagian kaki bangunan identik dengan unsur
bebaturan pada arsitektur gaya Bali, yang menopang
bagian badan bangunan yang terkesan masif
disebabkan karakteristik bahan yang digunakan.

Gambar 4. Tampak Depan Masjid Nurul Huda
(Sumber: survey, 2013)

4. Masjid Asasuttaqwa, Badung.
Obyek penelitian berlokasi di Jl. Ngurah Rai,
Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Masjid
Asasuttaqwa telah berdiri sejak zaman penjajahan
Belanda di atas tanah pemberian dari pihak Kerajaan
Pamecutan sebagai balas jasa terhadap bantuan
umat Islam melawan penjajah di daerah kekuasaan
Kerajaan Pamecutan di masa kelampauan.
Sejak didirikan, Masjid Asasuttaqwa telah
mengalami empat kali renovasi. Renovasi terakhir
dilakukan pada awal tahun 1990 sehingga menjadi
bentuk bangunannya yang sekarang dengan luas
bangunan 529m2. Renovasi dapat diselesaikan dalam

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
76 | Malang, 7 November 2013

Gambar 6. Bahan Dan Ornamen Pada Bangunan Masjid
(Sumber: survey, 2013)

Bagian kaki dan badan bangunan menggunakan
bahan bata gosok, batu paras, dan batu candi yang
merupakan bahan khas arsitektur gaya Bali, sehingga
menjadikan Mushola al-Qomar memiliki warna merah
yang mendominasi bangunannya serta warna krem
dan abu-abu. Mushola al-Qomar menerapkan pula
ornamen khas arsitektur gaya Bali, di mana pada

bagian kaki bangunan terdapat ornamen pepalihan
dan pada bagian badan bangunan terdapat ornamen
pepatran dan kekarangan yang distilir sehingga tidak
menampakkan bentuk riilnya
Bagian kepala menerapkan bentuk atap limasan
dengan atap terbesar mengatapi ruang shalat utama
yang berbentuk atap limas tumpang dua yang
dilengkapi dengan ornamen kubah pada bagian
atasnya. Untuk bahan penutupnya, bagian kepala
bangunan menggunakan bahan genting serta
terdapat ornamen ikut celedu khas arsitektur gaya
Bali di setiap tepi bubungannya.
Nuansa arsitektur gaya Bali semakin kental
dengan menerapkan bentuk candi bentar dan unsur
paduraksa lengkap dengan bahan, warna, dan
ornamen khas gaya Bali pada bagian pagar masjid.
Sebagaimana pada bagian badan bangunan masjid,
bentuk ornamen pada pagar masjid mengalami
stilisasi sehingga tidak menampakkan bentuk riilnya.

Gambar 7. Pagar Masjid Bernuansa Ciri Khas Arsitektur
Gaya Bali
(Sumber: survey, 2013)

Faktor yang menyebabkan Mushola al-Qomar
menerapkan arsitektur gaya Bali karena adanya
himbauan dari pihak pemerintah Kota Denpasar pada
tahun 2001 untuk mematuhi perda yang berkaitan
dengan penerapan nilai-nilai arsitektur Bali, tidak
terkecuali bagi tempat peribadatan umat Islam.
Pada awalnya himbauan untuk menerapkan ciri khas
arsitektur Bali ditolak oleh para jama ah Mushola alQomar karena dianggap tidak sesuai dengan identitas
arsitektur masjid yang diidealkan oleh para jama ah.
Namun
setelah
dilakukan
musyawarah
dan
pendekatan
persuasif,
maka
para
jama ah
menyetujui untuk merubah bentuk bangunan
Mushola al-Qomar dengan menerapkan unsur khas
arsitektur gaya Bali. Keputusan diambil dengan
pertimbangan
lebih
mementingkan
eksistensi
keberadaan Mushola al-Qomar sehingga tetap dapat
menjadi wadah beribadah dan berkumpul bagi umat
Islam daripada dikhawatirkan di masa yang akan
datang terjerat permasalahan hukum maupun
permasalahan konflik horizontal dengan umat
beragama lain.

Penerapan unsur khas arsitektur gaya Bali pada
Mushola al-Qomar mengalami beberapa modifikasi
untuk menunjukkan identitasnya sebagai tempat
peribadatan umat Islam. Pertama, penerapan
ornamen kekarangan yang merupakan ornamen
berbentuk fauna distilisasi sehingga tidak terlihat
bentuk riilnya karena adanya larangan dalam Islam
untuk menerapkan ornamen berbentuk makhluk
hidup. Kedua, digunakannya ornamen kubah pada
bagian atas atap bangunan masjid dimaksudkan agar
fungsinya sebagai masjid mudah dikenali oleh umat
Islam.
2. Masjid Agung Sudirman, Denpasar.
Dari awal dibangunnya hingga sebelum
mengalami renovasi pada tahun 1994, Masjid Agung
Sudirman berbentuk bangunan joglo dengan dinding
tertutup. Digunakannya bentuk joglo karena
mayoritas umat Islam di lingkungan masjid
merupakan pendatang dari Pulau Jawa sehingga
memiliki kedekatan dengan bentuk joglo sekaligus
untuk menghadirkan rasa dekat dengan kampung
halamannya.
Pada renovasi tahun 1994, Masjid Agung
Sudirman mengalami perubahan bentuk bangunan
dengan menerapkan bentuk wantilan khas Bali.
Digunakannya bentuk bangunan wantilah karena
adanya kesadaran para pengurus dan jama ahnya
untuk menghargai arsitektur gaya Bali dengan
maksud ingin menunjukkan keberadaannya sebagai
umat Islam yang menghargai nilai-nilai lokal.
Penerapan bentuk bangunan wantilan pada
Masjid Agung Sudirman karena adanya kesamaan
filosofis sebagai tempat berkumpul di mana
bangunan wantilan dalam tradisi umat Hindu
berfungsi sebagai ruang berkumpul bersama dalam
kegiatan sosial maupun keagamaan sedangkan masjid
merupakan ruang berkumpul bersama bagi umat
Islam dalam berbagai aspek kehidupannya.

Gambar 8. Suasana Wantilan Khas Bali Dari Ruang Dalam
(Sumber: survey, 2013)

Bangunan Masjid Agung Sudirman tidak memiliki
bagian kaki, dan hanya memiliki bagian badan dan
kepala bangunan sehingga menjadikannya berbeda
dengan bentuk wantilan khas Bali. Bagian badan
Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
Malang, 7 November 2013 | 77

bangunan merupakan ruang terbuka tanpa dinding
dan mengunakan kolom yang dilengkapi dengan
unsur canggahwang untuk menunjukkan ciri khas
wantilan Bali. Bangunan masjid didominasi dengan
warna putih dan tanpa menggunakan ornamen yang
dimaksudkan Untuk menunjukkan kesan bersih dan
suci sebagai tempat ibadah umat Islam serta untuk
membedakannya dengan bangunan wantilan yang
dimiliki umat Hindu.
Bagian kepala bangunan masjid menerapkan
bentuk atap limas tumpang dua untuk memperkuat
ciri khas bangunan wantilan Bali. Bahan penutup
atap menggunakan genting dengan ornamen ikut
celedu pada bagian ujung bubungannya yang
merupakan ornamen khas arsitektur gaya Bali. Untuk
menunjukkan identitasnya sebagai masjid agar
mudah dikenali oleh umat Islam, terkhusus bagi para
wisatawan Muslim mengingat lokasi Masjid Agung
Sudirman yang berada di pusat Kota Denpasar, maka
pada
bagian
atas
atap
bangunan
masjid
menggunakan ornamen lafadz Allah.

3. Masjid Nurul Huda, Badung.
Pada awal dibangun, Masjid Nurul Huda
memiliki bentuk bangunan yang sederhana dengan
atap limas dan dilengkapi dengan ornamen kubah
pada bagian atas atapnya. Barulah pada tahun 2003
memiliki bentuk bangunan yang sekarang setelah
dilakukan renovasi secara keseluruhan bangunannya
dengan menerapkan bentuk arsitektur masjid gaya
Timur Tengah atas beberapa pertimbangan.
Pertama, bentuk arsitektur masjid gaya Timur
Tengah merupakan identitas masjid yang dianggap
ideal oleh para jama ahnya karena mudah dikenali,
terutama bagi para wisatawan Muslim, mengingat
Masjid Nurul Huda berada di area Bandara Ngurah
Rai. Kedua, bentuk arsitektur masjid gaya Timur
Tengah oleh dewan pengurus masjid dirasakan
memiliki kesan ruang yang luas dan terbuka sehingga
dapat memberikan kenyamanan bagi jama ah yang
beribadah.
Bagian badan bangunan utama yang berfungsi
sebagai ruang shalat utama merupakan ruang
terbuka sedangkan massa bangunan di samping kiri
dan kanan merupakan ruang tertutup yang terkesan
masif dikarenakan fungsinya sebagai kantor. Bentukbentuk lengkung yang digunakan berfungsi sebagai
ornamen sekaligus berfungsi struktural untuk
menguatkan ciri khas arsitektur masjid bergaya
Timur Tengah.

Gambar 9. Atap Limas Tumpang Dua Khas Wantilan Bali
(Sumber: survey, 2013)

Strategi adaptasi yang ditempuh selain secara
arsitektural melalui penerapan bentuk bangunan
wantilan khas Bali, juga diterapkan strategi adaptasi
secara non arsitektural yaitu dengan memberikan
kebebasan kepada warga non Muslim untuk
menggunakan bangunan penunjang yang berada di
lingkungan Masjid Agung Sudirman. Hal ini sebagai
upaya mengakrabkan hubungan sosial antara umat
Islam dengan umat beragama lain sehingga
keberadaan Masjid Agung Sudirman dapat diterima
secara luas oleh masyarakat.

Gambar 10. Bangunan Penunjang Yang Dapat Digunakan
Warga Non Muslim
(Sumber: survey, 2013)

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
78 | Malang, 7 November 2013

Gambar 11. Massa Bangunan Masif Di Samping Kiri Dan
Kanan Bangunan Utama Masjid
(Sumber: survey, 2013)

Dari aspek warnanya, Masjid Nurul Huda
didominasi warna krem yang dimaksudkan untuk
memberikan kesan sejuk dan tenang, berkaitan
dengan fungsi masjid sebagai tempat beribadah yang
dapat memberikan ketenangan dan kesejukan bathin
bagi umat Islam.
Bagian kepala bangunan Masjid Nurul Huda
menerapkan bentuk atap datar yang dikombinasikan
dengan atap kubah. Atap kubah terbesar mengatapi
ruang shalat yang berada di bagian tengah bangunan
masjid, sedangkan atap kubah yang berukuran kecil
mengatapi massa bangunan kantor.
Masjid Nurul Huda yang bergaya arsitektur
masjid Timur Tengah di tengah lingkungan minoritas

mendorong
para
pengurus
dan
jama ahnya
melakukan adaptasi-adaptasi secara arsitektural dan
non arsitektural untuk menghindari terjadinya
konflik horizontal antar umat beragama, terlebih di
sebelah timur masjid terdapat pura dan di sebelah
selatan masjid terdapat gereja. Strategi pertama
adalah dengan meletakkan bangunan kantor yang
terkesan masif di bagian kiri dan kanan bangunan
utama masjid serta memasifkan dan meninggikan
bentuk pagar masjid dengan tujuan agar peribadatan
yang dilakukan umat Islam tidak mengganggu
kekhusyukan ibadah umat Hindu dan umat Kristen.

Gambar 12. Pagar Masif Dan Tinggi Untuk Memberikan
Kenyamanan Jama ah Yang Beribadah
(Sumber: survey, 2013)

Sebelum dilakukannya renovasi pada tahun
2003, bentuk pagar Masjid Nurul Huda menyerupai
bentuk pagar gereja yang terbuka sehingga ketika
umat Islam beribadah di dalam masjid dapat terlihat
oleh umat Hindu dan umat Kristen dari arah luar
masjid yang menimbulkan rasa ketidaknyamanan
bagi umat Islam sendiri maupun bagi umat Hindu dan
umat Kristen yang melihatnya. Belajar dari
pengalaman tersebut, maka pada renovasi tahun
2003 dilakukan perubahan bentuk pagar masjid
menjadi pagar yang masif dan tinggi.

peribadatan umat Hindu dan umat Kristen. Strategi
ini diupayakan menjadi kesadaran sosial seluruh
umat beragama di lingkungan Masjid Nurul Huda agar
tidak terjadinya konflik horizontal yang diakibatkan
oleh salah paham maupun kecemburuan antar umat
beragama.
4. Masjid Asasuttaqwa, Badung.
Pada awal dibangun, bentuk bangunan Masjid
Asasuttaqwa
masih
sangat
sederhana
yang
menggunakan dinding tanah liat dengan luas
bangunannya 12m2. Pada kegiatan renovasi tahun
1960 dilakukan penggantian bahan dinding bangunan
dengan menggunakan bahan bata, dan pada tahun
1965 dilakukan perluasan bangunan masjid untuk
yang pertama kalinya namun dengan bentuk
bangunan yang tidak berbeda dengan bentuk
bangunan awalnya. Barulah pada tahun 1990
dilakukan renovasi secara keseluruhan bangunan
masjid sehingga memiliki bentuknya yang sekarang.
Pengurus takmir masjid terinspirasi oleh Masjid
Istiqlal di Jakarta yang dianggap merepresentasikan
bentuk masjid yang ideal di Indonesia yang
mencerminkan
kemegahan
dan
bentuknya
monumental, sehingga pihak takmir memutuskan
untuk menerapkan bentuk masjid gaya Timur
Tengah, terlebih posisinya yang berada di sisi Jl.
Ngurah Rai yang merupakan pintu masuk menuju
Bandara Ngurah Rai, agar mudah dikenali dari
kejauhan oleh umat Islam dan wisatawan Muslim
pada khususnya.

Gambar 14. Bagian Badan Bangunan Ditutupi Bidang
Transparan Untuk Memberikan Kesan Keterbukaan
(Sumber: survey, 2013)

Gambar 13. Lokasi Masjid Nurul Huda yang Berdekatan
Dengan Pura Dan Gereja
(Sumber: survey, 2013)

Strategi kedua yang dilakukan oleh pihak
pengurus dan para jama ah Masjid Nurul Huda adalah
turut aktif membantu
mengamankan
acara

Bagian badan masjid terdiri dari dua lantai
bangunan yang didominasi oleh warna putih untuk
menunjukkan nilai kesucian dan kebersihannya
sebagai tempat ibadah umat Islam. Bagian badan
masjid ditutupi oleh pintu dan jendela dengan
bidang transparan yang luas dikarenakan lokasinya
yang berada di sisi jalan utama yang padat oleh
kendaraan agar debu dan kotoran dari arah jalan
tidak masuk ke dalam ruang shalat namun dapat
memberikan kesan keterbukaan ruang melalui bidang

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
Malang, 7 November 2013 | 79

transparan yang digunakan. Dan digunakannya unsurunsur pelengkung dimaksudkan untuk menguatkan
ciri khas arsitektur masjid bergaya Timur Tengah.
Bagian kepala bangunan masjid menerapkan
atap berbentuk kubah yang mengatapi ruang shalat.
Digunakannya atap kubah dimaksudkan untuk dapat
menghadirkan ruang shalat yang luas tanpa kolom,
untuk memberikan kesan kemegahan tempat ibadah
umat Islam, dan untuk menegaskan ciri khas
bangunannya yang menerapkan arsitektur masjid
bergaya Timur Tengah, sehingga fungsinya sebagai
masjid mudah dikenali oleh umat Islam maupun
umat beragama lain.
Di salah satu sisi bangunan masjid terdapat
minaret yang menjulang tinggi, serta dua buah
minaret yang lebih kecil di atas atap bangunan yang
dimaksudkan untuk memberikan kesan monumental
sehingga dari arah kejauhan dapat dikenali fungsinya
sebagai masjid. Terlebih di tengah lingkungan
minoritas di mana jumlah masjid sangat terbatas,
penanda yang dapat dilihat dari arah kejauhan
dipandang penting untuk memudahkan umat Islam
menemukan keberadaan Masjid Asasuttaqwa.

dimaksudkan untuk semakin menonjolkan ciri khas
arsitektur bergaya Bali.
Unsur berciri khas arsitektur lokal yang
digunakan tidak serta merta diterapkan dengan
bulat, namun dilakukan upaya modifikasi melalui
perpaduan dengan unsur berciri khas arsitektur
masjid gaya Timur Tengah pada bagian kepala
gerbang yang menggunakan unsur berbentuk kubah.
Hal ini dimaksudkan untuk tetap menjaga ciri khas
bangunan masjid yang ingin ditampilkan oleh pihak
pengurus dan para jama ah Masjid Asasuttaqwa.

Gambar 16. Pagar Masjid Perpaduan Antara Unsur Khas
Timur Tengah Dengan Unsur Khas Bali
(Sumber: survey, 2013)

Gambar 15. Minaret Yang Menjulang Sebagai Penanda
Keberadaan Masjid Dari Kejauhan
(Sumber: survey, 2013)

Pada awal tahun 2000, pihak pengurus Masjid
Asasuttaqwa dihimbau oleh pemerintah daerah
setempat untuk menerapkan ciri khas arsitektur gaya
Bali sebagai bentuk melestarikan tradisi arsitektur
lokal. Di satu sisi, pihak pengurus dan para jama ah
Masjid Asasuttaqwa ingin tetap mempertahankan
bentuk bangunan masjidnya yang dianggap ideal
merepresentasikan tempat beribadah bagi umat
Islam, namun di sisi lain terdapat tuntutan dari pihak
pemerintah untuk menerapkan ciri khas arsitektur
gaya Bali.
Upaya penerapan ciri khas arsitektur gaya Bali
terlihat dalam bentuk pagar masjid yang
menggunakan unsur paduraksa di setiap sisinya. Pada
bagian badan pagar menggunakan bahan batu bata
gosok dan batu paras, serta ornamen pepalihan yang

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
80 | Malang, 7 November 2013

Unsur berciri khas arsitektur gaya Bali hanya
diterapkan pada pagar masjid yang merupakan unsur
pemisah antara masjid dengan lingkungan di luar
masjid. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam di
lingkungan Masjid Asasuttaqwa dalam kehidupan
muamalah bersedia untuk menerapkan unsur-unsur
budaya lokal setempat selama tidak bertentangan
dengan Islam yang bertujuan untuk menjaga
kerukunan hidup dengan umat beragama lain, namun
dalam aspek peribadatan tidak bersedia menerapkan
unsur-unsur yang berasal dari luar Islam.

Pembahasan

Keempat obyek kajian, yaitu Mushola al-Qomar,
Masjid Agung Sudirman, Masjid Nurul Huda, dan
Masjid Asasuttaqwa, memiliki strategi adaptasi yang
berbeda-beda terkait dengan keberadaannya di
lingkungan minoritas, yang dapat ditipologikan ke
dalam tiga tipe berikut:
Tipe pertama yang diterapkan oleh Mushola alQomar. Adaptasi dilakukan karena adanya faktor dari
luar, yaitu himbauan dari pihak pemerintah untuk
mematuhi perda yang berkaitan dengan penerapan
nilai-nilai arsitektur gaya Bali. Kondisi ini di satu sisi
menimbulkan penolakan dari pihak jama ah masjid
karena arsitektur gaya Bali dianggap tidak
mencerminkan bentuk masjid yang ideal, namun di
sisi lain terdapat keinginan yang besar untuk tetap
mempertahankan keberadaan masjid agar dapat
diterima oleh semua pihak, baik oleh pemerintah

daerah setempat maupun warga sekitar yang
beragama lain.
Tuntutan dari luar yang besar serta keinginan
untuk tetap mempertahankan keberadaan masjid
ditanggapi dengan menerapkan unsur arsitektur gaya
Bali secara dominan pada bangunan masjid dengan
melakukan beberapa modifikasi agar sesuai dengan
nilai-nilai Islam seperti menstilisasi ornamen
berbentuk makhluk hidup dan penggunaan kubah di
ujung atap untuk mencerminkan identitas masjid
agar fungsinya mudah dikenali oleh umat Islam.
Tipe kedua yang diterapkan oleh Masjid Agung
Sudirman. Adaptasi dilakukan karena adanya faktor
dari dalam, yaitu kesadaran dari dalam diri umat
Islam untuk menerapkan unsur berciri khas arsitektur
gaya Bali dengan tujuan untuk menunjukkan
keberadaannya sebagai umat Islam yang menghargai
nilai-nilai kearifan lokal.
Faktor
dari
dalam
sebagai
pendorong
dilakukannya strategi adaptasi tidak menjadikan
dilupakannya identitas Islam yang dianut di mana
pemilihan unsur-unsur berciri khas arsitektur gaya
Bali disesuaikan dengan nilai-nilai Islam seperti
dipilihnya bentuk bangunan wantilan dikarenakan
memiliki kesamaan falsafah dengan fungsi masjid
sebagai tempat berkumpul.
Penerapan unsur berciri khas arsitektur gaya
Bali tidak dilakukan secara bulat, namun melalui
upaya modifikasi untuk membedakannya dengan
unsur arsitektur gaya Bali yang digunakan oleh umat
Hindu, seperti penerapan bentuk bangunan wantilan
yang tidak memiliki bagian kaki yang didominasi
warna putih tanpa menggunakan ornamen untuk
memberikan kesan suci dan bersih sebagai bangunan
peribadatan umat Islam serta penerapan atap
tumpang dua khas bangunan wantilan namun pada
bagian atas atap terdapat ornamen berlafadz Allah
untuk memperkuat identitas fungsinya sebagai
masjid.
Tipe ketiga yang diterapkan oleh Masjid Nurul
Huda dan Masjid Asasuttaqwa. Adaptasi dilakukan
dengan menonjolkan ciri khas arsitektur masjid yang
dianggap ideal oleh para jama ahnya, yaitu
arsitektur masjid gaya Timur Tengah, sebagai upaya
untuk menunjukkan identitas Islam di tengah
lingkungan yang minoritas agar keberadaannya
mudah dikenali dan menunjukkan identitas
jama ahnya yang tidak ingin berkompromi dalam
permasalahan peribadatan.
Diterapkannya arsitektur masjid gaya Timur
Tengah di tengah lingkungan minoritas, di sisi lain
menimbulkan kekhawatiran adanya kecemburuan
oleh umat beragama lain yang dapat mendorong
terjadinya konflik horizontal antar umat beragama.
Hal ini ditanggapi oleh umat Islam setempat melalui
keterbukaan dalam kehidupan muamalah dengan
cara saling bantu membantu mengamankan

pelaksanaan ibadah dan acara-acara sosial, seperti
acara pernikahan dan kematian.
Adanya tuntutan dari luar untuk menerapkan
unsur berciri khas arsitektur gaya Bali diterapkan
dalam skala yang kecil pada unsur-unsur penunjang
bangunan seperti pagar masjid. Hal ini menunjukkan
umat Islam setempat ingin tetap mempertahankan
ciri khas arsitektur masjid yang dianggap ideal yang
dapat merepresentasikan identitasnya sebagai umat
Islam, serta menunjukkan bahwa umat Islam
setempat dalam aspek peribadatan tidak bersedia
menerapkan unsur-unsur yang berasal dari luar
Islam.
Tige tipe strategi adaptasi arsitektur masjid
yang terbentuk menunjukkan dua hal. Pertama,
bahwa kondisi kehidupan umat Islam di Kota
Denpasar dan Kabupaten Badung tidaklah homogen,
sehingga memiliki berbagai ragam strategi adaptasi
yang berbeda agar keberadaan masjid di
lingkungannya dapat diterima oleh pihak pemerintah
daerah maupun masyarakat luas.
Kedua, latar belakang lingkungan yang berbeda
antara Kota Denpasar dan Kabupaten Badung
menyebabkan keragaman tantangan yang harus
dihadapi oleh umat Islam di mana Kota Denpasar
lebih ketat dalam penerapan nilai-nilai budaya lokal
sehingga faktor dari luar menjadi faktor utama yang
menyebabkan
dilakukannya
strategi
adaptasi
arsitektur masjid, baik atas dasar kesadaran dari
dalam untuk menghargai nilai-nilai kearifan lokal
maupun atas kemakluman dengan pertimbangan
untuk
mempertahankan
keberadaan
masjid
dilingkungannya. Sedangkan di Kabupaten Badung
lebih longgar dalam penerapan nilai-nilai budaya
lokal karena merupakan kota tujuan wisata utama
dengan latar belakang budaya masyarakat yang lebih
heterogen sehingga umat Islam dapat menunjukkan
ciri khas arsitektur masjid yang dianggap ideal untuk
merepresentasikan identitasnya.

Penutup

Strategi adaptasi arsitektur masjid yang
dilakukan oleh umat Islam di Kota Denpasar dan
Kabupaten Badung sangat beragam berdasarkan latar
belakang lingkungan dan identitas umat Islam di
lingkungan tersebut.
Hidup
di
lingkungan
tengah
minoritas
mendorong umat Islam melakukan beragam strategi
adaptasi, baik secara arsitektural maupun non
arsitektural, untuk mempertahankan keberadaan
masjid di lingkungannya agar dapat diterima oleh
masyarakat luas. Dalam penerapan unsur arsitektur
lokal pun didasarkan atas pertimbangan nilai-nilai
Islam
yang
menunjukkan
kemantapan
mempertahankan identitasnya sebagai umat Islam.
Tercatat bahwa terdapat tiga tipe strategi
adaptasi yang dilakukan, yaitu (1) faktor tuntutan
dari luar yang ditanggapi dengan penerapan secara
Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
Malang, 7 November 2013 | 81

dominan unsur arsitektur gaya Bali, (2) kesadaran
dari dalam diri untuk menerapkan unsur arsitektur
gaya Bali guna menunjukkan identitasnya sebagai
umat Islam yang menghargai nilai-nilai lokal, dan (3)
faktor keinginan dari dalam diri untuk menerapkan
ciri khas arsitektur masjid gaya Timur Tengah yang
dianggap ideal untuk merepresentasikan identitasnya
sebagai umat Islam.
Dapat disimpulkan dalam kajian awal ini bahwa
strategi adaptasi arsitektur masjid di tengah
lingkungan minoritas tidaklah bersifat homogen dan
bukanlah merupakan pekerjaan sekali jadi karena
strategi adaptasi akan terus dilakukan seiring dengan
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat Islam.
Hal ini sekaligus menunjukkan kegigihan umat Islam
di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung untuk
mempertahankan keberadaan masjidnya karena
besarnya peranan masjid yang merupakan satusatunya tempat berkumpul bagi sesama umat Islam
di tengah lingkungan minoritas serta fungsi
simbolisnya sebagai penanda keberadaan komunitas
Islam di lingkungannya.

Seminar Nasional Arsitektur Islam 3
82 | Malang, 7 November 2013

Referensi

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali
Dalam Angka 2010. Denpasar: BPS Provinsi Bali.
2
Khairuddin Wanili. 2008. Ensiklopedia Masjid:
Hukum, Adab, dan Bid ahnya. Jakarta: Darus
Sunnah.
3
Huri Yasin Husain. 2011. Fikih Masjid. Jakarta: alKautsar.
4
Aulia Fikriarini. Masjid: Bentuk Manifestasi Seni
Dan Budaya. UIN Maulana Malik Ibrahim: E-Jurnal ElHarakah Vo. 11 No. 1 Tahun 2009. hal. 1-16.
5
Hamdan Basyar. 2010. Identitas Minoritas di
Indonesia: Kasus Muslim Bali. Laporan Akhir Program
Intensif Penelitian Dan Rekayasa LIPI.
6
M. Syaom Barliana. 2010. Tipologi Arsitektur
Masjid Tradisionalitas Dan Modernitas. Bandung:
Penerbit Metatekstur
1