Festival Dewi Sri di Gunung Kidul

Festival Dewi Sri di Gunung Kidul
Pertanian merupakan bagian dari hidup masyarakat kita yang sudah
dilakukan secara turun- temurun. Dengan bertani kita bisa menghasilkan makanan
atau bahan pangan yang digunakan untuk makanan kita sehari-hari. Begitu pun di
Desa Putat Dusun Plumbungan , Pertanian

merupakan mata pencaharian

mayoritas masyarakat di dusun plumbungan. Mata pencaharian juga bagian dari
unsur kebudayaan, dengan ada tujuh unsur budaya menurut koentjaraninggrat
dalam buku nya Pengantar ilmu budaya yaitu bahasa, sistem pencaharian,
kesenian, sistem religi, sistem peralatan hidup dan teknologi, organisai sosial dan
sistem pengetahuan.1
Upacara-upacara ritual yang berhubungan dengan aktivitas pertanian yang
dilakukan oleh masyarakat petani di Yogyakarta merupakan bentuk ungkapan rasa
syukur para petani kepada Sang Penguasa Alam yang telah memberikan
kenikmatan berupa hasil bumi yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan
manusia. Upacara-upacara ritual yang sangat menonjol dirasakan oleh masyarakat
petani padi. Dalam hal ini, padi dianggap merupakan jenis tanaman istimewa yang
dihubungkan dengan Dewi Sri, sebagai dewi kesuburan. Masyarakat petani
percaya bahwa Dewi Sri dalam wujud biji padi yang ditanam di tanah kemudian

bertemu dengan Dewa Wisnu dalam wujud air.
Pertemuan antara biji padi dan air kemudian menimbulkan kehidupan,
bagaikan pertemuan antara semen dan ovu. Adanya kepercayaan inilah yang
menyebabkan petani padi merasa berkewajiban untuk memperlakukan tanaman
padi secara istimewa, dengan melakukan upacara-upacara ritual. Upacara-upacara
dimulai sejak dari menabur benih, pada waktu perawatan dan pada siklus-siklus
sesudahnya, sampai saat tanaman tersebut dituai.2

1 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2002), 203.
2Bambang Widyantoro, 1989, Pandangan Masyarakat Jawa Kuno Terhadap Lumbung Dan
Pemujaan Kepada Dewi Kesuburan, Yogyakarta

Festval Dewi Sri merupakan acara tahunan di dusun Plumbungan, Desa
Putat, kab. Gunung Kidul yang diikuti oleh empat RT di Padepokan Plumbungan.
Acara ini diselenggarakan oleh seluruh warga desa dan atas kerja sama antara
pengurus pusat ikatan alumni Universitas Negri Gunung Kidul. Tujuan dari acara
ini adalah untuk memperkenalkan wisata desa Plumbungan ke masyarakat luas
supaya bisa meningkatkan ekonomi desa.
Ada beberapa agenda acara Festival Dewi Sri yaitu festival 1001 Sego
Wiwit, Dewi Sri performance, Kirab Budaya “ Boyong Dewi Sri”, Wayang Kulit

Dalang

Cilik,

Peresmian

Omah

Kampoeng

Emas,

Lomba

Kebersihan

Lingkungan, Lomba Memedi Sawah, Lomba Tangkap Welut dan Professor
Mengajar. Acara ini nanti akan ditutup dengan peresmian Omah Kampung Emas
yang sekaligus acara ini disponsori oleh Universitas Negri Yogyakarta.
Acara ini dibuka oleh Wakil Rektor 1 UNY yang ditandai dengan

membunyikan “koplokan”

atau pengusir burung

yang dimainkan bersama

masyarakat yang menonton. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan prosesi upacara
Wiwit yaitu proses pemotongan padi yang dilakukan oleh ibu Bupati Gunung
Kidul. Lalu, baru dilanjutkan dengan pawai yang diikuti oleh lima peserta dari
beberapa RT dengan memakai baju adat dan beberapa pernak-pernik seperti ogoogo atau patung yang diangkat oleh beberapa orang, serta ada juga sayur-sayuran
dan buah yang dibuat seperti gunungan.

Gambar 1 : Prosesi pemotongan wiwit atau padi oleh buapati kab. Gunung Kidul,
doc(rahmat kurniawan)

Perwakilan peserta pertama dari TK Negri Patuk memamerkan pakaian
adat jawa dengan membawa gunungan yang diisi buah-buahan dan sayur-sayuran
yang sudah dipanen. Walaupun gun ungan tersebut terlihat cukup berat, karena
tidak sesuai dengan postur tubuh mereka, para orang tua pun ikut berpartisipasi
dalam pawai ini. Peserta selanjutnya yaitu dari mahasiswa pendidikan Sendratasik

UNY yang menampilkan tarian dan teater Dewi sri. Tetapi yang berperan sebagai
Dewi Sri dalam pawai ini menggunakan kereta yang ditarik menggunakan kuda
diurutan barisan depan, untuk memperlihatkan kecantikan dan keagungan Dewi
Sri kepada seluruh masyarakat.
Selanjutnya peserta ketiga dari RT 04 dengan memakai pakaian adat jawa
dan membawa gunungan yang lebih besar yang dihiasi dengan sayuran dan buahbuahan yang segar, diiringi dengan musik rebana yang dimainkan oleh masyarakat
yang sudah lanjut usia semua, tetapi mereka masih tetap eksis dan semngat
memainkan musik tersebut. Peserta keempat yaitu dari RT 15 terlihat membawa
gunungan yang makin besar dari yang sebelumnya dengan bentuk yang lebih unik
dan tetap dihiasi dengan buah dan sayur-sayuran. Lalu terlihat warga memakai
kostum dengan topeng seperti setan dan rupa seperti genderuwo dengan warna-

warni dan memakai baju warna putih, didiringi juga dengan musik rebana dan
gong kecil yang dimainkan oleh bapak-bapak yang sudah terlihat cukup tua.
Namun ada juga yang lebih memainkan gong yang lebih besar.

Gambar 2 : anak-anak membawa gunungan dari hasil panen, doc(rahmat kurniawan)

Gambar 3 : iringan musik dengan gong kecil dan kendang, doc(rahmat kurniawan)


Peserta terakhir yaitu dari RT 17 yang membawa gunungan berbentuk
seperti rumah joglo jawa yang cukup besar dan dipikul oleh sekitar enam orang.
Walaupun dibuat dengan menggunakan kayu, tetapi tetap dihiasi dengan hasil
panen dari buah dan sayur-sayuran. Diiringi dengan musik yang kali ini beda dari
sebelumya, karena dimainkan oleh wanita atau emak-emak yang sudah tua juga.
Setelah itu menyusul traktor yang biasa digunakan untuk membajak sawah disulap
menjadi berbentuk kepala kerbau yang membawa panen masyarakan dari ladang
seperti buah dan sayu-sayuran ,dibuat dengan menggunakan kertas pembungkus
semen dan dicat serta dilukis suapaya mirip dengan kepala kerbau. Gerobak
pengangkutnya dihiasi dengan jerami sebagai penutup gerobak yang didalam nya
membawa hasil panen masyarat.

Gambar 4 & 5 : peserta terkhir berkostum seperti setan dan diiringi dengan gong kecil seperti kempul,
doc(rahmat kurniawan)

Peserta pawai dan seluruh masyarakat yang mengikuti pawai, berjalan
sejauh 1 km ke tempat penutupan acara yaitu yang diselenggarakan di Omah
Sawah atau Omah Kampung Emas. Perjalanan menempuh waktu sekitar 30
menitan ke tempat penutupan acara. Sesampainya disana kita disuguhi dengan


Nasi Wiwit yaitu nasi yang sudah dikemas dengan daun pisang yang lauknya di
hidangkan dengan ikan asin dan kacang-kacangan yang berasa manis dan asin.
Lalu cemilan pencuci mulut sperti kacang rebus dan pisang rebus dibungkus
dengan plastik beserta satu gelas air mineral.
Acara dilanjutkan dengan sambutan oleh beberapa tokoh adat lalu
dilanjutkan dengan sambutan oleh ketua alumni IKA UNY sebagai salah satu
sponsor acara. Setelah beberapa sambutan tersebut maka inilah acara yang
ditunggu-tunggu oleh masyarakat yaitu rebutan gunungan dari hasil panen
masyarakat

seperti buah-buahan dan sayur-sayuran. Masyarakat pun mulai

rebutan setelah diberi aba-aba oleh panitia acara, semua orang ikut berpartisipasi
mulai dari anak-nak sampai orang tua sekalipun. Mereka terlihat senang dan
berteriak saat berebutan gunungan tersebut, karena terlihat san gat asyik ketika
mealukan hal tersebut.

Gambar 6 : para warga dan penonton berebutan mengambil hasil panen pada gunungan pawai, doc(rahmat
kurniawan)


Penutupan akan segera dimulai, tapi sebelum itu Wakil Rektor pun
meresmikan Omah kampoeng emas dengan pemotongan pita yang sudah
disiapkan di pintu Omah. Setelah itu barulah dilanjutkan acara teater dan tarian
tentang Dewi Sri sebagai dewi yang menjaga padi suapaya tidak dirusak oleh naga

yang jahat. Teater dan tarian ini di perankan oleh para mahasiswa dan mahasiswi
Universitas Negri Yogyakarta jurusan sendratasik.
Sembari saya menonton teater yang berlangsung, saya mewawancarai
salah seorang warga desa plumbungan yang bernama Sulistyo umur 39 tahun,
menurut beliau acara ini sudah dilaksanakan 3 tahun berturut-turut,festival ini
diikuti mulai dari anak-anak, remaja dan para orang tua juga. Dari masing-masing
RT juga mengikuti lomba kebersihan lingkungan oleh para orang tua dan anakanak SD mengikuti lomba mewarnai. Lalu, anak-anak yang sudah SMP mengikuti
lomba menangkap belut dengan memasukkannya ke baskom. Kalau untuk para
pemuda yang sudah SMA atau pun orang dewasa mengikuti lomba memancing.
Adapun namanya Memedi sawah yaitu pemotongan padi atau memanen. Saat
prosesi memedi sawah ini semua warga boleh ikut, mulai dari anak kecil sampai
orang tua. Beliau dalam acara ini sekaligus juga berperan sebagai ketua panitia
untuk tingkat RT nya. Dalam acara juga beberapa kepanitiannya, begitupun dari
UNY juga ada.3


Gambar 7 : foto saya bersama bapak sulistyo, doc(rizki kumala)

3 Sulistyo, Ketua Panitia Padukuhan Plumbungan, Kampung Emas Plumbungan Gunung Kidul, 19
Maret 2016, Diijinkan unutuk dikutip.

Acara ini juga memungkinkan untuk meningkatkan atau memperlihatkan
wisata desa plumbungan yang berpotensi sebagai desa wisata yang bagus di
Gunung Kidul. Setiap orang yang datang acara ini dihidangkan nasi Wiwit untuk
para tamu, nasi wiwit merupakan rasa wujud syukur ketika panen yang banyak.
ketika pemotongan padi pertama, disaat itu warga berharap panen terjadi sekarang
bisa kembali seperti ini saat panen selanjutnya. Menurut kepercayan orang desa
simbol dari membagikan nasi wiwit yaitu “semakin banyak kita memberi,
semakin banyak juga kita menerima”. Acara ini dilaksanakan sampai malam
dengan dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit, walaupun acara ini sudah
berjalan selama seminggu. Itulah sedikit dari hasil wawancara dengan bapak
sulistyo.
Ada juga narasumber berikutnya bernama bapak yanto umur 42 tahun,
yang ikut sebagai peserta dalam pawai kali ini. Beliau memerankan buto cakil
atau orang jahat yang ingin menghancurkan panen warga desa dalam legenda
Dewi Sri. Beliau menggunakan kostum berwarna hijau dengan aksesoris loncenglonceng kecil dikaki nya, lalu menggunakan topeng yang seram dengan mata yang

besar dan tanduk runcing ke atas. Topeng yang dilukis dengan warna hitam merah,
melambangkan bentuk yang seram. Menurut beliau acara ini sangat bagus
membuat warga senang dalam 3 tahun belakangan ini. Karena dalam acara ini,
warga bisa terus melestarikan budaya dan kesenian tradisional supaya tidak hilang
ditelan zaman. Dengan melibatkan para pemuda atau anak-anak muda desa
suapaya ikut berpartisipasi dalam acara ini.4

4 Yanto Supratno, Peserta Pawai Festival Dewi Sri, Kampung Emas Plumbungan Gunung kidul, 19
Maret 2016, Diijinkan untuk dikutip.

Gambar 8 : foto bersama bapak yanto sebagai peserta pawai dengan memakai topeng jahat,
doc(bustomy)

Setelah saya selesai wawancara, acara penutup pun telah dimulai dengan
menampilkan teater Dewi Sri yang diperankan oleh mahasiswa dan mahasiswa
UNY, dengan memakai kostum seperti orang-orangan sawah dengan mencertikan
pada mula nya dewi sri mempunyai peranan sebagai istri Dewa Wisnu sebgai
pendamping suami, Sri juga mempunyai peranan sebagai dewi kecantikan,
kemamakmuran, kebahagiaan, dan kesuburan. Kemudian terjadi pergeseran
daridari kedudukannya sebagai istri Wisnu menjadi Dewi Padi.

Hal ini disebabkan Dewi Sri mempunyai sifat yang sama dengan tanaman
padi, yaitu sebagai lambang kesuburan, kemakmuran dan kebahagian ( dianggap
sebagai tanah). Adanya kesamaan sifat ini muncul pengakuan masyarakat Jawa
terhadap dewi Sri sebagai Dewi Padi.

Keberadaan dan peranan Dewi Sri sebagai Dewi padi pada tradisi
pertanian di indonesia yang masih berlangsung di beberapa daerah di indonesia,
khususnya di Jaw. Bahwa tradisi yang ada sangat erat sekali kaitannya dengan
cerita dan mitos yang ada tentang dewi Sri sebagai Dewi Padi yang
melambangkan sebgai dewi kesuburannya, kemakmuran dan kesejahteraan.
Meskipun masyarakat sekarang sudah mempercayai penuh aliran kepercayaan dan
agama, tetapi tradisi pemujaan terhadap kepada roh leluhur masih sangat erat.
Orang beranggapan bahwa roh leluhur masih mempunyai hubungan batin dengan
orang yang masih hidup. Itulah sebabnya masyarakat masih mangadakan upacarauapcara dengan

maksud agar setiap orang dapat memperoleh segala yang

diinginkan yaitu kebahagaian, kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan kebahagian duniawi akan terwujud dalam bentuk kemakmuran dan
kesuburan yang diberikan kepada orang yang masih hidup. Sedangkan kebahagian

akhirat dapat dicapai apabila orang setelah mati arwahnya dapat bersatu dengan
arwah nenek moyang dan dewa yang dipujanya.5
Tradisi pemujaan kepada dewi Sri sebagai dewi Padi merupakan Upacara
Simbolis mempersembahkan kepada Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. Tujuannya
adalah agar hasil panen baik dan melimpah. Juga diharapakan agar sawah mereka
terhindar dari segala malapetaka dan gangguan roh-roh jahat dan bencana. Sesajai
dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil
panennya, dengan harapan akan kembali kepada masyarakat berupa kemakmuran
dan kesejahteraan hidup.

5 Watie Moerani, 2003, Sanghyang Sri….Nyi Pohaci “……seorang Dewi yang melegenda dan
membumi, “ F. Widayanto, 2003.

Tradisi pemujaan kepada Dewi Sri ini merupakan salah satu warisan
budaya lokal yang perlu dilestarikan. Pelestarianctradisi memang perlu dilakukan,
sehingga masyrakat akan tetap dapat mendekatkan diri kepada Sang pencipta
melalui kepercayaan yang diyakininya, yaitu kepercayaan asli indonesia.