xDARI MALAIKAT KE DOA MOHON KEHANCURAN A
Halaman 46
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
❏ Petrampilan S. Brahmana
DARI MALAIKAT KE DOA MOHON KEHANCURAN AGAMA:
DEKONSTRUKSI ATAS PANDANGAN KEAGAMAAN
DALAM SASTRA INDONESIA
Pertampilan S. Brahmana
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
This article tries to analyse the themes of the poems written by Saeful Badar and
Gendhotwukir. The results of the analysis show that both pets deconstruct the religion view
of Indonesian society. Saeful Badar deconstructs angels whereas deconstructs the role of
religion in creating peace.
Key words: poems, deconstruct
1. PENDAHULUAN
Secara tidak sengaja, saya menemukan dua puisi
dari dua penyair yang berbeda di dunia siber ini.
Puisi yang pertama informasinya masuk ke dalam
email saya, dan puisi yang kedua hasil berselancar
di dunia siber ini. Puisi pertama dengan judul
Malaikat ditulis oleh Saeful Badar, seorang
pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari
Tasikmalaya dan dipublikasikan di rubrik
Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4
Agustus 2007. Ketika saya lacak ke situs harian
Pikiran Rakyat, puisi sudah dihapus. Sehingga
puisi yang ada di dalam email saya tersebut saya
salinkan kembali untuk tulisan ini. Puisi yang
kedua Doa Mohon Kehancuran Agama ditulis oleh
orang yang menamakan dirinya Gendhotwukir,
dipublikasikan via situs Rumah Kiri.
Walaupun kedua puisi di atas ditulis oleh
orang yang berbeda, dan entah mungkin tidak
saling mengenal, keduanya berada di dalam jalur
yang
sama
yaitu
agama.
Keduanya
mendekonstruksi pikiran kaum umat beragama.
2. KARYA SASTRA DAN AGAMA
Hubungan atau persinggungan karya sastra dengan
agama, bukanlah hal yang baru. Isi karya sastra
ada yang seiring sejalan dengan agama dan ada
yang berbeda jalan. Isi karya sastra yang seiring
sejalan dengan ajaran agama misalnya para
pemegang otoritas keagamaan - walaupun tanpa
mendapat mandat dari Tuhan - menghendaki karya
sastra haruslah mendakwahkan agama kepada
manusia. Karya-karya sastra seperti ini dapat
dikatakan seiring sejalan dengan agama.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Sedangkan isi karya-karya yang tidak
seiring sejalan dengan ajaran agama antara lain
karya Hamzah Fansuri (1550-1600), akibatnya
karya-karya Hamzah Fansuri dibakar. Pembakaran
terhadap karya-karyanya ini, katanya bukan
dikarenakan pandangan keagamaannya, akan tetapi
karena pendapat Hamzah Fansuri yang
bertentangan dengan pandangan penguasa pada
masanya. Kalau pandangan Hamzah Fansuri ini
berkembang di tengah-tengah masyarakat, dapat
menggoyangkan kedudukan penguasa pada masa
itu.
Penggalan puisi yang berisi perdebatan
perihal pandangan Hamzah Fansuri ini adalah
LIIA itu kesudahaan kata
Tauhid makrifat semata-mata
Hapuskan hendak sekalian perkara
Hamba dan Tuhan tiada berbeda
(Dikutip dari Liaw Yock Fang)
Tafsiran atas penggalan puisi di atas,
sama dengan AKU adalah YANG MAHA
TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL
adalah AKU. AKU (Hamzah Fansuri) adalah
YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA
TUNGGAL adalah AKU (Hamzah Fansuri).
Maknanya Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah
Aku (Hamba dan Tuhan tiada berbeda).
Penggalan puisinya selanjutnya:
Hamzah Fansuri di dalam Makah
Mencari Tuhan di baitul Ka'abah
Di Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
(Dikutip dari Liaw Yock Fang)
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 47
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
❏ Petrampilan S. Brahmana
Dalam pandangan Hamzah Fansuri,
Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh tetapi ada di
dalam hati setiap manusia, ini diungkapnnya.
Potongan Teks Puisinya
Penafsirannya
Mencari Tuhan di baitul
Ka'abah
……
Akhirnya dapat di dalam
rumah
Tuhan itu tidak perlu
dicari jauh-jauh. Tuhan
itu “ada” bekerja di
dalam hati setiap
manusia.
Pandangan di atas jelas berbeda,
bertentangan, bertolak belakang dengan padangan
keagamaan yang berkembang pada masa itu dan
pada masa kini karena antara Tuhan dan manusia
tidak mungkin bersatu. Hubungan Tuhan dengan
manusia, seperti pencipta dengan karya
ciptaannya. Tuhan itu pencipta dan manusia itu
ciptaan Tuhan. Keduanya tidak mungkin sama atau
disamakan. Jelas berbeda dengan pandangan
Hamzah Fansuri tersebut.
Akibat
pandangannya
tersebut,
konsekuensi yang harus ditanggung Hamzah
Fansuri adalah semua karya-karyanya harus
dibakar, maka menurut ceritanya karya-karya
Hamzah Fansuri dibakar habis oleh pihak yang
berkuasa pada zamannya, yang paling keras
menentang pandangan Hamzah Fansuri tersebut
adalah Nurruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf
Singkel.
Demikianlah
Hamzah
Fansuri
mendekonstruksi pandangan keagamaan pada
zamannya.
Kurang lebih sama dengan Hamzah
Fansuri adalah kisah Gatoloco pada masyarakat
Jawa. Cerita ini juga berada dalam jalur
keagamaan, tetapi mendekonstruksi untuk
menghalangi perkembangan agama Islam di tanah
Jawa.
Contoh dekonstruksiannya adalah sebagai
berikut:
"Nabi Mekah yang kau sembah, sudah
tidak ada ujudnya, sudah meninggal
seribu tahun silam, tempatnya pun di
tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh
bulan (ketika itu), itu pun dihadang laut,
dan di sana tinggal hanya makamnya,
kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa
bisa sampai?"
Contoh ketika Gatoloco mendekonstruksi
pemikiran tiga orang kyiai tentang mata.
Ketika tiga orang kyai mengaku masingmasing memiliki dua mata, Gatoloco
terbahak-bahak sambil beteriak-teriak.
“Kamu terlalu berani. Sungguh akan
celaka. Mengaku mata yang bukan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
milikmu. Nanti saya laporkan polisi
kamu. Mestinya kamu diikat karena
mengaku matamu dua. Sekarang begini,
jika benar matamu dua, perintahkan yang
satu kamu suruh terjaga dan satunya
tidur. Bergiliran. Dengan begitu, selama
hidupmu tidak akan kecurian”.
“Ngaco. Mana
bergiliran”
ada
mata
melek
“Jika benar mata itu milikmu, kamu pasti
punya kuasa. Seluruh perintahmu pasti
dituruti. Kalau tak menurut, itu berarti
bukan matamu. Begitu kamu berani
mengaku-aku. Kamu dapat dari mana.
Beli atau pinjam. Apa kamu diberi. Jika
ya, siapa yang memberi. Siapa saksinya.
Hari apa diberikan, dan dimana. Hayo
jawab” (Sukahar 1999: 19).
........
Ketiga guru kiyai bersama-sama berkata,
“mana ada mata bergiliran?”
Gatoloco menjawab, “Bila kalian
mengaku matamu tidak pisah, dari mana
kalian dapatkan? Dari membeli ataukah
meminjam? Atau kalian diberi orang,
lalu siapa yang memberimu, siapa
saksinya, dari mana dan hari apa?”
Ketika guru mendengarnya dengan
geleng-geleng kepala, tak dapat berkatakata, dan akhirnya mereka berkata:
“Ciptaan ayah ibuku!”
Gatoloco terbahak-bahak, “Kiraku kedua
orang tuamu tidak mengakuinya dalam
menciptakan dirimu. Mereka hanya
merasakan kenikmatan cinta, itu sebagai
jalan terjadinya kalian. Mereka tak
berniat menciptakanmu” (Prawirataruna
1990: 46-47).
Dari penggalan dialog di atas, ada dua hal
yang menjadi fokus perhatian, pertama masalah
penguasaan kedua mata yang dimiliki manusia dan
proses kelahiran seorang manusia. Menurut
konstruksi ketiga kyai tersebut, kedua mata yang
dimiliki seorang manusia, adalah miliknya, si
pemilik berkuasa atasnya, demikian juga dengan
kelahiran manusia, manusia itu lahir atas restu
kedua orang tuanya.
Gatoloco mendekonstruksi pemikiran
ketiga kyai tersebut di atas, dengan mengatakan,
kedua mata yang dimiliki seorang manusia itu
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 48
❏ Petrampilan S. Brahmana
bukan miliknya, dia (manusia) itu tidak berkuasa
atasnya, kalau memang benar kedua mata itu milik
manusia, “suruhlah berkedip bergantian, satu
memejam yang satu membelalak. Sehingga selama
hidupnya manusia tidak akan dapat kecurian”.
Kalau bisa berarti kedua mata itu benar-benar
milik manusia dan manusia itu berkuasa atasnya.
Sedangkan tentang penciptaan manusia, manusia
itu dilahirkan orang tuanya bukan disengaja, tetapi
hanyalah dampak dari ketika kedua orang yang
disebut orang tua tersebut “merasakan kenikmatan
cinta”.
3. DARI PUISI MALAIKAT KE PUISI
DOA
MOHON
KEHANCURAN
AGAMA
Kini puisi yang mendekonstruksi pandangan
keagamaan, muncul kembali. Puisi pertama
dipublikasikan melalui rubrik Khazanah harian
Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007,
ditulis oleh Saeful Badar, seorang pengelola
Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya
dengan judul “Malaikat“, sedangkan puisi kedua
dipublikasikan pada situs Rumah Kiri, ditulis oleh
Gendhotwukir, dengan judul “Doa Mohon
Kehancuran Agama“.
Kedua puisi ini bagi yang tidak dapat
memahami ada apa di balik teks mengatakan puisi
yang lugas, puisi yang bersifat denotatif, langsung
menuju kepada maksudnya, dan akan mengatakan
bukan seperti itu puisi yang baik, puisi yang baik
adalah puisi yang bersifat konotatif. Maka semakin
misterius sebuah puisi (makin sulit seseorang
memahami sebuah puisi), semakin bagus puisi
tersebut, maka semakin hebat penulisnya. Contoh
puisi seperti ini adalah puisi yang selalu
diistilahkan puisi bunga. Penilaian seperti ini sahsah saja.
3.1 Puisi Malaikat Karya Saeful Badar
Seperti telah dikemukakan puisi ini pertama sekali
dipublikasikan pada rubrik Khazanah harian
Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007,
tetapi saya menemukannya di dalam email saya.
Penulisnya adalah Saeful Badar, seorang pengelola
Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya.
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Kehadiran puisi ini mendapat reaksi dari
kalangan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)
Jawa Barat. Puisi ini oleh kalangan DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia) Jawa Barat menganggap
menghina agama Islam, karena dianggap
mempermainkan “Malaikat”. Sebenarnya bukan
hanya pihak Islam saja yang patut marah, pihak
Kristen, apakah itu Kristen Orthodoks, Katolik dan
Protestan juga berhak marah (kalau boleh marah),
sebab dalam agama Kristen juga mempunyai
Malaikat dengan istilah Malaikat.
Suara protes tersebut muncul dari pihak
Islam dalam hal ini DDII Jawa Barat saja.
Argumen yang dikemukakan oleh DDII tersebut
adalah:
1
2
3
4
MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru
(Saeful Badar 2007)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
5
Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful
Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni
sastra, sekaligus tidak mengandung etika
penghormatan terhadap agama, khususnya
agama Islam. Oleh karena itu, sajak
tersebut dapat dikategorikan menghina
agama, khususnya Islam.
Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut
dilakukan tanpa ada maksud melecehkan
Islam,
hal
itu
mengindikasikan
"kebodohan" penulis dan redaktur tentang
konsep malaikat dalam agama-agama
samawi, khususnya Islam.
Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut
dilakukan
dengan
sengaja
untuk
memancing amarah umat Islam dan
menista ajaran Islam, tindakan tersebut
serupa dengan apa yang dilakukan para
penista Islam, seperti kasus Salman
Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan",
koran Jylland-Posten Denmark dengan
karikatur Nabi Muhammad saw., dan
kasus-kasus
lainnya
yang
dinilai
melecehkan Islam dan kaum Muslimin.
Kami menganggap permohonan maaf saja
tidak cukup, karena ini menyangkut akidah
Islam, sehingga harus ada tindakan lebih
jauh, seperti klarifikasi tentang sosok
malaikat yang sebenarnya, sekaligus
meng-counter opini yang dibangun penulis
sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang
telanjur dipublikasikan.
Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat
adalah satu dari sekian banyak makhluk
ciptaan Allah SWT yang mendapat
keistimewaan
tersendiri.
Mereka
merupakan makhluk rohani bersifat gaib,
tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk
patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada
Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
❏ Petrampilan S. Brahmana
6
7
siang-malam untuk mengabdi kepada
Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat
dosa dan tidak pernah mengerjakan apa
pun atas inisiatif sendiri, selain
menjalankan titah kuasa perintah Allah
SWT semata. Mereka diciptakan Allah
SWT dengan tugas-tugas tertentu.
Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada
Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman
yang enam, di samping iman kepada Allah,
Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah,
Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman
kepada Malaikat menjadi bagian terpenting
dari tauhid (mengesakan Allah) dan
membebaskan
manusia
dari
syirik
(menyekutukan Allah).
Dengan demikian, bagi umat Islam,
Malaikat bukan sosok yang bisa
dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh
ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh
seorang penyair, sekalipun atas nama
kebebasan berekspresi.
Sumber: Faith Freedom International - Forum Indonesia.
20 Aug 2007
Protes DDII ini mendapat perlawanan
juga dalam bentuk protes antara lain dari AJI
(Aliansi Jurnalis Independen) Bandung. Menurut
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung,
pelarangan terhadap Puisi “Malaikat: adalah
bertentangan dengan konstitusi negara, UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,
pasal 28 yang menjamin hak warga negara untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang berupaya
memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi,
merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi
negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi
keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen Kota
Bandung, pada tanggal 13 Agustus 2007,
menyatakan pendapatnya bahwa:
1
2
3
Mengecam
segala
tindakan
yang
memasung kemerdekaan berpikir dan
berekspresi.
Mendesak kepolisian untuk bertindak
tegas
terhadap
pihak-pihak
yang
melanggar konstitusi negara (dalam hal ini
pihak yang melakukan intimidasi terhadap
karya sastra).
Mendesak
media
massa
agar
bertanggungjawab
terhadap
segala
kemungkinan yang akan dihadapi yang
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Halaman 49
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
menyangkut penerbitannya. Segala beban
tanggungjawab agar tidak diserahkan
semata-mata terhadap wartawan secara
individu.
Sumber: www.ajiindonesia.org
Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen
Kota Bandung tersebut ditandatangangi oleh
Sekretaris Mulyani Hasan dan Koordinator Divisi
Advokasi Ahmad Yunus.
Dukungan protes juga datang dari 21
komunitas seniman dan elemen masyarakat,
Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra
Tasikmalaya,
Teater
Bolon-Tasikmalaya,
Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut NalarJatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung,
Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi
Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong
Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya,
Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture
Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar
Studi Sastra Cirebon, Komunitas CupumanikBandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung,
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang,
Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya,
Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut.
Mereka juga turut prihatin dan penyesalan
terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya
Saeful Badar. Menurut 21 komunitas seniman dan
elemen masyarakat di atas.
1
2
Hak tiap individu untuk mengungkapkan
diri baik secara lisan maupun secara tertulis
patut dilindungi. Dalam konteks tata
kehidupan di Indonesia, perlindungan akan
hak tersebut telah menjadi kesepakatan
kolektif, bahkan dinyatakan secara tegas
dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami
sangat prihatin dan turut menyesalkan
pemberangusan atas sajak “Malaikat” karya
penyair Saeful Badar. Kami juga sangat
prihatin dan menyesalkan pendiskreditan
nama baik penyair Saeful Badar, yang
disebut-sebut seperti Salman Rusdhie,
sehingga penyair Saeful Badar mengalami
berbagai tekanan.
Kami juga menentang dan menyesalkan
segala bentuk pemutlakan tafsir atas karya
seni dan sastra oleh individu dan golongan
tertentu, serta menentang dan menyesalkan
segala bentuk sikap yang tidak toleran.
Pemutlakan tafsir dan sikap tidak toleran
merupakan bentuk kekerasan simbolis yang
bisa membuka gerbang ke arah berbagai
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 50
❏ Petrampilan S. Brahmana
3
4
kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan
pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan
dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai
menutup peluang bagi terwujudnya
keadilan.
Kami juga menentang dan menyesalkan
sikap dan tindakan yang cenderung
membawa-bawa agama, atau menekankan
pertimbangan bernada keagamaan, sebagai
tameng bagi pemutlakan dan pemaksaan
sikap dan pandangan individu dan
golongan tertentu. Janganlah mempermainmainkan agama demi tujuan-tujuan yang
sempit, picik, dan pendek.
Pada hemat kami, ruang publik sebagai
wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara
dan dikembangkan. Dalam hal ini, kami
menyatakan bahwa media massa, sebagai
salah satu institusi sosial yang mengelola
ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat
menjaga integritasnya sehingga tidak
mudah dipermainkan oleh individu dan
kelompok tertentu yang sikap dan
tindakannya
tidak
sejalan
dengan
pemeliharaan ruang publik.
Sumber:
http://kapasmerah.wordpress.com/2007/08/14/pernyat
aan-bersama-menyikapi-polemik-puisi-malaikat/
Puisi Malaikat tersebut sebenarnya
mendekonstruksi pandangan umum tentang
Malaikat. Pandangan umum tentang Malaikat
seperti yang dikemukakan oleh DDII.
Dalam ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari
sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT
yang mendapat keistimewaan tersendiri.
Mereka merupakan makhluk rohani bersifat
gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk
patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah
SWT. Malaikat menghabiskan waktu siangmalam untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak
pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif
sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah
Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah
SWT dengan tugas-tugas tertentu.
Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada
Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang
enam, di samping iman kepada Allah, Rasulrasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar
(takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat
menjadi bagian terpenting dari tauhid
(mengesakan Allah) dan membebaskan
manusia dari syirik (menyekutukan Allah).
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Saeful Badar mendekonstruksi
tersebut dengan mengungkapkan:
citra
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut/Ke saban penjuru.
Ungkapan tersebut menimbulkan kesan
mengolok-olok,
atau
mempermain-mainkan
Malaikat.
Saeful Badar memang sah-sah saja
mendekonstruksinya, apalagi baik antara Saeful
Badar dan pihak-pihak yang keberatan terhadap
puisinya di atas, sama-sama tidak punya mandat
dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatakan
Saeful Badar yang salah, atau lawan Saeful Badar
yang benar. Atau sebaliknya Saeful Badar yang
benar, lawan Saeful Badar yang salah.
3.2 Puisi Doa Mohon Kehancuran Agama oleh
Gendhotwukir
Puisi ini dipublikasikan pada situs Rumah Kiri.
Puisi ini berbeda dengan puisi Malaikat“ karya
Saeful Badar. Puisi Gendhotwukir, justru
mendoakan dan memohon agar agama hancur.
Gendhotwukir
Doa Mohon Kehancuran Agama
kepada Allah yang dipuja di label dunia atas
nama agama
diagung-agungkan sebagai pencipta dan
pengatur semesta
aku mohon kehancuran agama
jika atas nama agama tidak ada penghargaan
martabat sesama manusia
jika atas nama agama, ada yang terluka
bahkan mati binasa
terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka
bahkan oleh teriak para pemangku agama
jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi
sia-sia
dan nista hukumnya
jika kedatangan sesama manusia menjadi
berjarak hanya karena beda agama
jika karena pantang-pantang, persaudaraan
menjadi baur mengudara
jika manusia telah menjadi "allah" atas
sesamanya
jikapun dengan cara demikian orang masuk
surga,
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 51
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
❏ Petrampilan S. Brahmana
maka akulah orang yang pertama memilih
masuk neraka
sekali lagi aku mohon kehancuran agama
Jerman, 18.02.06
Sumber:
http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&tas
k=category§ionid=5&id=12&Itemid=271 (30/08/2007)
Bagaimana menyikapi puisi ini? Ada apa
di balik teks puisi Gendhotwukir tersebut? Fakta
atau faktual? Jawabnya keduanya, fakta dan
faktual.
Nurcholis Madjid pada tulisannya di
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an.
Nomor I, Vol IV, tahun 1993 (Madjid, 1993:7-8)
menulis: “Peta dunia sekarang (1993) sedang
ditandai oleh konflik-konflik dengan warna
keagamaan. Meskipun agama bukanlah satusatunya faktor, namun jelas sekali bahwa
pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik
itu dan dalam eskalasinya sangat banyak
memainkan peranan. Di ujung paling utara, di
Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan
antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di
tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan
Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malumalu disebut bernuansa keagamaan (karena akan
menodai "liberalisme" mereka) dan terbungkus
rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para
pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam.
Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah
Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik
dengan banyak warna keagamaan yaitu di BosniaHerzegivina. Kemudian di Cyprus, betapapun juga
pertentangan antara mereka yang keturunan Turki
dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak
diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflikkonflik di Palestina khususnya Timur Dekat
umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim
dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang
cukup membingungkan, hampir merupakan
anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan
manusia yang paling berpengaruh, dan jelas
anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak
mendirikan negara agama di zaman moderen atas
bantuan negara moderen. Di Afrika Hitam pun
konflik-konflik dengan warna keagamaan juga
tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik
antara Islam yang "Arab" di sebelah Utara dan
Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum
lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham
apartheid, yang juga mengundang keterlibatan
berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negerinegeri Timur Tengah yang lain, juga diramaikan
oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan,
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak
saja konflik antara Irak dan Iran merupakan
konflik antara pemerintah yang berturut-turut
didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi'i,
bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas
menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti
heorisme Q'adisiyyah dari pihak Irak dan jihad
melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak
Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi
terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak
luput terjadi persepsi populer yang aneh di
sementara kalangan bahwa perang itu adalah
perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran
(Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negerinegeri Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita
teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan
yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik
dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis
penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua
sekitarnya juga meriah dengan percekcokan
keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi'ah di
Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan
Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme
lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina
kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang
berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempattempat lain, konflik keagamaan itu jelas selalu
merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak
atau malah tidak akan terbuka”.
Pendapat Nurcholis Madjid ini pernah
ditentang habis-habisan oleh beberapa orang yang
tidak sejalan dengannya. Mereka tidak sependapat
dengan pandangan tersebut. Pertanyaan kita
kemudian, mengapa dalam agama yang diajarkan
begitu
mulia
dapat
berbuat
sebaliknya,
bertentangan
dengan
isi
pengajarannya?
Jawabannya dapat bermacam-macam, bergantung
kepada bingkai (framing) yang digunakan. Bingkai
politik misalnya, di Indonesia sejak Orde Lama,
bahkan sebelum Indonesia terbentuk menjadi
sebuah negara hingga Orde Baru dan Orde
Reformasi, agama dijadikan kudatunggangan oleh
para elit politik untuk meraih kekuasaan duniawi
melalui partai politik, melalui organisasi
keagamaan. Lihat saja Politisasi Agama pada masa
Orde Lama berikut ini.
Aliran
Islam
Kristen
Awal Kemerdekaan
(1908-1955)
Masjumi, NU, PSII,
Perti
Partai Katolik,
Parkindo.
Orde Lama
(1955-1965)
Masjumi, NU, PSII,
Perti, PPTI, AKUI,
PSII Abikusno
Partai Katolik,
Parkindo.
Hasilnya sudah kita ketahui, munculnya
pemberontakan-pemberontakan yang bersenjata,
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 52
❏ Petrampilan S. Brahmana
ada yang bersifat keagamaan. Kemudian wacana
memformalkan syariat Islam ke dalam tatanegara
Indonesia, adalah bukti bahwa agama dijadikan
kudatunggangan oleh elit politik, atau kaum ulama
memasuki dunia politik.
Pada masa Orde Baru, politisasi agama
sebagai berikut.
Aliran
Islam
Kristen
Orde
(1965-1973)
NU, PSII, Perti,
Parmusi.
Partai Katolik,
Parkindo.
Baru
(1973-1998)
PPP
-
Pada masa Orde Reformasi, politisasi
agama sebagai berikut:
Aliran
Islam
Kristen
Masa Reformasi (1999-2003)
PPP, PBB, PK, PSII, Masyumi
PDKB, KRISNA
Ini adalah yang bersifat formal, di balik
formal tersebut yang dikatakan bersifat informal,
perilaku politisasi ini bertaburan di balik istilah
koncoisme, kolusi dan nepotisme, banyak
dilakukan atas nama seiman, sesama umat. Bahkan
ada yang berpandangan, orang-orang yang tidak
seagama disebut kafir.
Faktanya tidak ada bukti material yang
meyakinkan manusia bahwa Tuhan Yang Maha
Esa, pernah ada memberikan mandat manusia
(kelompok manusia) manapun di dunia ini untuk
mewakili atau membela kepentingan Tuhan di
muka bumi ini. Tidak ada bukti material
meyakinkan bahwa yang dikategorikan sebagai
kitab suci benar-benar ajaran yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Esa. Semua karena tafsiran.
Mungkin inilah yang hendak dibongkar,
disadarkan oleh Gendhotwukir melalui puisinya
tersebut seperti di bawah ini.
jika atas nama agama tidak ada penghargaan
martabat sesama manusia
jika atas nama agama, ada yang terluka
bahkan mati binasa
terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka
bahkan oleh teriak para pemangku agama
jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi
sia-sia
dan nista hukumnya
jika kedatangan sesama manusia menjadi
berjarak hanya karena beda agama
......
maka akulah orang yang pertama memilih
masuk neraka
sekali lagi aku mohon kehancuran agama
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Masalah sekarang rasionalkah isi doa
tersebut yaitu ingin menghancurkan agama agar
manusia menjadi bermartabat tanpa melalui
agama? Soal rasional tidaknya isi doanya tersebut,
memang dapat diperdebatkan, kehancuran agama
yang dimaksud, kehancuran yang bagaimana?
Kalau menghancurkan semua agama yang ada,
jelaslah tidak mungkin, agama atas nama
kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Budha dan lainnya tidak akan pernah dapat hancur,
dalam renungan agama sudah berada, bukan
mengada, artinya agama sudah benar-benar hadir
di dunia ini, didukung oleh jutaan manusia, agama
bukan lagi sebagai wacana-wacana. Berjuta-juta
manusia telah merasakan peranan agama dalam
hidup dan kehidupan mereka. Mereka yang
demikian tidak akan bakalan mau menghancurkan
agama mereka.
Bahasa yang ada untuk eksistensi agama
ini adalah pengikut atau umat beragama dapat
mengalami masa surut seperti air laut yang ada
pasang surutnya. Ketika masa surut umatnya
berkurang, ketika masa pasang umatnya banyak.
Justru di masa depan dengan hancurnya ikatan
kekerabatan
(hubungan
darah),
karena
berkembangnya paham pragmatisme dalam
berkerabat, atau karena jauhnya kerabat dari
tempat tinggal seseorang, acara suka dan duka
yang dialami yang selama ini ditangani oleh kaum
kerabat, akan diambil alih oleh kerabat baru yang
bernama seagama. Merekalah yang mengisi
kekosongan peran kerabat sedarah tersebut,
terutama di kota-kota besar khususnya di
Indonesia. Hancurnya kekerabatan ini bukan
seratus persen karena faktor agama, tetapi karena
faktor pragmatisme dalam berkerabat, sehingga
kelompok tetangga yang seagama yang akhirnya
dianggap sebagai kerabat terdekat yang dapat
menggantikan peran dan fungsi kerabat sedarah
tersebut.
Kalaupun hancur agama atas nama
kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Budha dan lainnya, kehancurannya akan diisi oleh
kelompok „agama“ baru. Kelompok „agama“ baru
ini, akan mengambil sisi-sisi positif dari agama
atas nama kelompok tersebut. Bibit ini saat ini
berkembang, tetapi belum pesat yaitu aliran
teosofi. Aliran teosofi ini, mengkaji, mempelajari
Tuhan bersifat lintas agama. Saat ini kelompok
teosofi ini, hanya sebatas mengkaji Tuhan lintas
agama, belum mengambil alih peran kerabat dalam
suka dan duka. Bila kelompok teosofi ini, akhirnya
mengambil alih peran suka dan duka, maka
kemungkinannya dapat berkembang mengalahkan
agama kelompok tersebut.
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
❏ Petrampilan S. Brahmana
Halaman 53
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Jadi, puisi Gendhotwukir dengan judul
Doa Mohon Kehancuran Agama tidak akan
terbukti. Hancur agama kelompok seperti Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya,
akan melahirkan kelompok agama baru dengan
nama yang berbeda dengan ajarannya diambil
(sintesa) dari hal-hal yang dianggap positif dari
agama kelompok tersebut.
Namun, misi puisi Gendhotwukir tersebut
di atas jelas. Kekecewan Gendhotwukir karena dia
menganggap atas nama agama saat ini tidak ada
penghargaan kepada martabat sesama manusia,
atas nama agama, banyak yang terluka, mati,
bahkan jika bersalaman saja bagi yang berbeda
agama dihindari, yang ada saat ini adalah manusia
telah menjadi "Allah" atas sesamanya. Kalau tesis
ini benar, maka itu “ngawur“ namanya, manusia
sudah ngawur demi kepentingan dirinya,
kelompoknya, bukan kepentingan manusia secara
universal.
mendekonstruksi
pandangan
keagamaan
masyarakat Indonesia baru pada era reformasi ini
muncul kembali. Pendekonstruksian ini perlu agar
masyarakat tidak mudah diakal-akali oleh mereka
yang mengaku-ngaku mewakili Tuhan di dunia ini,
sementara Tuhan sendiri tidak pernah memberikan
mandat kepada mereka. Tuhan perlu uang katanya,
akal sehat kita membisikan, Tuhan tidak perlu
uang, yang perlu uang itu manusia. Gelar Ustad,
Pendeta, Biksu, ulama dan lainnya, hanyalah gelar
hasil buatan manusia, bukan pemberian dari Tuhan
si Penguasa Alam.
Puisi Malaikat karya Saeful Badar dan
puisi Doa Mohon Kehancuran Agama karya
Gendhotwukir,
sudah
memulai
mencoba
menghindarkan bangsa ini pecah karena politisasi
agama. Maka dapat dipahami kedua puisi ini
sebenarnya
secara
tidak
langsung
juga
mendekonstruksi, konstruksi keagamaan yang
dibuat oleh para “politisi“.
4. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dibandingkan dengan puisi Malaikat di atas, puisi
Gendhotwukir ini jauh lebih kuat kesan
tendensnya walaupun keduanya bermain-main di
wilayah agama. Puisi Malaikat mendekonstruksi,
membongkar pandangan masyarakat perihal
“Malaikat“, sehingga memberi kesan puisi
Malaikat seperti melecehkan “Malaikat“ salah satu
simbol yang dihormati baik dalam agama Islam
maupun Kristen, puisi Doa Mohon Kehancuran
Agama justru ingin „menghancurkan“ agama.
Menghancurkan sama dengan menaklukkan atau
membinasakan ini tidak rasional. Kedua puisi
tersebut mendekonstruksi pandangan keagamaan
yang ada di dalam masyarakat Indonesia
khususnya.
Dilihat dari segi jarak waktu mulai era
Hamzah Fansuri ((1550-1600) dan Gatoloco,
karya-karya sastra Indonesia yang berani
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan
Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk
Generasi Mendatang”. Dalam Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ummul Qur'an. Vol. IV, 1.
Prawirataruna.
1990.
Falsafah
Semarang: Dahara Prize.
Gatoloco.
Sukahar, Joko Su’ud. 1999. Tafsir Gatolotjo.
Surabaya: Wuwung.
Sukahar, Joko Su’ud. 2007. Tafsir Gatolotjo.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
TENTANG PENULIS
1.
Isma Tantawi
Isma Tantawi lahir pada tanggal 7 Februari 1960 di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten
Gayo Lues). Beliau adalah staf pengajar tetap di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
mengasuh mata kuliah Sastra Bandingan, Estetika, dan Sastra Malaysia Modern serta mengajar di
beberapa perguruan tinggi swasta di Sumatera Utara dan sebagai dosen tamu di Kolej Sentral Kuala
Limpur, Malaysia. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara (FS USU) tahun 1986 dan pendidikan master (S-2) di Pusat Pengajian Ilmu
Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (PPIK USM) tahun 2006 dengan bidang kajian tradisi lisan
nusantara. Di samping itu juga beliau aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik
sebagai peserta maupun pemakalah.
2.
Nurhayati Harahap
Nurhayati Harahap lahir di Padang Sidempuan, 19 April 1962. Beliau adalah staf pengajar tetap
Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang kesusateraan. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana (S-1) pada program studi dan fakultas yang sama tahun 1985 dan pendidikan
lanjutan (S-2) di Unpad Bandung pada tahun 1997. Beliau juga aktif meneliti khususnya sastra etnik
Angkola Mandailing.
3.
Haris Sutan Lubis
Haris Sutan Lubis lahir di Padang Sidempuan 7 September 1959. Beliau adalah staf pengajar di
Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra sejak tahun 1986. Beliau menyelesaikan S-1 bidang studi
Sastra Indonesia di fakultas yang sama pada tahun 1985. Pada tahun 2006 beliau menyelesaikan
pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan judul tesis “Perencanaan pengembangan Ekowisata berbasis Masyarakat. Saat ini beliau
mengasuh mata kuliah Telaah Drama di Departemen Sastra Indonesia, Mata kuliah Ekowisata dan
Kepemimpinan Kepariwisataan di Program Studi Pariwisata
4.
Yundi Fitrah
Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru, 25 Desember 1959. Beliau adalah staf pengajar pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Menyelesaikan pendidikan S-1 di
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara pada tahun 1985 dan telah menyelesaikan Program
Magister Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan
Program Doktor dalam Persuratan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat: Jln.
Kemajuan No.42. Mendalo Darat 36361 Tel. 0741– 580008 Hp. 08127811770 Jambi.
5.
Ikhwanuddin Nasution
Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar
di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada
fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya,
Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana pada tahun 2007. Beliau
aktif menulis di berbagai jurnal.
6.
Haron Daud
Haron Daud dilahirkan pada 20 Februari 1952 di Kampung Pulau Pisang, Kota Bharu, Kelantan,
Malaysia. Pada tahun 1996 beliau meraih gelar Doktor Falsafah dari Universiti Malaya dan meraih
Profesor pada tahun 2006 di Universiti Sains Malaysia. Beliau menjadi dosen di Pusat Pengajian
Ilmu kemanusiaan USM sampai tahun 2007. Pada awal tahun 2008 beliau pindah dan menjadi dosen
di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.
7.
Pertampilan S. Brahmana
Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas
Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Magister (S-2) di Program Pascasarjana Universitas
Udayana dalam bidang Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.
Universitas Sumatera Utara
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
❏ Petrampilan S. Brahmana
DARI MALAIKAT KE DOA MOHON KEHANCURAN AGAMA:
DEKONSTRUKSI ATAS PANDANGAN KEAGAMAAN
DALAM SASTRA INDONESIA
Pertampilan S. Brahmana
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
This article tries to analyse the themes of the poems written by Saeful Badar and
Gendhotwukir. The results of the analysis show that both pets deconstruct the religion view
of Indonesian society. Saeful Badar deconstructs angels whereas deconstructs the role of
religion in creating peace.
Key words: poems, deconstruct
1. PENDAHULUAN
Secara tidak sengaja, saya menemukan dua puisi
dari dua penyair yang berbeda di dunia siber ini.
Puisi yang pertama informasinya masuk ke dalam
email saya, dan puisi yang kedua hasil berselancar
di dunia siber ini. Puisi pertama dengan judul
Malaikat ditulis oleh Saeful Badar, seorang
pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari
Tasikmalaya dan dipublikasikan di rubrik
Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4
Agustus 2007. Ketika saya lacak ke situs harian
Pikiran Rakyat, puisi sudah dihapus. Sehingga
puisi yang ada di dalam email saya tersebut saya
salinkan kembali untuk tulisan ini. Puisi yang
kedua Doa Mohon Kehancuran Agama ditulis oleh
orang yang menamakan dirinya Gendhotwukir,
dipublikasikan via situs Rumah Kiri.
Walaupun kedua puisi di atas ditulis oleh
orang yang berbeda, dan entah mungkin tidak
saling mengenal, keduanya berada di dalam jalur
yang
sama
yaitu
agama.
Keduanya
mendekonstruksi pikiran kaum umat beragama.
2. KARYA SASTRA DAN AGAMA
Hubungan atau persinggungan karya sastra dengan
agama, bukanlah hal yang baru. Isi karya sastra
ada yang seiring sejalan dengan agama dan ada
yang berbeda jalan. Isi karya sastra yang seiring
sejalan dengan ajaran agama misalnya para
pemegang otoritas keagamaan - walaupun tanpa
mendapat mandat dari Tuhan - menghendaki karya
sastra haruslah mendakwahkan agama kepada
manusia. Karya-karya sastra seperti ini dapat
dikatakan seiring sejalan dengan agama.
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Sedangkan isi karya-karya yang tidak
seiring sejalan dengan ajaran agama antara lain
karya Hamzah Fansuri (1550-1600), akibatnya
karya-karya Hamzah Fansuri dibakar. Pembakaran
terhadap karya-karyanya ini, katanya bukan
dikarenakan pandangan keagamaannya, akan tetapi
karena pendapat Hamzah Fansuri yang
bertentangan dengan pandangan penguasa pada
masanya. Kalau pandangan Hamzah Fansuri ini
berkembang di tengah-tengah masyarakat, dapat
menggoyangkan kedudukan penguasa pada masa
itu.
Penggalan puisi yang berisi perdebatan
perihal pandangan Hamzah Fansuri ini adalah
LIIA itu kesudahaan kata
Tauhid makrifat semata-mata
Hapuskan hendak sekalian perkara
Hamba dan Tuhan tiada berbeda
(Dikutip dari Liaw Yock Fang)
Tafsiran atas penggalan puisi di atas,
sama dengan AKU adalah YANG MAHA
TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL
adalah AKU. AKU (Hamzah Fansuri) adalah
YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA
TUNGGAL adalah AKU (Hamzah Fansuri).
Maknanya Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah
Aku (Hamba dan Tuhan tiada berbeda).
Penggalan puisinya selanjutnya:
Hamzah Fansuri di dalam Makah
Mencari Tuhan di baitul Ka'abah
Di Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dapat di dalam rumah
(Dikutip dari Liaw Yock Fang)
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 47
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
❏ Petrampilan S. Brahmana
Dalam pandangan Hamzah Fansuri,
Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh tetapi ada di
dalam hati setiap manusia, ini diungkapnnya.
Potongan Teks Puisinya
Penafsirannya
Mencari Tuhan di baitul
Ka'abah
……
Akhirnya dapat di dalam
rumah
Tuhan itu tidak perlu
dicari jauh-jauh. Tuhan
itu “ada” bekerja di
dalam hati setiap
manusia.
Pandangan di atas jelas berbeda,
bertentangan, bertolak belakang dengan padangan
keagamaan yang berkembang pada masa itu dan
pada masa kini karena antara Tuhan dan manusia
tidak mungkin bersatu. Hubungan Tuhan dengan
manusia, seperti pencipta dengan karya
ciptaannya. Tuhan itu pencipta dan manusia itu
ciptaan Tuhan. Keduanya tidak mungkin sama atau
disamakan. Jelas berbeda dengan pandangan
Hamzah Fansuri tersebut.
Akibat
pandangannya
tersebut,
konsekuensi yang harus ditanggung Hamzah
Fansuri adalah semua karya-karyanya harus
dibakar, maka menurut ceritanya karya-karya
Hamzah Fansuri dibakar habis oleh pihak yang
berkuasa pada zamannya, yang paling keras
menentang pandangan Hamzah Fansuri tersebut
adalah Nurruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf
Singkel.
Demikianlah
Hamzah
Fansuri
mendekonstruksi pandangan keagamaan pada
zamannya.
Kurang lebih sama dengan Hamzah
Fansuri adalah kisah Gatoloco pada masyarakat
Jawa. Cerita ini juga berada dalam jalur
keagamaan, tetapi mendekonstruksi untuk
menghalangi perkembangan agama Islam di tanah
Jawa.
Contoh dekonstruksiannya adalah sebagai
berikut:
"Nabi Mekah yang kau sembah, sudah
tidak ada ujudnya, sudah meninggal
seribu tahun silam, tempatnya pun di
tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh
bulan (ketika itu), itu pun dihadang laut,
dan di sana tinggal hanya makamnya,
kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa
bisa sampai?"
Contoh ketika Gatoloco mendekonstruksi
pemikiran tiga orang kyiai tentang mata.
Ketika tiga orang kyai mengaku masingmasing memiliki dua mata, Gatoloco
terbahak-bahak sambil beteriak-teriak.
“Kamu terlalu berani. Sungguh akan
celaka. Mengaku mata yang bukan
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
milikmu. Nanti saya laporkan polisi
kamu. Mestinya kamu diikat karena
mengaku matamu dua. Sekarang begini,
jika benar matamu dua, perintahkan yang
satu kamu suruh terjaga dan satunya
tidur. Bergiliran. Dengan begitu, selama
hidupmu tidak akan kecurian”.
“Ngaco. Mana
bergiliran”
ada
mata
melek
“Jika benar mata itu milikmu, kamu pasti
punya kuasa. Seluruh perintahmu pasti
dituruti. Kalau tak menurut, itu berarti
bukan matamu. Begitu kamu berani
mengaku-aku. Kamu dapat dari mana.
Beli atau pinjam. Apa kamu diberi. Jika
ya, siapa yang memberi. Siapa saksinya.
Hari apa diberikan, dan dimana. Hayo
jawab” (Sukahar 1999: 19).
........
Ketiga guru kiyai bersama-sama berkata,
“mana ada mata bergiliran?”
Gatoloco menjawab, “Bila kalian
mengaku matamu tidak pisah, dari mana
kalian dapatkan? Dari membeli ataukah
meminjam? Atau kalian diberi orang,
lalu siapa yang memberimu, siapa
saksinya, dari mana dan hari apa?”
Ketika guru mendengarnya dengan
geleng-geleng kepala, tak dapat berkatakata, dan akhirnya mereka berkata:
“Ciptaan ayah ibuku!”
Gatoloco terbahak-bahak, “Kiraku kedua
orang tuamu tidak mengakuinya dalam
menciptakan dirimu. Mereka hanya
merasakan kenikmatan cinta, itu sebagai
jalan terjadinya kalian. Mereka tak
berniat menciptakanmu” (Prawirataruna
1990: 46-47).
Dari penggalan dialog di atas, ada dua hal
yang menjadi fokus perhatian, pertama masalah
penguasaan kedua mata yang dimiliki manusia dan
proses kelahiran seorang manusia. Menurut
konstruksi ketiga kyai tersebut, kedua mata yang
dimiliki seorang manusia, adalah miliknya, si
pemilik berkuasa atasnya, demikian juga dengan
kelahiran manusia, manusia itu lahir atas restu
kedua orang tuanya.
Gatoloco mendekonstruksi pemikiran
ketiga kyai tersebut di atas, dengan mengatakan,
kedua mata yang dimiliki seorang manusia itu
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 48
❏ Petrampilan S. Brahmana
bukan miliknya, dia (manusia) itu tidak berkuasa
atasnya, kalau memang benar kedua mata itu milik
manusia, “suruhlah berkedip bergantian, satu
memejam yang satu membelalak. Sehingga selama
hidupnya manusia tidak akan dapat kecurian”.
Kalau bisa berarti kedua mata itu benar-benar
milik manusia dan manusia itu berkuasa atasnya.
Sedangkan tentang penciptaan manusia, manusia
itu dilahirkan orang tuanya bukan disengaja, tetapi
hanyalah dampak dari ketika kedua orang yang
disebut orang tua tersebut “merasakan kenikmatan
cinta”.
3. DARI PUISI MALAIKAT KE PUISI
DOA
MOHON
KEHANCURAN
AGAMA
Kini puisi yang mendekonstruksi pandangan
keagamaan, muncul kembali. Puisi pertama
dipublikasikan melalui rubrik Khazanah harian
Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007,
ditulis oleh Saeful Badar, seorang pengelola
Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya
dengan judul “Malaikat“, sedangkan puisi kedua
dipublikasikan pada situs Rumah Kiri, ditulis oleh
Gendhotwukir, dengan judul “Doa Mohon
Kehancuran Agama“.
Kedua puisi ini bagi yang tidak dapat
memahami ada apa di balik teks mengatakan puisi
yang lugas, puisi yang bersifat denotatif, langsung
menuju kepada maksudnya, dan akan mengatakan
bukan seperti itu puisi yang baik, puisi yang baik
adalah puisi yang bersifat konotatif. Maka semakin
misterius sebuah puisi (makin sulit seseorang
memahami sebuah puisi), semakin bagus puisi
tersebut, maka semakin hebat penulisnya. Contoh
puisi seperti ini adalah puisi yang selalu
diistilahkan puisi bunga. Penilaian seperti ini sahsah saja.
3.1 Puisi Malaikat Karya Saeful Badar
Seperti telah dikemukakan puisi ini pertama sekali
dipublikasikan pada rubrik Khazanah harian
Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007,
tetapi saya menemukannya di dalam email saya.
Penulisnya adalah Saeful Badar, seorang pengelola
Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya.
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Kehadiran puisi ini mendapat reaksi dari
kalangan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)
Jawa Barat. Puisi ini oleh kalangan DDII (Dewan
Dakwah Islam Indonesia) Jawa Barat menganggap
menghina agama Islam, karena dianggap
mempermainkan “Malaikat”. Sebenarnya bukan
hanya pihak Islam saja yang patut marah, pihak
Kristen, apakah itu Kristen Orthodoks, Katolik dan
Protestan juga berhak marah (kalau boleh marah),
sebab dalam agama Kristen juga mempunyai
Malaikat dengan istilah Malaikat.
Suara protes tersebut muncul dari pihak
Islam dalam hal ini DDII Jawa Barat saja.
Argumen yang dikemukakan oleh DDII tersebut
adalah:
1
2
3
4
MALAIKAT
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut
Ke saban penjuru
(Saeful Badar 2007)
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
5
Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful
Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni
sastra, sekaligus tidak mengandung etika
penghormatan terhadap agama, khususnya
agama Islam. Oleh karena itu, sajak
tersebut dapat dikategorikan menghina
agama, khususnya Islam.
Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut
dilakukan tanpa ada maksud melecehkan
Islam,
hal
itu
mengindikasikan
"kebodohan" penulis dan redaktur tentang
konsep malaikat dalam agama-agama
samawi, khususnya Islam.
Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut
dilakukan
dengan
sengaja
untuk
memancing amarah umat Islam dan
menista ajaran Islam, tindakan tersebut
serupa dengan apa yang dilakukan para
penista Islam, seperti kasus Salman
Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan",
koran Jylland-Posten Denmark dengan
karikatur Nabi Muhammad saw., dan
kasus-kasus
lainnya
yang
dinilai
melecehkan Islam dan kaum Muslimin.
Kami menganggap permohonan maaf saja
tidak cukup, karena ini menyangkut akidah
Islam, sehingga harus ada tindakan lebih
jauh, seperti klarifikasi tentang sosok
malaikat yang sebenarnya, sekaligus
meng-counter opini yang dibangun penulis
sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang
telanjur dipublikasikan.
Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat
adalah satu dari sekian banyak makhluk
ciptaan Allah SWT yang mendapat
keistimewaan
tersendiri.
Mereka
merupakan makhluk rohani bersifat gaib,
tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk
patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada
Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
❏ Petrampilan S. Brahmana
6
7
siang-malam untuk mengabdi kepada
Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat
dosa dan tidak pernah mengerjakan apa
pun atas inisiatif sendiri, selain
menjalankan titah kuasa perintah Allah
SWT semata. Mereka diciptakan Allah
SWT dengan tugas-tugas tertentu.
Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada
Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman
yang enam, di samping iman kepada Allah,
Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah,
Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman
kepada Malaikat menjadi bagian terpenting
dari tauhid (mengesakan Allah) dan
membebaskan
manusia
dari
syirik
(menyekutukan Allah).
Dengan demikian, bagi umat Islam,
Malaikat bukan sosok yang bisa
dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh
ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh
seorang penyair, sekalipun atas nama
kebebasan berekspresi.
Sumber: Faith Freedom International - Forum Indonesia.
20 Aug 2007
Protes DDII ini mendapat perlawanan
juga dalam bentuk protes antara lain dari AJI
(Aliansi Jurnalis Independen) Bandung. Menurut
AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung,
pelarangan terhadap Puisi “Malaikat: adalah
bertentangan dengan konstitusi negara, UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945,
pasal 28 yang menjamin hak warga negara untuk
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang berupaya
memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi,
merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi
negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945.
Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi
keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Aliansi Jurnalis Independen Kota
Bandung, pada tanggal 13 Agustus 2007,
menyatakan pendapatnya bahwa:
1
2
3
Mengecam
segala
tindakan
yang
memasung kemerdekaan berpikir dan
berekspresi.
Mendesak kepolisian untuk bertindak
tegas
terhadap
pihak-pihak
yang
melanggar konstitusi negara (dalam hal ini
pihak yang melakukan intimidasi terhadap
karya sastra).
Mendesak
media
massa
agar
bertanggungjawab
terhadap
segala
kemungkinan yang akan dihadapi yang
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Halaman 49
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
menyangkut penerbitannya. Segala beban
tanggungjawab agar tidak diserahkan
semata-mata terhadap wartawan secara
individu.
Sumber: www.ajiindonesia.org
Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen
Kota Bandung tersebut ditandatangangi oleh
Sekretaris Mulyani Hasan dan Koordinator Divisi
Advokasi Ahmad Yunus.
Dukungan protes juga datang dari 21
komunitas seniman dan elemen masyarakat,
Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra
Tasikmalaya,
Teater
Bolon-Tasikmalaya,
Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut NalarJatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung,
Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi
Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong
Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya,
Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture
Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar
Studi Sastra Cirebon, Komunitas CupumanikBandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung,
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang,
Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya,
Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut.
Mereka juga turut prihatin dan penyesalan
terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya
Saeful Badar. Menurut 21 komunitas seniman dan
elemen masyarakat di atas.
1
2
Hak tiap individu untuk mengungkapkan
diri baik secara lisan maupun secara tertulis
patut dilindungi. Dalam konteks tata
kehidupan di Indonesia, perlindungan akan
hak tersebut telah menjadi kesepakatan
kolektif, bahkan dinyatakan secara tegas
dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami
sangat prihatin dan turut menyesalkan
pemberangusan atas sajak “Malaikat” karya
penyair Saeful Badar. Kami juga sangat
prihatin dan menyesalkan pendiskreditan
nama baik penyair Saeful Badar, yang
disebut-sebut seperti Salman Rusdhie,
sehingga penyair Saeful Badar mengalami
berbagai tekanan.
Kami juga menentang dan menyesalkan
segala bentuk pemutlakan tafsir atas karya
seni dan sastra oleh individu dan golongan
tertentu, serta menentang dan menyesalkan
segala bentuk sikap yang tidak toleran.
Pemutlakan tafsir dan sikap tidak toleran
merupakan bentuk kekerasan simbolis yang
bisa membuka gerbang ke arah berbagai
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 50
❏ Petrampilan S. Brahmana
3
4
kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan
pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan
dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai
menutup peluang bagi terwujudnya
keadilan.
Kami juga menentang dan menyesalkan
sikap dan tindakan yang cenderung
membawa-bawa agama, atau menekankan
pertimbangan bernada keagamaan, sebagai
tameng bagi pemutlakan dan pemaksaan
sikap dan pandangan individu dan
golongan tertentu. Janganlah mempermainmainkan agama demi tujuan-tujuan yang
sempit, picik, dan pendek.
Pada hemat kami, ruang publik sebagai
wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara
dan dikembangkan. Dalam hal ini, kami
menyatakan bahwa media massa, sebagai
salah satu institusi sosial yang mengelola
ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat
menjaga integritasnya sehingga tidak
mudah dipermainkan oleh individu dan
kelompok tertentu yang sikap dan
tindakannya
tidak
sejalan
dengan
pemeliharaan ruang publik.
Sumber:
http://kapasmerah.wordpress.com/2007/08/14/pernyat
aan-bersama-menyikapi-polemik-puisi-malaikat/
Puisi Malaikat tersebut sebenarnya
mendekonstruksi pandangan umum tentang
Malaikat. Pandangan umum tentang Malaikat
seperti yang dikemukakan oleh DDII.
Dalam ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari
sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT
yang mendapat keistimewaan tersendiri.
Mereka merupakan makhluk rohani bersifat
gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk
patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah
SWT. Malaikat menghabiskan waktu siangmalam untuk mengabdi kepada Allah SWT.
Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak
pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif
sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah
Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah
SWT dengan tugas-tugas tertentu.
Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada
Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang
enam, di samping iman kepada Allah, Rasulrasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar
(takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat
menjadi bagian terpenting dari tauhid
(mengesakan Allah) dan membebaskan
manusia dari syirik (menyekutukan Allah).
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Saeful Badar mendekonstruksi
tersebut dengan mengungkapkan:
citra
Mentang-mentang punya sayap
Malaikat begitu nyinyir dan cerewet
Ia berlagak sebagai makhluk baik
Tapi juga galak dan usil
Ia meniup-niupkan wahyu
Dan maut/Ke saban penjuru.
Ungkapan tersebut menimbulkan kesan
mengolok-olok,
atau
mempermain-mainkan
Malaikat.
Saeful Badar memang sah-sah saja
mendekonstruksinya, apalagi baik antara Saeful
Badar dan pihak-pihak yang keberatan terhadap
puisinya di atas, sama-sama tidak punya mandat
dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatakan
Saeful Badar yang salah, atau lawan Saeful Badar
yang benar. Atau sebaliknya Saeful Badar yang
benar, lawan Saeful Badar yang salah.
3.2 Puisi Doa Mohon Kehancuran Agama oleh
Gendhotwukir
Puisi ini dipublikasikan pada situs Rumah Kiri.
Puisi ini berbeda dengan puisi Malaikat“ karya
Saeful Badar. Puisi Gendhotwukir, justru
mendoakan dan memohon agar agama hancur.
Gendhotwukir
Doa Mohon Kehancuran Agama
kepada Allah yang dipuja di label dunia atas
nama agama
diagung-agungkan sebagai pencipta dan
pengatur semesta
aku mohon kehancuran agama
jika atas nama agama tidak ada penghargaan
martabat sesama manusia
jika atas nama agama, ada yang terluka
bahkan mati binasa
terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka
bahkan oleh teriak para pemangku agama
jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi
sia-sia
dan nista hukumnya
jika kedatangan sesama manusia menjadi
berjarak hanya karena beda agama
jika karena pantang-pantang, persaudaraan
menjadi baur mengudara
jika manusia telah menjadi "allah" atas
sesamanya
jikapun dengan cara demikian orang masuk
surga,
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 51
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
❏ Petrampilan S. Brahmana
maka akulah orang yang pertama memilih
masuk neraka
sekali lagi aku mohon kehancuran agama
Jerman, 18.02.06
Sumber:
http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&tas
k=category§ionid=5&id=12&Itemid=271 (30/08/2007)
Bagaimana menyikapi puisi ini? Ada apa
di balik teks puisi Gendhotwukir tersebut? Fakta
atau faktual? Jawabnya keduanya, fakta dan
faktual.
Nurcholis Madjid pada tulisannya di
Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an.
Nomor I, Vol IV, tahun 1993 (Madjid, 1993:7-8)
menulis: “Peta dunia sekarang (1993) sedang
ditandai oleh konflik-konflik dengan warna
keagamaan. Meskipun agama bukanlah satusatunya faktor, namun jelas sekali bahwa
pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik
itu dan dalam eskalasinya sangat banyak
memainkan peranan. Di ujung paling utara, di
Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan
antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di
tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan
Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malumalu disebut bernuansa keagamaan (karena akan
menodai "liberalisme" mereka) dan terbungkus
rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para
pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam.
Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah
Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik
dengan banyak warna keagamaan yaitu di BosniaHerzegivina. Kemudian di Cyprus, betapapun juga
pertentangan antara mereka yang keturunan Turki
dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak
diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflikkonflik di Palestina khususnya Timur Dekat
umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim
dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang
cukup membingungkan, hampir merupakan
anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan
manusia yang paling berpengaruh, dan jelas
anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak
mendirikan negara agama di zaman moderen atas
bantuan negara moderen. Di Afrika Hitam pun
konflik-konflik dengan warna keagamaan juga
tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik
antara Islam yang "Arab" di sebelah Utara dan
Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum
lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham
apartheid, yang juga mengundang keterlibatan
berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negerinegeri Timur Tengah yang lain, juga diramaikan
oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan,
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak
saja konflik antara Irak dan Iran merupakan
konflik antara pemerintah yang berturut-turut
didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi'i,
bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas
menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti
heorisme Q'adisiyyah dari pihak Irak dan jihad
melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak
Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi
terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak
luput terjadi persepsi populer yang aneh di
sementara kalangan bahwa perang itu adalah
perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran
(Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negerinegeri Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita
teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan
yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik
dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis
penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua
sekitarnya juga meriah dengan percekcokan
keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi'ah di
Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan
Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme
lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina
kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang
berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempattempat lain, konflik keagamaan itu jelas selalu
merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak
atau malah tidak akan terbuka”.
Pendapat Nurcholis Madjid ini pernah
ditentang habis-habisan oleh beberapa orang yang
tidak sejalan dengannya. Mereka tidak sependapat
dengan pandangan tersebut. Pertanyaan kita
kemudian, mengapa dalam agama yang diajarkan
begitu
mulia
dapat
berbuat
sebaliknya,
bertentangan
dengan
isi
pengajarannya?
Jawabannya dapat bermacam-macam, bergantung
kepada bingkai (framing) yang digunakan. Bingkai
politik misalnya, di Indonesia sejak Orde Lama,
bahkan sebelum Indonesia terbentuk menjadi
sebuah negara hingga Orde Baru dan Orde
Reformasi, agama dijadikan kudatunggangan oleh
para elit politik untuk meraih kekuasaan duniawi
melalui partai politik, melalui organisasi
keagamaan. Lihat saja Politisasi Agama pada masa
Orde Lama berikut ini.
Aliran
Islam
Kristen
Awal Kemerdekaan
(1908-1955)
Masjumi, NU, PSII,
Perti
Partai Katolik,
Parkindo.
Orde Lama
(1955-1965)
Masjumi, NU, PSII,
Perti, PPTI, AKUI,
PSII Abikusno
Partai Katolik,
Parkindo.
Hasilnya sudah kita ketahui, munculnya
pemberontakan-pemberontakan yang bersenjata,
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
Halaman 52
❏ Petrampilan S. Brahmana
ada yang bersifat keagamaan. Kemudian wacana
memformalkan syariat Islam ke dalam tatanegara
Indonesia, adalah bukti bahwa agama dijadikan
kudatunggangan oleh elit politik, atau kaum ulama
memasuki dunia politik.
Pada masa Orde Baru, politisasi agama
sebagai berikut.
Aliran
Islam
Kristen
Orde
(1965-1973)
NU, PSII, Perti,
Parmusi.
Partai Katolik,
Parkindo.
Baru
(1973-1998)
PPP
-
Pada masa Orde Reformasi, politisasi
agama sebagai berikut:
Aliran
Islam
Kristen
Masa Reformasi (1999-2003)
PPP, PBB, PK, PSII, Masyumi
PDKB, KRISNA
Ini adalah yang bersifat formal, di balik
formal tersebut yang dikatakan bersifat informal,
perilaku politisasi ini bertaburan di balik istilah
koncoisme, kolusi dan nepotisme, banyak
dilakukan atas nama seiman, sesama umat. Bahkan
ada yang berpandangan, orang-orang yang tidak
seagama disebut kafir.
Faktanya tidak ada bukti material yang
meyakinkan manusia bahwa Tuhan Yang Maha
Esa, pernah ada memberikan mandat manusia
(kelompok manusia) manapun di dunia ini untuk
mewakili atau membela kepentingan Tuhan di
muka bumi ini. Tidak ada bukti material
meyakinkan bahwa yang dikategorikan sebagai
kitab suci benar-benar ajaran yang bersumber dari
Tuhan Yang Maha Esa. Semua karena tafsiran.
Mungkin inilah yang hendak dibongkar,
disadarkan oleh Gendhotwukir melalui puisinya
tersebut seperti di bawah ini.
jika atas nama agama tidak ada penghargaan
martabat sesama manusia
jika atas nama agama, ada yang terluka
bahkan mati binasa
terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka
bahkan oleh teriak para pemangku agama
jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi
sia-sia
dan nista hukumnya
jika kedatangan sesama manusia menjadi
berjarak hanya karena beda agama
......
maka akulah orang yang pertama memilih
masuk neraka
sekali lagi aku mohon kehancuran agama
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Masalah sekarang rasionalkah isi doa
tersebut yaitu ingin menghancurkan agama agar
manusia menjadi bermartabat tanpa melalui
agama? Soal rasional tidaknya isi doanya tersebut,
memang dapat diperdebatkan, kehancuran agama
yang dimaksud, kehancuran yang bagaimana?
Kalau menghancurkan semua agama yang ada,
jelaslah tidak mungkin, agama atas nama
kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Budha dan lainnya tidak akan pernah dapat hancur,
dalam renungan agama sudah berada, bukan
mengada, artinya agama sudah benar-benar hadir
di dunia ini, didukung oleh jutaan manusia, agama
bukan lagi sebagai wacana-wacana. Berjuta-juta
manusia telah merasakan peranan agama dalam
hidup dan kehidupan mereka. Mereka yang
demikian tidak akan bakalan mau menghancurkan
agama mereka.
Bahasa yang ada untuk eksistensi agama
ini adalah pengikut atau umat beragama dapat
mengalami masa surut seperti air laut yang ada
pasang surutnya. Ketika masa surut umatnya
berkurang, ketika masa pasang umatnya banyak.
Justru di masa depan dengan hancurnya ikatan
kekerabatan
(hubungan
darah),
karena
berkembangnya paham pragmatisme dalam
berkerabat, atau karena jauhnya kerabat dari
tempat tinggal seseorang, acara suka dan duka
yang dialami yang selama ini ditangani oleh kaum
kerabat, akan diambil alih oleh kerabat baru yang
bernama seagama. Merekalah yang mengisi
kekosongan peran kerabat sedarah tersebut,
terutama di kota-kota besar khususnya di
Indonesia. Hancurnya kekerabatan ini bukan
seratus persen karena faktor agama, tetapi karena
faktor pragmatisme dalam berkerabat, sehingga
kelompok tetangga yang seagama yang akhirnya
dianggap sebagai kerabat terdekat yang dapat
menggantikan peran dan fungsi kerabat sedarah
tersebut.
Kalaupun hancur agama atas nama
kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu,
Budha dan lainnya, kehancurannya akan diisi oleh
kelompok „agama“ baru. Kelompok „agama“ baru
ini, akan mengambil sisi-sisi positif dari agama
atas nama kelompok tersebut. Bibit ini saat ini
berkembang, tetapi belum pesat yaitu aliran
teosofi. Aliran teosofi ini, mengkaji, mempelajari
Tuhan bersifat lintas agama. Saat ini kelompok
teosofi ini, hanya sebatas mengkaji Tuhan lintas
agama, belum mengambil alih peran kerabat dalam
suka dan duka. Bila kelompok teosofi ini, akhirnya
mengambil alih peran suka dan duka, maka
kemungkinannya dapat berkembang mengalahkan
agama kelompok tersebut.
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
❏ Petrampilan S. Brahmana
Halaman 53
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan
dalam Sastra Indonesia
Jadi, puisi Gendhotwukir dengan judul
Doa Mohon Kehancuran Agama tidak akan
terbukti. Hancur agama kelompok seperti Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya,
akan melahirkan kelompok agama baru dengan
nama yang berbeda dengan ajarannya diambil
(sintesa) dari hal-hal yang dianggap positif dari
agama kelompok tersebut.
Namun, misi puisi Gendhotwukir tersebut
di atas jelas. Kekecewan Gendhotwukir karena dia
menganggap atas nama agama saat ini tidak ada
penghargaan kepada martabat sesama manusia,
atas nama agama, banyak yang terluka, mati,
bahkan jika bersalaman saja bagi yang berbeda
agama dihindari, yang ada saat ini adalah manusia
telah menjadi "Allah" atas sesamanya. Kalau tesis
ini benar, maka itu “ngawur“ namanya, manusia
sudah ngawur demi kepentingan dirinya,
kelompoknya, bukan kepentingan manusia secara
universal.
mendekonstruksi
pandangan
keagamaan
masyarakat Indonesia baru pada era reformasi ini
muncul kembali. Pendekonstruksian ini perlu agar
masyarakat tidak mudah diakal-akali oleh mereka
yang mengaku-ngaku mewakili Tuhan di dunia ini,
sementara Tuhan sendiri tidak pernah memberikan
mandat kepada mereka. Tuhan perlu uang katanya,
akal sehat kita membisikan, Tuhan tidak perlu
uang, yang perlu uang itu manusia. Gelar Ustad,
Pendeta, Biksu, ulama dan lainnya, hanyalah gelar
hasil buatan manusia, bukan pemberian dari Tuhan
si Penguasa Alam.
Puisi Malaikat karya Saeful Badar dan
puisi Doa Mohon Kehancuran Agama karya
Gendhotwukir,
sudah
memulai
mencoba
menghindarkan bangsa ini pecah karena politisasi
agama. Maka dapat dipahami kedua puisi ini
sebenarnya
secara
tidak
langsung
juga
mendekonstruksi, konstruksi keagamaan yang
dibuat oleh para “politisi“.
4. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dibandingkan dengan puisi Malaikat di atas, puisi
Gendhotwukir ini jauh lebih kuat kesan
tendensnya walaupun keduanya bermain-main di
wilayah agama. Puisi Malaikat mendekonstruksi,
membongkar pandangan masyarakat perihal
“Malaikat“, sehingga memberi kesan puisi
Malaikat seperti melecehkan “Malaikat“ salah satu
simbol yang dihormati baik dalam agama Islam
maupun Kristen, puisi Doa Mohon Kehancuran
Agama justru ingin „menghancurkan“ agama.
Menghancurkan sama dengan menaklukkan atau
membinasakan ini tidak rasional. Kedua puisi
tersebut mendekonstruksi pandangan keagamaan
yang ada di dalam masyarakat Indonesia
khususnya.
Dilihat dari segi jarak waktu mulai era
Hamzah Fansuri ((1550-1600) dan Gatoloco,
karya-karya sastra Indonesia yang berani
LOGAT
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan
Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk
Generasi Mendatang”. Dalam Jurnal Ilmu
dan Kebudayaan Ummul Qur'an. Vol. IV, 1.
Prawirataruna.
1990.
Falsafah
Semarang: Dahara Prize.
Gatoloco.
Sukahar, Joko Su’ud. 1999. Tafsir Gatolotjo.
Surabaya: Wuwung.
Sukahar, Joko Su’ud. 2007. Tafsir Gatolotjo.
Jakarta: Agromedia Pustaka.
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
TENTANG PENULIS
1.
Isma Tantawi
Isma Tantawi lahir pada tanggal 7 Februari 1960 di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten
Gayo Lues). Beliau adalah staf pengajar tetap di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
mengasuh mata kuliah Sastra Bandingan, Estetika, dan Sastra Malaysia Modern serta mengajar di
beberapa perguruan tinggi swasta di Sumatera Utara dan sebagai dosen tamu di Kolej Sentral Kuala
Limpur, Malaysia. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara (FS USU) tahun 1986 dan pendidikan master (S-2) di Pusat Pengajian Ilmu
Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (PPIK USM) tahun 2006 dengan bidang kajian tradisi lisan
nusantara. Di samping itu juga beliau aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik
sebagai peserta maupun pemakalah.
2.
Nurhayati Harahap
Nurhayati Harahap lahir di Padang Sidempuan, 19 April 1962. Beliau adalah staf pengajar tetap
Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang kesusateraan. Menyelesaikan
pendidikan Sarjana (S-1) pada program studi dan fakultas yang sama tahun 1985 dan pendidikan
lanjutan (S-2) di Unpad Bandung pada tahun 1997. Beliau juga aktif meneliti khususnya sastra etnik
Angkola Mandailing.
3.
Haris Sutan Lubis
Haris Sutan Lubis lahir di Padang Sidempuan 7 September 1959. Beliau adalah staf pengajar di
Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra sejak tahun 1986. Beliau menyelesaikan S-1 bidang studi
Sastra Indonesia di fakultas yang sama pada tahun 1985. Pada tahun 2006 beliau menyelesaikan
pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dengan judul tesis “Perencanaan pengembangan Ekowisata berbasis Masyarakat. Saat ini beliau
mengasuh mata kuliah Telaah Drama di Departemen Sastra Indonesia, Mata kuliah Ekowisata dan
Kepemimpinan Kepariwisataan di Program Studi Pariwisata
4.
Yundi Fitrah
Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru, 25 Desember 1959. Beliau adalah staf pengajar pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Menyelesaikan pendidikan S-1 di
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara pada tahun 1985 dan telah menyelesaikan Program
Magister Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan
Program Doktor dalam Persuratan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat: Jln.
Kemajuan No.42. Mendalo Darat 36361 Tel. 0741– 580008 Hp. 08127811770 Jambi.
5.
Ikhwanuddin Nasution
Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar
di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada
fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya,
Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana pada tahun 2007. Beliau
aktif menulis di berbagai jurnal.
6.
Haron Daud
Haron Daud dilahirkan pada 20 Februari 1952 di Kampung Pulau Pisang, Kota Bharu, Kelantan,
Malaysia. Pada tahun 1996 beliau meraih gelar Doktor Falsafah dari Universiti Malaya dan meraih
Profesor pada tahun 2006 di Universiti Sains Malaysia. Beliau menjadi dosen di Pusat Pengajian
Ilmu kemanusiaan USM sampai tahun 2007. Pada awal tahun 2008 beliau pindah dan menjadi dosen
di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.
7.
Pertampilan S. Brahmana
Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas
Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Magister (S-2) di Program Pascasarjana Universitas
Udayana dalam bidang Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.
Universitas Sumatera Utara