Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus tereus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bruguiera gymnorrhiza
TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove
Kata “mangrove” dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas
Rhizophora spp.. Dengan demikian mangrove merupakan sekelompok tumbuhan
yang berbeda satu dengan yang lainnya, tetapi mempunyai persamaan terhadap morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut (Soeroyo, 1992).
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya (Waryono, 2008).
Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang pada daerah landai di muara sungai, dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut dengan halopita (halophytic) (Onrizal, 2005).
Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30–50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan. Besarnya emisi karbon akibat hilangnya mangrove masih belum diketahui dengan jelas, sebagian karena kurangnya data berskala besar tentang jumlah karbon yang tersimpan di dalam ekosistem ini, khususnya di bawah permukaan (Donato, dkk., 2012).
Sebenarnya, di dalam wilayah laut dan pesisir tersebut terkandung sejumlah potensi sumberdaya yang besar dan beragam. Salah satu sumberdaya tersebut dapat diperbarui (renewable resources), seperti ikan, udang, moluska, karang mutiara, kepiting, rumput laut, hutan mangrove dan hewan karang yang keberadaan dan kelestarianya tergantung dari pelestarian habitatnya. Selain hal tersebut juga berguna dalam jasa-jasa lingkungan (environmental service), seperti tempat-tempat (habitat) yang indah dan menyejukkan untuk potensi peristiwa dan rekreasi, media transportasi. Dari semua itu, maka potensi kelautan dan pesisir mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi semua elemen masyarakat, khususnya masyarakat pesisir (Haryanto, 2008).
Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan laut sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Hutan mangrove atau disebut juga hutan bakau, tidak pernah ditemukan dalam keadaan hidup soliter, tetapi selalu membentuk komunitas. Hutan mangrove ini tanaman yang hidup di habitat pesisir. Karakteristik habitat hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidial yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Wilayahnya juga menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, baik dari muara suangai ataupun
rembesan . Biasanya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang
kuat, sehingga keberadaan terumbu karang atau pulau sangat mempengaruhi habitatnya. Hutan bakau hanya terdapat di pantai yang berkekuatan ombaknya terpecah oleh penghalang berupa pasir ataupun terumbu karang. Sehingga hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria delta dan daerah pantai yang terlindung (Haryanto, 2008).
Ekosistem hutan mangrove umumnya tumbuh dan berasosiasi dengan ekosistem lainnya, misalnya dengan padang lamun (seagrass), rumput laut (seaweed) dan terumbu karang (coral reef), sehingga membentuk suatu ekosistem yang lebih luas, lebih komplek dan sangat unik. Pada hakekatnya, ekosistem hutan mangrove tersebut banyak mendukung terhadap sistem kehidupan berbagai macam biota dan manusia yang hidup di sekitarnya. Kawasan ini oleh banyak peneliti dianggap sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi, dan mempunyai potensi untuk dikembangkan, tetapi sangat rawan apabila cara penanganannya mengabaikan faktor-faktor pembatas dan interkasi antar sistem sumberdaya yang ada dalam satu kesatuan tatanan lingkungan (Pramudji, 2001).
Ekosistem mangrove, bersama padang lamun dan rawa payau (salt marsh) merupakan tumbuhan penting yang berfungsi sebagai pengikat atau penyerap karbon. Meskipun tumbuhan pantai di ketiga wilayah tersebut luas totalnya kurang dari setengah persen dari luas seluruh laut, ketiganya dapat mengunci lebih dari separoh karbon laut ke sedimen dasar laut. Keseluruhan tumbuhan mangrove, lamun, dan rawa payau dapat mengikat 235-450 juta ton karbon per tahun, setara hampir setengah dari emisi karbon lewat transportasi di seluruh dunia (Nontji, 2010 dalam Ghufran, 2012).
Luas dan Penyebaran Mangrove
Data hasil pemetaan Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)- BAKOSURTANAL dengan menganalisis data citra Landsat ETM (akumulasi data citra tahun 2006-2009, 190 scenes), mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Hartini, dkk., 2010). Kementerian Kehutanan tahun 2007 juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia berdasarkan Kementerian Kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini, dkk., 2010), tetapi hampir 70% nya rusak (belum diketahui kategori rusaknya seperti apa). Kedua instansi tersebut juga mengeluarkan data luas Mangrove per propinsi di 33 provinsi di Indonesia. luas- luas mangrove di 33 provinsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas dan penyebaran lahan bervegetasi mangrove di Indonesia Area Mangrove No Provinsi
Bakosurtanal 2009 RLPS-MOF 2007
1 Nanggroe Aceh Darussalam 22.950,321 422.703
2 Sumatera Utara 50.369,793 364.581,150
3 Bengkulu 2.321,870
4 Jambi 12.528,323 52.566,880
5 Riau 206.292,642 261.285,327
6 Kepulauan Riau 54.681,915 178.417,549
7 Sumatera Barat 3.002,689 61.534
8 Bangka Belitung 64.567,396 273.692,820
9 Sumatera Selatan 149.707,431 1.693.112,110
10 Lampung 10.533,676 866.149
11 DKI Jakarta 500,675 259,930
12 Tabel 1. Lanjutan No Provinsi Area Mangrove Bakosurtanal 2009 RLPS-MOF 2007
13 Jawa Barat 7.932,953 13.883,195
25 Gorontalo 12.315,465 32.934,620
Fungsi Hutan Mangrove
Sumber: Pusat Survey Sumber Daya Alam Laut (PSSDAL)-Bakosurtanal (2009) dan
Kementerian Kehutanan (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009 dalam Hartini, dkk, 2010).31 Maluku Utara 139.090,920 128.035 32,33 Papua dan Papua Barat 1.634.003,454 1.438.421 Total 3.244.018,460 7.758.410,595
30 Maluku Utara 39.659,729 43.887
29 Sulawesi Barat 3.182,201 3.000
28 Sulawesi Tenggara 44.030,338 74.348,820
27 Sulawesi Selatan 12.821,497 28.978,300
26 Sulawesi Tengah 67.320,130 29.621,560
24 Sulawesi Utara 7.348,676 32.384,49
14 Jawa Tengah 4.857,939 50.690
23 Kalimantan Timur 364.254,989 883.379
22 Kalimantan Selatan 56.552,064 116.824
21 Kalimantan Tengah 68.132,451 30.497,710
20 Kalimantan Barat 149.344,189 342.600,120
19 Nusa Tenggara Timur 20.678,450 40.640,850
18 Nusa Tenggara Barat 11.921,179 18.356,880
17 Bali 1.925,046 2.215,5
16 D.I Yogyakarta
15 Jawa Timur 18.253,871 272.230,3
Fungsi hutan mangrove dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu fungsi fisik, fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. Fungsi hutan mangrove secara fisik di antaranya: menjaga kestabilan garis pantai dan tebing sungai dari erosi atau abrasi, mempercepat perluasan lahan dengan adanya jerapan endapan lumpur yang terbawa oleh arus ke kawasan hutan mangrove, mengendalikan laju intrusi air laut sehingga air sumur disekitarnya menjadi lebih tawar, melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang, angin kencang dan bahaya tsunami. Hasil penelitian di Teluk Grajagan, Banyuwangi, menunjukkan bahwa dengan adanya hutan mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340 m dan perubahan energi gelombang sebesar (E) 19635,26 joule (Pratikto, 2002).
Fungsi hutan mangrove secara ekologis diantaranya sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan reptil. Bagi beberapa jenis burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai tempat istirahat, tidur bahkan bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan tempat mencari makan, karena ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi (Howes, dkk, 2003).
Rehabilitasi Mangrove
Upaya rehabilitasi harus melibatkan semua lapisan masyarakat yang berhubungan dengn kawasan mangrove (Novianty dkk, 2011). Pada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, keberhasilan penanaman sangat ditentukan oleh kondisi tapak dan tehnik penanamannya. Tidak semua area penanaman yang akan ditanami berupa area yang ideal untuk tumbuhnya mangrove, namun ada beberapa kondisi tempat tumbuh tanaman mangrove yang memiliki karakteristik khusus sehingga diperlukan suatu inovasi teknologi untuk menjaga agar tanaman yang ditanam dapat bertahan hidup pada kondisi tapak dengan karakteristik khusus tersebut. Tapak-tapak dengan karakteristik khusus yang dimaksud adalah tapak dengan ombak/arus yang kuat, tapak dengan lumpur yang dalam, tapak dengan timbunan pasir laut, tapak berkirikil/berkarang dan tapak dengan genangan air yang dalam (Kusmana dan Samsuri, 2009).
Deskripsi Bruguiera gymnorrhiza
Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo : Myrtales Famili Genus Spesies : Bruguiera gymnorrhiza (L.) Lamk.
Bruguiera gymnorrhiza merupakan anggota pohon dari keluarga
Rhizophoraceae. B. gymnorrhiza umumnya dijumpai sepanjang margin pedalaman rawa bakau, dan kadang-kadang di sepanjang pantai. B. gymnorrhiza tersebar secara luas di selatan tropis Samudera Hindia melalui Malaysia dan Australia tropis dan ke Pasifik sejauh timur seperti Tonga dan Samoa (Karimulla dan Kumar, 2011).
Fungi
Fungi adalah mikroorganisme yang tidak memiliki klorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukariotik, berdinding sel dari kritin atau selulosa, bereproduksi secara seksual dan aseksual. Fungi dimasukkan ke dalam kingdom tersendiri sebab cara mendapatkan makanannya berbeda dengan mikroorganisme yang lainnya, yaitu melalui absorbsi (Sutedjo, dkk., 1991).
Fungi merupakan agen utama (primer) dalam penguraian bahan-bahan organik. Fungi berperan dalam memulai sebagai reservoar nutrien ke bentuk biomassa mikrobial. Fungi membantu mengikat agregat tanah dan mendekomposisi nutrien dalam bentuk senyawa organik (Waluyo, 2009).
Menurut Ayunasari (2009) terdapat sebanyak 6 spesies fungi pada serasah daun mangrove yaitu 4 jenis fungi Aspergillus sp., 1 jenis fungi Curvularia sp.,
dan 1 jenis Penicillium sp. Keenam fungi tersebut diasumsikan sebagai
dekomposer awal yang telah terdapat pada serasah daun mangrove sebelum jatuh
ke lantai hutan. Namun setelah jatuh ke lantai hutan dan melakukan dekomposisi,akan terdapat banyak fungi yang berasosiasi dengan keenam jenis fungi yang
sudah ada untuk melakukan proses dekomposisi serasah.Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat dijadikan agen
biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat
patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan,
parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan
bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan
untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Beberapa penyakit
tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma.
Trichoderma sp. Menghasilkan enzim kitinase yang dapat membunuh patogen
sehingga fungi ini sangat cocok digunakan dalam mengelola lahan bekas
pertambangan untuk kembali melestarikannya (Tjandrawati dkk., 2003).