BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian - Perbandingan Tingkat Keberhasilan Kateter Fleksibel Dan Kaku Dalam Inseminasi Intrauteri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

  Penelitian mengenai inseminasi intrauteri pertama kali dilakukan pada tahun 1962 oleh Cohen, dimana merupakan usaha yang meliputi persiapan sperma, pemantauan waktu selama preovulatorik dan induksi ovulasi dengan

  

Human Chorionic Gonadotropin (hCG) untuk mendapatkan kehamilan, namun

  sejauh ini IIU tidak diklasifikasikan sebagai ART. IUI dimasukkan dalam FERT

  5,11,12

  (Fertility Treatment Other Than ART). Tehnik ini sudah banyak digunakan karena penggunaannya mudah, tidak invasif dan murah sehingga biasanya digunakan sebagai terapi empiris untuk kasus infertilitas secara umum. The European IVF Monitoring Programme pada tahun 2004 melaporkan 98.388 kasus dilakukan IIU di 19 negara dengan 12.081 kelahiran (12,3%). Dimana 87 % melahirkan anak tunggal dan 13 % kelahiran

  13 multipel.

  Walaupun sudah banyak dan umum digunakan hampir di seluruh dunia, tapi keefektifannya masih kecil pada penyebab infertilitas akibat faktor pria dan salah satu penelitian bahkan menemukan bahwa stimulasi dengan

  IIU tidak efektif sebagai terapi infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya walaupun ada beberapa penelitian lainnya yang menyimpulkan sebaliknya.

  Keadaan klinis yang dapat membuktikan keefektifan dari IIU adalah mencakup: penggunaan dari IIU, indikasi IIU, keoptimalan prosedur persiapan sperma, metode inseminasi dan waktu, untuk melindungi Luteinizing hormone

  14,7 (LH) prematur dan defisiensi luteal pada IIU.

2.2 Epidemiologi

  Walaupun penggunaan IIU tidak termasuk dalam data registrasi ART,

  

The European IVF Monitoring Programme memasukkan data siklus IIU yang

  15

  menggunakan sperma suami atau donor yang dilaporkan sejak 2001. Data kehamilan dan kelahiran ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

  16 Gambar 1. Siklus Inseminasi Intrauteri di Eropa

  Dimana perbandingan IIU, IVF dan ICSI (berurutan) yang ditunjukkan dari 17 negara sampai pada tahun 2004. Yaitu 97.180 siklus, 52,866 siklus IVF dan

  17

  93.845 siklus ICSI. Di Belanda, penggunaan IIU lebih tinggi dibandingkan dengan IVF. Kira-kira ada 28.500 siklus IIU pada tahun 2003 dibandingkan

  7 dengan 9761 siklus IVF.

2.3 Indikasi

  Pengobatan dengan IIU dapat meningkatkan angka keberhasilan kehamilan pada pasangan infertil dengan menambah banyaknya sperma yang motil mencapai tempat fertilisasi. Dengan penggunaan kateter pada IIU

  17 dapat menghindarkan faktor lendir serviks yang abnormal saat prosedur IIU.

  Inseminasi intrauteri diindikasikan pada hampir semua kasus

  18

  infertilitas, antara lain:

  1. Faktor ovulasi Faktor ini sering terjadi pada setiap wanita. Sekitar 25 % dari seluruh kasus infertilitas.

  2. Faktor tuba Karena fungsi dari tuba adalah sebagai tempat fertilisasi, maka pada wanita harus dipastikan bahwa saluran tuba dalam batas normal, sehingga pemeriksaan tuba menjadi pemeriksaan rutin yang wajib dilakukan pada kasus infertilitas. Sekitar 35 % kasus infertilitas disebabkan oleh faktor tuba.

  Pemeriksaan HSG (Histerosalpingogram) salah satu pemeriksaan yang mudah dan sering dilakukan oleh ahli. Jika ditemukan kedua tuba falopi non paten, maka IIU menjadi kontraindikasi.

  3. Faktor pria Sekitar 40 % dari pasangan infertil disebabkan oleh faktor ini.

  Sehingga analisis sperma harus dilakukan.

  4. Faktor umur Montanaro dkk tahun 2001 melalui penelitian retrospektif selama 5,5 tahun dengan 273 siklus IIU mendapatkan bahwa usia pasangan wanita < 35

  19

  tahun merupakan prediktor yang baik untuk keberhasilan IIU. Hendin dkk tahun 2000 juga mendapatkan hasil yang sama dimana dari 533 siklus IIU diperoleh usia pasangan wanita < 38 tahun yang menjalani program IIU

  9 didapatkan angka kehamilan yang lebih tinggi.

  5. Faktor uterus Faktor uterus juga dapat menyebabkan infertilitas. Kelainan seperti endometriosis, mioma atau polip uterus dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya infertilitas. Histeroskopi sekarang ini menjadi salah satu pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan kelainan di uterus.

  6. Faktor peritoneum Infertilitas akibat kelainan peritoneum adalah terdapat kelainan pada peritoneum seperti adhesi (perlengketan) atau pun endometriosis.

  Laparaskopi dapat digunakan untuk mengidentifikasi ada tidaknya endometriosis atau perlengketan yang terjadi di kavum abdomen.

7. Unexplained infertility

  Terdapat pada sekitar 10 % pasangan infertil. Semua pemeriksaan yang dilakukan normal dan sulit untuk menentukan penyebab infertilitasnya.

  Pada pasangan unexplained infertility mungkin ada masalah di kualitas sel telur, fertilisasi, genetik, fungsi tuba, atau fungsi sperma yang sulit untuk didiagnosa dan diobati.

  2.4 Kontraindikasi

  Yang dimaksud dengan kontraindikasi adalah keadaan yang tidak dianjurkan untuk dilakukan IIU karena angka keberhasilannya rendah,

  18

  seperti:

  • Tuba non paten bilateral atau patologi tuba lainnya, seperti hidrosalfing bilateral berat atau kerusakan tuba bilateral sehingga menghalangi terjadinya fertilisasi.
  • Parameter semen abnormal berat seperti oligospermia dengan kuantitas sperma di bawah 1 juta sperma motil atau morfologi sperma yang buruk sehingga sperma tidak bisa sampai ke tuba untuk proses fertilisasi.
  • Kelainan genetik suami.
  • Massa di pelvis yang dapat mengurangi diameter tuba sehingga mengganggu fertilisasi.
  • Wanita usia tua.
  • Kontraindikasi hamil.
  • Dalam terapi kemoterapi dan radioterapi.
  • Kegagalan berulang inseminasi.

  2.5 Prosedur IIU Dan Metode Inseminasi

2.5.1 Persiapan Semen

  Sebelum dilakukannya IIU, perlu dilakukan pemisahan plasma seminal untuk mencegah kontraksi yang diinduksi oleh prostaglandin. Inseminasi dengan semen yang tidak diproses juga berhubungan dengan infeksi pelvis. Pemisahan semen dilakukan dengan prosedur yang mudah. Metode yang dipakai paling sering ialah dengan cara sentrifugasi spermatozoa di dalam medium kultur atau gradien berdasarkan densitas diikuti dengan resuspensi pada media kultur yang tersedia. Belum ada penelitian yang dapat menentukan metode terbaik dalam pemilihan sperma yang motil untuk

  19 digunakan dalam ART atau IVF.

2.5.2 Kualitas Dan Kuantitas Sperma

  Banyak literatur yang mencari batas spermatozoa motil yang digunakan pada IIU baik morfologi sperma atau jumlah spermatozoa yang motil pada contoh semen atau jumlah spermatozoa yang motil pada sediaan inseminasi. Berdasarkan penelitian retrospektif dengan 893 siklus IIU yang dilakukan oleh Khalil dkk tahun 2001 didapatkan banyaknya sperma motil yang digunakan dalam IIU lebih dari 2 juta sperma berhubungan dengan peningkatan keberhasilan IIU. Demikian juga penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Stone dkk tahun 1999 dimana dari 3200 siklus IIU selama 6 tahun, didapatkan jumlah sperma motil yang digunakan dalam IIU sebanyak lebih dari 2 juta sperma merupakan prediktor yang baik untuk keberhasilan

  16,20 IIU.

2.6. Stimulasi Ovarium

  Penggunaan siklus stimulasi atau induksi ovulasi pada IIU mempunyai tujuan yaitu, meningkatkan jumlah oosit yang tersedia untuk IIU dan meningkatkan produksi hormon steroid yang berguna untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya fertilisasi. Obat-obatan yang digunakan untuk stimulasi ovarium dapat diberikan dalam bentuk oral, yaitu klomifen sitrat dan penghambat aromatase, dan dapat juga digunakan secara injeksi, misalnya gonadotropin, dalam bentuk human

  

Menopausal Gonadotropin (hMG), Follicle Stimulazing Hormone urine

  (u-FSH) atau FSH-recombinant (r-FSH) dimana hasilnya yaitu didapatkan 2-4 folikel dengan diameter 17-18 mm, kadar estradiol 150-250 pg/ml dan tebal

  5,21 endometrium 9 mm dengan gambaran trilaminar.

  2.6.1. Stimulasi Ovarium Dengan Klomifen Sitrat

  Klomifen sitrat dengan dosis 50-100 mg diberikan selama 5 hari mulai dari hari ke-3 sampai hari ke-7. Pasien diberikan instruksi untuk melakukan pemeriksaan LH urine secara serial mulai hari ke 11-12. Bila positif, prosedur

  21,22 dilaksanakan esok harinya.

  2.6.2. Stimulasi Ovarium Dengan Injeksi Folikel Stimulate Hormone (FSH)

  Penentuan dosis awal FSH tergantung beberapa hal, antara lain usia wanita dan respon ovarium sebelumnya. Secara umum, untuk stimulasi ovarium siklus pertama dibutuhkan dosis awal FSH 75-150 IU. Dengan bertambahnya usia, terutama pada usia lebih dari 40 tahun yang diasumsikan telah terjadi penurunan cadangan ovarium, dosis awal sebaiknya dinaikkan

  21,22 menjadi 225-300 IU.

2.7 Pemilihan Kateter

  Ada beberapa faktor yang menjadi faktor keberhasilan IIU. Hal ini termasuk umur pasien, penyebab infertilitas, volume sperma dan kualitas,

  23

  kontrol stimulasi induksi. Namun prosedur IIU dengan menggunakan kateter untuk memasukkan sperma yang telah dicuci melewati barier mukus serviks ke dalam kavum uterus dan meningkatkan konsentrasi sperma untuk fertilisasi sehingga angka kehamilan per siklus meningkat. Banyak variasi kateter yang sering digunakan pada inseminasi dan transfer embrio. Kateter inseminasi dibedakan berdasarkan diameter, ujung terbuka bagian distal dan konsistensi. Pengaruh dari konsistensi dari kateter telah diteliti dengan berdasarkan hipotesa bahwa kateter ujung lunak lebih sedikit menyebabkan kerusakan endometrium dan membatasi kontraksi yang dapat mengeluarkan embrio setelah transfer embrio atau sperma pada prosedur inseminasi intrauteri. Angka rata-rata kehamilan per siklus meningkat setelah transfer embrio dengan kateter ujung lembut dibandingkan dengan kateter kaku

  24,25

  berdasarkan beberapa penelitian acak. Namun sebaliknya, dampak pemilihan kateter pada program IIU jarang diteliti. Beberapa penelitian membandingkan perbedaan kateter IIU, tetapi desain penelitiannya hanya bersifat observasional, retrospektif atau prospektif, sedikit dengan penelitian acak.

  Adapun beberapa syarat kateter yang mungkin mempengaruhi keberhasilan IIU, antara lain:

  1. Mudah digunakan

  2. Harus cukup kaku untuk menyesuaikannya dengan serviks dan bentuk uterus tanpa menyebabkan trauma ke endoserviks atau endometrium atau keduanya, dan

  3. Ujung kateter inseminasi harus cukup kecil untuk meminimalisasi refluks dari material inseminasi (Lavie 1997) Penelitian pertama oleh Lavie dkk tahun 1997 yang dilakukan secara prospektif namun bukan penelitian secara acak, dari 102 siklus IIU dinilai efek dari kateter pada gambaran endometrium tiga lapis dan angka kehamilan rata-rata per siklus.Total kerusakan endometrium sangat rendah pada kelompok kateter lunak (12,5 %) dibandingkan dengan kelompok kateter

  26 keras (50%). Sedangkan angka kehamilan pada kedua kelompok sama.

  Penelitian yang menggunakan sampel yang lebih besar, Smith dkk pada tahun 2002 dengan penelitian acaknya menyimpulkan angka kehamilan rata-rata per siklus sama pada kelompok kateter ujung lunak (16%) dan kelompok ujung keras (18%) namun tidak bermakna secara statistika dengan

  27 nilai p=0.61.

  Teraporn dkk tahun 2003 melaporkan bahwa dari 239 siklus IIU yang dilakukan didapatkan tidak ada perbedaan bermakna secara statistika dari keberhasilan inseminasi baik dari kateter kaku dan fleksibel dengan nilai

  8 p= 0,714.

  Miller dkk tahun 2005 secara prospektif dan penelitian acak dengan 100 pasien. Tidak ada perbedaan bermakna pada angka kehamilan rata-rata

  26 per siklus pada kelompok dengan ujung lunak dan ujung keras.

  Penelitian lainnya yang dilakukan Fancsovits dkk tahun 2005 yang melakukan inseminasi intrauteri pada 251 pasien dengan kateter fleksibel dan kaku mendapat hasil yang sama dengan lainnya, dimana kelompok kateter tomcat terdapat 33 kehamilan dari 127 inseminasi sedangkan 34 kehamilan

  28 pada kelompok kateter Wallace ( 9,7% % berbanding 10,4, berurutan ).

  Jenis Kateter Inseminasi

  1. Kateter kaku (Rigid Catheter)

  2. Kateter fleksibel (Flexible Catheter)

2.7.1 Kateter Inseminasi Kaku

  Jenis kateter kaku:

  1. Kateter inseminasi Tomcat (Kendall Sovereign, Mansfield, MA, USA) Kateter semi kaku, dengan satu lumen. Panjangnya sekitar 11,4 cm, 3,5 French (fr) dan desain dengan ujungnya terbuka. Dapat dimodulasi mengikuti

  9 bentuk uterus.

  2. Kanula Makler (Sefi Medical Instruments, Haifa, Israel) Terdiri dari dua bagian: (1) kanula yang muat dengan besar 1 ml syringe

  

tuberculin, (2) gagang untuk memegang syringe. Kateter Makler ini kaku,

  semi rigid, dengan satu lumen dan ujung yang membulat. Bentuknya seperti api dimana dapat menutup serviks saat inseminasi untuk membantu mencegah refluks saat prosedur. Ini dapat dilakukan dengan dengan memasukkan sampai tulang servikal eksterna dengan kateter yang berbentuk api.

2.7.2 Kateter Inseminasi Fleksibel

  Jenis kateter fleksibel:

  1. Kateter Inseminasi Wallace (Smith Medical) Kateter lunak, fleksibel, dengan dua lumen yang berguna untuk sistem

  

co-axial. Kateter bagian dalam panjangnya 18 cm, dengan ujung membulat

  dan dilengkapi dengan sisi bilateral yang menyebar yang berguna untuk mencegah kontaminasi dan menghalangi sperma keluar saat dilakukannya inseminasi. Mempunyai bagian luar yang fleksibel.

  2. Kateter inseminasi Cook (Cook Women’s Health, Spencer, IN, Amerika Serikat) Kateter ini juga lunak, fleksibel, dua lumen, memiliki sistem co-axial.

  Kateter bagian dalam panjangnya 19 cm dengan ujung membulat. Bagian luar sama dengan kateter Wallace.

  3. Kateter Inseminasi Gynetics (Gynetics Medical Products, Hamont- Achel, Belgia) Kateter ini lunak, fleksibel, dua lumen, dan sistem co-aksial.

  Panjangnya 20,6 cm dengan ujung membulat. Sebagai tambahan, sama dengan kateter Wallace, kateter ini menggunakan dua ujung lateral di bagian distal untuk distribusi sperma ke intrauteri. Bagian luarnya lebih padat dan tebal untuk pasien dengan sulit memasukkan ke serviksnya.

2.8 Cara Inseminasi

  Suspensi sperma dapat dipertahankan di serviks, uterus, peritoneum dan tuba falopi. IIU merupakan tehnik yang paling sering digunakan. Hal ini dilakukan dengan memasukkan 0,2-0,5 ml suspensi sperma ke uterus dengan kateter fleksibel atau kaku, tanpa atau dengan pemantauan menggunakan ultrasonografi (USG). Untuk semen yang dibekukan, IIU lebih baik daripada intra Cervical insemination (ICI). Penggunaan kateter inseminasi juga mempunyai pengaruh terhadap angka kehamilan. Lavie dkk memperkirakan bahwa gambaran tiga lapis endometrium, yang umumnya menjadi tanda untuk dilakukan inseminasi, mengganggu setengah dari jumlah pasien yang menjalani inseminasi menggunakan kateter kaku. Gambaran gangguan ini dilihat dari adanya trauma pada endometrium. Dari penemuan ini menunjukkan bahwa dengan kateter fleksibel, angka kehamilan akan lebih

  9 tinggi dibandingkan dengan kateter kaku.

2.9 Waktu Inseminasi

  Inseminasi dapat dilakukan di waktu yang berbeda sekitar ovulasi dan dapat dilakukan sekali atau berulang. Sebagian besar penelitian, inseminasi dilakukan 32-36 jam setelah pemberian hCG. Inseminasi sebaiknya dilakukan pada sekitar ovulasi karena sangatlah penting untuk keberhasilan

27 IIU. Penelitian sistematik menemukan tidak ada perbedaan angka

  29 kehamilan perpasangan yang dilakukan inseminasi dua kali atau satu kali.

2.10 Metode

  Semua pasien wanita menerima 1 dari 3 regimen induksi ovulasi, antara lain: 1) klomifen sitrat 2) klomifen sitrat ditambah dengan human

  

menopausal gonadotropin atau recombinant follicle stimulating hormone,

  HMG atau rFSH. Pilihan regimen diputuskan oleh pasangan dan spesialisnya setelah diberikan penjelasan mengenai faktor harga, angka keberhasilan dan komplikasi dari tiap regimen. Pada protokol menggunakan klomifen sitrat, wanita menerima klomifen sitrat 100 mg per hari untuk 5 hari dimulai dari hari ke 2 siklus menstruasi. Pada regimen kombinasi klomifen sitrat dengan HMG/rFSH, dosis harian klomifen sitrat 100 mg diberikan hari ke 3 sampai hari ke 7, diikuti dengan 75 IU HMG atau 70 IU rFSH per hari dari siklus 8-10 siklus menstruasi. Pada regimen yang menerima HMG/rFSH, dosis harian 150-225 IU HMG atau 100-150 IU rFSH diberikan dimulai dari hari ke 3 siklus menstruasi sampai salah satu folikel mencapai diameter 17 mm atau lebih.

  Ultrasonografi transvaginal dilakukan untuk mengukur diameter folikel. Jika rerata diameter folikel sudah sampai 17 mm, 5000 IU human chorionic

  

gonadotropin disuntikkan secara intramuskular. IIU direncanakan 38-40 jam

setelah pemberian HCG.

  Preparat sperma diproses di laboratorium andrologi dengan menggunakan tehnik direct swim up. Spermatozoa diseleksi dengan kemampuan sperma untuk berenang keluar dari plasma seminalis dan medium kultur. Semen sebaiknya tidak didilusikan dan disentrifugasi sebelum sperma berenang keluar plasma seminalis, karena dapat menyebabkan kerusakan oleh peroksidase dari membran sperma. Reagen yang dipakai

  30 seperti BWW, Earle’s, Ham’s F-10 atau HSA (Human Serum Albumin).

  31 Gambar 2. Prosedur Inseminasi Intrauteri

2.11. Komplikasi

  Komplikasi jarang terjadi pada inseminasi intrauteri. Komplikasi yang sering terjadi lebih sering terjadi pasca inseminasi, sedangkan keluhan pasien

  32

  saat proses inseminasi jarang ditemukan. Komplikasinya antara lain:

  a. Kram perut Keluhan ini terjadi sekitar 5% dari seluruh pasien yang menjalani inseminasi intrauteri. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan kram perut, antara lain:

  Kateter yang dimasukkan ke dalam uterus dikenal sebagai benda - asing di dalam tubuh sehingga menyebabkan refleks kram alami.

  Kerusakan dari sebagian kecil endometrium saat insersi kateter - menyebabkan pelepasan prostaglandin. Gejala biasanya terlihat 2 sampai 4 jam pasca inseminasi.

  Sisa prostaglandin dari cairan seminal pada semen karena - ketidakakuratan dalam pencucian sperma dapat menyebabkan kram beberapa menit setelah prosedur inseminasi.

  Kram perut ini bukan merupakan suatu masalah yang serius. Pengobatannya biasa diberikan asetaminofen atau aspirin. Dan hal ini tidak memicu terjadinya infeksi.

  Teraporn dkk tahun 2003 dengan 239 siklus inseminasi intrauteri yang dilakukan didapatkan tidak ada perbedaan dalam kesulitan prosedur insersi kateter yang signifikan pada kelompok kateter kaku dan fleksibel (16.4% dan 17.1% berturut-turut, p=0.886 ), begitu juga halnya dengan dilatasi serviks tidak bermakna secara statistika (1.7% dan 1.6%, berurutan, p=0.953). Sama halnya dengan ketidaknyamanan saat prosedur pada kedua kelompok dimana pada kelompok kateter kaku 29,3 % dan kateter fleksibel 26,8 %

  8 dengan nilai p=0.882.

  b. Perdarahan Ringan Biasanya terjadi 1 % dari seluruh inseminasi. Perdarahan terjadi akibat iritasi pada kelenjar servikal akibat insersi kateter saat menuju kavum uteri. biasanya terjadi saat insersi kateter dan menghilang dengan sendirinya.

  c. Gangguan saluran cerna Mual dan diare ringan terjadi 0,05 % dari seluruh pasien inseminasi.

  Adanya prostaglandin biasanya yang menyebabkan keluhan ini dan terjadi beberapa jam setelah prosedur.

  d. Infeksi pelvis Komplikasi yang paling serius dalam prosedur inseminasi adalah infeksi pelvis. Terjadi sekitar 0,2 % dari semua pasien inseminasi. Meskipun jarang, tapi komplikasi ini sangat mengganggu. Infeksi pada uterus dapat menyebar ke tuba falopi dan jaringan di sekitarnya, sehingga memerlukan perawatan dan pemberian antibiotika. Infeksi dapat menyebabkan adanya bekas luka yang permanen pada tuba falopi dan jaringan sekitar, yang dapat membuat pasien menjadi infertil.

  Infeksi terjadi karena barrier mukus serviks yang normal rusak saat insersi kateter dan bakteri agresif yang ada pada mukus serviks atau pada sperma yang dimasukkan ke dalam kavum uteri. Ini sering terjadi pada pasien yang mempunyai riwayat infeksi. Gejala yang muncul pada infeksi pelvis seperti demam, nyeri pada serviks atau saat sedang berhubungan. Gejala muncul beberapa hari atau minggu pasca inseminasi.

  e. Reaksi Alergi Reaksi alergi pada sperma sering dilaporkan saat pasien berhubungan sehingga ada kemungkinan juga terjadi pada proses inseminasi. Walaupun sangat jarang terjadi, tapi akibatnya fatal.

2.12. Kerangka Teori

  Inseminasi Hamil

  Kateter Fleksibel

  Kaku Trauma Endometrium Refluks

  Kualitas Sperma Stimulasi Ovarium

  Penyebab Infertilitas

  Tebal Endometrium

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Daya Hambat Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Bakteri Enterococcus faecalis Sebagai Alternatif Bahan Medikamen Saluran Akar (In Vitro)

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Plak Dental - Efek Berkumur dengan Metode Oil Pulling Menggunakan Minyak Kelapa Terhadap Jumlah Koloni Bakteri Dalam Plak Mahasiswa FKG USU

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saliva Mulut harus dalam keadaan lembab dan dilumasi oleh saliva yang mengalir supaya dapat membentuk sebuah film tipis pada permukaan rongga mulut. Saliva memasuki rongga mulut melalui kelenjar parotid utama, submandibular dan

0 0 9

Pengaruh Penambahan Serat Kaca Terhadap Penyerapan Air Dan Kekuatan Transversal Serta Modulus Elastisitas Bahan Basis Gigitiruan Nilon Termoplastik

0 0 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Penambahan Serat Kaca Terhadap Penyerapan Air Dan Kekuatan Transversal Serta Modulus Elastisitas Bahan Basis Gigitiruan Nilon Termoplastik

0 2 19

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Penambahan Serat Kaca Terhadap Penyerapan Air Dan Kekuatan Transversal Serta Modulus Elastisitas Bahan Basis Gigitiruan Nilon Termoplastik

0 0 6

Pengaruh Penambahan Serat Kaca Terhadap Penyerapan Air Dan Kekuatan Transversal Serta Modulus Elastisitas Bahan Basis Gigitiruan Nilon Termoplastik

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Cetak - Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Dalam Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% dan Glutaraldehid 2% Terhadap Perubahan Dimensi

0 2 18

Pengaruh Perendaman Cetakan Alginat Dalam Larutan Sodium Hipoklorit 0,5% dan Glutaraldehid 2% Terhadap Perubahan Dimensi

0 3 15

Perbandingan Tingkat Keberhasilan Kateter Fleksibel Dan Kaku Dalam Inseminasi Intrauteri

0 3 19