Hewan Langka di indonesia DAN. doc (1)

Hewan Langka Indonesia
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) adalah salah satu spesies satwa terlangka di dunia
dengan perkiraan jumlah populasi tak lebih dari 60 individu di Taman Nasional Ujung Kulon
(TNUK), dan sekitar delapan individu di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam (2000). Badak
Jawa juga adalah spesies badak yang paling langka diantara lima spesies badak yang ada di
dunia dan masuk dalam Daftar Merah badan konservasi dunia IUCN, yaitu dalam kategori
sangat terancam atau critically endangered.
Badak diyakini telah ada sejak jaman tertier (65 juta tahun yang lalu). Seperti halnya
Dinosaurus yang telah punah, Badak pada 60 juta tahun yang lalu memiliki 30 jenis banyak
mengalami kepunahan. Saat ini hanya tersisa 5 spesies Badak, 2 spesies diantaranya terdapat
di Indonesia.
Macam spesies Badak yang masih bertahan hidup yaitu;


Badak

Sumatera (Sumatran

rhino)

bercula


dua

atau Dicerorhinus

sumatrensis. Terdapat di Pulau Sumatera (Indonesia) dan Kalimantan (Indonesia dan
Malaysia).


Badak Jawa (Javan rhino) bercula satu atau Rhinocerus sondaicus. Terdapat di Pulau
Jawa (Indonesia) dan Vietnam



Badak India (Indian rhino) bercula satu atau Rhinocerus unicornis. Tedapat di India
dan Nepal.



Badak Hitam Afrika bercula cula (Black Rhino) atau Diceros bicormis. Terdapat di

Kenya, Tanzania, Kamerun, Afrika Selatan, Namibia dan Zimbabwe.



Badak Putih Afrika bercula dua (White Rhino) atau Cerathoterium simum. Terdapat

di Kongo.
Ciri-ciri Fisik Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)

Badak Jawa umumnya memiliki warna tubuh abu-abu kehitam-hitaman. Memiliki satu cula,
dengan panjang sekitar 25 cm namun ada kemungkinan tidak tumbuh atau sangat kecil sekali
pada betina. Berat badan seekor Badak Jawa dapat mencapai 900 – 2300 kg dengan panjang
tubuh sekitar 2 – 4 m. Tingginya bisa mencapai hampir 1,7 m.
Kulit Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) memiliki semacam lipatan sehingga tampak
seperti memakai tameng baja. Memiliki rupa mirip dengan badak India namun tubuh dan
kepalanya lebih kecil dengan jumlah lipatan lebih sedikit. Bibir atas lebih menonjol sehingga
bisa digunakan untuk meraih makanan dan memasukannya ke dalam mulut. Badak termasuk
jenis pemalu dan soliter (penyendiri).
Populasi Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus)
Di Indonesia, Badak Jawa dahulu diperkirakan tersebar di Pulau Sumatera dan Jawa. Di

Sumatera saat itu badak bercula satu ini tersebar di Aceh sampai Lampung. Di Pulau Jawa,
badak Jawa pernah tersebar luas diseluruh Jawa.
Badak Jawa kini hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUT), Banten. Selain di
Indonesia Badak Jawa (Rhinocerus sondaicus) juga terdapat di Taman Nasional Cat Tien,
Vietnam. Individu terakhir yang di luar TNUT, ditemukan ditembak oleh pemburu di
Tasikmalaya pada tahun 1934. Sekarang specimennya disimpan di Museum Zoologi Bogor.
Badak ini kemungkinan adalah mamalia terlangka di bumi. Berdasarkan sensus populasi
Badak Jawa yang dilaksanakan oleh Balai TNUK, WWF – IP dan YMR pada tahun 2001
memperkirakan jumlah populasi badak di Ujung Kulon berkisar antara 50 – 60 ekor. Sensus
terakhir yang dilaksanakan Balai TN Ujung Kulon tahun 2006 diperkirakan kisaran jumlah
populasi badak Jawa adalah 20 – 27 ekor. Sedangkan populasi di di Taman Nasional Cat Tien,
Vietnam, diperkirakan hanya 8 ekor (2007).
Populasi Badak bercula satu (Badak Jawa) yang hanya 30-an ekor ini jauh lebih kecil
dibandingkan dengan populasi saudaranya, Badak Sumatera yang diperkirakan berkisar
antara 215 -319 ekor. Juga jauh lebih sedikit ketimbang populasi satwa lainnya
sepertiHarimau Sumatera (400-500 ekor), Elang Jawa (600-an ekor), Anoa (5000 ekor).
Konservasi dan Perlindungan Badak Jawa
Pada tahun 1910 badak Jawa sebagai binatang liar secara resmi telah dilindungi UndangUndang oleh Pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada tahun 1921 berdasarkan

rekomendasi dari The Netherlands Indies Society for Protection of Nature, Ujung Kulon oleh

pemerintah Belanda dinyatakan sebagai Cagar Alam. Keadaan ini masih berlangsung terus
sampai status Ujung Kulon diubah menjadi Suaka Margasatwa di bawah pengelolaan Jawatan
Kehutanan dan Taman Nasional pada tahun 1982.

Badak Jawa (Badak bercula
satu) yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang
dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam seperti tsunami, letusan
gunung Krakatau, gempa bumi. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan
sumber akibat invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng.
Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat adalah
Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga merupakan habitat
badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi
kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin
keamanan populasinya

Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri) atau dikenal juga sebagaiWondiwoi Treekangaroo atau Mayr Tree-kangaroo merupakan salah satu jenis kanguru yang hidup di pulau
Papua, Indonesia. Kanguru Pohon Wondiwoi bahkan merupakanhewan endemik yang hanya
ditemukan di pulau Papua.
Beberapa ahli memasukkan Kanguru Pohon Wondiwoi sebagai sub-spesies dariDendrolagus
dorianus (Kanguru Pohon Dorius). Namun sebagian ahli lainnya memberlakukannya sebagai

spesies tersendiri.
Kanguru pohon asal Papua ini hanya diketahui dari sebuah spesimen tunggal yang ditemukan
pada tahun 1928 oleh Profesor Ernst Mayr (Jerman) dari Pegunungan Wondiwoi yang
termasuk dalam wilayah Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Nama hewan ini dalam
bahasa Inggris adalah Wondiwoi Tree-kangaroo atau Mayr Tree-kangaroo. Sedangkan nama
latin (ilmiah) dari Kanguru Pohon Wondiwoi adalahDendrolagus mayri.

Ilustrasi Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri)
Hingga kini masih sedikit sekali yang diketahui tentang spesies Kanguru Pohon Wondiwoi
(Dendrolagus mayri) ini. Berdasarkan satu-satunya spesimen yang ditemukan Ernst Mayr,
kanguru endemik Papua ini mempunyai berat sekitar 9,25 kg. Bulunya berwarna hitam suram
dengan beberapa bagian yang berwarna kekuningan. Daerah pantat dan tungkai berwarna
kemerahan dengan ekor keputihan.

Habitat Kanguru ini diperkirakan di daerah hutan pegunungan dengan ketinggian sekitar
1.600 meter dpl. Daerah sebarannya terbatas di semenanjung pegunungan Wondiwoi
Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat.
Sebagaimana berbagai jenis kanguru pohon lainnya, Kanguru Pohon Wondiwoi(Dendrolagus
mayri) yang merupakan hewan berkantung ini diperkirakan lebih banyak melakukan aktifitas
di atas pohon. Makanan kesukaannya adalah daun dan buah. Selain itu, kanguru khas pulau

Papua ini juga memakan biji-bijian, bunga, getah, telur, anakburung, dan bahkan kulit.
Sangat Langka dan Terancam Punah. Populasi pasti Kanguru Pohon Wondiwoi
(Dendrolagus mayri) tidak pernah diketahui. Namun IUCN Red List memprediksi jumlah
populasi kanguru pohon ini sekitar 50 ekor individu saja. Lantaran itu tidak mengherankan
jika kemudian IUCN Red List memasukkan Kanguru Pohon Wondiwoi atau Wondiwoi Treekangaroo sebagai spesies Critically Endangered atau spesies yang sangat terancam punah
(Kritis).
Untungnya semua jenis kanguru pohon dari genus Dendrolagus termasuk satwa yang
dilindungi dan termuat dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan
dan satwa yang dilindungi sehingga spesies kanguru pohon yang satu ini, meskipun kurang
dikenal, tetap tercantum.
Saking langkanya, jangan tanya apakah saya pernah melihat kanguru jenis ini.
Menemukan gambar hewan ini di internet saja saya tidak dapat. Yang ada hanyalah sebuah
gambar ilustrasi Kanguru Pohon Wondiwoi (Dendrolagus mayri) berdasarkan spesimen yang
ditemukan tahun 1928.

Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) bisa jadi merupakan mamalia air paling langka di
Indonesia. Populasi Pesut Mahakam diperkirakan tidak lebih dari 70 ekor saja. Pun Pesut
Mahakam yang merupakan sub-populasi Orcaella brevirostris hanya bisa ditemukan di
Sungai Mahakam, Kalimantan Timur saja. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian
Pesut Mahakam ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Kalimantan Timur.

Pesut merupakan mamalia air yang unik. Berbeda dengan lumba-lumba dan ikan paus, pesut
(Orcaella brevirostris) hidup di air tawar yang terdapat di sungai-sungai dan danau yang
terdapat di daerah tropis dan subtropis.
Pesut Mahakam adalah salah satu sub-populasi pesut (Orcaella brevirostris) selain subpopulasi Sungai Irrawaddi (Myanmar), sub-populasi Sungai Mekong (Kamboja, Laos, dan
Vietnam), sub-populasi Danau Songkhla (Thailand), dan sub-populasi Malampaya (Filipina).
Pesut yang termasuk salah satu satwa dilindungi di Indonesia ini dalam bahasa Inggris
disebut sebagai Irrawaddy Dolphin atau Dolphin Snubfin.
Diskripsi Pesut. Pesut Mahakam dewasa mempunyai panjang tubuh hingga 2,3 meter
dengan berat mencapai 130 kg. Tubuh Pesut berwarna abu-abu atau kelabu sampai biru tua
dengan bagian bawah berwarna lebih pucat.
Bentuk badan pesut hampir mendekati oval dengan sirip punggung mengecil dan agak ke
belakang. Kepala pesut berbentuk bulat dengan mata yang berukuran kecil. Bagian moncong
pendek dan tampak papak dengan lubang pernafasan. Sirip punggung berukuran kecil terletak
di belakang pertengahan punggung. Dahi tinggi dan membundar, tidak ada paruh. Sirip
renangnya relatif pendek dan lebar.
Pesut bernafas dengan mengambil udara di permukaan air. Binatang ini dapat juga
menyemburkan air dari mulutnya. Pesut bergerak dalam kawanan kecil. Meski pandangannya
tidak begitu tajam dan hidup dalam air yang mengandung lumpur, namun mempunyai
kemampuan mendeteksi dan menghindari rintangan-rintangan dengan menggunakan
gelombang ultrasonik.


Pesut Mahakam, tinggal 70 ekor
Habitat dan Populasi. Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris sub-populasi sungai
Mahakam) hidup di sungai Mahakam pada daerah sekitar 180 km dari muara sungai hingga
600 km dari daerah hulu. Lokasi yang diduga didiami mamalia air tawar ini antara lain
Kedang Kepala, Kedang Rantau, Belayan, Kedang Pahu, dan anak sungai Ratah, serta
sebagai danau Semayang dan Melintang (Kreb 1999, 2004).
Populasi Pesut Mahakam diperkirakan antara 67 hingga 70 ekor (2005). Ancaman tertinggi
kelangkaan populasi Pesut Mahakam diakibatkan oleh belitan jaring nelayan. Selain itu juga
akibat terganggunya habitat baik oleh lalu-lintas perairan sungai Mahakam maupun tingginya
tingkat pencemaran

air,

erosi,

dan pendangkalan

sungai akibat


pengelolaan hutan di

sekitarnya.
Rendahnya populasi ini membuat lumba-lumba air tawar ini menjadi salah satu binatang
paling

langka

di

Indonesia.

Sehingga

tidak

berlebihan

jika


kemudian IUCN

Redlistmenyatakan status konservasi Pesut Mahakam sebagai Critically Endangered (Kitis)
yaitu tingkat keterancaman tertinggi.
Di Indonesia sendiri, pesut Mahakam di tetapkan sebagai satwa yang dilindungi
berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Pesut Mahakam memang benar-benar unik. Mamalia air yang hidup di air tawar dengan
habitat dan persebarannya yang terpisah-pisah di beberapa tempat yang salah satunya di
Kalimantan, Indonesia. Namun Pesut Mahakam juga satwa dengan ancaman kepunahan
tertinggi dengan populasi yang tidak lebih dari 70 ekor saja. Anugerah dan keunikan yang
hanya akan disia-siakan oleh bangsa yang bodoh, tentunya.

Macan Tutul Jawa atau dalam bahasa latin disebutPanthera pardus melasmenjadi kucing
besar terakhir yang tersisa di pulau Jawa setelah punahnya Harimau Jawa. Macan Tutul Jawa
(Java Leopard) merupakan satu dari sembilan subspesies Macan Tutul (Panthera pardus) di
dunia yang merupakan satwa endemik pulau Jawa. Hewan langka yang dilindungi ini
menjadisatwa identitas provinsi Jawa Barat.
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) yang dimasukkan dalam status konservasi
“Critically Endangered” ini mempunyai dua variasi yaitu Macan Tutul berwarna terang dan
Macan Tutul berwarna hitam yang biasa disebut dengan Macan Kumbang. Meskipun

berwarna berbeda, kedua kucing besar ini adalah subspesies yang sama.
Ciri-ciri Macan Tutul Jawa. Dibandingkan subspesies macan tutul lainnya, Macan Tutul
Jawa (Panthera pardus melas) mempunyai ukuran relatif kecil. Panjang tubuh berkisar
antara 90 – 150 cm dengan tinggi 60 – 95 cm. Bobot badannya berkisar 40 – 60 kg.

Macan Tutul Jawa di atas dahan
Subspesies Macan Tutul yang menjadi satwa endemik pulau Jawa ini mempunyai khas warna
bertutul-tutul di sekujur tubuhnya. Pada umumnya bulunya berwarna kuning kecoklatan
dengan bintik-bintik berwarna hitam. Bintik hitam di kepalanya berukuran lebih kecil. Macan
Tutul Jawa betina serupa, dan berukuran lebih kecil dari jantan.
Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) sebagaimana macan tutul lainnya adalah
binatang nokturnal yang lebih aktif di malam hari. Kucing besar ini termasuk salah satu
binatang yang pandai memanjat dan berenang.
Macan Tutul Jawa adalah binatang karnivora yang memangsa buruannya seperti kijang,
monyet ekor panjang, babi hutan, kancil dan owa jawa, landak jawa, surili dan lutung hitam.

Kucing besar ini juga mampu menyeret dan membawa hasil buruannya ke atas pohon yang
terkadang bobot mangsa melebih ukuran tubuhnya. Perilaku ini selain untuk menghindari
kehilangan mangsa hasil buruan, selain itu juga untuk penyimpanan persediaan makanan.
Meskipun masa hidup di alam belum banyak diketahui tetapi di penangkaran, Macan tutul
dapat hidup hingga 21-23 tahun. Macan tutul yang hidup dalam teritorial (ruang gerak)
berkisar 5 – 15 km2. Bersifat soliter, tetapi pada saat tertentu seperti berpasangan dan
pengasuhan anak, macan tutul dapat hidup berkelompok. Macan tutul jantan akan berkelana
mencari pasangan dalam teritorinya masing-masing, di mana tiap daerah tersebut ditandai
dengan cakaran di batang kayu, urine maupun kotorannya.
Macan tutul betina umumya memiliki anak lebih kurang 2-6 ekor setiap kelahiran dengan
masa kehamilan lebih kurang 110 hari. Menjadi dewasa pada usia 3-4 tahun. Anak macan
tutul akan tetap bersama induknya hingga berumur 18-24 bulan. Dalam pola pengasuhan
anak, kadang-kadang macan tutul jantan membantu dalam hal pengasuhan anak.
Macan Kumbang Adalah Macan Tutul. Meskipun mempunyai warna tubuh yang berbeda,
hitam, namun Macan Kumbang pun subspesies yang sama dengan Macan Tutul. Variasi
warna tubuh tersebut bukanlah menjadikan macan tutul yang bertubuh hitam tersebut adalah
subspesies yang lain, tetapi sesungguhnya sub spesies yang sama. Terbukti keduanya dapat
kawin dan menghasilkan keturunan yang berwarna tutul dan berwarna hitam.

Macan Tutul Jawa berbulu hitam biasa disebut Macan Kumbang
Warna pada Macan Kumbang tidaklah sepenuhnya hitam. Ada tutul-tutul yang berwarna
lebih gelap dibandingkan warna dasar. Macan tutul hitam (Macan Kumbang) selain menjadi

varian dari Macan Tutul Jawa juga banyak dijumpai pada Macan Tutul di India. Para ahli
menduga perbedaan warna tersebut disebabkan oleh pigmen melanistik.
Konservasi Macan Tutul Jawa. Kucing besar ini termasuk satwa yang dilindungi dari
kepunahan di Indonesia berdasarkan UU No.5 tahun 1990 dan PP No.7 tahun 1999. Oleh
IUCN Red list, Macan Tutul Jawa (Panthera padus melas) digolongkan dalam status
konservasi “Kritis” (Critically Endangered). Selain itu juga masuk dalam dalam CITES
Apendik I yang berarti tidak boleh diperdagangkan.
Jumlah populasi Macan Tutul Jawa tidak diketahui dengan pasti. Data dari IUCN Redlist
memperkirakan populasinya di bawah 250 ekor (2008) walaupun oleh beberapa instansi
dalam negeri terkadang mengklaim jumlahnya masih di atas 500-an ekor.
Populasi Macan Tutul Jawa ini tersebar di beberapa wilayah yang berbeda seperti di Taman
Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Gede, Hutan Lindung
Petungkriyono Pekalongan, dan TN. Meru Betiri Jawa Timur.
Subspesies Macan Tutul. Di seluruh dunia terdapat 9 subspesies Macan Tutul. Selain Macan
Tutul Jawa (Panthera padus melas) yang endemik pulau Jawa terdapat 8 subspesies lainnya
yaitu;


Panthera pardus pardus: Afrika



Panthera pardus nimr : Arab



Panthera pardus saxicolor : Asia Tengah



Panthera pardus kotiya: Sri Lanka



Panthera pardus fusca: India



Panthera pardus delacourii: Asia Selatan dan China bagian selatan



Panthera pardus japonensis: China bagian utara



Panthera pardus orientalis: Rusia, Korea dan China bagian tenggara

Harimau Jawa dan Harimau Bali kini telah tinggal belangnya saja. Apakah kita rela jika
Macan Tutul Jawa yang menjadi kucing besar terakhir yang tersisa di pulau Jawa ini ikutikutan punah dan hanya meninggalkan “tutulnya” saja hanya karena kekurangpedulian kita?.

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan salah satu spesies badak yang
dipunyai Indonesia selain badak jawa (Rhinocerus sondaicus). Badak sumatera (Sumatran
rhino) juga merupakan spesies badak terkecil di dunia merupakan satu dari 5 spesies badak
yang masih mampu bertahan dari kepunahan selain badak jawa, badak india, badak hitam
afrika, dan badak putih afrika.
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) seperti saudara dekatnya, badak jawa, semakin
langka dan terancam kepunahan. Diperkirakan populasi badak bercula dua ini tidak mencapai
200 ekor. Wajar jika IUCN Redlist kemudian memasukkan badak sumatera (Sumatran rhino)
dalam daftar status konservasi critically endangered (kritis; CE).
Badak sumatera dalam bahasa Inggris disebut sebagai Sumatran rhino. Sering kali juga
disebut sebagai hairy rhino lantaran memiliki rambut terbanyak ketimbang jenis badak
lainnya. Badak Sumatera dalam bahasa latin disebur sebagai Dicerorhinus sumatrensis.
Ciri-ciri dan Habitat Badak Sumatera. Badak sumatera memiliki dua cula dengan panjang
cula depan berkisar antara 25-80 cm dan cula belakang lebih pendek sekitar 10 cm. Badak
sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mempunyai panjang tubuh antara 2-3 meter dengan
berat antara 600-950 kg. Tinggi satwa langka ini berkisar antara 120-135 cm.

badak sumatera dewasa
Habitat badak sumatera meliputi hutan rawa dataran rendah hingga hutan perbukitan
meskipun umumnya binatang langka ini menyukai hutan bervegetasi lebat. Satwa langka
bercula dua ini lebih sering terlihat di hutan-hutan sekunder dataran rendah yang memiliki
air, tempat berteduh, dan sumber makanan yang tumbuh rendah. Makanan utama badak
sumatera meliputi buah (terutama mangga liar dan fikus), dedaunan, ranting-ranting kecil,
dan kulit kayu.

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) merupakan satwa penjelajah yang hidup dalam
kelompok-kelompok kecil meskipun umumnya hidup secara soliter (menyendiri).Pada cuaca
yang cerah sering turun ke daerah dataran rendah, untuk mencari tempat yang kering. Pada
cuaca panas ditemukan berada di hutan-hutan di atas bukit dekat air terjun.
Populasi dan Konservasi Badak Sumatera. Badak sumatera dulunya tersebar mulai dari
Indonesia (Sumatera dan Kalimantan), Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Kamboja,
Laos, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Malaysia. Namun saat ini diperkirakan badak
sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) telah punah dibeberapa tempat dan hanya menyisakan
di Indonesia dan Malaysia.
Populasi badak sumatera semakin langka. Menurut data IUCN Redlist populasi badak bercula
dua ini berkisar antara 220-275 ekor (1997). Bahkan menurut International Rhino
Foundation (Virginia) diperkirakan populasi badak sumatera tidak mencapai 200 ekor (2010).
Di Sumatra populasi badak sumatera terkonsentrasi di Taman Nasional Bukit Barisan (60-80
ekor), Taman Nasional Gunung Lauser (60-80 ekor), TN. Way Kambas (15-25 ekor), dan
Taman Nasional Kerinci Seblat (diperkirakan telah punah). Di Sabah Malaysia diperkirakan
memiliki populasi berkisar antara 6-10 ekor. Sedangkan populasi di Kalimantan hingga
sekarang belum teridentifikasi.

Ratu dan Andalas, sepasang badak sumatera di Way Kambas. Ratu kini sedang hamil
satu bulan
Mengingat tingkat populasi badak sumatera tersebut wajar jika kemudian IUCN Redlist
memasukkan badak sumatra dalam status konservasi critically endangered (kritis) yang
merupakan satu tingkat di bawah status konservasi punah. Status konservasi critically
endangered ini disandangkan pada badak sumatera sejak 1996.

Selain itu, badak sumatera juga terdaftar dalam CITES Apendiks I sejak tahun 1975. CITES
Apendiks I berarti badak sumatera dilindungi secara internasional dari segala bentuk
perdagangan.
Menurunnya populasi badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) disebabkan oleh perburuan
liar untuk mengambil cula dan anggota tubuh lainnya. Meskipun untuk praktek perburuan liar
ditengarai tidak pernah terjadi lagi dalam kurun sepuluh tahun terakhir.
Faktor utama penurunan populasi badak sumatera saat ini adalah berkurangnya habitat
akibat deforestasi hutan dan kebakaran hutan. Akibat semakin berkurang dan rusaknya hutan,
beberapa tahun terakhir sering kali dilaporkan kemunculan badak bercula dua ini di daerah
pemukiman warga dan perkebunan.
Badak Hamil Di Penangkaran. Ratu, seekor badak sumatera betina berusia 9 tahun
dipastikan hamil di Penagkaran di Taman Naional Way Kambas. Kehamilan badak dalam
penangkaran yang merupakan pertama kali dalam kurun 112 tahun ini memberikan sedikit
harapan bagi pengembangan penangkaran badak sumatera dan badak jawa di Indonesia.

Kura-kura hutan Sulawesi atau kura-kura paruh betet (Sulawesi Forest Turtle) yang
dalam bahasa latin disebut Leucocephalon yuwonoi memang kura-kura langka. Kura-kura
hutan sulawesi (kura-kura paruh betet) termasuk salah satu dari 7 jenisreptil paling langka di
Indonesia. Bahkan termasuk dalam daftar The World’s 25 Most Endangered Tortoises and
Freshwater Turtles—2011 yang dikeluarkan oleh Turtle Conservation Coalition.
Kura-kura hutan sulawesi yang dipertelakan pada tahun 1995 ini sering disebut juga sebagai
kura-kura paruh betet. Ini lantaran bentuk mulutnya yang meruncing menyerupai paruh
burung betet.
Dalam bahasa Inggris kura-kura hutan sulawesi yang endemik pulau Sulawesi ini disebut
sebagai Sulawesi Forest Turtle. Sedangkan resminya, kura-kura ini mempunyai nama
latin Leucocephalon yuwonoi (McCord, Iverson & Boeadi, 1995) yang bersinonim
denganGeoemyda

yuwonoi (McCord,

Iverson

&

Boeadi,

1995)

dan Heosemys

yuwonoi (McCord, Iverson and Boeadi, 1995). Dahulunya kura-kura hutan sulawesi
digolongkan dalam genusHeosemys, namun sejak tahun 2000 dimasukkan dalam genus
tunggal Leucocephalon. Kata ‘yuwonoi’ dalam nama ilmiahnya merujuk pada Frank Yuwono
yang kali pertama memperoleh spesimen pertama kura-kura hutan sulawesi ini di pasar di
GorontaloSulawesi.

Kura-kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi)
Ciri-ciri. Kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) berukuran sedang dengan
karapas sepanjang 28 – 31 cm (jantan) dan 20 – 25 cm (betina). Daerah sebarannya hanya
terdapat di pulau Sulawesi bagian utara. Karenanya hewan langka ini merupakan hewan
endemik pulau Sulawesi, Indonesia dan tidak ditemukan di daerah lain.
Tidak banyak yang diketahui tentang perilaku alami kura-kura hutan sulawesi ini. Kura-kura
hutan sulawesi yang merupakan hewan diurnal banyak menghabiskan waktu dihutan dan
hanya berpindah ke air ketika malam untuk beristirahat dan melakukan perkawinan.

Populasi dan Konservasi. Pada tahun 1990-an diperkirakan populasi kura-kura hutan
sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) masih sangat melimpah namun saat ini diperkirakan
populasinya di alam liar tidak mencapai 250 ekor.
Ancaman utama populasi kura-kura langka ini adalah perburuan dan perdangan bebas sebagai
bahan makanan dan hewan peliharaan. Pada awal tahun 1990-an, sekitar 2.000 – 3.000 ekor
diperkirakan diperdagangkan ke China sebagai bahan makanan. Selain itu kura-kura hutan
sulawesi (Leucocephalon yuwonoi) juga banyak diekspor ke Eropa dan Amerika sebagai
hewan peliharaan.
Selain perburuan, rusaknya habitat akibat kerusakan hutan (penebangan kayu komersial,
pertanian skala kecil, dan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit) juga menjadi
ancaman bagi kelangsungan populasi kura-kura hutan sulawesi (Leucocephalon yuwonoi).
Hal ini diperparah oleh rendahnya tingkat reproduksi kura-kura hutan sulawesi (Sulawesi
Forest Turtle).

Leucocephalon yuwonoi (kura-kura hutan sulawesi atau kura-kura paruh betet)
Lantaran jumlah populasi yang sedikit dan sifatnya yang endemik, sang kura-kura paruh betet
ini oleh IUCN Red List dikategorikan sebagai spesies Critically Endangered (sangat
terancam punah). Bahkan The Turtle Conservation Coalition, sebuah koalisi konservasi kurakura yang terdiri atas berbagai lembaga konservasi seperti IUCN/SSC Tortoise and
Freshwater Turtle Specialist Group, Wildlife Conservation Society (WCS), Turtle Survival
Alliance (TSA), Conservation International (CI) dan lainnya memasukkan kura-kura hutan
sulawesi sebagai salah satu dari 25 Kura-Kura Paling Langka dan Terancam Punah Di Dunia
(The World’s 25 Most Endangered Tortoises and Freshwater Turtles) Tahun 2011.
Organisasi perdangan satwa dunia, CITES, juga telah memasukkan kura-kura hutan sulawesi
(Leucocephalon yuwonoi) dalam daftar CITES Apendix II. Dengan demikian perdagangan
internasional kura-kura langka dan endemik Sulawesi ini tidak diperbolehkan.

Jika berbagai organisasi konservasi dunia menaruh perhatian bagi kelestarian kura-kura paruh
betet (Sulawesi Forest Turtle) bagaimana dengan pemerintah Indonesia?. Inilah yang aneh. Di
Indonesia kura-kura hutan sulawesi ternyata bukan termasuk satwa yang dilindungi.

Elang Flores (Spizaetus floris)merupakan salah satu jenis raptor (burung pemangsa)
endemik yang dipunyai Indonesia. Sayangnya elang flores yang merupakan burung pemangsa
endemik flores (Nusa Tenggara) ini kini menjadi raptor yang paling terancam punah lantaran
populasinya diperkirakan tidak melebihi 250 ekor sehingga masuk dalam daftar merah
(IUCN Redlist) sebagai Critically Endangered (Kritis). Status konservasi dan jumlah
populasi

ini

jauh

di

bawah Elang

Jawa (Spizaetus

bartelsi)

yang

status

konservasinya Endangered (Terancam).
Elang flores (Spizaetus floris) semula dikelompokkan sebagai anak jenis (subspesies) dari
elang brontok (Spizaetus cirrhatus) dengan nama ilmiah (Spizaetus cirrhatus floris). Tetapi
mulai tahun 2005, elang flores ditetapkan sebagai spesies tersendiri. Dan saat itu pula, elang
flores

yang

merupakan

raptor

endemik

Nusa

Tenggara

dianugerahi

status

konservasi Critically Endangered. Daftar burung langka lainnya silahkan baca: Daftar
Burung Langka dan Terancam Punah.
Elang flores dalam bahasa inggris dikenal sebagai Flores Hawk-eagle. Dalam bahasa ilmiah
(latin) dikenal sebagai Spizaetus floris.
Ciri-ciri. Burung elang flores mempunyai ukuran tubuh yang sedang, dengan tubuh dewasa
berukuran sekitar 55 cm. pada bagian kepala berbulu putih dan terkadang mempunyai garisgaris berwarna coklat pada bagian mahkota.
Tubuh elang flores berwarna coklat kehitam-hitaman. Sedangkan dada dan perut raptor
endemik flores ini ditumbuhi bulu berwarna putih dengan corak tipis berwarna coklat
kemerahan. Ekor elang flores berwarna coklat yang memiliki garis gelap sejumlah enam.
Sedangkan kaki burung endemik ini berwarna putih.
Persebaran, Populasi, dan Konservasi. Elang flores merupakan raptor (burung pemangsa)
endemik Nusa Tenggara yang hanya dapat ditemukan di pulau Flores, Sumbawa, Lombok,
Satonda, Paloe, Komodo, dan Rinca.

Elang flores (spizaetus floris) tengah hinggap
Burung ini biasa mendiami hutan-hutan dataran rendah dan hutan submontana sampai
ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut (m. dpl).
Populasi raptor endemik flores ini di alam bebas diperkirakan tidak lebih dari 250 ekor
individu dewasa (IUCN Redlist, 2005). Lantaran sedikitnya jumlah individu dan persebaran
populasinya yang sempit maka elang flores (Spizaetus floris) langsung ditetapkan sebagai
salah satu spesies burung dengan status konservasi “kritis” (Critically Endangered) sejak
pertama kali raptor endemik ini berstatus sebagai spesies tersendiri yang terpisah dari elang
brontok.

Rusa Bawean (bahasa latinnya Axis kuhlii), merupakan satwa endemik pulau Bawean (Kab.
Gresik, Jawa Timur) yang populasinya semakin langka dan terancam kepunahan. Oleh IUCN
Redlist, Rusa Bawean, yang merupakan satu diantara 4 jenis (spesies) Rusa yang dimiliki
Indonesia ini, dikategorikan dalam “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau “sangat
terancam kepunahan”. Spesies Rusa Bawean ini juga terdaftar pada CITES sebagai appendix
I. Dalam bahasa inggris disebut sebagai Bawean Deer.
Ciri-ciri dan Habitat Rusa Bawean. Rusa Bawean memiliki tubuh yang relatif lebih kecil
dibandingkan Rusa jenis lainnya. Rusa Bawean (Axis kuhlii) mempunyai tinggi tubuh antara
60-70 cm dan panjang tubuh antara 105-115 cm. Rusa endemik Pulau Bawean ini
mempunyai bobot antara 15-25 kg untuk rusa betina dan 19-30 kg untuk rusa jantan.
Selain tubuhnya yang mungil, ciri khas lainnya adalah memiliki ekor sepanjang 20 cm yang
berwarna coklat dan keputihan pada lipatan ekor bagian dalam. Tubuhnya yang mungil ini
menjadikan Rusa Bawean lincah dan menjadi pelari yang ulung.
Warna bulunya sama dengan kebanyakan rusa, cokelat kemerahan kecuali pada leher dan
mata yang berwarna putih terang. Bulu pada Rusa Bawean anak-anak memiliki totol-totol
tetapi seiring bertambahnya umur, noktah ini akan hilang dengan sendirinya.
Sebagaimana rusa lainnya, Rusa Bawean jantan memiliki tanduk (ranggah) yang mulai
tumbuh ketika berusia delapan bulan. Tanduk (ranggah) tumbuh bercabang tiga hingga rusa
berusia 30 bulan. Ranggah rusa ini tidak langsung menjadi tanduk tetap tetapi mengalami
proses patah tanggal untuk digantikan ranggah yang baru. Baru ketika rusa berusia 7 tahun,
ranggah (tanduk rusa) ini menjadi tanduk tetap dan tidak patah tanggal kembali.
Rusa Bawean merupakan nokturnal, lebih sering aktif di sepanjang malam. Dan mempunyai
habitat di semak-semak pada hutan sekunder yang berada pada ketinggian hingga 500 mdpl.
Mereka sangat hati-hati, dan muncul untuk menghindari kontak dengan orang-orang; di mana
aktivitas manusia berat, rusa menghabiskan hari di hutan di lereng-lereng curam yang tidak
dapat diakses oleh penebang kayu jati.
Rusa Bawean (Axis kuhlii) mempunyai masa kehamilan antara 225-230 hari dan melahirkan
satu anak tunggal (jarang terjadi kelahiran kembar). Kebanyakan kelahiran terjadi antara
bulan Februari hingga Juni.

Populasi dan Konservasi Rusa Bawean (Axis kuhlii). Di habitat aslinya, Rusa Bawean
semakin terancam kepunahan. Pada akhir 2008, peneliti LIPI menyebutkan jumlah populasi
rusa bawean yang berkisar 400-600 ekor. Sedang menurut IUCN, satwa endemik yang mulai
langka ini diperkirakan berjumlah sekitar 250-300 ekor yang tersisa di habitat asli (2006).

Karena

populasinya

yang

sangat kecil dan kurang dari 250 ekor spesies dewasa, IUCN Redlist sejak tahun 2008
memasukkan Rusa Bawean dalam kategori “Kritis” (CR; Critiscally Endangered) atau
“sangat terancam kepunahan”. Selain itu CITES juga mengategorikan spesies bernama
latin Axis kuhlii ini sebagai “Appendix I”
Semakin langka dan berkurangnya populasi Rusa Bawean (Axis kuhlii) dikarenakan
berkurangnya habitat Rusa Bawean yang semula hutan alami berubah menjadi hutan jati yang
memiliki sedikit semak-semak. Ini berakibat pada berkurangnya sumber makanan.
Penurunan jumlah populasi ini mendorong berbagai usaha konservasi diantaranya
pembentukan Suaka Margasatwa Pulau Bawean seluas 3.831,6 ha sejak tahun 1979. Selain
itu untuk menghindari kepunahan sejak tahun 2000 telah diupayakan suatu usaha
penangkaran Rusa Bawean (Axis kuhlii).

Burung Tokhtor Sumatera (Carpococcyx viridis) pernah dianggap punahkarena hampir
seabad lamanya sejak terdiskripsikan pada 1916, tidak pernah sekalipun dijumpai. Baru pada
November 1997 seekor Tokhtor Sumatera berhasil difoto untuk pertama kalinya.
Hingga kini burung endemik Sumatera ini termasuk dalam 18 burung paling langka di
Indonesia. Burung Tokhtor Sumatera didaftar sebagai satwa “Critically Endangered” (Kritis)
yakni status konservasi dengan keterancaman paling tinggi. Diduga populasinya tidak
mencapai 300 ekor.
Burung Tokhtor Sumatera dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Sumatran Groundcuckoo, Sumatran Ground Cuckoo dan mempunyai nama latin Carpococcyx viridis. Burung
ini merupakan satu dari tiga spesies Tokhtor yang ada di dunia selain Tokhtor Kalimantan
(Carpococcyx radiceus) yang endemik Kalimantan dan Coral-billed Ground-cuckoo
(Carpococcyx renauldi) yang terdapat di Thailand dan Vietnam. Dulunya, Tokhtor Sumatera
dan Tokhtor Kalimantan dianggap satu spesies yang dinamai Tokhtor Sunda.

Burung Tokhtor Sumatera yang tertangkap camera trap
Ciri-ciri dan Kebiasaan. Burung Tokhtor Sumatera merupakan burung penghuni permukaan
tanah dengan ukuran tubuh yang besar mencapai 60 cm. Kaki dan paruh berwarna hijau.
Mahkota hitam, sedangkan mantel, bagian atas, leher samping, penutup sayap dan penutup
sayap tengah berwarna hijau pudar. Bagian bawah tubuh berwarna coklat dengan palang
coklat kehijauan luas. Sayap dan ekor hitam kehijauan mengilap. Tenggorokan bawah dan
dada bawah hijau pudar, bagian bawah sisanya bungalan kayu manis, sisi tubuh kemerahan.
Kulit sekitar mata berwarna hijau, lila dan biru.
Burung Tokhtor Sumatera hidup di permukaan tanah dan memakan vertebrata kecil dan
invertebrata besar. Burung endemik Sumatera yang sangat langka dan terancam punah ini
termasuk binatang pemalu.

Burung Tokhtor Sumatera yang Langka. Burung Tokhtor Sumatera atau Sumatran Ground
Cuckoo (Carpococcyx viridis) merupakan binatang yang langka. Burung endemik Sumatera
ini termasuk dalam 18 burung paling langka di Indonesia.
Sejak terdiskripsikan pada 1916, burung ini tidak pernah terlihat sekalipun hingga pada
November 1997 di Taman Nasional Bukit Barisan, seekor Tokhtor Sumatera berhasil difoto
untuk pertama kalinya. Burung ini terdokumentasi kedua kalinya lewat kamera trap di Taman
Nasional Kerinci Seblat pada Tahun 2006. Baru pada Januari 2007, tim survei satwa liar
dari Wildlife Coservation Society-Indonesia Program (WCS-IP) berhasil menangkap spesies
burung Tokhtor Sumatera hidup. Inipun setelah burung tersebut terperangkap jeratan untuk
menjebak Ayam Hutan.

Burung Tokhtor Sumatera (Carpococcyx renauldi)
Populasi burung Tokhtor Sumatera (Carpococcyx viridis) diperkirakan hanya antara 50-250
ekor saja. Dengan habitat (daerah persebaran) seluas 26.000 km persegi di Pegunungan
Barisan, Sumatera. Burung endemik yang langka ini mendiami hutan pegunungan rendah
dengan ketinggian antara 800-1000 meter dpl.
Karena kelangkaannya, burung Tokhtor Sumatera (Sumatran Ground Cuckoo) diberikan
status konservasi Critically Endangered (Kritis) sejak tahun 2000. Sayangnya, spesies ini
justru terlewat dan tidak terdaftar dalam PP. No. 7 Tahun 1999 sebagai jenis-jenis burung
yang dilindungi di Indonesia.

Pun berbagai perilaku dan kebiasaan burung ini belum dapat diungkap secara detail akibat
kurangnya data dan penelitian yang bisa dilakukan. Apalagi dengan sedikitnya jumlah spesies
yang ditemukan dan berhasil diamati.
Semoga saja burung Tokhtor Sumatera yang pernah dianggap punah dan kini diduga
populasinya kurang dari 300-an ekor yang hanya tersebar di sekitar Pegunungan Barisan
benar-benar belum punah. Di suatu tempat, burung ini masih eksis berkembang biak dengan
bebasnya memperkaya keanekaragaman satwa Indonesia.

Kodok Merah atau Leptophryne cruentata merupakan jenis kodok endemik yang
langka. Kodok Merah merupakan spesies ampibi endemik Jawa Indonesia yang hanya bisa
ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak.
Kodok Merah pun menjadi salah satu hewan langka yang terancam punah. Sehingga tidak
berlebihan

jika

kemudian IUCN

Redlist mencatatnya

dengan

status Critically

Endangered(Kritis). Meskipun di Indonesia sendiri Kodok ini luput dari daftar satwa yang
dilindungi.
Kodok Merah sering kali disebut juga sebagai Katak Darah. Kodok Merah dalam bahasa
Inggris disebut sebagai Bleeding Toad atau Fire Toad. Sedangkan dalam bahasa latin (nama
ilmiah) hewan ini disebut Leptophryne cruentata. Nama latinnya ini mempunyai arti kurang
lebih ‘berdarah’.

Kodok Merah (Leptophyrne cruentata)
Diskripsi, Ciri, dan Populasi. Kodok Merah (Leptophryne cruentata) berukuran kecil dan
ramping. Ciri khasnya adalah wana kulitnya yang dipenuhi bintik-bintik berwarna merah
darah. Kulit katak merah berwarna hitam dengan bintik-bintik merah atau kuning atau putih
marmer. Lantaran warna merahnya yang menyerupai darah, kodok ini biasa disebut juga
sebagai katak merah.
Kodok ini menyukai daerah dekat air yang mengalir deras di daerah berketinggian antara
1.000 – 2.000 meter dpl. Habitatnya hanya diperkirakan hanya terdapat di Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Selebihnya
tentang perilaku Kodok Merah (Bleeding Toad) belum banyak yang diketahui.

Pada tahun 1976 diperkirakan populasi katak ini masih sangat melimpah. Pada tahun 1987
dan paska meletusnya gunung Galunggung populasinya mulai jarang ditemui. Saking
langkanya pada periode 90-an hingga 2003 hanya dapat ditemukan satu ekor Kodok Merah di
sekitar air terjun Cibeureum.
Karena daerah sebarannya yang sangat sempit (endemik lokal) dan populasinya yang
menurun

drastis

IUCN

Redlist

memasukkannya

dalam

daftar

spesies Critically

Endangered (Kritis) yang merupakan tingkat keterancaman tertinggi sebelum punah.
Sayangnya, meskipun populasinya sangat sedikit dan sebarannya yang sangat sempit,hewan
langka, hewan endemik, sekaligus hewan unik ini tidak termasuk dalam satwa yang
dilindungi di Indonesia.
Mungkin pemegang kebijakan di negeri ini terlalu menganggap remeh seekor kodok.
Padahal kodok dan katak mempunyai peran penting sebagai indikator perubahan lingkungan.
Dan yang tak kalah pentingnya, Kodok Merah merupakan salah satu aset negeri ini yang
dititipkan kepada kita.