Buku panduan tatalaksana bayi baru lahir (1)
BAB IV PERMASALAHAN BAYI BARU LAHIR
A. Asfiksia Neonatorum
Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000 – 2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. 1,2 Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir, kini hidup dengan morbiditas jangka panjang
seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar. 3 Data dari Riset Kesehatan Dasar Depkes tahun 2007 menyatakan bahwa kematian pada bayi baru lahir usia 0-6 hari 35,9% disebabkan oleh gangguan pernafasan. 4 WHO mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir. 5
Dalam rangka menegakkan diagnosis, dilakukan anamnesis untuk mendapatkan faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisis sesuai dengan algoritma resusitasi neonatus, yaitu: 1) Bayi tidak bernafas atau menangis; 2) Denyut jantung kurang dari 100x/menit; 3) Tonus otot menurun; 4) Cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi; 5)BBLR.
Tabel 4. Faktor risiko asfiksia neonatorum
Faktor Faktor risiko antepartum
janin Primipara 7 Malpresentasi 7 Prematuritas 3,7 Penyakit pada ibu: 3 Partus lama 7 BBLR 3,7
Pertumbuhan - Hipertensi dalam kehamilan
Demam saat kehamilan Persalinan yang sulit dan
traumatik 7 janin terhambat 3,7
Anemia
Mekoneum dalam ketuban 3,7
Kelainan
Diabetes mellitus Ketuban pecah dini 3 kongenital 3,7
Penyakit hati dan ginjal Induksi Oksitosin
Penyakit kolagen
dan
Prolaps tali pusat 3
pembuluh darah Perdarahan antepartum 3,7
Riwayat kematian neonatus sebelumnya 7 Penggunaan sedasi, anelgesi atau anestesi 3
Bayi Lahir
Cukup bulan?
Ya
Perawatan rutin :
Air ketuban jernih ?
Berikan kehangatan
Bernapas atau menangis ?
Bersikan jalan nafas
Tonus otot baik ?
Keringkan Nilai warna kulit
ik
Berikan kehangatan
et
d Posisikan, bersihkan jalan napas* (bila 30 perlu)
Keringkan,rangsang, posisikan lagi
Evaluasi napas, frekuensi denyut jantung
Bernapas, FJ>100, kemerahan
Perawatan suportif
dan warna
Bernapas, FJ>100, sianosis
Apneu
kemerahan
Beri tambahan
atau
oksigen
FJ<100 ik et
sianosis menetap
Ventilasi efektif
30 Berikan ventilasi tekanan positif*(VTP)
Perawatan
FJ> 100 & kemerahan
Pasca resusitasi
FJ < 60
FJ > 60
Lakukan ventilasi tekanan positif* Kompresi dada
Berikan epinefrin*
Nilai kembali efektivitas :
Ventilasi Kompresi dada
Intubasi endotrakeal Pemberian epinefrin
Pertimbangkan kemungkinan : Hipovolemia
FJ< 60 atau sianosis menetap atau ventilasi tidak berhasil
FJ = Frekuensi Jantung
Pertimbangkan :
*Intubasi endotrakeal dapat
Malformasi jalan napas
dipertimbangkan pada beberapa langkah
Gangguan paru seperti pneumotoraks
Pertimbangkan untuk
Hernia diafragmatika
menghentikan resusitasi
Penyakit jantung bawaan
Gambar 27. Algoritma resusitasi neonatus 6
Penatalaksanaan resusitasi dasar pada penanganan segera asfiksia neonatorum dilakukan sesuai dengan algoritma tatalaksana asfiksia neonatorum yang direkomendasikan American Heart Association (AHA)/American Academy of
Pediatrics (AAP) 6 , dengan melakukan beberapa penyesuaian:
1. Tim resusitasi
Di tingkat puskesmas, bidan harus dapat mengantisipasi, mengenali gejala asfiksia dan dapat memberikan resusitasi dasar dengan segera, bila diperlukan segera melakukan rujukan ke rumah sakit. Di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, tiap rumah sakit yang menolong persalinan harus memiliki tim resusitasi yang terdiri dari dokter dan paramedis yang telah mengikuti pelatihan
resusitasi neonatus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. 7
2. Alat resusitasi
Di tingkat puskesmas, harus tersedia minimal balon mengembang sendiri (self inflating bag/ ambu bag) bagi pelaksanaan ventilasi dalam resusitasi asfiksia neonatorum. Balon mengembang sendiri juga minimal harus ada sebagai cadangan dimanapun resusitasi dibutuhkan, bila sumber gas bertekanan gagal atau T-piece
resusitator tidak berfungsi. 8 Di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi,
rumah sakit harus dilengkapi dengan alat ventilasi yang lebih canggih. Neopuff harus ada ditingkat ini.
3. Penggunaan oksigen
Penelitian Saugstad dkk 9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati. 11,12,13
Penelitian Tan dkk 14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti yang bisa
dijadikan dasar untuk merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas sebagai ganti oksigen 100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan oksigen aliran bebas tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada
lebih dari ¼ objek penelitiannya. Karenanya bila oksigen aliran bebas (O 2 21%)
digunakan pada awal resusitasi bayi-bayi cukup bulan, oksigen 100% tetap harus tersedia sebagai cadangan bila resusitasi gagal.
4. Penggunaan oksimeter untuk monitoring dan panduan pemberian oksigen
Alat ini dapat mendeteksi hipoksia pada bayi sebelum bayi terlihat sianosis secara klinis. 15 Oksimeter tidak dapat digunakan pada kondisi hipovolemia dan
vasokontriksi. Keakuratannya ada pada kisaran saturasi oksigen 70-100% (± 2%). Dibawah 70% alat ini kurang akurat. Pada pemakaian klinis, oksimeter dapat mendeteksi hipoksia secara cepat sehingga dapat dapat dijadikan alat monitoring dan panduan untuk pemberian oksigen secara lebih akurat. 15,16
Resusitasi pada bayi kurang bulan memerlukan tambahan tenaga terampil, termasuk petugas yang terlatih dalam melakukan intubasi endotrakeal, dan tambahan sarana untuk menjaga suhu tubuh. Jika bayi diantisipasi kurang bulan secara signifikan (misalnya <28 minggu), diperlukan plastik pembungkus (polyethylene) yang dapat dibuka-tutup serta alas hangat yang dapat dipindah-
pindahkan siap pakai. Penelitian Vohra dkk 17 pada neonatus dengan usia gestasi
<37 minggu atau berat lahir < 2.500 gram menunjukkan bahwa penggunaan plastik pembungkus dalam 10 menit pertama setelah lahir pada bayi usia gestasi <
28 minggu efektif, namun tidak terbukti efektif pada usia gestasi 28-31 minggu.
Bayi dibungkus plastik transparan dari ujung kaki sampai sebatas leher, kepala dikeringkan dan dibiarkan terbuka. Plastik yang digunakan adalah plastik transparan atau kantong pembungkus yang terbuat dari low density polyethylene (LDPE) atau linear low density polyethylene (LLDPE) atau polyvinylidene chloride
(PVDC) atau plastik membran semi-permeabel seperti Opsite® atau Tegaderm®. 18 Inkubator transpor juga diperlukan untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan setelah resusitasi.
Blender oksigen diperlukan untuk memberikan konsentrasi oksigen antara 21% sampai 100%. Selang bertekanan tinggi menghubungkan oksigen dan sumber udara ke blender mengatur gas dari 21% ke 100%. Pengatur aliran dapat dihubungkan ke blender dengan kecepatan aliran 0 sampai 20 L/menit untuk mendapatkan konsentrasi oksigen yang dapat diberikan langsung ke bayi atau melalui alat tekanan positif.
Secara garis besar hal-hal berikut harus diperhatikan pada resusitasi bayi kurang bulan :
a. Menjaga bayi tetap hangat
Bayi yang lahir kurang bulan hendaknya mendapatkan semua langkah untuk mengurangi kehilangan panas.
b. Pemberian oksigen
Saugstad dkk 9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati 11,12,13 Sementara Tan dkk 14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas sebagai ganti oksigen 100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan oksigen aliran bebas tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada lebih dari ¼ objek
penelitiannya. 19
Untuk menghindari pemberian oksigen yang berlebihan saat resusitasi pada bayi kurang bulan, digunakan blender oksigen dan oksimeter agar jumlah oksigen yang diberikan dapat diatur dan kadar oksigen yang diserap bayi dapat diketahui. Saturasi oksigen lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi
bagi bayi kurang bulan dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur. 7
c. Ventilasi
Bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah cedera dengan ventilasi
tekanan positif yang intermiten. Hal-hal berikut perlu
dipertimbangkan: 7
i.Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100 x/menit tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang tidak mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi dan mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada
umumnya TPAE sampai 6 cmH 2 O cukup. CPAP tidak dapat digunakan dengan balon mengembang sendiri. ii.Tekanan terendah digunakan untuk memperoleh respons yang adekuat Jika VTP intermiten diperlukan karena apnu, frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit, atau sianosis menetap, tekanan awal 20-25 cmH 2 O cukup untuk sebagian besar bayi kurang bulan. Jika tidak ada perbaikan frekuensi jantung atau gerakan dada, diperlukan tekanan yang lebih tinggi.
iii.Pemberian surfaktan secara signifikan Bayi sebaiknya mendapat resusitasi lengkap sebelum surfaktan diberikan. Penelitian menunjukkan bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan 30 minggu mendapatkan keuntungan dengan pemberian surfaktan setelah resusitasi, sewaktu masih di kamar bersalin atau bahkan jika mereka belum mengalami distres pernapasan.
iv.Pencegahan terhadap kemungkinan cedera otak Setelah resusitasi, perlu dilakukan pemantauan kadar gula darah, kejadian
apnu dan bradikardi pada bayi, jumlah oksigen dan ventilasi yang tepat, pemberian minum yang dilakukan secara perlahan dan hati-hati sambil mempertahankan nutrisi melalui intravena dan pemantauan kecurigaan tehadap infeksi.
Pencegahan asfiksia neonatorum
Pencegahan, eliminasi dan antisipasi terhadap faktor-faktor risiko asfiksia neonatorum menjadi prioritas utama. Bila ibu memiliki faktor risiko yang memungkinkan bayi lahir dengan asfiksia, maka langkah-langkah antisipasi harus dilakukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan seperti anjuran WHO untuk mencari dan mengeliminasi faktor-faktor risiko. 20, 21
Bila bayi berisiko lahir prematur yang kurang dari 34 minggu, pemberian kortikosteroid 24 jam sebelum lahir menjadi prosedur rutin yang dapat membantu maturasi paru-paru bayi dan mengurangi komplikasi sindroma distres pernapasan (respiratory distress syndrome). 20
Pada saat persalinan, penggunaan partogram yang benar dapat membantu deteksi dini kemungkinan diperlukannya resusitasi neonatus. Penelitian Fahdhly dan Chongsuvivatwong 22 terhadap penggunaan partogram oleh bidan di Medan menunjukkan bayi yang dilahirkan dengan skor apgar 1 menit < 7 berkurang secara signifikan dengan pemantauan partogram WHO.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat.
REKOMENDASI HTA
1. Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif. [Rekomendasi B LoE IIb]
2. Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang digunakan mengacu pada definisi WHO. Namun begitu, 3% bayi dengan asfiksia neonatorum yang mengalami komplikasi dan sesuai dengan 4 kriteria klinis asfiksia menurut AAP/ACOG perlu penanganan dan pemantauan dengan sarana yang lebih lengkap tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. [Rekomendasi C LoE IV]
3. Dalam penatalaksanaan asfiksia neonatorum, direkomendasikan ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi di tingkat pelayanan dasar berupa oksigen, sungkup oksigen, balon mengembang sendiri, penghangat, pipa orogastrik, laringoskop, pipa endotrakeal, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin. [Rekomendasi C LoE IV]
4. Tenaga resusitasi di tingkat pelayanan dasar direkomendasikan dapat melakukan resusitasi dasar yang bersertifikasi terutama memberikan ventilasi yang adekuat.
[Rekomendasi C LoE IV]
5. Fasilitas pelayanan kesehatan pada pelayanan primer direkomendasikan ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi berupa oksigen, balon mengembang sendiri, sungkup oksigen, penghangat, pipa orogastrik, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin.
[Rekomendasi C LoE IV]
B. Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah dengan Metode Kanguru
Perawatan metode kanguru (PMK) adalah perawatan untuk bayi baru lahir dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact). 23 Perawatan metode kanguru ini bermanfaat terutama untuk bayi kurang bulan. Terdapat dua tipe PMK:
1. PMK intermiten PMK yang dapat dilakukan saat bayi belum stabil (masih mendapatkan
sokongan medis) Waktu: dilakukan saat ibu menjenguk bayinya, lama dikerjakan sebaiknya lebih dari 1 jam Tempat: perawatan bayi (NICU/Special care nursery)
2. PMK kontinu PMK yang dilakukan saat bayi sudah dalam keadaan stabil (tidak ada penyakit akut) Waktu: ibu dan bayi bersama dalam 24 jam Tempat : ruangan rawat khusus PMK kontinu
Kriteria Pelaksanaan PMK
PMK intermiten: Bayi kurang bulan yang masih memerlukan pemantauan kardiopulmonal, oksimetri, pemberian oksigen terapi, cairan intravena, dan pemantauan lain, keadaan tersebut tidak mencegah pelaksanaan PMK. 24,25
PMK kontinu: Bayi yang memenuhi kriteria untuk dilakukan PMK adalah bayi prematur (kurang bulan), berat lahir ≤2000 gram, tidak ada kegawatan pernapasan dan sirkulasi, tidak ada kelainan kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Ibu dapat memberikan nutisi (ASI dan formula secara oral maupun melalui pipa lambung) Meskipun demikian, pada sebagian besar kasus PMK dapat segera dilakukan setelah
bayi lahir. 23
Implementasi PMK
Komponen PMK Terdapat empat komponen PMK yaitu :
1. Kangaroo position (posisi)
2. Kangaroo nutrition (nutrisi)
3. Kangaroo support (dukungan)
4. Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan ketat
Kangaroo position (posisi)
Bayi diletakkan diantara payudara dengan posisi tegak lurus, dada bayi menempel ke dada ibu. Posisi kanguru ini disebut juga dengan kontak kulit-ke-kulit, karena kulit bayi mengalami kontak seluas-luasnya secara langsung dengan kulit ibu. 23,26
Gambar 28. Memposisikan bayi untuk PMK 23
Sumber: World Health Organization. Kangaroo mother care.A practical guide. 1st ed. 2003.
Posisi bayi diamankan dengan kain panjang atau pengikat lainnya. Kepala bayi dipalingkan ke sisi kanan atau kiri, dengan posisi sedikit tengadah (ekstensi). Tepi pengikat tepat berada di bawah kuping bayi. Posisi kepala seperti ini bertujuan untuk menjaga agar saluran napas tetap terbuka dan memberi peluang agar terjadi kontak mata antara ibu dan bayi. Hindari posisi kepala terlalu fleksi atau ekstensi. Tungkai
bayi haruslah dalam posisi ”kodok”; tangan harus dalam posisi fleksi. 23 Kain diikatkan dengan kuat setinggi dada bayi agar bayi tidak tergelincir saat ibu bangun dari duduk. Perut bayi sebaiknya berada di sekitar epigastrium ibu dan diperhatikan agar tidak tertekan. Dengan cara ini bayi dapat melakukan pernapasan
perut dan napas ibu akan merangsang bayi. 23
Ibu dapat menggunakan baju berkancing depan. Bayi menggunakan popok dan topi. ibu tetap dapat melakukan pekerjaan ringan sehari-hari. Bila ibu ingin kekamar mandi atu melakukan aktivitas yang mengharuskan tidak dapat menggendong bayinya maka anggota keluarga lain dapat bergantian menggendong bayi tersebut. Ibu dapat tidur dengan kepala lebih tinggi menggunakan beberapa bantal dan tetap melaksanakan PMK.
Kangaroo nutrition (nutrisi)
Posisi kanguru sangat ideal bagi proses menyusui. PMK membuat proses menyusui menjadi lebih berhasil, proses menyusui menjadi lebih lama dan dapat meningkatkan
volume ASI. 23 Pemberian nutrisi pada saat melakukan PMK dapat ASI atau formula baik oral maupun melalui pipa lambung. Cara dan waktu pemberian nutrisi sesuai protokol untuk BBLR/neonatus kurang bulan.
Kangaroo support (dukungan)
Bentuk dukungan pada PMK dapat berupa dukungan fisik maupun emosional. Dukungan dapat diperoleh dari petugas kesehatan, seluruh anggota keluarga, ibu dan masyarakat. Tanpa adanya dukungan, akan sangat sulit bagi ibu untuk dapat Bentuk dukungan pada PMK dapat berupa dukungan fisik maupun emosional. Dukungan dapat diperoleh dari petugas kesehatan, seluruh anggota keluarga, ibu dan masyarakat. Tanpa adanya dukungan, akan sangat sulit bagi ibu untuk dapat
Kesulitan bernapas : dada tertarik ke dalam, merintih Bernapas sangat cepat atau sangat lambat Serangan apnea sering dan lama Bayi terasa dingin : suhu bayi di bawah normal walaupun telah dilakukan penghangatan Bayi teraba panas Sulit minum: bayi tidak lagi terbangun untuk minum, berhenti minum atau muntah Kejang Diare Kulit menjadi kuning
Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan
Pemulangan berarti ibu dan bayinya boleh pulang ke rumah dengan tetap menjalani PMK di rumahnya dan dapat dilakukan pemantauan oleh pusat pelayanan kesehatan terdekat dengan domisili keluarga. PMK dapat dipulangkan dari rumah sakit ketika
telah memenuhi kriteria dibawah ini: 23
Ibu dan bayi : Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi Bayi minum dengan baik Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari atau 20-30 g/hari) untuk sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan follow-up
Tujuan tindak lanjut dan monitoring (pemantauan):
1. Memberikan pelayanan pada bayi berat lahir rendah/ prematur pascarawat inap yang telah menjalani Perawatan Metode Kanguru
2. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang menjalani PMK
3. Skrining gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang menjalani PMK di rumah
4. Memfasilitasi perawatan metode kanguru dari yang intermiten menjadi kontinu hingga bayi dapat dilepas dari PMK
5. Untuk mempromosikan pemberian ASI eksklusif
6. Mempromosikan dan melakukan imunisasi
7. Meningkatkan angka kesintasan BBLR Waktu yang baik saat ibu melakukan pemantauan adalah:
1. Dua kali kunjungan perminggu sampai dengan 37 minggu usia pascamenstruasi
2. Satu kali kunjungan perminggu setelah 37 minggu
REKOMENDASI HTA
1. PMK terbukti dapat menstabilkan suhu bayi dengan menggunakan panas badan
ibu dan sama efektif bahkan lebih baik dari inkubator. [Rekomendasi A LoE Ib]
2. PMK memberikan ibu kepercayaan diri dalam merawat bayi berat lahir rendah,
PMK kontinu di RS lebih efisien dalam hal maka keperluan tenaga kesehatan khususnya perawat. Bayi yang belum dapat dilakukan PMK kontinu, dianjurkan untuk melakukan PMK intermitten untuk membiasakan ibu merawat bayi dengan PMK. [Rekomendasi A LoE Ia]
3. Ibu yang melakukan PMK mempunyai kadar stress hormone (kortisol) yang lebih
rendah sehingga diasumsikan ibu dan bayi lebih tenang/tidak stress.
[Rekomendasi A LoE Ia]
4. PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia terutama apabila bayi tersebut
stabil keadaan klinisnya dan hanya memerlukan inkubator untuk perawatannnya. Pusat pelayanan primer seperti PUSKESMAS dapat meneruskan perawatan BBLR yang telah di pulangkan dari pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat pelayanan kesehatan sekunder dapat melakukan PMK kontinu untuk BBLR yang masih menggunakan alat kesehatan minimal. PMK dapat dilakukan disemua level pelayanan kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia. [Rekomendasi A LoE Ia]
5. Kriteria definitif pemulangan terdiri dari : [Rekomendasi C LoE IV] Bayi mencapai berat badan minimum yakni 1500 g. Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi Bayi minum dengan baik Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari) untuk sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan follow-up Bayi yang dipulangkan dengan berat badan < 1800 gram difollow-up setiap minggu dan dilakukan minimal di RS Umum Daerah, sedangkan dan bayi dengan berat badan >1800 gram dilakukan follow-up setiap dua minggu; boleh dilakukan di Puskesmas.
6. Rekomendasi waktu pemantauan: [Rekomendasi C LoE IV] Dua kali kunjungan follow up perminggu sampai dengan 37 minggu usia pascamenstruasi. Kunjungan pertama paling lambat dalam 48 jam setelah pemulangan. Satu kali kunjungan follow up perminggu setelah 37 minggu.
C. Hiperbilirubinemia Neonatal
Definisi dan Epidemiologi
Jaundice/kuning terjadi pada sekitar 60% bayi baru lahir yang sehat dengan usia gestasi ≥ 35 minggu. 27,28
Sebagian besar kuning adalah jinak, akan tetapi karena potensi toksik dari bilirubin, semua bayi lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan
menjadi hiperbilirubinemia berat. 27
Hiperbilirubunemia neonatal: adalah naiknya kadar bilirubin serum total (BST) melebihi normal, yaitu ≥ 5 mg/dL (86 mol/L). 28,29
Harvard School of Public Health: terdapat 42,7% (n=834) kasus hiperbilirubinemia pada bayi dengan berat lahir < 2.500 gram (RO=3,45 IK=3,01) dan 47,5% (n=777) kasus hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (usia gestasi < 37 minggu)
(RO=4,34 IK=3,77). 30
Hiperbilirubinemia neonatal berhubungan dengan penyakit lain seperti anemia hemolitik, kelainan endokrin metabolik, kelainan anatomi organ hati, dan
infeksi. 28 Di Indonesia, dua etiologi terbanyak penyakit hemolitik yang menyebabkan
kuning pada bayi baru lahir, yaitu inkompatibilitas ABO dan defisiensi enzim
glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD). 31
Etiologi dan Faktor Risiko
Neonatus tanpa faktor risiko yang teridentifikasi, jarang mengalami peningkatan bilirubin serum > 12 mg/dL. Banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan level bilirubin serum. Tabel 2 menampilkan berbagai faktor risiko hiperbilirubinemia neonatal. 28,32
Tertundanya pelepasan mekonium (sumbatan mekonium, tertundanya asupan minum, dan hipotiroidisme) akan meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. 28,33 Bayi baru lahir dengan risiko tersebut perlu diobservasi ketat sepanjang minggu-
minggu awal kelahirannya. 28
Kernikterus: konsekuensi neurologis akibat deposisi bilirubin tidak terkonjugasi pada jaringan otak (ganglia basal otak). Pada neonatus yang mengalami kernikterus, akan didapatkan nilai bilirubin yang sangat tinggi – dapat mencapai > 20-25 mg/dL. 28,34 Faktor risiko neurotoksisitas hiperbilirubinemia serta dampak kernikterus
terdapat pada tabel 3 dan 4. 28
Penyebab hiperbilirubinemia neonatal dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan mekanisme akumulasi bilirubin, yaitu peningkatan produksi bilirubin, penurunan konjugasi bilirubin dan terganggunya proses
eksresi bilirubin (Tabel 5). 28
Tabel 5. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia neonatal. 28,35
Faktor maternal
Faktor neonatal
Golongan darah ABO atau inkompatibilitas
Trauma saat lahir : sefalhematoma,
Rh
memar yang luas, persalinan dengan tindakan
Ibu menyusui (ASI ekslusif)
Obat-obatan : sulfisoxazole asetil
dengan eritromisin suksinat (Pediazole), kloramfenikol
(chloromycetin)
Obat-obatan : diazepam (Valium), Oksitosin
Kehilangan berat badan yang masif
(Pitosin)
setelah kelahiran
Etnis : Asia Timur, Native American
Infeksi TORCH*
Penyakit Maternal : DM Gestasional
Jenis kelamin laki-laki
Polisitemia Prematuritas Saudara kandung dengan hiperbilirubinemia Ikterus dalam 24 jam pascakelahiran Penyakit autoimun atau hemolitik (contoh : defisiensi G6PD**)
*TORCH = toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses. **G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.
Tabel 6. Faktor Risiko Neurotoksisitas Hiperbilirubinemia 35
Penyakit hemolitik autoimun Defisiensi G6PD Asfiksia Sepsis Asidosis Albumin < 30 mg/dl
Tabel 7. Efek dari Toksisitas Bilirubin pada Neonatus 28
Dini
Kronis Letargi
Lanjut
Athetoid cerebral palsy Asupan ASI yang buruk
Iritabilitas
Opistotonus
Kehilangan pendengaran frekuensi tinggi
Suara tangisan dengan nada
Paralisis terhadap lirikan ke tinggi
Gagal nafas/apneu
atas
Hipotonia
Oculogyric crisis
Displasia gigi
Hipertonia
Retardasi mental ringan
Demam
Tabel 8. Klasifikasi Hiperbilirubinemia neonatal 36
Peningkatan Produksi Bilirubin
Kausa hemolitik Karakteristik : peningkatan kadar bilirubin indirek, >6% retikulosit, konsentrasi hemoglobin <13 g/dl (130 g/L) Tes Coomb’s positif : inkompatibilitas faktor Rh, inkompatibilitas ABO, minor antigens Tes Coomb’s negatif : defek selaput lendir sel darah merah (sferositosis, eliptositosis), defek enzim sel
darah merah (defisiensi G6PD*, defisiensi piruvat kinase), obat (Pediazole, streptomisin, vitamik K), abnormalitas sel darah merah (hemoglobinopati), sepsis
Kausa nonhemolitik Karakteristik : peningkatan kadar bilirubin indirek, persentase retikulosit normal Kelainan ekstravaskular : sefalhematoma, memar, perdarahan SSP, swallowed blood Polisitemia : transfusi darah ibu-janin, transfusi darah antar janin kembar, keterlambatan penjepitan
tali pusat Gangguan sirkulasi enterohepatik : fibrosis kistik, atresia ileum, stenosis pilorus, penyakit Hirschprung’s, ikterus karena ASI
Penurunan Bilirubin Direk
Karakteristik : peningkatan level bilirubin indirek, persentase retikulosit normal
Ikterus fisiologis Sindroma Chrigler-Najjar tipe 1 dan 2 Sindroma Gillbert Hipotiroidisme Ikterus karena ASI
Gangguan pada Eksresi Bilirubin
Karakteristik : peningkatan bilirubin direk dan indirek, tes Coomb’s negatif, nilai bilirubin direk > 2 mg/dl (34 mol/L) atau > 20% dari total bilirubin serum, bilirubin direk pada urin Obstruksi bilier : atresia bilier, choledocal cyst, sklerosis kolangitis primer, batu empedu, keganasan,
sindroma Dubin- Johnson, sindroma Rotor’s Infeksi : sepsis, infeksi saluran kemih, sifilis, toksoplasmosis, tuberkulosis, hepatitis, rubella, herpes
Kelainan metabolisme : defisiensi alfa 1 antitripsin, fibrosis kistik, galaktosemia, glycogen storage disease, penyakit Gaucher’s, hipotiroidisme, penyakit Wilson’s, penyakit Niemann-Pick Abnormalitas kromosom : sindroma Turner’s, sindroma trisomi kromosom 18 dan 21 Obat-obatan : aspirin, asetaminofen, sulfa, alcohol, rifampisin (Rifadin), eritromisin, kortikosteroid,
Tetrasiklin *G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.
Diagnosis dan Manifestasi Klinis
Ikterus fisiologis pada bayi baru lahir mengikuti pola tertentu, yaitu kadar bilirubin serum tertinggi mencapai 5-6 mg/dL (86-103 mol/L) dan dicapai pada hari ke-3 sampai 4 kemudian menurun pada 1 minggu pertama pascakelahiran; disebabkan antara lain karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit, imaturitas ambilan hepatik dan proses konjugasi, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik. 28,37
Pemberian ASI pada neonatus mungkin meningkatkan risiko terjadinya awitan
dini ikterus fisiologis. 28
Neonatus yang minum ASI memiliki kemungkinan 3-6 kali lebih besar untuk mengalami ikterus sedang (total bilirubin serum > 12 mg/dL) atau ikterus berat (total bilirubin serum > 15 mg/dL = 257 mol/L) daripada neonatus yang
mendapat susu formula. 28
Pada ikterus karena ASI awitan lambat, puncak peningkatan nilai bilirubin terjadi pada hari ke-6 sampai 14 pascakelahiran. Total bilirubin serum antara 12-20 mg/dL dan sifatnya nonpatologis. Penyebab ikterus karena ASI belum diketahui secara pasti, namun terdapat teori yang menyatakan suatu substansi dalam ASI yaitu β-glukoronidase dan asam lemak nonesterifikasi akan menghambat
metabolisme bilirubin. 37 Bilirubin serum akan menurun setelah 2 minggu pascakelahiran, namun mungkin bertahan tinggi dalam 1-3 bulan. 28 Jika diagnosis ikterus karena ASI meragukan atau total bilirubin serum terus meningkat, maka pemberian ASI digantikan sementara dengan susu formula namun ibu tetap melanjutkan memerah ASI untuk mempertahankan kuantitas produksi ASI. Penggantian ASI dengan susu formula akan menurunkan bilirubin total dalam 48 jam (rata-rata 3 mg/dL/hari) – hal ini akan mengkonfirmasi
diagnosis dan proses menyusui dihentikan. 28 Meskipun menghentikan ASI akan menurunkan bilirubin dengan cepat dalam waktu 48 jam dan sekarang ini merupakan satu-satunya pemeriksaan diagnostik definitif, hal ini tidak selalu
direkomendasikan. 38
Ikterus patologis harus dicurigai jika kriteria ikterus fisiologis atau ikterus karena ASI tidak terpenuhi. Manifestasi ikterus patologis terjadi dalam 24 jam pascakelahiran, peningkatan total bilirubin serum > 5 mg/dL/hari, dan total
bilirubin serum > 17 mg/dL pada neonatus cukup bulan. 39 Hal lain yang perlu bilirubin serum > 17 mg/dL pada neonatus cukup bulan. 39 Hal lain yang perlu
bilirubin. 28 Pemeriksaan fisis pada neonatus dengan ikterus dapat dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik dan pada kulitnya disinari cahaya putih (dapat
pula dengan cahaya langsung dari jendela) untuk menilai warna kulit dan jaringan subkutan. Penyinaran dilakukan pada dahi, dada bagian tengah, lengan, tungkai, serta telapak tangan dan kaki. Ikterus biasanya dimulai dari bagian wajah kemudian turun ke batang tubuh sampai ekstremitas. Ikterus dapat hilang timbul menyerupai warna kulit. Ikterus tidak tampak jika total bilirubin serum <
4 mg/dL (68 mol/L). 40
Gambar 3 menampilkan pelaporan penilaian ikterus secara visual. Penilaian dengan Skala Krammer berdasarkan zona batas pada kulit yang mengalami ikterus dan intensitas warna kulit (kuning atau oranye – kuning oranye=tidak terkonjugasi) – sesuai dengan pengukuran level bilirubin transkutaneus (TcB:
transcutaneous bilirubin). 40
Gambar 29. Skala Krammer dengan modifikasi 41
Perkiraan total bilirubin serum dengan penilaian secara klinis yaitu mengenai wajah 5 mg/dL; dada bagian atas 10 mg/dL; abdomen 12 mg/dL; sedangkan jika
meliputi sampai telapak tangan dan kaki > 15 mg/dL. 28
Perkiraan yang konsisten dan dapat diandalkan untuk memperkirakan total bilirubin serum adalah ikterus terlihat di atas garis puting susu. Pada keadaan
ini, nilai bilirubin akan bervariasi, namun < 12 mg/dL. 40
Jika ikterus telah mencapai pertengahan dada ke bawah maka korelasi antara pengamatan visual dengan total bilirubin serum akan semakin tidak akurat. Hal ini disebabkan perbedaan warna kulit diantara etnis, lambatnya deposit pigmen pada kulit meski nilai bilirubin meningkat, perbedaan persepsi antarpengamat dan faktor lain yang menyulitkan prediksi secara tepat hanya melalui pengamatan
visual. 41 Pemeriksaan terhadap neonatus meliputi warna kulit (pucat), petekiae, pletora, ekstravasasi darah (misalnya sefalhematoma atau memar), hepatosplenomegali
(karena anemia hemolitik atau infeksi), tanda sepsis neonatorum, mikrosefali (infeksi kongenital), kehilangan berat badan, dan tanda dehidrasi. Pemeriksaan harus pula menggali adakah riwayat kelahiran kurang bulan dan kecil masa kehamilan pada neonatus. 28,38 Gambar 4 menampilkan nomogram untuk menentukan risiko dari 2.840 bayi baru lahir dengan usia gestasi ≥ 36 minggu dan berat lahir ≥ 2.000 gram / usia gestasi ≥ 35 minggu dengan berat lahir ≥ 2.500 gram berdasarkan nilai spesifik
serum bilirubin menurut jam. 42
*Tatalaksana Bilirubinemia 42 Fototerapi
Transfusi Tukar
≤24 jam 10-12 (7-10)
25-48 jam
12-15 (10-12)
20-25 (20)
49-72 jam
15-18 (12-15)
25-30 (>20)
>72 jam
18-20 (12-15)
25-30 (>20)
Keterangan : nilai bilirubin dinyatakan dalam mg/dL – nilai tanda dalam kurung merupakan nilai bilirubin untuk neonatus dengan faktor risiko
Gambar 30. Nomogram 42
Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia
a. Fototerapi
Sebagian besar unit neonatal di Indonesia memberikan fototerapi pada setiap bayi baru lahir cukup bulan dengan BST ≥ 12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST ≥10 mg/dL tanpa melihat usia. Berikut ini adalah pedoman terapi sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu yang direkomendasikan oleh
Subcommitte on Hyperbilirubinemia, American Academy of Pediatrics (Gambar 5). 35
Gambar 31. Tatalaksana Fototerapi untuk neonatus dengan usia gestasi ≥ 35 minggu 35
Keterangan Gambar 31 : o Gunakan bilirubin total. Jangan dikurangi dengan bilirubin direk atau bilirubin
terkonjugasi. o Faktor risiko : penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi signifikan,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin < 3.0 g/dL (jika diukur). o Untuk neonatus 35-37 minggu dengan kondisi sehat, intervensi dapat mengacu pada
garis di sekitar risiko sedang. o Terapi sinar konvensional/standar dapat dilakukan di RS atau di rumah jika kadar BST 2-3 mg/dl di bawah garis cut off point (35-50 mg/dl). Terapi sinar di rumah tidak
dianjurkan pada bayi yang mempunyai faktor risiko. o Fototerapi intensif digunakan bila nilai BST sudah melampaui cut off point untuk
fototerapi pada setiap kategori.
Fototerapi intensif: radiasi dalam spektrum biru-hijau (panjang gelombang antara 430- 490 nm), setidaknya 30 μW/cm 2 per nm (diukur pada kulit bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan
radimeter spesifik dari manufaktur unit fototerapi tersebut. 27
Belum ada standar pasti untuk menghentikan fototerapi, tetapi fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah cut off point dari setiap
kategori. 27 Untuk bayi yang dirawat di RS pertama kali setelah lahir (umumnya dengan BST ≥ 18 mg/dL atau 308 μmol/L) maka fototerapi dapat dihentikan bila kadar
BST turun sampai di bawah 13-14 mg/dL (239 μmol/L). 27
Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang difototerapi di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3-4 hari, Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang difototerapi di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3-4 hari,
dipulangkan. 27
Untuk bayi yang dirawat di RS untuk kedua kalinya dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan
sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis. 27 Pernah dibandingkan antara pemberian fototerapi secara intermiten dan
kontinu dan hasilnya bervariasi. Tidak ada bukti ilmiah yang dapat dipercaya
dalam penggunaan fototerapi kontinu. 27
Fototerapi dapat diinterupsi/dihentikan sesaat pada saat pemberian minum atau pemeriksaan fisis singkat. Bila kadar bilirubin mencapai zona transfusi tukar, fototerapi harus diberikan secara kontinu sampai terjadi penurunan
BST yang diharapkan atau sampai dilakukan trasfusi tukar. 27 Meskipun sinar matahari memberikan radiasi yang cukup pada gelombang 425-475 nm sebagai fototerapi, tetapi keterpaparan sinar matahari secara langsung harus dihindari terutama pada kondisi bayi telanjang sebab dapat
meningkatkan risiko kulit terbakar. 27
b. Transfusi tukar
Transfusi tukar diindikasikan pada kernikterus, yang biasanya ditandai dengan nilai total bilirubin serum > 20 mg/dL karena adanya hemolisis. 28 Transfusi tukar dipertimbangkan pada keadaan hiperbilirubinemia yang
signifikan. 28
Pada neonatus cukup bulan yang tidak mengalami hemolisis, cenderung toleran terhadap nilai total bilirubin serum yang tinggi, tatalaksana yang
diutamakan adalah fototerapi. 28
Transfusi tukar merupakan metode tercepat untuk menurunkan nilai total bilirubin serum. Prosedur ini jarang diperlukan jika fototerapi dilakukan dengan intensif. Pada kelainan hemolisis, anemia berat atau peningkatan total bilirubin serum yang tinggi (> 1 mg/dL perjam dalam < 6 jam), transfusi tukar merupakan tatalaksana yang direkomendasikan. 28,33
Prosedur ini perlu dipertimbangkan pada ikterus nonhemolitik pada neonatus jika fototerapi gagal untuk menurunkan nilai bilirubin. 28,33 Komplikasi transfusi tukar antara lain emboli udara, vasospasme, infark, infeksi dan bahkan kematian. Oleh karena itu, fototerapi intensif harus lebih dulu diupayakan sebelum beralih pada transfusi tukar. 28,33 Rasio bilirubin total berbanding albumin dapat digunakan sebagai pedoman tambahan untuk menentukan apakah terdapat indikasi transfusi tukar (Tabel 6). 27,35,43
Tabel 9. Indikasi transfusi tukar berdasarkan rasio bilirubin : albumin pada usia
gestasi dan kelompok risiko tertentu 27,35,43
Usia gestasi dan kelompok risiko Rasio bilirubin : albumin 38 minggu dan sehat
> 38 minggu + hemolisis atau
35 – 37 6/7 dan sehat 35 – 37 6/7 + hemolisis
Ikterus yang terjadi < 24 jam pada neonatus cukup bulan selalu dikategorikan sebagai ikterus patologis. Berdasarkan kenaikan nilai total bilirubin serum, Ikterus yang terjadi < 24 jam pada neonatus cukup bulan selalu dikategorikan sebagai ikterus patologis. Berdasarkan kenaikan nilai total bilirubin serum,
kejadian toksisitas akibat hiperbilirubin. 28
Bagan 1 menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk evaluasi ikterus pada neonatus, sementara bagan 2 menjelaskan algoritma manajemen
dan kontrol sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics (2009). 35
Gambar 32. Hubungan antara konsentrasi hemoglobin darah, massa hemoglobin total dan
persentase retikulosit
Keterangan Gambar 32 : Setiap tabel menunjukkan hasil pengamatan pada bayi yang diberikan perlakuan yang sama. Setiap poin mewakili rerata perminggu pengamatan hidup pada masing-masing kelompok
A. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus negatif: 4 bayi B. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus positif: 3 bayi C. Beberapa transfusi kecil dengan endapan sel Rh negatif: 9 bayi. D. Penyembuhan spontan: 1 bayi
Gambar 33. Algoritma Evaluasi Bayi Baru Lahir dengan Hiperbilirubinemia
(Modifikasi dari Maisles et al 35 )
A hiperbilirubinemia lainnya
Usia gestasi 35-37 minggu + faktor risiko
Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS
Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)
Risiko tinggi
Risiko menengah tinggi
Risiko menengah rendah
Risiko rendah
Evaluasi fototerapi Evaluasi fototerapi
Jika keluar RS dalam < 72 jam,
Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) (lihat Gambar 5)
kontrol dalam 2 hari
dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pengukuran
Pertimbangkan pengukuran
kontrol dalam 2 hari
dalam 4-8 jam TSB/TcB dalam
TcB/TSB saat kontrol
4- 24jam
Usia gestasi 35-37 minggu, tanpa risiko hiperbilirubinemia
B Usia gestasi ≥ 38 minggu + faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya
atau
Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS
Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)
Risiko tinggi Risiko menengah tinggi
Risiko menengah rendah
Risiko rendah
Evaluasi fototerapi Evaluasi fototerapi
Jika keluar RS dalam < 72 jam,
Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) (lihat Gambar 5)
kontrol dalam 2 hari
dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pengukuran
kontrol dalam 2-3
dalam 4-24 jam TSB/TcB dalam
hari
24jam
Usia gestasi ≥38 minggu
tanpa faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya
Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS
Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)
Risiko tinggi Risiko menengah tinggi
Risiko menengah rendah
Risiko rendah
Evaluasi fototerapi Kontrol dalam 2
Jika keluar RS dalam < 72 jam,
Jika keluar RS
(lihat Gambar 5) hari
kontrol dalam 2-3 hari
dalam < 72 jam,
Pengukuran TSB Pertimbangkan
kontrol sesuai
dalam 4-24 jam pengukuran
dengan usia ketika
TcB/TSB saat
keluar RS atau pertimbangan
selain ikterus (ASI)
Gambar 34. Algoritma Manajemen dan Kontrol Hiperbilirubinemia Neonatal
(Modifikasi dari Maisles et al 35 )
Keterangan Bagan 2 : Evaluasi terhadap laktasi dan dukung ibu untuk menyusui bayinya. Pengulangan pengukuran TSB tergantung pada usia saat pengukuran dan perbandingan nilai TSB terhadap persentil 95 (lihat gambar 1). Semakin dini pengukuran TSB dan semakin tinggi nilainya, maka pengukuran ulang harus segera dilakukan. Pada saat kontrol, dokter akan melakukan pemeriksaan klinis sesuai standar.
Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Bayi Kurang Bulan
Sekitar 80% bayi kurang bulan mengalami kuning pada minggu pertama kehidupan. Hal ini disebabkan makin muda usia gestasi, usia eritrosit lebih singkat serta kemampuan hepar untuk ambilan dan konjugasi bilirubin belum
optimal. 44
Kejadian kuning pada bayi kurang bulan memiliki awitan yang lebih dini, mencapai puncak lebih lambat, kadar puncak lebih tinggi dan memerlukan lebih
banyak waktu untuk menghilang (sampai dengan 2 minggu). 44 Di bawah ini adalah tabel indikasi tatalaksana fototerapi dan transfusi tukar pada bayi kurang bulan.
Tabel 10. Indikasi Tatalaksana Fototerapi pada Bayi Kurang Bulan 45
Usia
Berat <1.500 g
Berat 1.500-2.000 g
Berat > 2.000 g
Kadar Bilirubin
Kadar Bilirubin
Kadar Bilirubin
(µmol/L)
(µmol/L)
(µmol/L)
< 24 jam
Risiko tinggi dan Risiko tinggi : >70 dan
yang lainnya: > 70
yang lainnya: > 70
24-48 jam
>140 49-72 jam
Tabel 11. Indikasi Tatalaksana Transfusi Tukar pada Bayi Kurang Bulan 45
Usia
Berat <1.500 g
Berat 1.500-2.000
Berat > 2.000 g
Kadar Bilirubin
g Kadar Bilirubin
(µmol/L)
Kadar Bilirubin
(µmol/L)
(µmol/L)
<24 jam
>270-310 24-48 jam
>170 - 255
>270-310 49-72 jam
>170-255
>290-320 >72 jam
D. Sepsis neonatorum Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data
tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya (1) sepsis, (2) pneumonia, (3) tetanus, dan (4) diare. 46 Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif. 47,48 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas
sebesar 15-50%. 49
Kajian WHO dalam Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the treatment of neonatal sepsis (2002) menyatakan bahwa bakteri batang Gram-negatif, khususnya Klebsiella merupakan penyebab utama sepsis neonatorum, diikuti dengan
Staphylococcus, dan Escherichia (Gambar 32 dan 33). 50
Gambar 32. Patogen pada neonatus 50
Gambar 35. Perubahan spektrum patogen pada sepsis neonatorum 50
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (health care-associated infection). 51,52 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal. 53 CDC (2008) telah mengganti istilah infeksi nosokomial menjadi health care- associated infection (HAI). HAI didefinisikan sebagai kondisi sistemik atau lokal sebagai reaksi akibat adanya agen infeksi atau toksinnya; ditegakkan jika tidak ada bukti bahwa infeksi sedang terjadi atau sedang dalam masa inkubasi ketika bayi
mulai dirawat di rumah sakit. 54
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif (E. coli,
Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa). 53
Faktor predisposisi HAI yang mencetuskan SAL antara lain BBLR, prematuritas, perawatan di NICU, penggunaan ventilator mekanis, prosedur invasif, dan pemberian cairan parenteral; sedangkan faktor risiko dari komunitas yang mencetuskan SAL antara lain buruknya higienitas, perawatan tali pusat, dan minum
susu botol. 55 Definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti infeksi (proven). 56 Definisi SIRS dipakai untuk menjelaskan sindroma klinis yang ditandai oleh 2 atau lebih dari kriteria ini: (a) demam atau hipotermia, (b) takikardia, (c) takipneu atau hiperventilasi, dan (d) jumlah leukosit
abnormal atau meningkatnya morfologi leukosit abnormal. 57 Jika sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi – sepsis dikategorikan sebagai sepsis berat. Syok septik terjadi jika terdapat hipotensi sebagai akibat tidak
adekuatnya penggantian volume cairan tubuh. 58
Tabel 12. Kriteria SIRS
Usia Neonatus
Suhu
Laju Nadi per
Laju napas
Jumlah
menit
per menit
leukosit X 10 3 /mm 3
Usia 0-7 hari
>38,5ºC atau
Usia 7-30 hari
>38,5ºC atau
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit)
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Tabel 13. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik Infeksi
Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).
Sepsis
SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.
Sepsis berat
Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ
neurologi, hematologi,
urogenital, dan hepatologi).
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko mayor dan risiko minor (Tabel 9). Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan
pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin. 59
Tabel 14. Pengelompokan faktor risiko 59
Risiko mayor
Risiko minor
1. Ketuban pecah > 24 jam
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu 2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C
> 37,5 C
3. Korioamnionitis 3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , 4. Denyut
menit ke-5 < 7 )
menetap > 160x/menit 4. Bayi berat lahir sangat rendah 5. Ketuban berbau
(BBLSR) < 1500 gram. 5. Usia gestasi < 37 minggu. 6. Kehamilan ganda. 7. Keputihan pada ibu. 8. Ibu dengan infeksi saluran kemih
(ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinis, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi. 60