Alam Pikiran Manusia menurut Van Peursen

Alam Pikiran Manusia menurut Van Peursen
Adrianus Yoga, CM (13009) dan Fabianus Arkhedion, CM (13010)

Pengantar
Keadaan dunia terus berubah seiring perkembangan zaman. Perubahan ini terutama
menyangkut kebudayaan dan peradaban. Mulai dari zaman pra-sejarah hingga sekarang telah
banyak muncul berbagai hal yang sangat mempengaruhi. Manusia yang berada dalam dunia
juga turut dipengaruhi oleh perubahan ini. Pertanyaannya, apakah dunia yang mempengaruhi
dunia atau dunia yang mempengaruhi pikiran manusia?
Van Peursen melihat perubahan yang terjadi dalam satu skema umum yang mana di
dalam skema itu masing-masing kebudayaan mengisi dengan caranya masing-masing. Dalam
skema umum tersebut terdapat tiga alam pemikiran, yang pertama adalah alam pikiran mitis,
yang kedua adalah alam pikiran ontologis, dan yang ketiga adalah alam pemikiran fungsional.
Ketiganya mempunyai ciri khas masing-masing dan fungsinya masing-masing dalam sejarah
peradaban manusia.

Alam Pemikiran Mitis
Peradaban manusia yang awali disebut peradaban yang primitif oleh para ahli saat ini.
Kata ‘primitif’ biasanya diartikan secara peyorasi sebagai terbelakang. Namun pada dasarnya,
primitif adalah saat di mana manusia masih mempunyai kedekatan dengan alam dan belum
dikacaukan dengan teknik (1976: 34). Alam ini dimaknai sebagai hal yang melingkupi

kehidupan manusia dan tidak dapat diatur atau dipahami sepenuhnya (misteri). Jika
digambarkan, maka gambarnya adalah sebagai berikut:

S
O
Manusia adalah subjek yang berada di dalam dunia sebagai objek.
Dalam alam pemikiran mitis dikenal berbagai macam mitos. Mitos adalah sebuah cerita
yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang melalui cara
penyampaian lisan, tulisan, atau pementasan (1976: 37). Pada dasarnya, mitos adalah sebuah
buku pedoman, bukan cerita dongeng semata.
Mitos mempunyai fungsi juga. Fungsi mitos yang paling utama adalah membuat
manusia bisa turut berpartisipasi dalam daya-daya kekuatan alam (1976: 37). Fungsi utama ini
dapat dijabarkan lagi ke dalam tiga fungsi, yaitu fungsi menyadarkan manusia akan adanya
kekuatan-kekuatan gaib, memberi jaminan bagi masa kini, dan memberi pengetahuan tentang
dunia.

1

Fungsi Mitos
Manusia berada di dunia bersama dengan yang lain. Hal lain itu adalah daya-daya yang

tak kelihatan namun dapat dirasakan kehadirannya. Karena tak kelihatan manusia seringkali
mengabaikan daya-daya ini dan menganggapnya tidak ada. Dalam hal ini mitos memberi
peringatan kepada manusia untuk memberi perhatian pada daya-daya yang berada di luar
penguasaan ini agar dalam hidupnya tidak celaka. Salah satu mitos dalam budaya Jawa adalah
Batara Kala. Batara Kala dianggap sebagai raksasa yang memakan bulan ketika gerhana bulan.
Memang pada dasarnya tidaklah demikian, hanya saja masyarakat memunculkan mitos agar
orang ingat akan daya alam yang berpengaruh pada gerhana bulan yang tidak bisa diatur oleh
manusia. Intinya, manusia diingatkan agar selalu mawas diri bahwa dirinya itu hanya bagian
kecil dari alam dan agar hidup manusia bisa aman, manusia perlu menjaga keharmonisan alam
semesta. Inilah fungsi mitos yang pertama.
Fungsi mitos yang kedua adalah memberi jaminan akan masa kini. Maksudnya, ada
banyak hal yang dialami atau diketahui adanya namun untuk menjelaskan asal-usulnya orang
tidak bisa menjelaskan. Mitos membantu manusia untuk memeberi keterangan tentang apa
yang kira-kira terjadi pada masa lalu untuk dihadirkan kembali pada masa kini. Misalnya
tentang terjadinya suatu tempat (legenda), orang membuat cerita tentang daya-daya yang
membentuk tempat itu lalu membuat semacam tarian untuk diperagakan agar asal-usul tempat
tersebut menjadi jelas. Tarian Rara Jonggrang adalah salah satu contoh tarian yang digunakan
untuk memenuhi fungsi ini.

Upacara dan Seni

Dalam alam pikiran mitis, upacara-upacara juga mendapat perhatian besar dan
merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok
sosial. Namun, upacara tidak hanya dimaksudkan untuk memuja daya-daya yang berada di luar
jangkauan manusia tersebut. Upacara juga berfungsi untuk meneguhkan hati dan menguatkan
secara psikologis. Misalnya, tentang upacara ngruwat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Ruwatan dilakukan pada anak yang dianggap punya sengkala, yaitu seperti anak dua laki-laki
semua (uger-uger lawang), anak tiga yang tengahnya laki-laki (pancuran kaapit sendang), dan
lain-lain. Sengkala mengakibatkan hidup seorang anak kena sial. Maka diadakanlah ruwatan,
yaitu mengadakan pagelaran wayang dengan lakon ‘Ngruwat Murwakala’. Upacara ngruwat
bukan hanya untuk menangkal daya negatif dari luar, tetapi juga memberi peneguhan kepada
sang anak agar dalam menjalani hidupnya dengan pikiran yang positif.
Dalam alam pikiran mitos, seni memainkan peranan penting, khususnya seni rupa. Ada
banyak gambaran-gambaran yang dipahatkan dalam gua. Fungsi gambar-gambar ini adalah
menjelaskan atau mendeskripsikan mitos dan merekam jejak-jejak perjalanan hidup atau
catatan sejarah dan kisah. Maka dalam meneliti suatu seni rupa alam pikiran mitis, orang perlu
melihat apakah itu sebagai catatan sejarah atau cerita mitos.

Mitos dan Praktik Magi
Mitos berbeda dengan praktik magi. Mitos memang ada yang berupa mitos religius,
namun mitos religius berbeda dari praktik magi. Mitos religius biasanya berhubungan dengan

2

usaha manusia untuk menyesuaikan diri dengan daya-daya dari luar, sedangkan praktik magi
merupakan usaha merebut kekuasaan agar manusia memiliki daya dari luar untuk menguasai
satu sama lain. Contohnya adalah praktik santet merupakan magi, sedangkan bersih desa dan
slametan adalah mitos religi.

Kesimpulan Alam Pemikiran Mitis
Dari hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa alam pemikiran mitos adalah alam
pemikiran yang cukup kaya dan memperlihatkan usaha manusia dalam mengekspresikan apa
yang dipercayanya,, yaitu daya-daya dari luar. Alam pemikiran ini tidak bisa dikatakan sebagai
alam pemikiran –pralogis hanya karena dianggap demikian oleh kaum rasionalis dan romantic.
Alam pemikiran mitis adalah alam pemikiran yang lain dengan alam pemikiran logis-ontologis
dan memuat kekayaannya sendiri.

Alam Pikiran Ontologis
Ciri utama dunia mitis adalah rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya purba
dalam hidup dan alam raya. Berangkat dari pengalaman ini, manusia mencari suatu relasi yang
tepat untuk menciptakan harmonisasi dengan daya-daya tersebut. Usaha tersebut melahirkan
sikap yang praktis dan teoritis. Dari sikap praktis dapat kita lihat melalui upacara, ritual, dan

lain sebagainya. Dan sikap teoritis nampak dari berbagai macam dongeng penciptaan juga
berbagai jenis cerita semacam ini.
Ketika manusia mulai beralih pada pemikiran ontologis, manusia mulai menjaga jarak
dari semua yang mengitarinya. Hal ini membuat manusia bisa menjadi penonton dalam
hidupnya dan dari sana dapat memahami daya-daya kekuatan yang menggerakkan alam dan
manusia. Jika sebelumnya kita melihat pemikiran mitos maka kini kita beranjak pada pemikiran
logos yang mirip dengan logis. Yang patut digaris bawahi adalah bahwa meski manusia sudah
menggunakan pemikiran logis saja. Hal ini terjadi karena aspek seperti emosi, harapan, dan
agama tetap memiliki pengaruh. Disinilah peran filsafat muncul dikaitkan dengan ilmu
pengetahuan. Dengan kesadarannya, manusia mencoba mempertanyakan segala sesuatu yang
berkaitan dengan hidupnya dan sekitarnya seperti kebahagiaan, penderitaan, alam raya, dan
lain sebagainya. Mengerti, memahami sebab musababnya, itu lalu terasa sebagai suatu
pembebasan dan penebusan.
Jika manusia mulai memikirkan dan mencari segala sesuatu tentang peristiwa dalam
hidupnya maka bisa dikatakn ia mulai merenungkan tentang sang Ada. Semenjak dahulu, Ada
menjadi objek study filsafat yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan
(ontologis) tentang Ada. Dalam permenungannya, Ada memiliki sikap pembebasan. Sikap
pembebasan ini kentara dalam Filsafat India baik Hindu maupun Budha. Dalam filsafat Timur,
Ada menampakan suatu pembebasan melalui tatacara atau upacara adat istiadat. Jika manusia
mencapai dasar dan relasi dengan Ada maka ia akan merasakan suatu pembebasan. Pandangan

Filsafat Timur ini tentu saja berbeda dengan Filsafat Barat. Jika Filsafat Timur cenderung
meleburkan segala sesuatu (bahkan individu manusia) pada yang Mutlak dan tak terungkapkan
maka Filsafat Barat cenderung memperhaikan fakta-fakta yang real. Meski berbeda namun ada
persamaan mendasar diantara keduanya. Baik Filsafat Timur maupun Barat mencari eksistensi
3

manusia dan menyusun suatu kurikulum tentang sang Ada. Dari sana Ada dapat dirasakan
sebagai suatu pembebasan.
Dalam budaya Yunani, peralihan pemikiran mitis ke ontologis mempengaruhi proses
perangkuman alam raya dan masyarakat dalam suatu ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat
dirasakan sampai saat ini diseluruh dunia. Dalam budaya Yunani kuno kita dapat melihat
bagaimana masyarakat saat itu mencoba menggambarkan yang ilahi menjadi dapat dipahami.
Wujud yang Nampak adalah banyaknya patung atau karya seni sebagai wujud pemahaman
yang ilahi. Dengan demikian rahasia-rahasia yang meliputi awal mula ditarik dalam jangkauan
factual. Manusia mengambil jarak, mengamat-amati, dan mengkotak-kotakkan. Hal ini
merupakan ciri dari pemikiran ontologis. Jika demikian maka penggambaran yang ilahi juga
ekspresi dari kekecewaan manusia atas takdir yang ilahi. Sulit dimengerti namun diterima.
Manusia tidak igin hanya sekedar menerima takdir namun juga mendapat pengertian sehingga
bisa menuju pembebasan. Maka dari itu tema yang digarap oleh filsafat antara lain: hubungan
manusia terhadap duna ilahi, dunia transeden; pengertian mengenai dosa dalam kehidupan

manusiawi dan duniawi; hubungan antara jaman ini dan jaman abadi. Nampak suatu perubahan
pandangan mitologis ke filsafat metafisika; gambaran mitologis tentang penciptaan diurai
menjadi filsafat fisika (Aristoteles); pembersihan bati atau katarsis menjadi filsafat etika.
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa alam piker Yunani berubah dari mitis menuju suatu
keyakinan bahwa alam semesta diatur oleh tata tertib yang adil. Semua itu dipahami lewat
pengertian dan pengetahuan.
Perubahan yang terjadi menuntut manusia untuk senantiasa memandang baru dunia ini,
dunia yang sudah dikenal, namun penuh misteri. Yang digarisbawahi adalah perubahan daya
pikir. Sikap baru ini bernama alam piker ontologis.

Fungsi-Fungsi pemikiran ontologis
Pertama-tama pemikiran ontologis berarti memetakan segala sesuatu yang mengatasi
manusia. Atau bisa dikatakan manusia mencoba masuk dan mengenal dunia transenden. Yang
dipentingkan di sini bukanlah pengertian spekulatif atau ide-ide belaka. Platon mungkin
berbicara tentang dunia ide, namun ide yang dimaksud adalah suatu kadaan yang luhur yang
mengatasi dunia ini. Untuk memahaminya, kita ingat lagi analogi dari Platon tentang dunia ide
ini. Dunia ide seperti matahari, yang membuat kita tidak bisa langsung menatapnya karena itu,
dunia ide tidak dapat ditangkap dengan konsep atau kata-kata. Sedangkan Aristoteles
menggunakan istilah Ada ilahi yang berarti suatu eksistensi yang memuncak pada puncak yang
tertinggi dan merupakan penyempurnaan dunia kita saat ini. Dengan demikian, pengalaman

manusia dengan daya kekuatan Ilahi diteruskan dalam terang filsafat.
Dari uraian di atas, kita melihat adanya perbedaan yang mencolok mencolok antara
pemikiran mitis dan ontologis. Dalam pemikiran mitis manusia berperan sebagai partisipan
dalam daya-daya yang meresapi alam dan manusia; sedangkan pemikiran ontologis manusia
mengambil jarak terhadap semua yang mengitarinya. Pergeseran pemikiran ini Nampak dalam
pembangunan kuil-kuil kuno Yunani. Ada semacam tiang pembatas atau terkadang juga tirai
yang memisahkan dewa-dewa yang luhur. Jarak yang diambil manusia dalam pemikiran
ontologis menjadikan manusiasebagai subjek yang berhadapan langsung dengan objek, dan

4
O

karena jarak itu manusia ingin memeproleh pembebasan dari mitis. Pemikiran ontologis dapat
dogambarkan sebagai berikut:

S

Persamaan dan perbedaan dua alam pikiran ini menjadi semakin jelas. Kesamaan keduanya
adalah menghubungkan dunia ini dengan dunia transenden. Namun dalam dunia mitis, kodrat
baru jelas dalam perspektif yang mengatasi alam kodrat. Contohnya, adanya ritual seperti

upacara panen dan upacara-upacara tradisional lainnya. Sedangkan dari ontologis, pengertian
mengenai yang kodrat (pekerjaan, pertukangan, cerita,- cerita) membuka pandangan terhadap
dunia yang nampak.
Fungsi yang kedua, dalam dunia mitis sama dengan sikap ontologis. Proses penciptaan
dalam hidup manusia berpangkal pada hukum abadi. Mitos masih dipakai namun lebih pada
sarana untuk menerangkan. Fungsi yang ketiga dari ontologis ialah menyajikan pengetahuan.
Mitos juga menampilkan pengetahuan, namun ontologis lebih bersifat sistematis dan dapat
diperhitungkan. Sistem kerja ontologis mengaitkan satu sebab dengan sebab lainnya hingga
sampai pada sebab pertama.

Manusia dan Dunia
Manusia melukiaskan dan membeberkan objek. Dalam dunia mitis, manusia belum
menemukan dirinya.karena dibatasi oleh daya-daya mitis. Pandangan ini berubah semenjak
Heraklitos menulis bahwa dewa-dewi ada di dalam manusia itu sendiri. Pandangan Heraklitos
ini disempurnakan oleh Leibniz dengan tesisnya yang berbunyi,”Seluruh alam raya sebagai
manusia, tersusun dari dunia-dunia dalam, yang masing-masing menimba pengertian dari
dalam.” Hal serupa juga muncul dalam filsafat India. Dalam kitab Upanishad terdapat suatu
proses menemukan diri atau Atman. Manusia berubah dengan bersama manusia juga
perspektifnya terhadap dunia.
Jadi, manusia sebagai subjek telah membulatkan diri. Namun juga bukan hanya

manusia, melainkan dewa-dewi juga digariskan dengan jelas melalui simbol-simbol (binatang).
Tahap ontologis menjadikan manusia menanyakan ‘apa’-nya dewa. Manusia mengambil jarak
dengan maksud memberi hormat dalam pengenalan dewa-dewi. Dalam dunia mitis ini, nilainilai belum dapat dirumuskan dengan cermat. Pembaharuan-pembaharuan dalam masyarakat
dapat terjadi jika nilai-nilai dalam dunia mitis dapat dirumuskan dengan cermat. Nilai-nilai
mencerminkankan suatu hal yang hierarkhis, seperti dari yang penting menjadi tidak penting,
begitu juga sebaliknya. Namun puncak akhirnya adalah Tuhan sendiri.
Uraian di atas menampilkan suatu gejala, yaitu perkembangan; manusia yang
menyejarah. Sudah banyak ditulis oleh para pujangga mengenai apa saja yang telah terjadi.
Namun alam pikiran Yahudi-Kristen memandang jauh ke depan dengan pertanyaan,
bagaimana keadaan akhir nanti.

5

Substansialisme
Alam pikiran mitis membawa manusia pada kenyataan bahwa sesuatu itu ada,
sedangkan ontologis, yang dipentingkan adalah ‘apa’-nya. Pandangan pertama, manusia
menempatkan diri dan pandangan kedua mengandaikan hubungan yang masuk akal. Kedua
sikap itu menunjukkan suatu sikap kerendahan hati. Namun dalam langkah yang sama
menghasilkan kesombongan: mitis dengan magisnya dan ontologis dengan substansialisme.
Substansialisme merupakan suatu cara untuk menempatkan suatu hal lepas dari yang

lainnya. Hal ini menyebabkan manusia berpikir bahwa ia dapat merangkum dunia dengan akal
budinya. Dampak ekstrim dari substansialisme adalah sikap individual. Manusia hanya
penjumlahan belaka. Rupanya, substansialisme juga merambah dunia seni, baik itu seni lukis
maupun seni rupa.
Substansialisme itu membekukan patokan agama dan filsafat. ‘Apa’-nya menjadi
substansi dan akhirnya terisolisasi. Transendensi lenyap dan manusia tenggelam dalam tembok
imanensinya. Dengan demikian, dunia ini menjadi tidak nyata. Alam pikiran substansialis
adalah jembatan ke suatu kebudayaan baru. Bukan lagi belenggu magis, tapi kekosongan alam
pikiran substansialis

Pemikiran Funngsional
Pemikiran mitis dan ontologis merupakan latar belakang untuk dapat memahami
kebudayaan masa ini yang merupakan kebudayaan fungsional. Pemikiran fungsional
merupakan suatu pembebasan dari substansialisme yang mengukung kita. Substansialisme
membuat manusia semakin terasing. Keterasingan adalah suatu keadaan ketika barang-barang
dunia yang serba biasa dialami nampak begitu asing. Manusia menjadi asing atas alam raya
sekitarnya dan industry-industri yang dibuatnya sendiri. Semula manusia berpijak pada
substansialisme untuk menemukan hubungan dirinya dengan daya kuasa sekitarnya, namun
malah kehilangan dasar kepercayaannya yang disebut krisis kepastian.
Dalam pemikiran fungsional, manusia dan dunia saling menunjukkan relasi antara yang
satu dengan yang lain seperti dalam gambar dibawah ini:

Manusia sebagai subyek masih berhadapan dengan dunia, tapi bukan lagi dunia yang bulat
(subyek terbuka bagi obyek dan sebaliknya). Segala sesuatu bersifat kontekstual yang artinya
dunia harus dimaknai dengan melihat konteks.
Hampir sama seperti pemikiran ontologis, pemikiran fungsional masih menampilkan
“apa”-nya, hanya saja secara lebih detail untuk menunjukkan fungsinya. Sikap ini merupakan
sikap eksistensiil yang mempunyai ciri khas ketegangan. Manusia mengarahkan dirinya
dengan segala gairah hidup dan emosinya. Segala hal yang tidak menggairahkan dan
6

menggerakkan diri dianggap tidak berarti. Segala hal yang gaib tidak lagi berguna karena tidak
membuktikan apa-apa. Manusia mendobrak segala tradisi untuk mrnsmpilksn dirinya sebagai
anggota komunitas yang aktif. Dengan demikian, manusia dapat membuktikan bahwa dirinya
ada dan berfungsi dalam komunitas.

Aspek-aspek Dalam Pemikiran Fungsional
Menurut Karl Marx, para ahli filsafat telah memberikan tafsiran masing-masing
mengenai dunia ini. Inilah saatnya untuk merubah dunia. Hal ini berarti sesuatu yang masuk
akal saja belumlah cukup. Sesuatu itu juga harus berguna dan efisien. Maka, manusia berusaha
untuk mengubah dunia agar berguna bagi dirinya.etika tidak lagi berurusan dengan norma
tetapi merubah situasi konflik dalam aktifitas politik dan sosial.
Sesuatu kadang juga mempunyai arti yang tidak terduga seperti misalnya pekerjaan.
Pekerjaan bukanlah benda. Pekerjaan adalah aktivitas yang memberi isi pada eksistensi
manusia. Pekerjaan adalah aktivitas memanusiakan manusia,
misalnya dengan
menghubungkan aspek finansial dengan kesenangan yang diperoleh dari padanya. Intinya
adalah memberi dasar pada masa kini.
Kekuatan adikodrati tidak lagi memberi jaminan pada kehidupan melainkan yang
memberikan jaminan pada kehidupan adalah keadaan yang dapat dihayati oleh manusia dan
tidak mengatasi daya kemampuannya. Segala tekhnologi baru dianggap fungsional jika
memberi arti pada situasi konkret.
Dalam pemikiran fungsional, pengetahuan sangat berperan penting. Pengetahuan yang
dimaksud bukan hanya teori melainkan lebih kepada praktek, bukan lagi hapalan tetapi
pengertian akan bagaimana fungsinya simbol-simbol itu digunakan dalam kehidupan. Maka,
pertanyaan dasarnya adalah bagaimana itu ada (bagaimananya).

Manusia dan Dunia
Hal yang paling penting yang berkaitan dengan manusia dan dunia adalah relasi. Relasi
itu berada diantara identiras-identitas dan terus berkembang. Dunia dan ilmu tentangnya
bukanlah cermin yang netral menampilkan apa nya. Akan tetapi, ilmu itu menyimpan makna
dibaliknya.
Dunia luar dan dunia batin manusia tidak lagi dipisahkan secara ketat. Dunia bawah
sadar diwarnai oleh relasi dengan dunia luar. Apa yang ditampilkan dalam kebudayaan juga
menampakkan dunia dalamnya. Dengan menyelidiki bagaimananya, “apa”-nya kelihatan.
Maka dari itu, kebudayaan bukanlah kata benda tetapi kata kerja. Dalam kebudayaan manusia
mengekspresikan diri dan mencari relasi yang tepat dngan dunianya.
Dunia adikodrati dipandang sebagai dunia tambahan dan dianggap ada sejauh berguna
dan dapat dikonkritkan dalam hubungan sehari-hari. Bertalian dengan itu, nilai-nilai
mendapatkan fungsi baru. Nilai-nilai yang adikodrati tidak hanya berurusan dengan yang sakral
dan transenden tetapi juga profan dan imanen.

7

Faham Operasionalisme
Faham operasionalisme pada dasarnya adalah bermain-main dengan hal yanng belum
tentu ada tetapi dianggap ada kaena diungkapkan. Contohnya adalah para teolog sering menulis
tentang Tuhan dan memberi ulasan panjang lebar tentang-Nya. Tetapi, itu lebih bersifat logis
daripada konkrit. Maka, secara operasional konsep dan metode memegang peranan penting
tanpa harus ada “apa”-nya. Kata kuncinya adalah “tak lain daripada ….”. Contohnya manusia
tak lain daripada hasil-hasil tes psikologis. Padahal data-data seperti ini masih bisa diragukan
karena hanya berupa skema belaka.
Sikap operasionalistis mereduksi eksistensi manusia. Manusia hanya dibatasi pada
aspek-aspek tertentu saja. Contohnya adalah cinta hanya dipandang sebagai permainan asmara.

Kesimpulan
Pemikiran fungsionalisme menekankan imanensi dan eksistensialisme. Selain itu, juga
selalu mengarah pada keterbukaan. Bahayanya adalah identitas diri mulai pudar dan
keotentikan hilang. Maka muncullah sikap operasionalisme yang memanipulasi manusia.
Maka, fungsionalisme bukanlah suatu hal yang secara otomatis terjadi, akan tetapi lebih
merupakan suatu proses dan tanggung jawab yang akan terus berkembang kealam pemikiran
yang lebih maju.

8