BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Supervisi - Hubungan Supervisi Kepala Ruangan dengan Pelaksanaan Prinsip “Enam Benar” Pemberian Obat yang Dilakukan Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

  2.1.1. Pengertian Supervisi Supervisi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka pemantauan disertai dengan pemberian bimbingan, penggerakan atau motivasi dan pengarahan (Depkes, 2008). Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahan dan jika ditemukan masalah, segera diberikan bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya (Suarli dan Bahtiar, 2009).

  Supervisi merupakan suatu proses pemberian sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Supervisi memungkinkan seorang manajer dapat menemukan berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas bawahan (Arwani dan Supriyatno, 2005).

  Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan supervisi adalah tindakan pengamatan ataupun pengawasan yang dilakukan oleh atasan meliputi penilaian kinerja bawahan sesuai standar prosedur, memberikan bimbingan dan bantuan apabila terdapat masalah serta dukungan sehingga tujuan organisasi yang sudah ditetapkan dapat tercapai.

  7

  2.1.2. Tujuan dan Manfaat Supervisi Kegiatan supervisi mengusahakan seoptimal mungkin kondisi kerja yang kondusif dan nyaman yang mencakup lingkungan fisik, atmosfer kerja, dan jumlah sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memudahkan pelaksanaan tugas. Tujuan supervisi diarahkan pada kegiatan mengorientasikan staf dan pelaksana keperawatan, memberikan arahan dalam pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk menimbulkan kesadaran dan mengerti peran serta fungsinya sebagai staf, dan difokuskan pada pemberian pelayanan dan pelaksana keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan (Arwani dan Supriyatno, 2005).

  Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan diperoleh banyak manfaat. Manfaat tersebut adalah dapat lebih meningkatkan efektifitas kerja. Peningkatan efektifitas kerja ini erat hubungannya dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara atasan dan bawahan. Manfaat selanjutnya adalah dapat lebih meningkatkan efisiensi kerja. Peningkatan efisiensi kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta, dan sarana) yang sia-sia akan dapat dicegah (Suarli dan Bahtiar, 2009).

  2.1.3. Sasaran Supervisi Arwani dan Supriyatno (2005) menyatakan bahwa supervisi yang dilakukan memiliki target tertentu yang akan dicapai. Setiap sasaran dan target dilaksanakan sesuai dengan pola yang disepakati berdasarkan struktur dan hierarki tugas. Dengan demikian, sasaran yang menjadi target dalam kegiatan supervisi adalah terbentuknya staf yang berkualitas yang dapat dikembangkan secara sistematis dan berkesinambungan , penggunaan alat yang efektif dan ekonomis, tersedianya sistem dan prosedur yang tidak menyimpang, adanya pembagian tugas dan wewenang yang proporsional, dan tidak terjadinya penyelewengan kekuasaan, kedudukan, dan keuangan.

  Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan, serta bawahan yang melakukan pekerjaan. Di sini terlihat lebih jelas bahwa bawahan yang melaksanakan pekerjaan akan disupervisi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan (Suarli dan Bahtiar, 2009).

  2.1.4. Prinsip-Prinsip Pokok Dalam Supervisi Tobing dan Napitupulu (2011) menyatakan bahwa ada 8 prinsip- prinsip pokok supervisi, yaitu: a. Supervisor harus mengerti dengan jelas hal-hal yang diharapkan dari pekerjaan tersebut seperti tujuan/sasaran, sifat/kriteria, anggaran, dan kualitas pekerjaan. b. Supervisor harus mengetahui pedoman dan prosedur dalam menjalankan pekerjaan.

  c. Supervisor harus mengakui pekerjaan yang baik yang telah dilakukan bawahannya dan memberikan pekerjaan kepada yang dipimpinnya.

  d. Supervisor harus memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada bawahannya.

  e. Supervisor harus memotivasi orang-orang yang dipimpinnya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan memberi kritik yang konstruktif.

  f. Supervisor harus mempunyai gaya dan fungsi kepemimpinan sebagai teladan bagi bawahannya.

  g. Supervisor harus mampu mengarahkan, berkomunikasi dengan baik, dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan diri.

  h. Supervisor harus memberikan suasana bekerja dalam lingkungan yang sehat, nyaman, dan aman.

  Arwani dan Supriyatno (2005) menyatakan bahwa seorang manajer keperawatan yang melakukan kegiatan supervisi harus mengetahui prinsip-prinsip supervisi yaitu didasarkan atas hubungan profesional dan bukan hubungan pribadi, kegiatan harus direncanakan secara matang, bersifat edukatif, memberikan rasa aman pada perawat pelaksana, harus mampu membentuk suasana kerja yang demokratis, dilakukan secara objektif dan mampu memacu terjadinya penilaian diri (self evaluation), dapat mengembangkan potensi atau kelebihan masing- masing orang yang terlibat, bersifat progresif, inovatif, fleksibel, konstruktif dan kreatif dalam mengembangkan diri disesuaikan dengan kebutuhan, dan supervisi harus dapat meningkatkan kinerja bawahan dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.

  Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan prinsip pokok supervisi secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut.

  a. Tujuan utama supervisi ialah untuk lebih meningkatkan kinerja bawahan, bukan untuk mencari kesalahan. Peningkatan kinerja ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap pekerjaan bawahan, untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan untuk mengatasinya.

  b. Sejalan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, sifat supervisi harus edukatif dan sportif, bukan otoriter.

  c. Supervisi harus dilakukan secara teratur dan berkala.

  d. Supervisi harus dapat dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terjalin kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada saat proses penyelesaian masalah, dan untuk lebih mengutamakan kepentingan bawahan.

  e. Strategi dan tata cara supervisi yang akan dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing bawahan secara individu.

  Penerapan strategi dan tata cara yang sama untuk semua kategori bawahan, bukan merupakan supervisi yang baik. f. Supervisi harus dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan dengan perkembangan.

  2.1.5. Pelaksana Supervisi Depkes (2008) menyatakan bahwa pelaksana supervisi di rumah sakit dapat dilakukan oleh: a. Kepala Ruangan

  Bertanggung jawab dalam supervisi pelayanan keperawatan untuk klien. Kepala ruangan sebagai ujung tombak penentu tercapai tidaknya tujuan pelayanan keperawatan dan mengawasi perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan.

  b. Pengawas Perawatan Beberapa ruang atau unit pelayanan berada dibawah unit pelaksana fungsional (UPF). Pengawas bertanggung jawab dalam supervisi pelayanan keperawatan pada areanya yaitu beberapa kepala ruangan yang di UPF bersangkutan.

  c. Kepala Seksi Beberapa UPF digabung dalam satu pengawasan kepala seksi (Kasie). Kepala seksi mengawasi pengawas UPF dalam melaksanakan tugasnya secara langsung dan seluruh perawat secara tidak langsung.

  d. Kepala Bidang Kepala bidang bertanggung jawab untuk supervisi kepala seksi secara langsung dan semua perawat secara tidak langsung. Jadi supervisi berkaitan dengan struktur organisasi yang menggambarkan garis tanggung jawab siapa yang menjadi supervisor dan siapa yang disupervisi.

  Pelaksana supervisi adalah manajer yang langsung mengelola karyawan yang memiliki pengalaman dalam supervisi, mengikuti pelatihan sistemik, serta memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan. Apabila supervisor tidak memiliki keterampilan tersebut dapat dipastikan kinerja unit kerja mereka akan menjadi korban (Dharma, 2003).

  Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan supervisi adalah atasan yang memiliki kelebihan dalam organisasi. Idealnya, kelebihan tersebut tidak hanya dari aspek status dan kedudukan, tetapi juga pengetahuan dan keterampilan. Untuk dapat menjadi pelaksana supervisi yang baik manajer juga perlu mengikuti pendidikan dan pelatihan yang bersifat khusus. Pelaksana supervisi yang baik membutuhkan bekal yang banyak, termasuk bekal dalam melakukan komunikasi, motivasi, pengarahan, bimbingan, dan juga kepemimpinan.

  2.1.6. Teknik Supervisi Supervisi dapat dilakukan melalui 2 cara dalam prosesnya, yaitu:

  2.1.6.1. Cara Langsung Supervisi langsung adalah ketika supervisor bertanggung jawab secara langsung terhadap asuhan keperawatan. Supervisi dilakukan pada saat kegiatan berlangsung dan supervisor melakukan observasi kepada perawat pelaksana saat melakukan asuhan keperawatan (Nursing and Midwifery Board of Australia, 2013). Observasi dilakukan dengan membandingkan hasil pengamatan dengan standar program (Muninjaya, 2004). Pada kondisi ini, umpan balik dan perbaikan dapat sekaligus dilakukan dimana bawahan tidak merasakannya sebagai suatu beban dan selama proses supervisi, supervisor dapat memberikan dukungan,

  

reinforcement, dan petunjuk, kemudian supervisor dan perawat

  pelaksana melakukan diskusi untuk menguatkan yang telah sesuai dengan apa yang direncanakan dan memperbaiki segala sesuatunya yang dianggap masih kurang (Arwani dan Supriyatno, 2005).

  Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan 3 hal yang perlu diperhatikan saat melakukan supervisi langsung, yaitu: a. Sasaran pengamatan

  Pengamatan langsung yang tidak jelas sasarannya merupakan pengamatan yang tidak efektif, karena pelaksana supervisi tidak mengetahui tujuan dari supervisi tersebut.

  Pencegahan yang dapat dikerjakan dalam situasi tersebut adalah perlu ditetapkan sasaran pengamatan, yakni ditujukan pada sesuatu yang bersifat pokok dan strategis (selective supervision).

  b. Objektivitas pengamatan Pengamatan langsung yang tidak terstandardisasi dapat menggangu objektivitas.Pengamatan langsung perlu dibantu dengan suatu daftar isian (check list) agar lebih objektivitas. Daftar tersebut dipersiapkan untuk setiap pengamatan secara lengkap dan apa adanya.

  c. Pendekatan pengamatan Pengamatan langsung sering menimbulkan berbagai dampak dan kesan negatif, misalnya rasa takut dan tidak senang, atau kesan mengganggu kelancaran pekerjaan. Pengamatan langsung harus dilakukan sedemikian rupa sehingga berbagai dampak atau kesan negatif tersebut tidak muncul. Pengamatan tersebut dapat dilakukan secara edukatif dan suportif, bukan menunjukkan kekuasaan atau otoritas.

  2.1.6.2. Cara Tidak Langsung Supervisi tidak langsung memungkinkan terjadinya salah pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi

  (misperception) karena supervisor tidak melihat secara langsung kegiatan-kegiatan yang dilakukan (Arwani dan

  Supriyatno, 2005). Nursing and Midwifery Board of Australia (2013) menyatakan bahwa supervisi tidak langsung adalah ketika supervisor berada dalam fasilitas ataupun organisasi yang sama dengan yang disupervisi namun tidak melakukan observasi langsung. Supervisor harus tersedia saat dibutuhkan baik via telepon ataupun email.

  Muninjaya (2004) menyatakan bahwa supervisi tidak langsung dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu: a. Laporan lisan

  Supervisor dapat memperoleh data langsung tentang pelaksanaan suatu program dengan mendengarkan laporan lisan staf atau pengaduan masyarakat. Supervisor hanya memperoleh informasi terbatas tentang kemajuan program atau laporan kasus penyalahgunaan wewenang oleh staf dari laporan masyarakat, sehingga supervisor harus peka dengan raut wajah staf dan cara mereka melapor, jika seandainya laporan yang diterima tidak benar apalagi jika tidak ditunjang dengan data (fakta).

  b. Laporan tertulis Staf penanggung jawab program diminta membuat laporan singkat tentang hasil kegiatannya. Informasinya hanya terbatas pada hal-hal yang dianggap penting oleh staf. Format laporan staf harus dibuat. Sistem pencatatan dan pelaporan program yang secara rutin dibuat oleh staf dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan program asalkan laporan tersebut sudah dianalisis dengan baik.

  Wiyana (2008) menyatakan bahwa supervisi tidak langsung dapat dilakukan dengan melihat hasil dokumentasi pada buku rekam medik perawat dengan memilih satu dokumen asuhan keperawatan, kemudian memeriksa kelengkapan dokumentasi sesuai dengan standar dokumentasi asuhan keperawatan yang ditetapkan rumah sakit. Setelah itu memberikan penilaian atas dokumentasi yang di supervisi dengan memberikan tanda bila ada yang masih kurang dan berikan cacatan tertulis pada perawat yang mendokumentasikannya.

  2.2.1. Benar Pasien Pemberian obat pada pasien yang benar dapat dipastikan dengan memeriksa gelang identifikasi pasien, dan meminta pasien menyebutkan namanya sendiri, jika pasien tidak mampu berespon secara verbal, dapat digunakan cara non-verbal seperti menganggukkan kepala (Kee dan Hayes, 1996 ).

  Ketika memberikan obat pada pasien perawat harus mengecek program terapi pengobatan dari dokter, memanggil nama pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di tempat tidur pasien (Kozier, Erb, Berman, Snyder, 2010).

  Perawat harus memastikan obat diberikan kepada pasien yang tepat dengan meminta pasien untuk menyebutkan nama lengkapnya dan nomor jaminan sosialnya atau nama lengkap dan tanggal lahirnya (Vaughans, 2013).

  Pemberian obat pada pasien yang salah dapat terjadi pada saat pemesanannya lewat telepon, pasien yang masuk bersamaan, kasus penyakitnya sama, ataupun adanya pindahan pasien dari ruang yang satu keruang yang lainnya. Perawat harus mengidentifikasi pasien dengan menanyakan nama lengkap pasien, melihat identitas pasien dalam bracelet ataupun mengidentifikasi melalui papan nama pada tempat tidur pasien untukmengurangi kejadian pemberian obat pada pasien yang tidak tepat (Wijayaningsih, 2013).

  2.2.2. Benar Obat Obat yang benar berarti pasien menerima obat yang telah diresepkan. Label obat harus dibaca 3 kali untuk menghindari kesalahan, yaitu: saat melihat botol atau kemasan, sebelum menuang obat,setelah menuang obat. Perawat juga harus menyadari bahwa obat- obat tertentu mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan ejaannya mirip. Jika ada keraguan, perawat dapat menghubungi apoteker atau pemberi resep (Kee dan Hayes, 1996).

  Benar obat dapat dilakukan dengan mengecek program terapi pengobatan dari dokter, menanyakan ada tidaknya alergi obat, mengecek label obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah memberikan obat, perawat juga harus mengetahui efek samping obat (Kozier, et al., 2010).

  Vaughans (2013) menyatakan bahwa perawat harus memastikan obat yang akan diberikan kepada pasien benar dengan cara:

  a) Mengecek inkonsistensi antara obat yang diresepkan dan riwayat medis pasien, termasuk kontraindikasi, alergi, diagnosis medis, dan hasil laboratorium. Perawat harus memverifikasi ketidakjelasan medikasi yang dipesan atau inkonsisten dengan penilaian informasi yang diperoleh selama proses persiapan.

  b) Mengecek adanya ketidakcocokan antara obat yang diresepkan dan obat yang diberikan. Ada kesamaan tampilan, kesamaan bunyi dalam medikasi (misal, Xanax dan Zantac) yang dapat berakibat pada medikasi yang salah pada pasien.

  c) Jika pasien tidak yakin untuk meminum obat yang telah diresepkan, verifikasi bahwa pemberi resep telah memesan obat yang tepat.

  Obat diberikan dengan benar dapat dipastikan dengan melihat label atau etiket dan harus dibaca dengan teliti setiap akan memberikan obat. Hal yang perlu diperhatikan antara lain : nama obat, sediaan, konsentrasi, dan cara pemberian serta expired date. Kesalahan pemberian obat sering terjadi jika perawat memberikan obat yang disiapkan oleh perawat lain atau pemberian obat melalui wadah (spuit) tanpa identitas atau label yang jelas (Wijayaningsih, 2013).

  2.2.3. Benar Dosis Benar dosis diperhatikan melalui penulisan resep dengan dosis yang disesuaikan dengan keadaan pasien. Beberapa kasus yang ditemui di lapangan, terdapat banyak obat yang direkomendasikan dalam bentuk sediaan. Perawat harus teliti menghitung dosis masing-masing obat dan mempertimbangkan adanya perubahan dosis dari penulis resep. Yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam pemberian dosis yang benar adalah tidak mengubah dosis asli, menghitung dan memeriksa dosis obat dengan benar.

  Jika ada keraguan, dosis obat harus dihitung ulang dan diperiksa oleh perawat lain, serta menghubungi apoteker atau penulis resep sebelum pemberian dilanjutkan. Jika pasien meragukan dosis, periksa kembali dosis obat. Apabila sudah mengkonsultasikan dengan apoteker atau penulis resep namun tetap rancu, obat tidak boleh diberikan, beritahu penanggung jawab unit atau ruangan dan penulis resep beserta alasannya (Kee dan Hayes, 1996).

  Benar dosis dapat dipastikan dengan mengecek dosis yang diresepkan sesuai dengan kebutuhan pasien, mencari tahu dosis obat yang biasa digunakan pasien, dan memeriksa kembali perhitungan dosis yang menimbulkan pertanyaan (Kozier, et al., 2010).

  Memberikan obat dengan dosis yang tepat pada pasien merupakan hal yang harus dipastikan oleh perawat. Memberikan jumlah yang lebih sedikit dari yang diresepkan berakibat pada tidak memadainya perlakuan terhadap pasien dan akan menunda pemulihan dari sakit, juga menyebabkan resistensi terhadap obat tertentu di masa yang akan datang. Memberikan obat dengan dosis yang berlebih dari yang seharusnya dapat menciptakan masalah baru bagi pasien, beberapa diantaranya dapat mengakibatkan kematian (Vaughans, 2013).

  Dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi atau timbulnya efek berbahaya. Kesalahan dosis sering terjadi pada anak-anak, lansia, atau pada orang obesitas. Perawat perlu memeriksa dosis obat sesuai kebutuhan pasien dan jika ragu dapat berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep (Wijayaningsih, 2013).

  2.2.4. Benar Waktu Waktu yang benar adalah saat obat yang diresepkan harus diberikan. Jika obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh kadar yang diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan, jika obat harus dimakan sesudah makan maka harus diberi sesudah pasien makan. Perawat juga harus memeriksa tanggal kadaluarsa obat (Kee dan Hayes, 1996).

  Benar waktu dapat diterapkan dengan memberikan obat pada frekuensi yang tepat dan pada waktu yang diprogramkan oleh pemberi resep. Obat yang diberikan dalam 30 menit sebelum atau sesudah waktu yang dijadwalkan dianggap memenuhi waktu standar yang benar (Kozier, et al., 2010).

  Benar waktu meliputi interval yang benar dan juga waktu yang tepat setiap harinya. Memberikan obat dengan frekuensi lebih sering atau kurang dari yang telah diresepkan berpotensi mempengaruhi efek yang diharapkan dari obat tersebut. Selain itu, beberapa obat harus diberikan di waktu tertentu pada hari tersebut. Sebagai contoh, diueretik (obat yang diberikan untuk mengurangi kelebihan cairan dari tubuh) biasanya diberikan pagi hari. Pemberian jenis obat ini di malam hari akan mengganggu pasien beristirahat (Vaughans, 2013).

  Obat yang dikonsumsi secara berulang lebih berpotensi menimbulkan kesalahan dalam waktu pemberiannya. Misalnya pada kasus gawat darurat henti jantung, epinefrin diberikan setiap 3-5 menit, jika tidak dipatuhi akan menghasilkan kadar obat yang tidak sesuai dan dapat menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan. Selain itu, perawat juga perlu memperhatikan dalam pemberian obat berupa injeksi ataupun infus (Wijayaningsih, 2013).

  2.2.5. Benar Rute Rute yang benar perlu untuk absorbsi yang tepat dan memadai.

  Obat diberikan melalui rute yang berbeda, tergantung keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat obat (kimiawi dan fisik obat) serta tempat kerja yang diinginkan. Rute pemberian obat dapat dibagi menjadi: a) Oral, obat yang masuk melalui mulut, dapat diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal).

  b) Topikal, terdiri dari krim, salep, lotion, liniment dan sprei. Obat ini digunakan pada permukaan luar badan untuk melindungi, melumasi, atau sebagai vehikel untuk menyampaikan obat ke daerah tertentu pada kulit atau membran mukosa, c) Rektal,rute ini dapat diberikan melalui enema atau supositoria.

  Pemberian obat pada rektal digunakan untuk efek lokal, seperti konstipasi atau hemoroid.

  d) Pesarri, obat ini menyerupai supositoria, tetapi bentuknya dirancang khusus untuk vagina e) Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan,

  f) Parenteral, pemberian obat diluar usus atau saluran cerna, yaitu melalui vena (Kee dan Hayes, 1996).

  Perawat harus memberikan obat sesuai dengan rute yang telah ditetapkan dan memastikan bahwa rute tersebut aman dan sesuai untuk pasien. Perawat juga harus mengecek cara pemberian pada label/kemasan obat (Kozier, et al., 2010).

  Rute pemberian obat mempengaruhi tubuh memproses obat. Perawat harus memastikan bahwa rute pemberian obat yang diresepkan sesuai dan memastikan bahwa rute tersebut digunakan jika tidak terdapat kontraindikasi untuk memastikan bahwa efek yang diharapkan tercapai. Sebagai contoh, suatu obat yang diresepkan dengan rute mulut dapat kontraindikatif jika pasien baru saja melakukan bedah mulut atau mungkin tidak efektif jika pasien mengalami muntah. Selanjutnya, tidak akan tepat untuk tetap memberikan obat tanpa lebih dahulu berkonsultasi dengan pemberi resep atau mengecek untuk melihat jikalau obat tersebut juga dipesan untuk suatu rute alternatif lain (Vaughans, 2013).

  Jalur atau rute pemberian obat adalah jalur obat masuk ke dalam tubuh. Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan (Wijayaningsih, 2013).

  2.2.6. Benar Dokumentasi Perawat harus segera mendokumentasi tindakanpemberian obat pada pasien yang meliputi nama, dosis, rute, waktu dan tanggal pemberian obat serta inisial dan tanda tangan perawat. Respon pasien terhadap pengobatan juga perlu didokumentasikan. Penundaan dalam mencatat dapat mengakibatkan lupa untuk mencatat pengobatan atau perawat lain memberikan obat yang sama kembali (Kee dan Hayes, 1996).

  Dokumentasikan pemberian obat setelah memberikan obat pada pasien bukan sebelum memberikan obat. Apabila waktu pemberian obat berbeda dari waktu yang ditentukan ataupun ada perubahan dari pemberian obat yang sudah diresepkan dan yang diberikan pada pasien segera didokumentasikan dan mencantumkan alasannya dengan jelas (Kozier, et al., 2010).

  Mendokumentasikan pemberian obat merupakan tambahan atas lima benar pemberian obat, dan ini juga harus benar. Penting bagi anggota tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien untuk mengetahui jumlah, waktu, dan rute medikasi yang diberikan pada pasien. Penting juga bagi anggota tim kesehatan lain untuk mengetahui bagaimana medikasi mempengaruhi pasien (Vaughans, 2013).

  Dokumentasi meliputi nama pasien, nama obat, dosis, jalur pemberian, tempat pemberian, alasan kenapa obat diberikan, dan tanda tangan orang yang memberikan. Hal ini diperlukan perawat sebagai pertanggunggugatan secara legal tindakan yang dilakukan (Wijayaningsih, 2013).

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kepatuhan Ibu Menyusui Dalam Memberikan Asi Eksklusif Pada Bayi Baru Lahir Di Desa Sidodadi Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengetahuan 1. Pengertian Pengetahuan - Hubungan Pengetahuan Ibu Menyusui Dengan Pemberian ASI Eksklusif di Kelurahan Sei Sikambing Medan Tahun 2012

0 0 13

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Penentuan Rute Distribusi yang Optimal dengan Batasan Waktu Pengiriman Menggunakan Algoritma Heuristik pada PT. Sharp Electronics Indonesia

0 0 10

Penentuan Rute Distribusi yang Optimal dengan Batasan Waktu Pengiriman Menggunakan Algoritma Heuristik pada PT. Sharp Electronics Indonesia

0 0 16

2. REVIEW OF RELATED LITERATURE a. NOVEL - An Analysis Of Intrinsic Elements In Nicholas Sparks’ Novel The Last Song

0 0 6

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Kredit Pembelian Sepeda Motor Bermasalah(Studi Kasus Pt. Federal International Finance Cabang Medan)

0 0 15

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Pemilihan Supplier Dan Alokasi Pemesanan Bahan Baku Di Pt Latexindo Toba Perkasa Menggunakan Metode Fuzzy Ahp, Topsis, Dan Molp

0 1 47

BAB I PENDAHULUAN - Pemilihan Supplier Dan Alokasi Pemesanan Bahan Baku Di Pt Latexindo Toba Perkasa Menggunakan Metode Fuzzy Ahp, Topsis, Dan Molp

0 0 9

2.1. Forensik Digital - Identifikasi Tipe File Dari File Fragment Menggunakan Longest Common Subsequences (Lcs)

0 2 20

Hubungan Supervisi Kepala Ruangan dengan Pelaksanaan Prinsip “Enam Benar” Pemberian Obat yang Dilakukan Perawat di RSUD Dr. Pirngadi Medan

1 1 35