Tata Cara Shalat Nabi SAW Makalah ini di (1)

Tata Cara Shalat Nabi SAW
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan 3
Dosen Pengampu: H. Iyus Herdiana Saputra, M.S.I.

Disusun oleh:
Kelompok 2
Kelas 3D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2017
MOTTO

i

Q.S Az-Zukhruf : 35

Artinya : “ dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan dari emas. Dan semua
itu tidak lain hanyalah kesenangan kehiddupan dunia, sedangkan kehidupan

akhirat sisi – sisi Tuhanmu disediakan bagi orang –orang yang bertakwa.”
“Dan sesungguhnya orang – orang yang berakal itu ialah orang yang bertakwa,
walaupun dalam kehidupan dunia ini ia tergolong rendah dan hina.” (H.R. AlHarits bin Usamah)

Anggota Kelompok 8 :
1. Istikomah

(162140103)

2. Ika Safitri

(162140)

3. Ahmad Khanifudin (162140)

ii

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan

kemudahan kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Tata Cara Sholat Nabi”.
Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan petunjuk dari
berbagai pihak, oleh karena itu dengan kerendahan hati kami ucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Iyus Wardana, M.Pd. selaku pembimbing mata kuliah Perkembangan
Peserta Didik yang telah membimbing dengan penuh kecermatan dan
ketelitian.
2. Kedua orang tua yang telah memberikan bimbingan dan do’a restunya.
3. Teman-teman kelas 3D yang selalu memotivasi dan memberikan saran.
4. Seluruh staf dan karyawan perpustakaan Universitas Muhammadiyah
Purworejo yang telah memberi fasilitas peminjaman buku sebagai sumber
pustaka.
Segala daya telah kami curahkan untuk sempurnanya makalah ini. Namun
penulis sadar, masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan
kritik dan saran demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pemerhati pendidikan pada umumnya,
serta merupakan sebuah pengabdian kita kepada Allah SWT.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.


Purworejo,

iii

Oktober 2017

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................

i

MOTTO................................................................................................................

ii

KATA PENGANTAR.........................................................................................

iii


DAFTAR ISI........................................................................................................

iv

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan Makalah.................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN MASALAH ................................................................. 3
A. Pengertian Perkembangan................................................................... 3
B. Perkembangan Intelektual................................................................... 3
BAB IV PENUTUP.............................................................................................. 26
A. Simpulan............................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA

iv


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ibadah merupakan suatu kewaajiban bagi umat manusia terhadap
tuhannya dan dengan ibadah manusia akan mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan di Dunia dan di Akhirat nanti. Bentuk dan jenis Ibadah sangat
bermacam-macam, seperti shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, jihad dan
lainnya.
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang
sudah baligh, berakal, dan harus dikerjakan bagi seorang mukmin dalam
keadaan bagaimanapun.
Shalat merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat. Sehingga barang
siapa yang mendirikan agama, dan barang siapa yang meninggalkan shalat,
maka ia meruntuhkan agama(Islam).
Shalat yang wajib harus didirikan dalam sehari semalam sebanyak lima
kali, berjumlah 17 raka’at. Shalat tersebut wajib dilaksanakan oleh muslim
baligh tanpa terkecuali baik dalam keadaan sehat maupun sakit, dalam
keadaan susah maupun senang, lapang ataupun sempit. Selain shalat wajib

yang lima ada juga shalat sunah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian Shalat?
2. Bagaimana tata cara Shalat Nabi SAW?

C. TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui apa itu pengertian dari Shalat.
2. Untuk mengetahui bagaimana tata cara Shalat Nabi SAW.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat
Menurut bahasa, shalat berarti (do’a) atau rahmat. Shalat dalam arti doa
bisa ditemukan dalam QS.At-Taubah/9:103. Sedangkan shalat dalam arti
rahmat bisa ditemukan dalam QS.Al-Ahzab/33:43. Adapun pengertian shalat
menurut istilah adalah:...
“Suatu ibadah yang terdiri dari ucapan dan perbuatan tertentu yang dibuka

dengan takbir dan ditutup dengan salam.”
Di dalam islam, shalat mempunyai arti penting dan kedudukan yang sangat
istimewa, antara lain:
1. Shalat merupakan ibadah yang pertama kali diwajibakan oleh Allah SWT
yang perintahnya langsumg di terima oleh Rasulullah SAW pada malam
Isra-Mi’raj (QS.Al-Asra’/17:1).
2. Sholat merupakan tiang agama. Nabi SAW bersabda:....
“Pokok perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya
adalah jihad.”
3. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat.
Nabi SAW bersabda:...
“Yang pertama kali dihisab (amalan) seorang hamba pada hari kiamat
adalah shalat...”(HHR.Al-Tirmidzi, Al-Nasa’I, Ibn Majah, Ahmad dan
Al-Thabrani.)
B. Tata Cara Shalat Nabi Muhammad saw.
Tata cara shalat haruslah sesuai dengan yang diajarkan oleh junjungan
kita, Nabi Muhammad saw. Sebuah hadits yang masyhur, Rasulullah
bersabda: Shalat lah kamu sekalian sebagaimana melihatku shalat. Cara

2


Shalat yang benar telah banyak dibahas dalam berbagai macam buku baik
buku fiqih maupun buku yang secara khusus membahas cara shalat.
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah mendirikan shalat lima
waktu (fardhu). Sholat fardhu merupakan salah satu dari rukun Islam yang
lima, sehingga bagaimanapun keadaannya, seorang muslim tidak boleh
meninggalkannya. Bahkan saat seorang muslim tidak bisa menggerakan
tangan dan kakinya, selama dia masih sadar, shalat ini tetap tidak boleh
ditinggalkan. Pada dasarnya semua shalat baik yang fardhu maupun sunnah
itu memiliki tata-gerakan yang sama, kecuali pada shalat jenazah dan shalat
gerhana.
Berikut ini adalah tata cara sholat Nabi Muhammad saw:
1. Niat

di

dalam

hati


secara

ikhlas

karena

Allah

semata

(QS.Al-Bayyinah/98:5). Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan
mulut sehingga tidak perlu diucapkan. Apalagi tidak ada satu pun hadis
yang menjelaskan tentang adanya tuntunan melafalkan niat ketika hendak
memulai shalat. Niat secara bahasa berarti menyengaja (al-qasdhu:
maksud) sehingga siapapun yang menyengaja suatu perbuatan maka
sebenarnya ia telah mempunyai niat di dalam hatinya.
2. Berdiri sempurna menghadapp ke arah qiblat. Hal ini dipahami dari
firman Allah SWT: ....
“Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha (yakni
shalat ‘Ashr). Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan

khusyu.”(QS.Al-Baqarah/2:238)
Demikian pula sabda Nabi saw ketika menjawab pertanyaan sahabat
‘Imran binHushain yang sedang sakit ambeyen (wasir): ....
“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka (shalatlah)
dengan duduk, dan jika tetap tidak mampu maka dengan berbaring!”
(HSR.Al-Bukhari, dari ‘Imran bin Hushain).
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya shalat itu
diperintahkan dengan berdiri. Namun jika dalam keadaan darurat, sulit
dan tidak memungkinkan untuk berdiri misalnya karena sakit, berperang,

3

musafir di atas kendaraan, maka diperbolehkan duduk, bahkwan jika tidak
mampu duduk.
3. Bertakbir dengan mengucapkan ...
Takbir pertama ini disebut takbiratul-ihram. Disebut demikian karena
setelah takbir ini diharamkan melakukan gerakan lain di luar gerakan
yang dituntunkan dalam shalat hingga salam.
Takbir ini disyari’atkan dengna berdasarkan beberapa hadis, antara lain
hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda:....

“Apabila kamu bangkit berdiri untuk shalat, maka sempurnakan dalam
berwudlu, kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbirlah, kemudian
bacalah Al-Qur’an yang paling mudah yang ada padamu!” (Muttafaq
‘alayh)
Cara melakukan takbiratul-ihram yaitu:
a. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga dan bahu sekaligus,
sambil bertakbir: Allahu Akbar. Dasarnya adalah hadis dari Abu
Qilabah bahwa Malik bin al-Huwayrits ra:
“Apalagi bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
keduanya sejajar dengan kedua telinganya.” (HSR. Muslim, alBayhaqi dan Ibn Hibban. Dalam redaksi yang lain riwayat Muslim,
Abu Dawud, al-Nasai dan Ahmad, dari Wa’il menyebutkan :...
“sejajar dengan kedua telinganya” atau .... : “hingga keduanya sejajar
dengan kedua bahunya sedang kedua ibu jarinya sejajar dengan
kedua telinganya lalu bertakbir.” (Abu Dawud, 2/385:622)
Ibn ‘Umar ra juga menceritakan bahwa Nabi saw: ...
“Apabila (beliau saw) berdiri untuk shalat, beliau mengangkat kedua
tanganyya hingga keduanya sejajar bahunya...” (HR.Jama’ah. dalam
redaksi Musmil (juz 2/6:888), Abu Dawud, al-Nasa’I, dan alBayhaqimada tambahan: ... “kemudian bertakbir”). Tapi redaksi
muslim yang lain bahwa Malik bin al-Huwayrits:... :”bertakbir
kemudian mengangkat kedua tangannya”. (HSR.Muslim 2/7:890,
Malik, al-Bayhaqi).

4

Karena kedua cara ini sama-sama didasarkan pada hadis sahih,
maka tidak perlu dipertentangkan satu sama lain, apakah mau
mengangkat kedua tangan dahulu kemudian bertakbir, ataukah
bertakbir dulu lalu mengangkat tangan. Bisa jadi pula cara
pelaksanaannya secara bersamaan karena umumnya redaksi yang
lebih kuat (seperti: al-Bukhari), tidak menyebutkan kata urutan: ...
(kemudian), tapi ketika kata penggabungan: .. (dan) seperti: ... atau ...
(saat/ketika) yang tidak mesti menunjukkan urutan, tapi bisa juga
menunjukkan waktu bersamaan/sekaligus. Redaksi al-Bukhari dan Ibn
‘Umar yang lain bahwa ia melihat Nabi saw:...
“Beliau (Nabi saw) membuka takbir shalat dengan mengangkat kedua
tangan saat bertakbir hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua
bahunya, dan bila bertakbir untuk ruku’ juga berbuat seperti itu, bila
beliau berkat:”sami’a-llahu li man hamidah” beliau juga berbuat
seperti itu dan berdoa: “robbana walakal-hamd”. Beliau tidak
berbuat seperti itu (yakni tidak mengangkat kedua tangan) saat sujud
dan tidak pula saat mengangkat kepalanya dari sujud.” (HR.AlBukhari I/258, no:705;al-Nasa’I 2/121:876
b. Meletakkan tangan kanan di atas punggung pergelangan dan lengan
kiri, dan mengencangkan keduanya dia atas dada.
Menurut Wa’il bin Hujr ra bahwa:...
“Beliau (Nabi saw) meletakkan tangannya yang kanan di atas
punggung

telapak

tangan

kirinya,

pergelangan

dan

lengan

bawahnya.” (HSR.Abu Dawud, Ahmad, al-Bayhaqi, Ibn Khuzaymah,
Ibn Hibban)
Hadis senada berasal dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’ad ra.
Bahwa:...
“Orang-orang diperintahkan (oleh Nabi saw) agar meletakkan
tangan kanannya dia atas lengan kirinya dalam shalat” (HSR.AlBukhari, Malik)

5

Dalam HR. Ibn Khuzaymah yang lain juga dari Wa’il ra. bahwa
setelah takbiratul-ihram, posisi tangan kanan Nabi saw diletakkan di
atas tangan kiri dalam keadaan memegang tangan kiri:...
“Ketika bertakkbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
sejajar dengan kedua telingannya kemudian beliau meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya

lalu memegangnya.”

(HRR.Ibn Khuzaymah)
Hadis yang lain menyebutkan bahwa kedua tangan tersebut diletakkan
dia atas dada. Hal ini diriwayatkan bahwa saat Nabi saw bangkit
menuju mihrab untuk shalat:...
“Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dengan bertakbir,
kemudian meletakkan tangan kanannya dia atas tangan kirinya di
atas dadanya.” (HHR.Al-Bayhaqi dan al-Thabrani)
Sekiranya hadis yang menuntunkan untuk meletakkan tangan kanan di
atas pergelangan dan lengan tangan kiri dipraktekkan dengan benar
maka letak kedua tangan pasti akan berada di atas pusar (yakni: di
dada), bukan di bawah pusar apalagi hadisnya daif dan munkar.
c. Pandangan kea rah tempat sujud (HR.Al-Bayhaqi dan al-Hakim),
tidak boleh menutup mata (Jawa: merem), tidak boleh menengadah ke
atas (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud), dan tidak memalingkan
pandangan (al-iltifat) ke kanan-kiri (HR. Al-Bukhari).
d. Kemudian membaca salah satu do’a iftitah berikut:...
“Ya

Allah

jauhkanlah

antara

diriku

dengan

kesalahanku

sebagaimana Engkau jauhkan antara Timur dan Barat, Ya Allah
bersihkanlah diriku dari segala kesalahan sebagaimana bersihnya
kain putih dari kotoran, Ya Allah cucilah segala kesalahanku dengan
air, salju dan embun.”(HSR.Jama’ah)
Atau membaca doa yang lebih panjang:
“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan
bumi dengan tunduk dan berserah diri, san tidaklah aku termasuk
orang-orang musyrik. Sungguh shalatku, pengabdianku, hidup dan

6

matiku adalah bagi Allah Tuhan sekalin alam, tidak ada sekutu
bagiNya dan untuk itulah aku diperintahkan, dan saya termasuk
orang yang berserah diri. Ya Allah Engkaulah Yang Maha Kuasa,
Tidak ada tuhan selain Engkau, Engkaulah Tuhanku, dan sayalah
hambaMu, aku telah berbuat aniaya terhadap diriku dan kuakui
dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku seluruhnya, tidak ada yang
mampu mengampuni dosa-dosa itu kecuali hanya Engkau, dan
tunjukilah aku akhlak yang terbaik kecuali hanya Engkau, dan
jauhkanlah aku dari akhlaq yang jelek, tidak ada yang dapat
menjauhkannya dari hamba kecuali hanya Engkau. Aku penuhi
seruanMu, aku patuhi perintahMu, dan semua kebaikan berada di
tanganMu, sedang semua kejahatan bukanlah dariMu. Aku dengan
Engkau dan kembali kepadaMu, Engkaulah yang Maha Memberkati
dan Maha Mulia, aku mohon ampun dan bertobat kepadaMu”.
(HSR.Jamaah kecuali al-Bukhari, dari Ali bin bi Thalib)
4. Membaca Surat Al-Fatihah secara tartil (jelas dan perlahan) dengan
sebelumnya ta’awwudz tanpa dikeraskan, lalu membaca basmalah (yakni
“Bimillahir-rahmanir-rahim”).
Membaca al-Fatihah dalam shalat ini wajib berdasarkan hadis Nabi saw:..
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul-Kitab”.
(HSR.Al-Jama’ah kecuali Imam Malik, dari ‘Ubadah bin al-Shamit.
Dalam HSR. Al-Jama’ah selain al-Bukhari, dari Abu Hurayrah ra
disebutkan bahwa:
“Siapa yang shalat tanpa membaca Ummul-Qur’an,...: maka shalatnya
kurang/bunting (diulang hingga 3x), tak sempurna.”)
Penekanan hadis di atas adalah pada ketidakabsahan shalat
seseorang yang tidak membaca al-Fatihah padahal dia mampu dan punya
kesempatan membacanya, misalnya pada kasus shalat sendirian. Tetapi
untuk kasus shalat berjama’ah di mana ma’mun masbuq (terlambat) tidak
sempat mendapatkan bacaan al-Fatihah imam tetapi masih mendapatkan
ruku’ bersama imam maka shalatnya tetap sah dan sudah dihitung

7

mendapat 1 rakaat, hanya saja kurang sempurna karena ia melewatkan alFatihah bersama imam.
Para ulama berbeda pendapat dalam membaca basmallah saat
membaca surat al-Fatihah dalam shalat jahr. Ada yang membacannya
dengan keras (jahr), ada juga yang melirihkannya (sir), bahkan ada yang
sama sekali tidak membacanya. Bagaimanapun juga basmallah sudah
masuk dalam bagian al-Fatihah sehingga tetap harus dibaca. Hanya saja
umumnya ulama berbeda pendapat, apakah dalam shalat jahar basmallah
dibaca keras ataukah dibaca lirih. Yang jelas kedua cara ini ada dasar
hadisnya.
Menurut riwayat Nu’aim al-Mujmir ra. bahwa:...
Aku pernah shalat di belakang Abu Hurayrah ra. maka beliau membaca
Bismillahir-rahmanir-rahim,

lalu

membaca

Ummul-Qur’an....,

ia

berkata: “Demi Dzat yang diriku ada dalam grnggamannNya, sungguh
aku menyerupakan pada kalian shalat Rasulullah saw.” (HR.Al-Nasa’I,
al-Bayhaqi, al-Daruquthni, Ibn Hibban dan Ibn Khuzaymah).
Hadis tersebut sering dijadikan sebagai dalil mengeraskan bcaan
basmalah. Sedangkan dasar hadis melirihkan basmalah adalah hadis
riwayat Anas bin Malik ra. bahwa:...
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah saw, Abu Bakr, ‘Umar, dan
‘Utsman, aku tak mendengar satupun di antara mereka yang membaca
Bismillahir-rahmanir-rahim.”(HSR,Muslim, al-Nasa’I, Ahmad).
Setelah membaca al-Fatihah langsung membaca Amin. Setelah itu,
membaca surat atau kelompok ayat lain yang mudah dalam al-Qur’an
tanpa mengeraskan basmalah (HR. Mualim dan Ahmad).
5. Ruku’. Angkat kedua tangan seperti takbiratul-ihram sambil bertakbir:
Allahu Akbar menuju

keposisi ruku’. Dasarnya adalah firman Allah

SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” (QS.A-Hajj/22:77)

8

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa posisi kedua tangan saat
ruku’ ada pada kedua lutut dalam keadaan menggenggam, sehingga sudut
ruku’ diperkirakan 90 derajat bujur sangkar.
“Sesungguhnya Rasulullah saw ruku’ lalu beliau letakkan kedua
tangannya di atas lututnya seakan-akan menggenggamnya.” (HSR. AlTirmidzi 2/45:260; Abu Dawud 1/267:734; dan al-Darimi 1/341:1307)
Ketika sedang ruku’ dituntunkan membaca do’a:...
“Maha Suci Engkau ya Allah: Tuhan kami dan dengan memuji kepada
Engkau ya Allah ampunilah hamba.” (Muttafaq ‘alayh, dari ‘Aisyah).
Atau ....: “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung.” (HSR. Muslim, alTirmidzi, al-Nasa’I dan Ahmad, dari Hudzayfah ra.), tanpa hambatan wa
bi hamdihi karena hadisnya lemah (HDR. Abu Dawud).
6. I’tidal setelah ruku’ yakni berdiri tegak (i’tidal) dengan sempurna dan
tenang (thuma’ninah). Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw yang
mengajarkan:...
“Kemudian ruku’lah hingga tenang, kemudian angkatlah (kepalamu)
hingga tegak berdiri kemudian sujudlah...” (Muttafaq ‘alayh, dari Abu
Hurayrah ra)
Saat i’tidal, dituntunkan untuk mengucapkan:...
“Maha Mendengar Allah pada siapa saja yang memuji-Nya. Ya Tuhan
kami, bagi-Mulah segala pujian” (Muttafaq ‘alayh, dari Ibn ‘Umar ra.)
sambil mengangkat kedua tangan (Muttafaq ‘alayh).
Bila berjama’ah, maka setelah imam mengucapkan:.... , maka
ma’mun cukup membaca:..., atau:... , atau boleh juga:... , (Muttafaq
‘alayh, dari Anas bin Malik dan Abu Hurayrah ra.), atau membaca bacaan
yang lebih panjang:...
“Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian, sepenuh langit dan bumi,
dan sepenuh semua apa yang Engkau sukai dari sesuatu apapun”. (HSR.
Al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari, dari Ibn Abi Awfa, ‘Ali bin Abi Thalib,
Abu Sa’id al-Khudri, Ibn ‘Abbas ra.)

9

Posisi tangan setelah i’tidal adalah tegak lurus dan tidak sedekap di
dada, karena tidak ada hadis maqbul yang menjelaskan adanya tuntunan
sedekap setelah i’tidal kecuali hanya penafsiran terhadap hadis. Hadis
yang dimaksud antara lain diceritakan oleh Abu Humayd al-Sa’idiy
bahwa Nabi saw:...
“Apabila mengangkat kepalanya, beliau tegak lurus hingga setiap tulang
kembali ke tempatnya.”
7. Sujud. Bertakbirlah tanpa mengangkat tangan menuju gerakan sujud
dengan meletakkan kedua lutut lebih dahulu lalu kedua tangan, kemudian
letakkan wajah (dahi dan hisung). Mendahulukan kedua lutut dari kedua
tangan saat sujud didasarkan pada hadis dari Wa’il bahwa ia melihat Nabi
saw.....
“Apabila beliau sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya, dan apabila bangkit, beliau mengangkat kedua tanganyya
sebelum kedua lututnya.” (HHR. Al-Tarmidzi, Al-Nasai, Abu Dawud)
Sellain cara hadis di atas, ada riwayat lain dari Abu Hurayrah ra. yang
justru menuntunkan untuk meletakkan kedua tangan lebih dahulu sebelum
kedua lutut. ....
Apabila salah seorang kalian sujud, maka janganlah mendekam seperti
mendekamnya onta, hendaklah meletakkan tangan terlebih dahulu
sebelum kedua lutut. (HR. Abu Dawud, al-Nasai, Ahmad dan al-Darimi)
Posisi saat sujud adalah dengan menempelkan 7 tulang di tanah,
sebagaimana dilaporkan oleh Ibn ‘Abbas ra bahwa:....
“Aku diperintahkan (oleh Nabi saw) untuk sujud di atas 7 tulang, yaitu:
dahi sambil tangannya menunjuk pada hidungnya, kedua tangan, kedua
kaki dan ujung kedua kaki, dan kami dilarang menyibakkan kain dan
rambut.” (HR. Al-Bukhari, Muslim)
Sujud secara proporsional menurut Nabi saw adalah kedua telapak
tangan diletakkan sejajar dengan kedua telinga (HR. Ahmad) atau dalam
redaksi yang lain: wajahnya diletakkan di antara kedua telapak tangannya
(HR.Ahmad, Muslim) dimana jari jemarinya dirapatkan (HR. Ibn Hibban,

10

al-Thabrani) dan dihadapkan kearah qiblat (HR. Al-Bayhaqi). Nabi saw
juga menuntunkan agar mengangkat kedua siku dari lantai (HR. Muslim,
Ahmad) dan merenggangkan keduanya dari ketiak dan lambungnya
(Muttafaq ‘alayh), dan juga merenggangkan kedua pahanya, tapi tidak
menempelkan perutnya pada kedua pahanya (HR. Abu Daud & alBayhaqi). Nabi saw menuntunkan supaya mengangkat pantat (HR.
Ahmad), namun tidak boleh berlebih-lebihan dengan memanjangkan
sujud hingga perutnya mendekati lantai (jakhkha) (HR. Ibn Khuzaymah,
Ibn Mundzir).
Untuk cara sujud perempuan sama dengan sujudnya laki-laki,
karena hadis yang menyuruh perempuan untuk merapatkan tangannya ke
lambungnya, hadisnya daif karena terputus sanadnya (mursal).
Adapun doa yang biasa dibaca oleh Nabi saw saat sujud dan ruku’
adalah:...
“Maha Suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan pujian kepada-Mu
ya Allah ampunilah hamba.” (Muttafaq ‘alayh)
Atau doa: ... :”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (HSR. Muslim,
Tirmidzi, Nasa’I, Abu Daud, dan Ahmad) boleh dibaca 3 kali, tapi tanpa
wa bi hamdihi karena hadisnya lemah.
Lalu sujudlah untuk kedua kalinya dengan bertakbir dan membaca do’a
sujud seperti sebelumnya.
Ketika bangkit dari sujud kedua pada rakaat ganjil dan akan berdiri
pada rakaat genap, disunahkan untuk duduk istirahat sejenak dengan cara
iftirasy kemudian baru berdiri (HR. al-Jama’ah kecuali Muslim) dengan
menekankan kedua telapak tangan (tanpa dikepalkkan) di tanah lalu
meletakkan keduanya pada kedua paha untuk berdiri dan langsung
sedekap, tanpa mengangkat tangan. Selanjutnya kerjakanlah raka’at kedua
ini, seperti raka’at yang pertama, hanya saja tidak membaca doa iftitah.
8. Duduk. Setelah sujud kedua, maka dituntunkan untuk duduk. Jika dalam
posisi duduk tasyahhud awal maka posisi duduknya iftirasy yakni duduk
di atas bentangan kaki kiri sementara telapak kaki kanan ditegakkan

11

dengan jari kaki kanan menghadap qiblat. Namun jika sudah dalam posisi
duduk tasyahud akhir maka poosisi duduknya tawarruk yakni pangkal
paha atas (pantat) yang kiri duduk bertumpu pada lantai sedangkan posisi
kaki kanan sama dengan tahiyat awal. Hal ini didasarkan pada pernyataan
Abu Humayd al-Sa’idi ra kepada para sahabat, “Saya lebih hapal dari
kalian tentang shalat Rasulullah saw:....
... dan apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk atas kaki kirinya
dan menengakkan (telapak kaki) kanannya, dan apabila duduk pada
rakaat yang terakhir, beliau memajukkan kaki kirinya dan duduk
bertumpu pada pantatnya.” (HSR. Al-Bukhari, Abu Daud, dll.)
Pada saat tasyahhud, bacalah tahiyyat dengan posisi jari-jari tangan
kiri terjulur di atas lutut, sedangkan jari-jari tangan kanan dalam posisi
mengepal kecuali telunjuk yang menunjuk untuk berdoa. Ada hadis yang
berasal dari Wa’il yang mengatkan bahwa telunjuk digerak-gerakkan,
yaitu :...
“Kemudian beliau mengangkat telunjuknya lalu aku melihat beliau
menggerak-gerakkannya untuk berdoa dengannya.” (HR.Al-Nasa’I,
Ahmad, dari Wa’il bin Hujr ra). tetapi hadis yang lebih kuat yaitu dari
‘Abdullah bin al Zubayr bahwa Nabi saw tidak menggerak-gerakkan
telunjuk saat berdoa berbunyi: ... : ”Beliau menunjuk dengan telunjuknya
bila berdoa, dan tidak menggerak-gerakkannya” (HSR. Al-Nasa’I, Abu
Dawud, dari ‘Abdullah bin al-Zubayr).
Dari beberapa keteraangan di atas dapat disimpulkan bahwa setelah
duduk dengan tenang, Nabi saw menggerakkan telunjuknya untuk
menunjuk 1 kali di awal duduk saat mulai membaca tasyahud: altahiyyatu..., namun tidak menggerak-gerakkannya secara keseluruhan
(thuma’ninah).
Adapun bacaan tahiyyat atau tasyahhud antara lain :...
“Segala kehormatan, segala berkah, do’a dan kebaikan adalah milik
Allah. Keselamatan, rahmat dan berkah Allah atasmu wahai Nabi.
Keselamatan pula atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh.

12

Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah Utusan Allah.” (HSR. Jama’ah, kecuali Al-Bukhari,
dari Ibn ‘Abbas ra.)
Setelah tahiyyat, langsung bershalawat (berdoa) untuk Nabi saw:...
“Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya,
sebagaimana Engkau telah memberikan shalawat kepada Ibrahim dan
keluarganya. Dan berikanlah berkah pada Muhammad dan kelluarganya
sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan kelluarganya.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (HR.
Jama’ah, dari Ka’ab bin Ujrah.
Mengenai penambahan kata sayyidina Muhammad dalam shalawat
shalat, tidak satupun hadis menuntunkannya sehingga tidak disunahkkan
menggunakannya meskipun maksud penghormatan. Tetapi di luar bacaan
shalat, boleh saja menyebutkan sayyidina Muhammad sebagai ekspresi
cinta dan penghormatan Nabi saw.
Setelah shalawat, berdo’alah dengan memilih doa yang pendek
sekehendak hati. Salah satu doa yang bisa dijadikan sebagai akhir doa
tasyahhud awwal adalah doa yang diajarkan Nab saw kepada Abu Bakar
al-Shiddiq ketika ia minta diajarkan sebuah doa dalam shalat. Kata Nabi
saw, “Ucapkanlah:...
Ya Allah, sesungguhnya hamba telah mendzalimi diri sendiri dengan
kedzaliman yang banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa
kecuali Engkau. Maka ampunilah dosa hamba dengan ampunan dari sisiMu, dan kasihilah hamba. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Pengasih.” (HR.Al-Bukhari, Muslim, dll.)
Setelah membaca akhir doa tasyahhud awwal, berdirilah untuk
raka’at yang ketiga dengan takbir sambil mengangkat tangan sejajar
dengan bahu dan telinga, kemudian bacalah Al-Fatihah saja. Pada raka’at
terakhir setelah membaca tahiyyat akhir dan shalawat, Nabi saw
menganjurkan untuk berlindung kepada Allah dari empat hal dengan
membaca do’a:.....

13

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka jahannam, dari
siksa kubur, dari kejahatan fitnah kehidupan dan kematian, dan dari
fitnah Dajjal.” (HR.Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dari Abu
Hurairah)
9. Salam. Setelah berdoa dalam tasyahhud akhir, kemudian salamlah dengn
berpalinag ke kanan hingga terlihat pipimu dari belakang dengan
mebaca:...
“As-salamu ‘alaykum wa rahmatullah”
Lalu berpaling ke kiri juga membaca:...
“ As-salamu ‘alaykum wa rahmatullah”
Baik salam ke kanan maupun ke kiri tanpa mengucapakan
tambahan wa barakatuh (HSR. Muslim, al-Tirmidzi, Abu Dawud, alNasa’i, Ibn Majah, Ahmad). Inilah pendapat yang paling kuat dan
dipegangi oleh mayoritas ulama. Pada saat salam, tidak ditutunkan
mengibaskan tangan kanan saat salam ke kanan, demikian pula ke kiri
seperti ekor kuda yang lari terbirit-birit. Sebab Nabi saw pernah melarang
sahabat yang mengibaskan tangan kanannya ke kanan saat salam ke
kanan, kemudian tangan kirinya saat salam ke kiri. (HR. Muslim no:431,
Ibn Khuzaymah, al-Thabraru).

14

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

15

DAFTAR PUSTAKA
Jamaluddin, Syakir, 2014. Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Gramasurya

16