MAKALAH TENTANG DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDAN
MAKALAH TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
Disusun oleh:
1. Agnelia Andini (205170141)
2. Laaesa Nur Prama (205170150)
3. Novi Christi (205170191)
4. Sabrina Sana’a Husna (205170248)
5. Yunita Wahyu Medyawati (205170241)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “Pertanggungjawaban Pidana”
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak R. Rahaditya SH.,M.H. yang telah membimbing dan memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat untuk memberikan edukasi
agar terhindar dari tindak pidana yang dapat merugikan korban dan diri sendiri. Juga dapat
mengetahui bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hokum pidana positif. Namun
dalam pembuatan makalah ini tentu masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan makalah kami dimasa yang akan
datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, Saran dan kritik dari
pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki makalah ini nantinya.
Jakarta, Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan
yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai
pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat
absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict liability ,vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon,
culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek
tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas
itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun
orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan,
hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi
dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
B.
Rumusan Permasalahan
1.
Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2.
Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat
kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan
dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku
tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah
orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner
kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan
tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan
dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan
pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari
terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan
tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang
yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
A.
Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid
atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2]
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana)
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya
pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah
diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara
subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai
pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi
pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya
celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna
manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang
berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk
dapat dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan
katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5]
Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah
orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain
memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir,
karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan
kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternative.
Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dpat
dilepaskan dari berbagai pertimbahangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat.
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai
berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat
hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam
An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the
simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected
to the exaction[7]
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound
membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara
sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,
menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan” . Sejalan dengan semakin
efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu
kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat
penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak
istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari
nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan
yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]
B.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana,
apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam
menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.
Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum
pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur
sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif
yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan
kealpaan).
a). Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang
dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang
tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut
dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja
dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau
benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas
kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b). Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah
ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan
KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana,
serta proses beracara di pengadilan.
Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif
dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial
ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana
dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law
system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[9]
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48,
49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat
dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian,
konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan
pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.[11]
Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari
sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak
pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang
dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia
tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula
selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan
mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian
diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus
dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah
diri daripada si pembuatnya.
Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan:
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a. Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan
masyarakat;
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka
terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus
diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
b. Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta
akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta; Rineka Cipta
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana.
Prakoso, Djoko, SH. 1987, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
http://princemalekrove.blogspot.co.id/2012/05/pertanggungjawaban-pidana.html
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/12/makalah-hukum-pidana-pertanggungjawaban.html
PIDANA
Disusun oleh:
1. Agnelia Andini (205170141)
2. Laaesa Nur Prama (205170150)
3. Novi Christi (205170191)
4. Sabrina Sana’a Husna (205170248)
5. Yunita Wahyu Medyawati (205170241)
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “Pertanggungjawaban Pidana”
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak R. Rahaditya SH.,M.H. yang telah membimbing dan memberikan tugas ini.
Kami sangat berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat untuk memberikan edukasi
agar terhindar dari tindak pidana yang dapat merugikan korban dan diri sendiri. Juga dapat
mengetahui bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hokum pidana positif. Namun
dalam pembuatan makalah ini tentu masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan makalah kami dimasa yang akan
datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
kami yakin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, Saran dan kritik dari
pembaca sangat kami butuhkan untuk memperbaiki makalah ini nantinya.
Jakarta, Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas
kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas. Sistem pertanggungjawaban pidana
dalam hukum pidana nasional yang akan datang menerapkan asas tiada pidana tanpa kesalahan
yang merupakan salah satu asas fundamental yang perlu ditegaskan secara eksplisit sebagai
pasangan asas legalitas. Kedua asas tersebut tidak dipandang syarat yang kaku dan bersifat
absolut. Oleh karena itu memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas
strict liability ,vicarious liability, erfolgshaftung, kesesatan atau error, rechterlijk pardon,
culpa in causa dan pertanggungjawaban pidana yang berhubungan dengan masalah subjek
tindak pidana. Maka dari itu ada pula ketentuan tentang subjek berupa korporasi. Semua asas
itu belum diatur dalam KUHP (Wvs).
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Tindak
pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun
orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan,
hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai
kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana : “
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan “. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi
dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
B.
Rumusan Permasalahan
1.
Apa definisi dari pertanggungjawaban pidana itu?
2.
Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini?
BAB II
PEMBAHASAN
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat
kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan
dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku
tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah
orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner
kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan
tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan
dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan
pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak
pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari
terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan
tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang
yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
A.
Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid
atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu
tindakan pidana yang terjadi atau tidak[1].
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992) dirumuskan bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.[2]
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang (pidana)
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya
pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah
diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara
subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat undang-undang yang dapat dikenai
pidana karena perbuatannya itu.[3]
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan definisi
pertanggungjawaban pidana sebagai berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya
celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna
manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak
pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan
(vewijbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang
berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk
dapat dikenai pidana karena perbuatannya.[4]
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan
katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.[5]
Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah
orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban kepada orang. Biasa pengarang lain
memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir,
karena bukan orangnya tetapi perbuatan yang toerekeningsvatbaar.[6]
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan
kriminal merupakan persoalan pemilihan dari berbagai alternative.
Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dpat
dilepaskan dari berbagai pertimbahangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat.
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai
berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat
hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam
An Introduction to the Philosophy of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the
simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally subjected
to the exaction[7]
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound
membahasnya dari sudut pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara
sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama,
menurut Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan” . Sejalan dengan semakin
efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu
kedamaian dan ketertiban, dan adanya keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat
penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak
istimewa” kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebut tidak lagi dari
nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian atau penderitaan
yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8]
B.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana,
apabila ia tidak melakukan tindak pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam
menjatuhkan pidana unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.
Gambaran itu dapat dilihat dalam bentuk skema berikut:
TINDAK PIDANA + PERTANGGUNGJAWABAN = PIDANA
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang sentral dalam hukum
pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam lapangan objektif yang diikuti oleh unsur
sifat melawan hukum, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif
yang terdiri dari kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan dan
kealpaan).
a). Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
KUHP tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban pidana yang
dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Namun sayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut oleh undang-undang
tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan tidak ada keterangan lebih lanjut
dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-pasal tersebut sengaja
dibuat begitu, dengan maksud ke arah pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau
benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian terhadap asas
kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
b). Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, seperti contoh dalam perundang-undangan dibawah
ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan KUHP dan
KUHAP yang bersifat umum, terutama mengenai subjek delik dan pertanggungjawaban pidana,
serta proses beracara di pengadilan.
Dari masing-masing undang- undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif
dalam menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan sosial
ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan.
Baik negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban pidana
dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law
system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
pembuat tidak dipertanggungjawabkan.[9]
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48,
49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat
dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini,
dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian,
konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan
pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana.[10]
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif hukum pidana.[11]
Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini mungkin pembuat menyadari
sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya. Dengan demikian, konsekuensi atas tindak
pidana merupakan risiko yang sejak awal dipahami oleh pembuat.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang
dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang
dilakukannya. Maka, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap pelanggaran atas
“kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana jika ia
tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah melakukan tindak pidana, tidak pula
selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan
mempunyai kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Pertanggung jawaban bisa terjadi apabila celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian
diteruskan kepada si terdakwa, jadi yang obyektif sifat tercelanya itu, secara subyektif harus
dipertanggungjawabkan kepadanya, hal ini terjadi karena musabab dari pada perbuatan itu adalah
diri daripada si pembuatnya.
Dalam menentukan bahwa seseorang itu bersalah atau tidak harus diperhatikan:
a. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan.
b. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan yang dilakukan.
Seseorang mampu bertanggungjawab harus memenuhi syarat:
a. Dapat memenuhi makna yang senjatanya dari pada perbuatannya;
b. Dapat menginsafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan
masyarakat;
c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
Kesengajaan dan kelalaian merupakan unsur kesalahan, jika tidak ada salah satunya maka
terdakwa tidak dipidana apabila seseorang sudah dituduh melakukan perbuatan pidana, maka harus
diselidiki apakah ada atau tidak dari kedua unsur tersebut
Pembuktian tentang kesengajaan dapat menempuh dua jalan:
a. Membuktikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan.
b. Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan beserta
akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.
Yang dimaksud dengan poging adalah pelaksanaan awal suatu kejahatan yang tidak diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Moeljatno, Prof. SH. 2008, Asas Asas Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta; Rineka Cipta
Hatrik, Hamzah, SH. MH. 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo.
Huda, Choerul, Dr.SH. MH. , 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana.
Prakoso, Djoko, SH. 1987, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
http://princemalekrove.blogspot.co.id/2012/05/pertanggungjawaban-pidana.html
http://knowledgeisfreee.blogspot.co.id/2015/12/makalah-hukum-pidana-pertanggungjawaban.html