Batasan Dialek Bahasa DEPARTEMEN SASTRA

1

Batasan Dialek Bahasa
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dialektologi

Disusun oleh:
Gigih Wasis Saryono NIM

121211131003

Dosen Pengampu:
Moch. Jalal, S.S., M.Hum.

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2015

2


BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dialektologi berasal dari kata dialect dan kata logi. Kata dialect berasal dari

bahasa Yunani dialektos. Kata dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa
di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka
gunakana. Adapun kata logi berasal dari bahasa Yunani logos yang berarti ‘ilmu’.
Gabungan dari kedua kata ini beserta artinya membawa pengertian dialektologi sebagai
ilmu yang mempelajari suatu dialek saja dari suatu bahasa dan dapat pula mempelajari
dialek-dialek yang ada dalam suatu bahasa. Berdasarkan kelompok pemakaiannya, dialek
dapat dibagi atas tiga jenis, yakni: (1) dialek regional, yaitu variasi bahasa berdasarkan
perbedaan lokal (tempat) dalam suatu wilayah bahasa: (2) dialek sosial, yaitu variasi
bahasa yang digunakan oleh golongan oleh golongan tertentu; dan (3) dialek temporal,
yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok bahasawan yang hidup pada waktu
tertentu. Pendapat yang lazim tentang dialek sebagaimana dikemukakan dengan
pemahaman yang dianut dalam rangkaian pembicaraan dialektologi, menurut pandangan
dialektologi, semua dialek dari suatu bahasa yang digunakan oleh kelompok bahasawan

yang hidup pada waktu tertentu.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak suku dan beragam bahasa
daerah. Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang paling banyak penuturnya di
Indonesia. Menurut Soedjarwo dkk. (1987:1), jumlah penutur bahasa Jawa di Indonesi
sekitar 50% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh
penuturnya untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasikan diri. Selain itu,
bahasa Jawa juga memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang
identitas daerah, dan alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Secara
umum, dalam bahasa Jawa dikenal tingkatan atau undhak-usuk bahasa yang menjadi
bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa berbahasa.
Misalnya saja pada bangsa Indonesia yang telah disebut-sebut menjadi bangsa
beribu etnik, yang melahirkan berbagai macam variasi dan keberagaman karena

3

perbedaan karakter pada masing-masing entik perihal penggunaan bahasa. bervariasinya
bahasa dapat dilihat dan dijelaskan pada tataran internal bahasa itu sendiri seperti pada
fonologi, fonetis, morfologi, maupun sintaksisnya.
Dialektologi merupakan ilmu yang mengkaji perbedaan unsur-unsur kebahasaan
yang berkaitan dengan faktor geografis, yang salah satu aspek kajiannya adalah pemetaan

perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan dalam
penelitian (Mahsun, 1995:20).
Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang
mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa
Jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa
(Herusatoto, 1987: 10). Di Jawa Timur berkembang masyarakat Madura, arek, Jawa
Pesisir, Jawa Mataram, dan lain-lain.
Dialektologi merupakan bidang keilmuan yang menjadikan dialek bahasa sebagai
objek penelitiannya. Kata dialek bahasa berasal dari bahasa Yunani dialektos. Kata
dialektos digunakan untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang
memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang mereka gunakan.
Menurut Chaer (2004:63) “Dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur
yang jumlahnya relatif, yang berbeda pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu”.
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi antarindividu maupun antarkelompok
yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Hal-hal yang menyangkut bahasa
akan dipelajari dalam ilmu linguistik menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Ilmu
linguistik tidak hanya membahas bahasa dalam lingkup internal saja, melainkan juga
dalam lingkup eksternal bahasa itu sendiri. Salah satunya yaitu dialektologi.
Jadi perbedaan dialek antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok
masyarakat lain dapat dibedakan berdasarkan tataran internal bahasa walaupun antara

kelompok satu dengan yang lain menggunakan satu bahasa yang sama mereka tetap
memiliki karakteristik tersendiri dalam penggunaan bahasa. Hal tersebut dapat dikatakan
sebagai dialek bahasa.

4

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis telah merumuskan beberapa masalah

diantaranya sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

1.3

Apa yang dimaksud dengan dialektologi?

Bagaimana batasan dialek dan bahasa?
Bagaimanakah pembeda dialek dan bahasa ?
Apa sajakah ragam dialek bahasa?

Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulis memiliki beberapa tujuan dan manfaat

penulisan makalah diantaranya sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Mendeskripsikan definisi dari dialektologi.
Mendeskripsikan batasan dialek dan bahasa.
Mendeskripsikan pembeda dialek dan bahasa.
Mendeskripsikan ragam dialek bahasa.

BAB II


5

PEMBAHASAN
2.1

Definisi Dialektologi
Dialek atau dialect berasal dari bahasa Yunani, yakni dialektos. Kata dialektos digunakan

untuk menunjuk pada keadaan bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan
kecil dalam bahasa di Yunani yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa
yang mereka gunakan Dialek adalah variasi bahasa dari sekelempok penutur yang jumlahnya
relatif, yang berbeda dari satu tempat wilayah atau area tertentu (menurut Abdul Chaer). Dialek
dibedakan berdasarkan kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan. Jika pembedaannya hanya
berdasarkan pengucapan, maka disebut aksen. dapat disimpulkan bahwa dialek adalah variasi
bahasa dari sekelompok penutur yang berbeda dengan kelompok penutur lain berdasarkan atas
letak geografi, faktor sosial, dan lain-lain.
Jenis-jenis dialek meliputi dialek regional dialek yang cirinya dibatasi oleh tempat,
misalnya dialek Jawa Mataram dengan Jawa Pesisir memiliki ciri dialek sosial yakni bentuk
dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu dan dua contoh dialek yang ada di atas
tersebut memiliki karakteristik yakni :

-

Karakteristik Dialek Jawa Pesisir dan Dialek Jawa Mataraman
Masyarakat

Jawa

Pesisir

pada

umumnya

merupakan

gabungan

karakteristik antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Masyarakat pesisir
merupakan masyarakat yang hidup di dekat pantai. Sumber mata pencaharian
mereka sebagaian besar menggantungkan hidupnya pada pemanfaatan potensi

perikanan dan laut yang terdapat di sekitarnya, seperti menangkap ikan,
pengumpulan atau budidaya rumput laut, dan sebagainya. Masyarakat pesisir
mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas dan unik dalam setiap
tradisi yang dimilikinya atau yang diyakininya sebagai salah satu warisan leluhur
yang harus dijaga dan dilestarikan. Ciri masyarakat Jawa Pesisir, mereka lebih
egaliter, terbuka, dan lugas (Thohir 2006: 272). Bahasa yang digunakan pada
dialek Pesisir menggunakan bahasa Jawa dan umumnya menggunakan bahasa
Jawa yang kasar.

6

Masyarakat Jawa Mataraman merupakan salah satu bagian dari Islam
Jawa yang dikenal dengan sebutan Mataraman. Secara kultural Mataraman adalah
identifikasi terhadap masyarakat Jawa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Mataram Islam. Dialek Surakarta (Jawa Tengah) merupakan dialek bahasa Jawa
yang dituturkan oleh masyarakat di wilayah Mataraman yaitu Solo atau Surakarta
dan perbatasan Provinsi Jawa Tengah hingga beberapa wilayah Jawa Timur.
Dinamalan “Mataraman” karena masih mendapat pengaruh sangat kuat dari
budaya Kerajaan Mataraman. Kebudayaan, adat-istiadat, dan pola kebahasaan
Suku Jawa di Jawa Timur bagian barat menerima banyak pengaruh dari Jawa

Tengah, sehingga kawasan tersebut dikenal sebagai Mataraman yang berarti
bahwa kawasan tersebut dahulu merupakan daerah kekuasaan Kesultanan
Mataraman Karakteristik umum pada dialek Surakarta atau dialek Mataraman
adalah lebih sering menggunakan partikel cah sebagai ciri khasnya. Partikel ini
berasal dari kata bocah (anak) yang menggantikan kata arek dialek Surabaya
(Sutarto dan Sudikan, 2008: 54).

Pada dasarnya dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik
yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara
utuh (bandingkan dengan Kridalaksana, 1984: 39). Dialektologi sebagai salah satu cabang
linguistik memiliki andil dalam mengembangkan ilmu tersebut. Dalam hal ini, hasil kajiannya
dapat menampilkan gejala variasi bahasa, yakni variasi yang terdapat di wilayah tertentu ataupun
yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu. Menurut Grijns (1991: 54) salah satu jasa
dialektologi yang telah nyata adalah bahwa sudah sejak dini dan dengan sangat umum berhasi
menunjukkan kekompleksan distribusi areal ciri-ciri linguistik dalam bahasa-bahasa manusia.
Dalam pengertian umum, sesuai dengan ruang lingkup objek yang dikaji pada awal-awal
pertumbuhannya, dialektologi adalah kajian tentang dialek atau dialek-dialek (Chambers dan
Trudgill, 1980: 3, Francis, 1983: 1; Walters, 1989: 119, Pei, 1996: 68). Dialektologi berkaitan
dengan aspek regional dan sosial bahasa (Shuy, 1967: 3). Walaupun kajian ini baru benar-benar
memperoleh perhatian dari para ahli bahasa menjelang akhir abad ke-19, lama sebelumnya telah

banyak dilakukan penulisan tentang hal-hal yang bertalian dengan masalah ini (Ayatrohaedi,
1983:14). Penelitian yang dilakukan oleh Gustav Wenker pada tahun 1867 di Jerman dan Jules

7

Louis Gillieron pada tahun1880 di Swis membuka babak baru dalam penelitian dialektologi ini.
Sesuai dengan perkembangan objek dan metode kajiannya, Chambers dan Trudgill (1980: 206)
menganggap dalam dialektologi kini (dialektologi modern) tidak hanya dibahas masalah geografi
dialek, tetapi dibahasa pula masalah dialek perkotaan dan geografi kependudukan. Oleh karena
itu, Chambers dan Trudgill mengusulkan istilah geolinguistik untuk kajian yang mencakup
masalah itu akibat berbagai konotasi yang dikandung istilah dialektologi tersebut.

2.2

Batasan Dialek dan Bahasa
Dialek sering didefinisikan sebagai seperangkat bentuk ujaran lokal yang berbeda, yang

mempunyai ciri-ciri umum dan mirip satu sama lain dan termasuk bahasa yang sama. Sementara
itu, Ayatrohaedi (1983: 1) lebih memilih rumusan yang dibuat oleh panitia Atlas Eropa yang
mengatakan bahwa dialek adalah sistem kebaahasaan yang digunakan oleh satu masyarakat

untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga dengan menggunakan sistem yang
berlainan walaupun erat hubungannya. Dialek dianggap ragam dari bahasa bahasa yang dianggap
standar. Dialek juga sering dianggap berkedudukan lebih rendah dari bahasa yang dianggap
standar tersebut.
Prinsip dasar pemahaman timbale balik adalah jarak spasial berbanding lurus dengan
tingkat pemahaman. Dengan kata lain, semakin dekat suatu daerah pakai isolek maka semakin
besar pemahaman timbal baliknya demikian pula sebaliknya. Maksudnya jika penutur dari dua
wilayah yang secara geografi berdekatan menggunakan isoleknya masing-masing maka akan
terdapat pemahaman timbale balik satu sama lain. Menurut Mahsun, (2005: 147-149) isolek itu
merupakan dialek/subdialek dari bahasa yang sama.
Semua penutur adalah penutur yang paling tidak menguasai satu dialek. Dialek dapat
dianggap sebagai sub bagian dari suatu bahasa tertentu. Bahasa adalah kumpulan dialek-dialek
yang bersifat mutual intelligible (dapat dipahami oleh para penutur masing-masing dialek). Salah
satu alternatif alat bantu pemilah bahasa atau dialek adalah mutual intelligible atau pemahaman
timbale balik. Istilah mutual intelligible ini pertama sekali dikemukakan Vogellin dan Harris,
(1995) untuk mendukung pendapat Guiraud. Menurut Guiraud (dalam Mahsun, 1995:112) pada

8

dua bahasa atau dialek yang bertetangga akan terjadi proses peminjaman unsur-unsur kosakata,
struktur, dan cara pelafalan.
Istilah mutual intelligible yang melekat pada definisi dialek juga belum sepenuhnya dapat
menarik garis yang tegas untuk membedakan antara bahasa dan dialek. Kasus yang terkenal
adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Skandinavia di Eropa. Tuturan yang
digunakan oleh masyarakat di Norwegia, Swedia, dan Denmark adalah bahasa yang berdiri
sendiri sebagai bahasa standar di masing-masing daerah tersebut. Namun, masyarakat di ketiga
daerah tersebut (terutama yang berpendidikan) dapat berkomunikasi satu sama lain dengan
menggunakan bahasa mereka masing-masing.
Hal tersebut membuktikan bahawa ada sifat mutual intelligible dari ketiga bahasa itu, dan
kalau bepegang pada definisi yang mengatakan bahwa suatu bahasa adalah kumpulan dialek
dialek yang bersifat mutual intelligible, maka ketiga bahasa yang digunakan oleh masyarakat
Norwegia, Swedia, dan Denmark seharusnya disebut dialek-dialek. Namun, faktanya tuturan
yang dipakai oleh masyarakat di ketiga negara yang disebutkan di atas adalah bahasa masingmasing negara atau daerah tersebut, walaupun masih bersifat mutual intelligible.
Selain itu, istilah mutual intelligible juga dapat diartikan sebagai ‘kesalingmengertian’
antara dua dialek yang berbeda meskipun dalam satu bahasa yang sama. Misalnya antara dialek
bahasa Jawa Mataraman dengan dialek bahasa Jawa Pesisir. Kata /ngelawat/ yang artinya datang
ke tempat orang yang meninggal dalam dialek bahasa Jawa Mataraman yang berbeda
dengan /nyelawat/ yang artinya datang ke tempat orang yang meninggal dalam dialek bahasa
Jawa Pesisir. Dalam dialek bahasa Jawa Mataraman untuk mengatakan –nye dengan
menggunakan –nge. Kedua kata tersebut meskipun berbeda morfem tetapi pada dasarnya dalam
satu bahasa yang sama yaitu bahasa Jawa. Contoh yang lain, adanya perbedaan fonem dalam dua
dialek bahasa Jawa Mataraman dan dialek bahasa Jawa Pesisir, kata /gendheng/ dalam dialek
bahasa Jawa Mataraman dengan /gentheng/ dalam dialek bahasa Jawa Pesisir yang arti keduanya
sama yaitu ‘genting’. Dengan demikian, dialek-dialek ini merupakan perbedaan bentuk-bentuk
satu bahasa yang mejadi ciri dari daerah-daerah atau kelas-kelas sosial tertentu dan yang masih
cukup besar persamaan-persamaannya, sehingga orang masih dapat saling memahami. Dari
fakta-fakta di atas, kita mengetahui bahwa penentuan bahasa dan dialek lebih bersifat politis dan
kultural (Trudgil, 1974: 16).

9

Penentuan dialek dapat juga dilihat dari latar belakang sosial. Dialek yang ditentukan
berdasarkan latar belakang sosial disebut dialek sosial. Konsep dari dialek sosial ini dapat
digunakan dalam menganalisis penyebaran bahasa lokal di Indonesia. Menyebarnya bahasa lokal
ke daerah lain di Indonesia yang dapat menyebabkan bertemunya dua dialek yang berbeda dari
masyarakat. Perpaduan dialek dalam penyebaran bahasa lokal akan membawa perubahan
kebudayaan dalam aktivitas sehari-harinya. Karakteristik pembawaan dari kelompok pendatang
akan benar-benar terlihat dalam melakukan komunikasi dengan penduduk aslinya. Dengan
demikian, penyebaran bahasa lokal ini mungkin dapat dipelajari dari kultur dialek sosial yang
terjadi di masyarakat. Penyamaan presepsi makna bahasa dan juga penentuan batas-batas dialek
dalam komunikasi menjadi kunci dalam menyelesaikan perbedaan dialek. Selain itu, dari
perbedaan linguistik itu pula dapat mencerminkan kebudayaan. Namun yang terpenting ialah
harus mampu mengikuti makna yang dibicarakan.

2.3

Ragam Dialek Bahasa
Ragam dialek bahasa dapat dikatakan sebagai variasi atau ragam bahasa. Bahasa itu

menjadi beragam dan bervariasi karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat
beragam. Ragam dialek bahasa berhubungan dengan tempat penutur yang tinggal di suatu daerah
tertentu. Ragam dialek bahasa dibagi atas dua segi, yaitu variasi bahasa dari segi penutur dan
pemakaiannya. Sebagaimana dijelaskan berikut ini.
1. Variasi Bahasa dari Segi Penutur
Variasi bahasa yang pertama dari segi penuturnya adalah idiolek yaitu variasi
bahasa ini bersifat perorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai
variasi bahasa yang berbeda-beda. Variasi idiolek berkenaan dengan “warna” suara,
gaya bahasa, pemakaian kata, struktur kalimat. Jika seseorang sudah akrab, maka
dapat mengenali suaranya tanpa harus melihat siapa orang berbicara tersebut. Dengan
kata lain, sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki
ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.

10

Variasi bahasa yang kedua adalah penutur adalah dialek, artinya bahwa variasi
bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, berada pada suatu areal atau
wilayah tertentu. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai
idiolek yang berbeda-beda, tetapi mereka mempunyai kesamaan ciri bahwa mereka
berada pada satu dialek. Misalnya, dialek bahasa Jawa Mataraman memiliki ciri
tersendiri yang berbeda dengan dialek bahasa Jawa Pesisir. Setiap dialek tersebut
masih merupakan bahasa yang sama, yaitu bahasa Jawa.
Variasi bahasa yang ketiga dari penutur adalah kronolek atau dialek temporal,
artinya bahwa variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa-masa
tertentu. Misalnya, variasi bahasa Indonesia pada zaman tahun dua puluhan tentu
berbeda dengan variasi bahasa Indonesia pada masa kini. Adapun perubahan bahasa
pada masa-masa yang dulu dengan masa kini, baik perbedaan dari segi lafal, ejaan,
morfologi, maupun sintaksis, dan segi leksikon.
Variasi bahasa yang keempat dari penutur adalah sosiolek atau dialek sosial,
artinya bahwa variasi bahasa yang berkenaan dengan status sosial, golongan, dan
kelas sosial para penuturnya. Variasi bahasa ini menyangkut masalah pribadi para
penuturnya, seperti usia, pekerjaan, jenis kelamin, pendidikan, keadaan sosial dan
ekonomi, dan lain sebagainya.
Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu
sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang
digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari satu bahasa. Oleh karena
itu, dikenalkan bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa
Melayu dialek Medan.
2. Variasi Bahasa dari Segi Pemakaiannya
Variasi bahasa yang berkaitan dengan pengguanaannya, pemakaiannya, ataupun
fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi bahasa biasanya membahas
mengenai bidang penggunaan, gaya atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.
Variasi bahasa dari segi pemakaian ini menyangkut bahasa yang digunakan untuk bidang

11

atau keperluan apa. Dengan pengertian lain, variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan
ini paling tampak cirinya, khususnya yaitu dalam kosakata.
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Chaer dan
Agustina, 2004: 70) dalam bukunya The Five Clock yang membagi variasi bahasa
dari segi keformalannya menjadi lima macam gaya, yaitu gaya atau ragam beku
(frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsukatif),
gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate).
Ragam beku merupakan ragam yang paling formal, biasanya digunakan
dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi. Disebut dengan ragam
beku karena mempunyai pola dan kaidah yang tetap dan tidak boleh diubah.
Ragam resmi merupakan variasi bahasa yang digunakan pada pidato
kenegaraan, ceramah, surat-menyurat dinas, dan lain sebagainya. Sama halnya
dengan pola dan kaidah pada ragam beku, ragam resmi juga mempunyai pola dan
kaidah yang telah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.
Ragam usaha merupakan variasi bahasa yang lazimnya digunakan dalam
pembicaraan biasa di sekolah, rapat, atau pembicaraan yang berorientasi kepada
hasil. Wujud dari ragam usaha ini berada di antara ragam formal dan informal.
Dengan demikian, ragam usaha adalah ragam bahasa yang paling operasional.
Ragam santai merupakan variasi bahasa yang digunakan pada situasi tidak
resmi, misalnya berbicara dengan keluarga atau antarteman, pada saat istirahat,
dan sebagainya.
Ragam bahasa akrab merupakan variasi bahasa yang biasa digunakan oleh
penutur yang sudah akrab. Sama halnya dengan ragam santai, ragam bahasa akrab
ini dapat digunakan saat berbicara dengan keluarga, antarteman. Ragam ini
ditandai dengan penggunaan bahasa yang pendek, tidak lengkap, dan artikulasi
yang tidak begitu jelas. Hal ini disebabkan karena antara partisipan mempunyai
pengetahuan yang sama.

2.4

Pembeda Dialek Bahasa
Dialek tidak dapat ditentukan secara pasti kecuali ditetapkan berdasarkan sistem

fonetis-fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikon. Setiap daerah pasti memiliki dialek
masing-masing dan antara dialek yang satu dengan dialek yang lain tentu ada pembeda

12

yang menjadi kekhasan pada tiap daerah. Kekhasan pada dialek tersebut bersifat lingual.
Dialek merupakan bagian dari logat dalam artian dialek adalah gaya bahasa, cara
pengucapan, dan maknanya sedikit berbeda dengan lainnya. Pembeda dialek dibedakan
menjadi lima macam, yakni sebahgai berikut:
1. Perbedaan Fonetik
Perbedaan fonetik, yaitu perbedaan pada bidang fonologi. Fonetik
membahas bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucapan manusia,
serta bagaimana bunyi itu dihasilkan umumnya penutur dialek tidak
menyadari adanya perbedaan tersebut. Pembeda fonetik ini hanya
perbedaan bunyi tidak merubah makna pada kata yang diucapkan.
Contoh: pada vokal
 Rungsek [Ruŋsək] lecek tidak beraturan dialek bahasa Jawa


Mataraman
Ringsek [Riŋsək] lecek tidak beraturan dialek bahasa Jawa
Pesisir

Contoh: pada konsonan

2



Gendheng [g ә n d h ɛ ŋ] genting dialek bahasa Jawa



Mataraman
Gentheng [g ә n t h ɛ ŋ] genting dialek bahasa Jawa Pesisir

Perbedaan Semantik
Terjadinya kata-kata baru berdasarkan perubahan fonologis atau
geseran (sinomimi dan hononimi) bentuk dan bentuk kata yang berbeda.
Perbedaan semantuk mencakup dua hal yakni sebagai berikut:
a. Sinonimi ialah nama lain untuk benda atau hal yang sama bentuk
geseran bertalian dengan corak yaitu pemberian pelambang/nama
(signifant) yang berbeda untuk lambang (signifie) yang sama di
beberapa tempat yang berbeda, atau suatu istilah yang mengandung
pengertian telaah, keadaan, nama lain. Contoh: bertmu, berjumpa,
bertatap muka, berpapasan dan lain-lain. Sinonimi tidak mutlak
memiliki arti yang sama tetapi mirip. Hal-hal yang dapat menyebabkan

13

terjadinya sinonimi adalah penyerapan kata-kata asing, kata-kata
daerah, makna emotive dan evaluative. kata bersinonimi tidak dapat
bertukar tempat karena beberapa faktor.
Contoh: sinonimi (makna sama)
 Mester [ m ә s t ɛ r ] ‘lantai’ dialek bahasa Jawa Mataraman
 Plester [ p l ә s t ɛ r ] ‘lantai’ dialek bahasa Jawa Pesisir
b. Homonimi adalah kata-kata yang sama bunyi dan bentuknya tetapi
mengandung makna dan pengertian yang berbeda. Faktor yang
menyebabkan homonimi adalah kata-kata yang berhomonimi berasal
dari bahasa atau dialek yang berlainan, kata-kata terjadi sebagaimana
hasil morfologis.
Contoh: homonimi
 Nilik i [ n i l i Ɂ i] ‘mencicipi makanan’ dialek bahasa Jawa


Mataraman
Nilik i [ n i l i Ɂ i] ‘menjenguk bayi yang baru lahir’ dialek
bahasa Jawa Pesisir

3. Perbedaan Onomasiologi
Merujuk pada nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di
beberapa tempat yang berbeda. Tahap jarang misalnya, di beberapa daerah bahasa
Sunda tertentu biasanya disebut sakali atau sakali-sakali. Dapat disebabkan oleh
adanya pertanyaan dan tanggapan menanggapi atau tafsiran yang berbeda
mengenai tahap menunggu dalam kurun waktu serta sakali-sakali merupakan kata
yang menunjukkan suatu wujud jarang kelihatan atau ingin mencoba walaupun
hanya sekali saja tidak lebih maupun kurang. berdasarakan suatu konsep yang
diberikan di beberapa tempat yang berbeda. Menghadiri kenduri misalnya, di
beberapa daerah bahasa Sunda tertentu biasanya disebut ondangan, kondangan,
atau kondangan. Ini jelas disebabkan oleh adanya tanggapan atau tafsiran yang
berbeda mengenai kehadiran di tempat kenduri itu kondangan, ondangan dan
kondangan didasarkan kepada tanggapan bahwa kehadiran di situ karena
diundang, sedangkan sambung didasarkan kepada tafsiran bahwa kehadiran di situ
disebabkan oleh keinginan menyumbang barang sedikit kepada yang punya
kenduri.

14

4. Perbedaan Morfologis
Merujuk pada sistem tata bahasa yang bersangkutan. Yakni perbedaan dalam
betukan kata. Hal tersebut disebabkan oleh frekuensi morfem-morfem yang
berbeda oleh kegunaannya yang berkerabat, wujud fonetisnya, bersama dan
sejumlah faktor lainnya. Misalnya Bareng (Bersama) dan Bebarengan (Bersamasama). kata Bareng maknanya ingin mengajak bersama atau untuk ikut bersama
untuk bekerja sama dan bebarengan (Bersama-sama) maknanya ingin melakukan
bersama-sama dengan banyak orang dan secara jamak keseluruhan dalam
keinginan untuk bekerja serentak bersama-sama.
5. Perbedaan Semasiologis
Merujuk kepada pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang
berbeda. Frase-frase seperti rambutan Aceh, pencak cikalong, dan orang yang
berhalauan kiri, tidak jarang diucapkan hanya Aceh. cikalong dan kiri saja. ucapan
ini sudah dalam kaitan tertentu. Dengan demikian kata Aceh mengandung
sedikitnya lima makna yaitu nama suku bangsa, nama daerah, nama kebudayaan,
nama bahasa, dan nama sejenis rambutan.

BAB III
SIMPULAN
Dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang berbeda dengan kelompok
penutur lain berdasarkan atas letak geografi, faktor, sosial, dan lain-lain. Semua penutur adalah
penutur yang paling tidak menguasai satu dialek. Bahasa adalah kumpulan dialek-dialek yang
bersifat mutual intelligible (dapat dipahami oleh para penutur masing-masing dialek). Salah satu
alternative alat bantu pemilah bahasa atau dialek adalah mutual intelligible atau pemahaman
timbale balik. Penentuan dialek dapat juga dilihat dari latar belakang sosial. Dialek yang
ditentukan berdasarkan latar belakang sosial disebut dialek sosial.

15

Ragam dialek bahasa berhubungan dengan tempat penutur yang tinggal di suatu daerah
tertentu. Ragam dialek bahasa dibagi atas dua segi, yakni variasi dari segi penutur dan dari segi
pemakaiannya. Dari segi penutur, variasi bahasa terdiri atas idiolek, dialek, kronolek, dan
sosiolek. Sedangkan, dari segi pemakaiannya terdiri atas ragam beku, resmi, usaha, santai, dan
akrab.
Pembeda fisik dibedakan menjadi lima macam, di antaranya (1) Perbedaan Fonetik: yaitu
pada bidang fonologi atau ilmu bunyi; (2) Perbedaan Semantik: Terjadinya kata-kata baru
berdasarkan perubahan fonologis atau geseran (sinonimi dan hononimi); (3) Perbedaan
Onomasiologis: Merujuk pada nama yang berbeda; dan (4) Perbedaan semasiologis: Merujuk
kepada pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Perbedaan morfologis:
Merujuk pada sistem tata bahasa yang bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 2003. Pedoman Praktis Penelitian Dialektologi. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme dalam Budaya Jawa Yogyakarta: Hanindita.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2012 Edisi Ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sutarto, Ayu dan Setya Yuwana Sudikan. 2008. Pemetaan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur:
Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif. Jember: Biro Mental Propinsi dan Kompyawisda
Jatim.
Soedjarwo, dkk 1987. Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Rembang. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

16

Thohir, Mudjahirin 2006. Orang Islam Pesisiran. Semarang: Fasindo.