MAKALAH AGAMA Pandangan Islam tentang IP

MAKALAH AGAMA
Pandangan Islam tentang IPTEK dan Seni

Disusun Oleh:
Kelompok 10
Atika Mayrizka Adellia

145070300111017

Annisa Novidya Utami H.

145070301111016

Salis Maghfurina

145070301111026

Oktaviara Larasati

145070307111011


PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2014

PANDANGAN ISLAM TENTANG IPTEK DAN SENI

A. Pengertian Iptek dan Seni
Berbagai definisi tentang sains, teknologi, dan seni telah diberikan oleh
para filosuf, ilmuwan, dan budayawan seolah-olah mereka mempunyai definisi
masing-masing sesuai dengan apa yang mereka senangi.
Sains di-Indonesiakan menjadi ilmu pengetahuan, sedangkan dalam sudut
pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat berbeda maknanya.
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui tangkapan
panca indera, intuisi, dan firasat, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi, dan diinterpretasi, sehingga
menghasilkan kebenaran obyektif, yang sudah teruji kebenarannya, dan dapat
diuji ulang secara ilmiah. Secara etimolgis kata ilmu berarti “kejelasan”, karena

itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Quran.
Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dari obyek
pengetahuan sehingga memperoleh kejelasan.
Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang
kajian. Sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu tertentu disebut sebagai
spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi tidak mendalam disebut
generalis. Karena keterbatasan kemampuan manusia, maka sangat jarang
ditemukan orang yang menguasai beberapa ilmu secara mendalam.
Teknologi adalah produk ilmu pengetahuan. Dalam sudut pandang budaya,
teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil penerapan praktis dari
ilmu pengetahuan. Meskipun pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik
obyektif dan netral. Dalam situasi tertentu teknologi tidak netral lagi karena
memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan. Di sinilah laetak
perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan
kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif
berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan lingkungannya
yang berakibat kehancuran alam semesta. Netralitas teknologi dapat digunakan
untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia atau digunakan

untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Seni adalah hasil ungkapan akal dan budi manusia dengan segala
prosesnya. Seni merupakan ekspresi jiwa seseorang. Hasil ekspresi jiwa tersebut
berkembang menjadi bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan.
Keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran. Keduanya memiliki nilai yang
sama yaitu keabadian.

Benda-benda yang diolah secara kreatif oleh tangan-tangan halus sehingga
muncul sifat-sifat keindahan dalam pandangan manusia secara umum, itulah
sebagai karya seni. Seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi
karena ukurannya adalah hawa nafsu bukan akal dan budi. Seni mempunyai daya
tarik yang selalu bertambah bagi orang-orang yang kematangan jiwanya terus
bertambah.
Dalam pemikiran sekuler, perennial knowledge/al-hikmah al-khalidah
yang bersumber dari wahyu Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka
mempertentangkan antara wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan
ilmu. Sedangkan dalam ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus
sejalan tidak boleh dipertentangkan. Memang demikian adanya karena hakikat
agama adalah membimbing dan mengarahkan akal.


B. Paradigma Hubungan Agama dan Iptek
Perkembangan iptek adalah hasil dari segala langkah dari pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek. Agama yang dimaksud
di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya
(dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri
(dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan
manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana).
Secara garis besar berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan
agama dan iptek, terdapat tiga jenis paradigma:
Pertama, paradigma seluler, yaitu paradigma yang memandang agama dan
iptek adalah terpisa satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al din ‘an al-hayah). Agama tidak
dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi
manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum (publik).
Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan
mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara
ontologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis
(berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Paradigma ini mencapai kematangan pada akhir abad XIX di Barat sebagai

jalan keluar dari kontradiksi ajaran Kristen (khususnya teks Bible) dengan
penemuan ilmu pengetahuan modern. Semula ajaran Kristen dijadikan standar
kebenaran ilmu pengetahuan. Tapi ternyata banyak ayat Bible yang berkontradiksi
dan tidak relevan dengan fakta ilmu pengetahuan. Contohnya, menurut ajaran
gereja yang resmi, bumi itu datar seperti halnya meja dengan empat sudutnya.

Padahal faktanya, bumi itu bulat berdasarkan penemuan ilmu pengetahuan yang
diperoleh dari hasil pelayaran Magellan.
Kalau konsisten dengan teks Bible, menurut Adian Husaini, maka fakta
sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible. Ini tidak masuk
akal dan problematis. Maka, agar tidak problematis, ajaran Kristen dan ilmu
pengetahuan akhirnya dipisah satu sama lain dan tidak boleh saling intervensi.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen
dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler,
tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik,
yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam
hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama
dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama

sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pemikiran Karl Marx yang ateis dan
memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama
menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang
kejam. Karl Marx (1957) mengatakan:
“Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world,
just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.”
(Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari situasi dunia yang tak
berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh dari situasi yang tanpa ruh. Agama adalah
candu bagi rakyat).
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut
pautnya sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam
paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya
Materialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang
memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus-menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada
materi yang sudah mengandung benih perkembangan itu sendiri.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama
adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala
ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam alQuran dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu

asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia.

Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala
pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita
pahami dari ayat yang pertama kali turun:
ۡ ِ‫﴾اِ ۡق َر ۡا ب‬
۱﴿ ‫ق‬
َ ۚ َ‫ك الّ ِذ ۡى َخل‬
َ ّ‫اس ِم َرب‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan” (al-‘Alaq:1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna
memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu
tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra’ haruslah dengan bismi rabbika,
yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam.
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu
pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit,
melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu.
Firman Allah SWT:
‫َو َكانَ ا ا‬

‫اُ بِ ُك ّل َش ۡى ٍء ّم ِح ۡيـطًا‬
“Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.” (alNisa’:126).
‫َوأَ ّن الّهَ قَ ْد أَ َحاطَ بِ ُك ّل َش ْي ٍء ِع ْل ًما‬
“Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (alThalaq:12).
Itulah paradigma yang dibawa Rasulullah SAW yang meletakkan Aqidah
Islam yang berasas La ilaha illallah Muhammad Rasulullah sebagai asas ilmu
pengetahuan. Beliau mengajak memeluk Aqidah Islam lebih dulu, lalu setelah itu
menjadikan aqidah tersebut sebagai pondasi dan standar bagi berbagai
pengetahuan. Ini dapat ditunjukkan misalnya dari suatu peristiwa ketika di masa
Rasulullah SAW terjadi gerhana matahari, yang bertepatan dengan wafatnya putra
beliau (Ibrahim). Orang-orang berkata, “Gerhana matahari ini terjadi karena
meninggalnya Ibrahim.” Maka Rasulullah SAW segera menjelaskan:
“Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau
kelahiran seseorang, akan tetapi keduanya termasuk tanda-tanda kekuasaan
Allah. Dengannya Allah memperingatkan hamba-hamba-Nya...” (HR. Muslim)
Dengan jelas kita tahu bahwa Rasulullah SAW telah meletakkan Aqidah
Islam sebagai dasar ilmu pengetahuan, sebab beliau menjelaskan, bahwa
fenomena alam adalah tanda keberadaan dan kekuasaan Allah, tidak ada
hubungannya dengan nasib seseorang. Hal ini sesuai dengan aqidah muslim yang
tertera dalam al-Quran:

ۡ
ۡ ِ ‫ق السّما او‬
ۡ ‫ض َو‬
‫ب‬
ٍ ‫ار َ ال اي‬
ِ ‫ت ّلُولِى ۡالَ ۡلبَا‬
ِ ‫اختِ َل‬
ِ ‫ اِ ّن فِ ۡى خَ ل‬
ِ َ‫ف الّ ۡي ِل َوالنّه‬
ِ ‫ت َوالَ ۡر‬

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
berakal.” (Ali Imran:190).
Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar
segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek. Itulah
hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang dapat dilihat pada
masa kejayaan iptek Dunia Islam antara tahun 700-1400 M. Pada masa inilah
dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, alKhawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, al-Battani (w. 858)

sebagai ahli astronomi dan matematika, al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, opthalmologi, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi.

C. Integrasi Iman, Iptek, dan Seni
Iptek terdiri dari tiga kata, yaitu ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Ilmu
merupakan pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Ilmu merupakan
keistimewaan manusia yang membedakan manusia dengan makhluk lain dalam
menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Menurut Al-Qur’an, ilmu terdiri dari dua
macam, yaitu ilmu ladunni yakni ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia (QS.
Al-Kahfi:65) dan ilmu kasbi yakni ilmu yang diperoleh tanpa usaha manusia.
Objek ilmu meliputi materi dan non materi serta fenomena dan non fenomena.
Pengetahuan merupakan paham suatu subjek mengenaik objek yang
dihadapi. Subjek yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai kesatuan berbagai
macam kesanggupan, seperti akal dan panca indra, yang digunakan untuk
mengetahui sesuatu. Objek disini adalah benda atau hal yang diselidiki yang
merupakan realitas bagi manusia yang menyelidiki. Pengetahuan merupakan
proses dari manusia untuk tahu. Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau
pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf,
mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu semua milik atau isi pikiran.

Dengan potensi yang ada, manusia dapat membaca, memahami, meneliti,
dan menghayati fenomena alam yang nantinya dapat menimbulkan pengetahuan.
Fenomena alam ini disebut juga ayat-ayat kauniyah. Fenomena lainnya adalah
berupa quraniyah yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an bukan sekedar buku atau dokumen
sejarah, tapi juga sebuah kenyataan hidup dan berlaku dalam kehidupan manusia.
Semua itu dapat menimbulkan pengetahuan bagi manusia yang mau membaca,
meneliti, dan menghayati fenomena tersebut.
Pengetahuan pada hakikatnya adalah salah satu sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Tingginya derajat pengetahuan yang dimiliki seseorang bukan

untuk kesombongan, tapi untuk memperbanyak syukur atas nikmat pengetahuan
yang diberikan. Agar pengetahuan dapat membimbing seseorang menuju Allah,
maka pengisiannya harus bersentuhan dengan unsur fitri manusia seperti roh,
qalbu, akal, dan nafsu.
Teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan ilmu pengetahuan untuk
memanfaatkan alam bagi kesejahteraan dan kenyamanan manusia. Dengan
demikian mesin atau alat canggih yang digunakan manusia bukanlah teknologi,
namun merupakan hasil dari teknologi. Ketersediaan lahan yang diciptakan Allah
mengantarkan manusia berpotensi memanfaatkan alam. Keberhasilan
memanfaatkan alam ini merupakan hasil dari teknologi.
Seni merupakan keindahan yang mengekspresikan roh dan budaya
manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan dan lahir dari sisi
terdalam manusia yang didorong oleh kecenderungan kepada yang indah.
Kemampuan berseni merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk
lain. Islam mendukung kesenian selama penampilannya mendukung fitrah
manusia yang suci. Kawasan keindahan sangat luas bagi manusia, seluas
keanekaragaman dan perkembangan peradaban teknologi, sosial, dan budaya
manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keindahan merupakan bagian
dari kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Fenomena dan kecenderungan kehidupan dunia saat ini memang sangat
dipengaruhi oleh pesatnya kemajuan iptek dengan segala dampaknya, baik yang
positif maupun yang negatif. Hal ini mendorong terjadinya arus globalisasi yang
mengalir deras dan mendatangkan berbagai implikasi di semua aspek kehidupan
manusia. Manusia berhadapan dengan kemajuan iptek yang berkembang pesat
serta berada di dalam arena percaturan hidup yang kompleks dan ditandai dengan
berkembangnya sikap dan gaya hidup global. Di sini iman berperan sebagai
pengendali sikap dan perilaku kehidupan manusia, maupun sebagai landasan
moral, etika, dan spiritual masyarakat suatu bangsa dalam melaksanakan
pembangunan di segala bidang.
Penguasaan, pengembangan, dan pendayagunaan iptek yang tidak disertai
dengan keluhuran akhlak atau budi pekerti, akan membawa manusia atau suatu
bangsa menuju kepada penderitaan dan kesengsaraan atau bahkan kehancuran.
Oleh karena itu, penguasaan, pengembangan, dan pendayagunaan iptek harus
selalu berada di jalur nilai keimanan dan kemanusiaan yang luhur.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menghendaki manusia bersikap
dan berpikir kritis terhadap fenomena alam semesta dan terhadap dirinya sendiri,
misalnya Surat Fushshilat ayat 53. Dengan bersikap dan berpikir kritis diharapkan
dapat mengantarkan seseorang kepada iman yang makin kuat melalui pengakuan
akan kebesaran Allah dan kesempurnaan nikmat-Nya.

Iptek dan segala hasilnya harus mengingatkan manusia kepada Allah dan
kepada diri sendiri bahwa manusia adalah khalifah alam semesta. Berdasarkan
petunjuk Al-Qur’an, manusia dapat menerima hasil iptek yang tidak menyebabkan
maksiat dan bermanfaat bagi manusia. Jika penggunaan hasil iptek melalaikan
seseorang dari dzikir dan tafakkur serta mengantarkan kepada keruntuhan nilai
kemanusiaan, manusia harus diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan
teknologi. Jika hasil iptek sejak awal diduga dapat menggeserkan manusia dari jati
diri dan tujuan penciptaan, sejak dini pula kehadirannya ditolak oleh Islam karena
menjadi persoalan besar bagi martabat manusia mengenai cara memadukan
mekanik demi penciptaan ipek dengan pemeliharaan nilai fitrahnya. Oleh karena
itu, diharapkan iptek dapat searah dan sejalan dengan nilai ilahiah.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk terus berupaya meningkatkan
kemampuan ipteknya, misalnya Surat Thaha ayat 114 dan Yusuf ayat 72. Nabi
Muhammad SAW juga diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu
ditambahkan ilmu pengetahuan karena di atas setiap pemilik pengetahuan ada
yang amat mengetahui, yaitu Allah. Hal ini memotivasi manusia untuk
mengembangkan ipteknya dengan memanfaatkan anugerah Allah yang
dikaruniakan kepadanya. Oleh karena itu, perkembangan iptek tidak dapat
dibendung. Manusia harus mengarahkan diri agar tidak menurutkan nafsunya
untuk mengembangkan iptekyang dapat membahayakan diri dan lingkungannya.
Mengenai seni, islam dapat menerima semua hasil karya manusia selama
sejalan dengan pandangan islam. Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk
menegakkan kebajikan, melaksanakan perbuatan ma’ruf dan mencegah perbuatan
yang munkar. Kesenian yang ma’ruf merupakan budaya masyarakat yang sejalan
dengan nilai islam, sedangkan yang munkar adalah perbuatan yang tidak sejalan
dengan nilai islam. Setiap orang hendaknya memelihara nilai seni yang ma’ruf
dan sejalan dengan ajaran islam. Hal ini mengantarkan mereka untuk memelihara
hasil kesenian setiap manusia. Seandainya ada pengaruh yang dapat merusak
kebudayaan dan kreasi seni suatu masyarakat, seorang muslim harus tampil
mempertahankan yang ma’ruf yang telah ada dan diakui masyarakat. Dengan
demikian, pada hakikatnya islam sangat menghargai segala kreasi manusia,
termasuk kreasi manusia yang lahir dari penghayatan manusia terhadap wujud
alam semesta, selama kreasi tersebut sejalan dengan fitrah kesucian jiwa manusia.
Dalam pandangan islam, antara islam, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni terdapat hubungan yang harmonis dan dinamis yang terintegrasi dalam suatu
sistem yang disebut dinul islam. Di dalamnya terkandung tiga unsur pokok, yaitu
akidah, syariah, dan akhlak, dengan kata lain iman, ilmu, dan amal saleh.
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Kesempurnaannya dapat
tergambar dalam keutuhan inti ajarannya. Ada tiga inti ajaran islam, yaitu iman,
islam, dan ihsan. Dalam Surat Ibrahim 24-25 dinyatakan:

‫ب اا‬
َ ‫اُ َمثَ ًل َكلِ َمةً طَيّبَةً َك َش َج َر ٍة‬
ٌ ِ‫صلُهَا ثَاب‬
ۡ َ‫طيّبَ ٍة ا‬
۲۴﴿ ‫ت ّوفَ ۡر ُعهَا فِى ال ّس َمء ۙ ِء‬
َ ‫ض َر‬
َ َ‫﴾اَلَمۡ تَ َر َك ۡيف‬
‫ض ِربُ ا ا‬
ۡ َ‫﴾تُ ۡؤتِ ۡۤى اُ ُكلَهَا ُك ّل ِح ۡي ۢ ٍن بِا ِ ۡذ ِن َربّهَاؕ َوي‬
۲۵﴿ َ‫اس لَ َعلّهُمۡ يَتَ َذ ّكر ُۡون‬
ِ ّ‫اُ ۡالَمۡ ثَا َل لِلن‬
“Tidakkah kamu kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik (Dinul Islam) seperti sebatang pohon yang baik,
akarnya kokoh (menghujam ke bumi) dan cabangnya menjulang ke langit. Pohon
itu mengeluarkan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat
perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.
Ayat di atas menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu, dan amal
dengan menganalogikan dinul islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Hal ini
menggambarkan iman, ilmu, dan amal merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan. Iman diidentikkan dengan akar yang menopang tegaknya
ajaran islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan dan cabang
ilmu pengetahuan. Amal ibarat buah dari pohon yang menggambarkan teknologi
dan seni. Iptek yang dikembangkan di atas nilai iman dan ilmu akan menghasilkan
amal saleh, bukan kerusakan alam.
Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya dengan ikhlas merupakan
orang yang dihargai.
Salah satu bentuk pengamalannya adalah dengan
mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Orang yang berilmu tapi tidak
mengamalkannya termasuk orang yang celaka.
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai abdun (hamba
Allah) dan sebagai khalifah di bumi. Esensi dari abdun adalah ketaatan,
ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah, sedangkan esensi khalifah adalah
tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, baik lingkungan sosial
maupun lingkungan alam. Dalam konteks abdun, manusia menempati posisi
sebagai ciptaan Allah yang memiliki konsekuensi adanya keharusan untuk taat
dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia menghambakan diri kepada
Allah akan menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Allah berupa
potensi sempurna yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu potensi akal.
Hilangnya rasa syukur mengakibatkan manusia menghambakan dirinya kepada
selain Allah, misalnya hawa nafsu. Keikhlasan penghambaan diri kepada Allah
akan mencegah penghambaan diri kepada sesama manusia atau hawa nafsu.
Manusia diciptakan dengan dua kecenderungan, yaitu kecenderungan
kepada ketakwaan dan kecenderungan kepada kefasikan. Allah SWT berfirman:
۸﴿ ۙ ‫﴾فَا َ ۡلهَ َمهَا فُج ُۡو َرهَا َوت َۡق او ٮهَا‬
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia kefasikan dan ketakwaan.”
Asy-Syams:8
Dengan adanya dua kecenderungan tersebut, Allah memberi petunjuk
berupa agama sebagai alat bagi manusia untuk mengarahkan kepada keimanan

dan ketakwaan, bukan kepada kejahatan yang didorong oleh nafsu amarah. Untuk
itu Allah berfirman:
۱۰﴿ ‫﴾ َوهَد َۡي انهُ النّ ۡجد َۡي ۚ ِن‬
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” Al-Balad:10
Dalam hal ini, berdasarkan petunjuk Allah SWT, maka akal memiliki
kemampuan untuk memilih salah satu yang terbaik bagi dirinya.
Fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi berarti manusia memiliki
tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungan tempat
mereka tinggal. Manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi, menggali
sumber daya, dan memanfaatkan dengan sebaik mungkin karena alam diciptakan
untuk kehidupan manusia. Untuk menggali sumber daya dan memanfaatkan alam
diperlukan ilmu pengetahuan yang cukup, sehingga hanya orang yang memiliki
pengetahuan cukup yang bisa melakukannya. Orang-orang tersebut harus sadar
bahwa potensi sumber daya alam dapat habis jika tidak dijaga keseimbangannya.
Oleh karena itu, tanggung jawab kekhafilahan banyak bertumpu pada
ilmuwan dan cendekiawan. Orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan tidak
mungkin mengeksploitasi alam karena tidak memiliki kemampuan dan
kesanggupan untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan mereka tidak sanggup
menjaga keseimbangan dan kelestariannya secara sistematis.
Kerusakan alam dan lingkungan lebih banyak disebabkan oleh perbuatan
manusia. Mereka berkhianat terhadap perjanjiannya kepada Allah sebagai khalifah
yang menjaga kelestarian alam, sebagaimana firman Allah SWT:
ۡ
ۡ
ۡ
۴۱﴿ َ‫ض الّ ِذ ۡى َع ِملُ ۡوا لَ َعلّهُمۡ يَ ۡر ِجع ُۡون‬
َ ‫اس لِيُ ِذ ۡيقَهُمۡ بَ ۡع‬
ِ ّ‫﴾ظَهَ َر الفَ َسا ُد فِى البَرّ َوالبَ ۡح ِر بِ َما َك َسبَ ۡت اَ ۡي ِدى الن‬
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” ArRum:41
Dua fungsi di atas merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah dan
simbol kedua fungsi itu adalah dzikir dan fikir.
Untuk menjalankan tanggung jawabnya, manusia diberi keistimewaan
berupa kebebasan untuk memilih dan berkreasi sekaligus menghadapkannya
dengan tuntutan kodratnya sebagai makhluk psiko-fisik. Namun ia harus sadar
akan keterbatasannya yang menuntut ketaatan dan ketundukan kepada aturan
Allah, baik ketaatan terhadap perintah ibadah langsung (fungsi sebagai abdun)
maupun ketaatan terhadap sunatullah di alam (fungsi sebagai khalifah). Perpaduan
antara tugas ibadah dan khalifah akan menciptakan manusia yang ideal, yaitu
manusia yang selamat dunia dan akhirat.