BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistematika dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) - Identifikasi Dan Prevalensi Ektoparasit Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Di Desa Tanjung Rejo Percut Sei Tuan Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistematika dan Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Klasifikasi ikan lele dumbo menurut Saanin (1984) dalam Hadiroseyani et al.

  (2006) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Ostariophysoidei Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies : Clarias gariepinus

Gambar 2.1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

  Menurut Indah (2010), Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) memiliki morfologi yang mirip dengan lele lokal (Clarias batrachus). Bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng dan batok kepalanya keras, tidak bersisik dan berkulit licin, mulut besar, warna kulit badannya terdapat bercak-bercak kelabu seperti jamur kulit manusia (panu). Ikan lele dumbo dalam bahasa Inggris disebut pula catfish, siluroid, mudfish dan walking catfish.

  Menurut Najiyati (1992), bentuk luar ikan lele dumbo yaitu memanjang, bentuk kepala pipih dan tidak bersisik. Memiliki sungut yang memanjang terletak di sekitar kepala sebagai alat peraba. Mempunyai alat olfactory yang terletak berdekatan dengan sungut hidung. Penglihatannya kurang berfungsi dengan baik. Ikan lele dumbo memiliki 5 sirip yaitu sirip ekor, sirip punggung, sirip dada dan sirip dubur. Jari-jari sirip dada mengeras dan berfungsi sebagai patil, tetapi pada lele dumbo patilnya lemah dan tidak beracun. Insang berukuran kecil, sehingga kesulitan untuk bernafas. Selain bernafas dengan insang, lele dumbo juga mempunyai alat pernafasan tambahan (arborescent) yang terletak pada insang bagian atas.

  Menurut Puspowardoyo & Djarijah (2003), lele dumbo memiliki patil yang tidak tajam dan giginya tumpul. Sungut lele dumbo relatif panjang dan tampak lebih kuat dibandingkan dengan lele lokal. Kulit dadanya terdapat bercak- bercak kelabu seperti panu pada manusia. Kepala dan punggungnya berwarna kehitaman atau kecoklatan.

2.2 Biologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

  Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil silangan antara Clarias gariepinus dengan C. fuscus dan merupakan ikan introduksi yang pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1985. Secara biologis ikan lele dumbo mempunyai kelebihan dibandingkan dengan jenis lele lainnya, antara lain lebih mudah dibudidayakan dan dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang besar serta mempunyai kecepatan tumbuh dan efisiensi pakan yang tinggi (Hadiroseyani

  et al ., 2006).

  Habitat ikan lele dumbo adalah semua perairan tawar. Di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau di perairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa, serta genangan-genangan kecil seperti kolam. Ikan lele dumbo tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk mendukung pertumbuhannya. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kemampuan ikan lele dumbo untuk mengambil oksigen langsung dari udara melalui organ arborescent yang dimilikinya, sehingga pada perairan yang tidak mengalir, perairan yang kotor dan berlumpur dengan kandungan oksigen rendah, ikan lele dumbo masih bisa hidup (Anshary, 2008).

  Suyanto (2007) menyatakan bahwa ikan lele dumbo mencapai kedewasaannya setelah mencapai ukuran 100 g atau lebih. Jika sudah masanya berkembang biak, ikan jantan dan betina akan berpasangan dan mencari tempat untuk yang aman untuk bersarang. Ikan lele dumbo yang siap kawin ditandai dengan dari ciri-ciri fisiknya dan faktor usia. Ciri fisik yang paling menonjol adalah perut yang sangat buncit pada betina sedangkan pada jantan terlihat lebih agresif dalam mengejar betina.

  Ikan mulai mencapai kematangan seksual ketika berumur 1 tahun dengan panjang tubuh berkisar 150-750 mm. Pada perkawinannya, induk betina melepaskan telurnya bersamaan waktunya dengan jantan melepaskan sperma di dalam air. Telur yang dibuahi dijaga oleh induk betina sampai telur menetas dan kuat berenang. Lama proses penjagaan ini antara lima sampai sepuluh hari. Seekor induk betina dapat menghasilkan 1000 sampai 4000 butir telur sekali memijah. Dalam tempo 36-48 jam setelah perkawinan, telur akan menetas (Suyanto, 2007).

  Stadia perkembangan awal hidup ikan secara umum terdiri dari tahapan stadia telur, larva dan juvenil. Telur akan menetas menjadi larva dengan kantung telur yang belum berkembang. Pada fase larva, organ-organ tubuhnya belum sempurna karena masih dalam proses perkembangan. Larva lele dumbo mempunyai kisaran ukuran antara 5-7mm dengan berat antara 1,2-3 mg. Pada stadia penyerapan kuning telur, larva akan mengalami perkembangan karakter sementara (transient larval character) seperti pola pigmen, duri dan sirip dibagian kepala ataupun bagian lainnya yang memang dibutuhkan dalam adaptasinya dengan kondisi lingkungan. Secara bertahap, larva kemudian mengalami perkembangan yang mendekati karakter dewasa terutama karakter meristik. Pada tahap akhir perkembangan larva, ikan mengalami perubahan dan memasuki stadia juvenil. Dalam 30-40 hari lele dumbo akan mencapai ukuran 5-7 cm siap dijadikan bibit. Dalam 2-3 bulan lele dumbo siap dipanen (Alpanda, 2013).

2.3 Parasit Ikan

  Keberhasilan suatu usaha budidaya ikan tidak terlepas dari masalah penyakit dan parasit ikan. Meskipun jarang terjadi pada kolam-kolam yang terawat dengan baik, wabah penyakit dan parasit yang menyerang ikan dapat menimbulkan kerugian besar bagi petani ikan karena sering menyebabkan kematian ikan secara massal. Adapun organisme penyebab penyakit yang biasa menyerang ikan umumnya berasal dari golongan jamur, bakteri, virus, parasit dan hewan invertebrata lainnya (Yuliartati, 2011).

  Organisme penyebab penyakit pada ikan sangatlah beragam, salah satunya adalah ektoparasit. Ektoparasit ni menginfeksi sirip, sisik, operkulum dan insang ikan. Beberapa faktor yang berperan terhadap serangan penyakit pada ikan adalah kepadatan ikan yang dibudidayakan, budidaya secara monokultur, stress, faktor biotik dan abiotik yaitu faktor fisika dan kimia air serta berbagai organisme patogen (Purwaningsih, 2013).

  Penyakit akibat infeksi parasit menjadi ancaman utama keberhasilan akuakultur, pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat tebar tinggi pada area yang terbatas, menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung perkembangan dan penyebaran penyakit infeksi. Kondisi kolam dengan padat tebar tinggi akan menyebabkan ikan mudah stress sehingga sangat mudah diserang penyakit terutama parasit. Semakin tinggi tingkat kepadatan, maka semakin besar kemungkinan gesekan yang dapat terjadi antara ikan yang dapat menularkan parasit secara langsung atau menimbulkan luka yang dapat menjadi sasaran organisme pathogen (Anshary, 2010). Padat penebaran tinggi dalam budidaya serta pergantian air yang kurang memungkinkan parasit dapat berkembang dengan cepat.

  Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme lain yang mengambil makanan dari tubuh organisme tersebut, sehingga organisme tempatnya makan (inang) akan mengalami kerugian (Kabata, 1985). Parasitisme adalah hubungan dari salah satu spesies parasit dengan inangnya. Inang berperan sebagai tempat untuk memperoleh makanan dan nutrisi bagi parasit, sehingga tubuh inang merupakan lingkungan yang paling utama untuk habitat parasit (Riko

  et al. , 2002).

  2.4 Ektoparasit Infeksi parasit merupakan salah satu faktor penghambat dalam budidaya ikan.

  Berdasarkan letak organ yang terinfeksi oleh parasit, Kabata (1985) mengelompokkan parasit menjadi dua kelompok yang berbeda yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada bagian luar tubuh ikan atau di bagian yang masih mendapat udara dari luar. Ektoparasit menyerang kulit, sirip dan insang ikan.; sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidupnya di dalam tubuh inang, misalnya di dalam alat pencernaan, peredaraan darah atau organ dalam lainnya (Riko et al., 2012).

  Kerugian akibat infestasi ektoparasit memang tidak sebesar kerugian akibat infeksi organisme patogen lain seperti virus dan bakteri, namun infestasi ektoparasit dapat menjadi salah satu faktor predisposisi bagi infeksi organisme patogen yang lebih berbahaya. Kerugian non lethal lain dapat berupa kerusakan organ luar yaitu kulit dan insang, pertumbuhan lambat dan penurunan nilai jual (Fidyandini et al., 2012).

  Serangan ektoparasit pada ikan akan menurun sejalan dengan bertambahnya umur dan ukuran ikan. Semakin besar ukuran ikan maka sistem ketahanan tubuh ikan akan semakin baik. Kondisi ketahanan tubuh ikan yang berukuran benih masih lemah dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan sehingga lebih mudah terserang parasit (Rustikawati et al., 2004). Beberapa golongan parasit yang bersifat ektoparasit antara lain adalah Ciliata, Flagellata,

  

Monogenea, Copepod, Isopod, Branchiuran dan lintah, sedangkan endoparasit

  adalah parasit yang ditemukan pada organ bagian dalam inang. Golongan parasit yang masuk kelompok endoparasit antara lain adalah Digenea, Cestoda,

  Nematoda, Acantocephala, Coccidia, Microsporidia, dan Amoeba (Yuliartati, 2011).

  2.5 Biologi Parasit Monogenea

  Umumnya ikan-ikan yang hidup di alam dapat terinfeksi oleh berbagai jenis parasit cacing-cacingan seperti Monogenea, Digenea , Nematoda dan

  Acanthocepala . Monogenea umumnya ektoparasit dan jarang bersifat endoparasit.

  Hal ini sesuai dengan pendapat Kabata (1985) bahwa Monogenea salah satu parasit yang sebagian besar menyerang bagian luar tubuh ikan (ektoparasit) jarang menyerang bagian dalam tubuh ikan (endoparasit) biasanya menyerang kulit dan insang (Talunga, 2007).

  Monogenea merupakan cacing pipih dengan ukuran panjang 0,15-20 mm

  bentuk tubuhnya fusiform, haptor di bagian posterior dengan kait sentral sepasang dan sejumlah kait marginal. Salah satu spesies dari kelas Monogenea yang paling sering muncul pada ikan air tawar adalah Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp.

  

Dactylogyridae mempunyai alat bantu organ tambahan pada tubuhnya yang biasa

  disebut squamodisk yang berfungsi sebagai perekat, selanjutnya dikatakan bahwa ada sekitar 1500 spesies Monogenea yang ditemukan pada ikan (Yuliartati, 2011).

  Kharisma (2008) mengatakan bahwa ciri ikan yang terserang Monogenea adalah produksi lendir pada bagian epidermis akan meningkat, kulit terlihat lebih pucat dari normalnya, frekuensi pernapasan terus meningkat karena insang tidak dapat berfungsi secara sempurna, kehilangan berat badan (kurus) melompat- lompat ke permukaan air dan terjadi kerusakan berat pada insang. Pada tahun 1990, serangan parasit Dactylogyrus sp. diketahui menyebabkan kematian sekitar 50% dari ikan yang terinfeksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa Dactylogyrus sp. merugikan dan berbahaya bagi usaha budidaya (Kabata, 1985).

  Monogenea termasuk parasit obligat yang ditunjukkan dengan

  ketidakmampuan melangsungkan hidupnya tanpa inang. Waktu hidup Monogenea tanpa inang relatif lebih pendek dibandingkan dengan yang masih menempel pada inang. Hal ini diakibatkan Monogenea yang telah dilepaskan dari inang tidak mendapatkan pasokan makanan dari inang, baik yang berasal dari sel epitel, lendir maupun darah. Ketiadaan pasokan makanan ini mengakibatkan Monogenea tidak mempunyai energi untuk mempertahankan hidupnya, termasuk untuk menyesuaikan tekanan osmotiknya sebagai upaya adaptasi terhadap salinitas (Riko et al., 2012).

  Dactylogyrus sp. dan Gyrodactylus sp. sering menyerang ikan di kolam

  atau keramba yang kepadatannya tinggi. Gyrodactylus sp. biasa menyerang sirip sedangkan Dactylogyrus sp. sering menyerang insang. Ikan yang terserang biasanya menjadi kurus dan kulitnya tidak terlihat bening lagi. Sirip ekor rontok dan tutup insang tidak bisa menutup dengan sempurna. Ikan sering terlihat menggosok-gosokkan tubuhnya ke dasar kolam atau benda keras lainnya. Infestasi Dactylogyrus sp. akan menyebabkan suatu penyakit yang disebut Dactylogyriasis (Purwaningsih, 2013).

  Tingginya nilai prevalensi Dactylogyrus sp. karena ektoparasit ini berkembang biak dengan cepat. Dactylogyrus sp. berkembang biak dengan cara bertelur dan ratusan ekor parasit dapat menginfeksi satu ekor ikan. Serangan

  

Dactylogyrus sp. terutama terjadi pada benih ikan berukuran 3-5 cm yang berada

  pada kondisi perairan terburuk. Faktor kualitas air dapat mempengaruhi banyak tidaknya telur yang dihasilkan oleh Dactylogyrus sp. Jumlah telur yang dihasilkan bergantung kepada kadar oksigen terlarut dalam air. Pada kadar oksigen terlarut rendah, maka telur yang dihasilkan tinggi, sebaliknya jika kadar oksigen terlarut dalam air tinggi, maka jumlah telur yang dihasilkan sedikit (Rustikawati et al., 2004).

  2.6 Prevalensi

  Untuk mengetahui tingkat infeksi/serangan parasit dalam populasi inang dikenal istilah prevalensi, intensitas dan kelimpahan parasit. Prevalensi menggambarkan persentase ikan yang terinfeksi oleh parasit tertentu dalam populasi ikan, intensitas menggambarkan jumlah parasit tertentu yang ditemukan pada ikan yang diperiksa dan terinfeksi, sedangkan kelimpahan rata-rata adalah jumlah rata-rata parasit tertentu yang ditemukan dalam populasi pada ikan baik yang terinfeksi maupun tidak (Yuliartati, 2011).

  Intensitas dan prevelensi ektoparasit yang tinggi juga dipengaruhi oleh kepadatan ikan yang tinggi pada kolam pemeliharaan. Kepadatan yang tinggi dapat menyebabkan ikan menjadi stress. Pada kolam dengan kepadatan ikan yang tinggi, ikan akan saling bergesekan satu dengan lainnya, sehingga akan terjadi penularan ektoparasit dengan cepat (Rustikawati et al., 2004).

  2.7 Uji Kualitas Air

  Kualitas air meliputi sifat air dan kandungan mahluk hidup, zat, energi, atau komponen lain dalam air. Dalam pemeliharaan ikan, selain pakan faktor lingkungan, masih banyak faktor lain yang menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Agar pertumbuhan dan kelangsungan hidup optimal, maka diperlukan kondisi lingkungan yang optimal untuk kepentingan proses fisiologis pertumbuhan. Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh, antara lain: suhu, salinitas, pH, oksigen dan lain-lain (Yuliartati, 2011).

  Menurut Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele Dumbo Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan No. PHP/KAN/PT/20/1992 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

  o

  dapat tumbuh secara optimal pada suhu 28-30

  C, pH 6,5-9 dan DO (ppm) >5 (Ilyas, 1992). Ikan lele dumbo masih dapat hidup pada kondisi lingkungan perairan yang jelek. Kondisi air dengan kandungan oksigen yang sangat minim lele dumbo masih dapat bertahan hidup, karena lele dumbo memiliki alat pernafasan tambahan yang disebut organ arborescent (Hadiroseyani et al., 2006).

  Temperatur merupakan faktor lingkungan yang utama pada perairan karena merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan (Michael, 1994). Secara umum kenaikan temperatur perairan akan meningkatkan aktivitas fisiologis organisme (Asdak, 1995). Menurut hukum Van't Hoffs,

  o

  kenaikan temperatur sebesar 10 C akan meningkatkan aktivitas fisiologis organisme sebesar 2-4 kali lipat.

  Derajat keasaman (pH) air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan indeks pencemaran dengan melihat tingkat keasaman dan kebasaan (Asdak, 1995). Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Siagian, 2009).

  Oksigen terlarut juga merupakan faktor penting dalam menetapkan kualitas air, karena air yang polusi organiknya tinggi memiliki oksigen terlarut yang sangat sedikit (Michael, 1994). Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 mg/l, sedangkan biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Oksigen yang diserap akan digunakan untuk aktivitas tubuh seperti bergerak, bertumbuh dan berkembang biak sehingga tidak boleh kekurangan agar aktivitas terus berlangsung. Kandungan oksigen (O2) optimum 5-6 ppm (Yuliartati, 2011).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Kekuatan & Tegangan Tali Baja Untuk Lift Hyundai Service Dengan Kapasitas 24 Orang Dengan Mengunakan Sofwer Ansys Di Gedung Camridge Hotel

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisa Konsumsi Energi Spesifik Pemanfaatan Panas Buang Kondensor Dari Sistem Pengkondisian Udara Untuk Pengeringan Pakaian

0 0 24

DAFTAR ISI - Analisa Konsumsi Energi Spesifik Pemanfaatan Panas Buang Kondensor Dari Sistem Pengkondisian Udara Untuk Pengeringan Pakaian

0 0 13

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Reduksi Bottleneckdengan Pendekatan Theory Ofconstraint (Toc) Pada Bagian Karoseri Minibus Di Pt. Capella Medan Divisi Karoseri Bima Kencana

0 1 13

DAFTAR ISI - Reduksi Bottleneckdengan Pendekatan Theory Ofconstraint (Toc) Pada Bagian Karoseri Minibus Di Pt. Capella Medan Divisi Karoseri Bima Kencana

0 1 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitosan - Analisis Dan Karakterisasi Hidrogel Dari Kitosan Cangkang Belangkas (Tachypleus Gigas) Sebagai Absorben Logam Merkuri (Hg) Pada Limbah Tambang Emas Rakyat Di Kecamatan Huta Bargot Mandailing Natal

0 2 18

DAFTAR ISI - Analisis Dan Karakterisasi Hidrogel Dari Kitosan Cangkang Belangkas (Tachypleus Gigas) Sebagai Absorben Logam Merkuri (Hg) Pada Limbah Tambang Emas Rakyat Di Kecamatan Huta Bargot Mandailing Natal

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Salak 2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Salak - Studi Pemanfaatan Arang Aktif Serbuk Biji Salak (Salacca Edilus Reinw) Sebagai Adsorben Cr (VI) Dalam Limbah Cair Elektroplating

1 1 16

DAFTAR ISI - Studi Pemanfaatan Arang Aktif Serbuk Biji Salak (Salacca Edilus Reinw) Sebagai Adsorben Cr (VI) Dalam Limbah Cair Elektroplating

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Aplikasi Integrasi Metode Fuzzy Servqual dan Quality Function Deployment (QFD) Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Layanan Pendidikan (Studi Kasus: SMP Swasta Cinta Rakyat 3 Pematangsiantar)

0 0 28