Pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta

PENDIDIKAN ISLAM DI KRATON YOGYAKARTA
PADA MASA SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO I
(Perspektif Aliran Pendidikan)
Oleh: Suyanto
A. Latar Belakang
Membicarakan pendidikan pendidikan Islam di Yogyakarta adalah sesuatu
yang sangat strategis karena beberapa hal. Pertama, Yogyakarta merupakan salah
satu propinsi di pulau Jawa yang sangat berpengaruh besar dalam perkembangan
pendidikan nasional pada umumnya, dan pendidikan pada khususnya. Jumlah
penduduk terbesar Indonesia tersebar di Pulau Jawa, yang berarti perkembangan
pendidikan di pulau jawa sangat berpengaruh signifikan bagi perkembangan
bangsa Indonesia. Salah satu daerah yang berperan besar dalam perkembangan itu
adalah Yogyakarta.
Kedua, sebutan Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya tidak
datang tiba-tiba, tetapi melalui sejarah panjang. Dalam sejarahnya, banyak tokoh
perjuangan baik masa lalu maupun saat ini yang berperan di Indonesia, pernah
mengenyam pendidikan di Yogyakarta. Ini juga menunjukkan bahwa pendidikan
Yogyakarta memiliki arti yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Dalam
dinamika yang panjang tersebut, satu hal yang tidak dapat dinafikan adalah peran
pendidikan Islam di dalamnya.
Fakta bahwa Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya dan saat ini

sebagai kota pariwisata, sesungguhnya dapat dilacak sejak awal berdirinya kota
ini oleh Sri Sultan Hemengku Buwono I. Asumsi bahwa pendidikan Islam
memiliki andil yang sangat besar sejak awal berdirinya kerajaan Yogyakarta
sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh A. Daliman, guru besar sejarah
Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa sejarah Indonesia pada
zaman madya, yakni abad ke-18 hingga akhir abad 19, banyak diwarnai pengaruh
agama dan peradaban Islam.1 Kerajaan Yogyakarta yang berdiri sejak tahun 1775,
1

Sejarah nasional Indonesia terbagi dalam tiga periode, yakni: (1) zaman purba (kuno): sejarah
bangsa Indonesia sejak dari datangnya pengaruh agama dan peradaban hindu pada abad-abad pertama
masehi sampai lenyapnya Kerajaan Majapahit menjelang tahun 1600; (2) zaman madya: sejak
datangnya agama dan peradaban Islam serta datangnya orang-orang Barat sesudah jatuhnya kerajaan
Majapahit sampai dengan akhir abad 19; dan (3) zaman baru (modern): sejak munculnya unsur-unsur

sejak perjanjian Giyanti ditandatangani yang menandai terbaginya kerajaan
Mataram menjadi dua, yakni Yogyakarta dan Surakarta, berada pada zaman
madya tersebut.2 Berdasarkan pernyataan A. Daliman di atas, berarti bahwa
perkembangan kerajaan Yogyakarta pada awal berdirinya sangat dipengaruhi oleh
agama Islam. Perkembangan Islam tersebut dengan sendirinya melibatkan

pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen perkembangan sosial.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka menarik untuk melihat bagaimana
perkembangan pendidikan Islam pada masa awal berdirinya Yogyakarta, yakni
pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pelacakan pendidikan Islam pada
masa Sri Sultan Hemengku Buwono I sekaligus untuk menguatkan asumsi bahwa
terbentuknya citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan sesungguhnya telah
didesain sejak awal. Hal ini berbeda dengan pernyataan Asti Kurniawati yang
menyatakan bahwa terbentuknya citra Yogyakarta sebagai kota pendidikan adalah
hasil dari sebuah “kebetulan zaman” dan bukan dari hasil desain yang disengaja.
Oleh karena itu, bagaimana visi Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam
mengembangkan pendidikan Islam serta dinamika perkembangan pendidikan
Islam di Yogyakarta menarik untuk ditelusuri.
Tulisan akan diawali dengan pengungkapan biografi singkat Sri Sultan
Hamengku Buwono I yang berkorelasi dengan perkembangan pendidikan Islam di
Kraton Yogyakarta. Biografi ini akan mengungkapkan bagaimana pendidikan
yang dialami Sri Sultan Hamengku Buwono I yang kelak berpengaruh terhadap
visinya dalam membangun pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta. Selanjutnya,
dengan sumber yang masih sangat terbatas akan diuraikan tentang perkembangan
pendidikan Islam pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I.


B. Biografi Pendidikan Sri Sultan Hamengku Buwono I
Nama kecil Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah B. R. M. (Bendoro
Raden Mas) Sudjono, lahir pada Rabo Pon tanggal 4 Agustus 1717, putra dari Sri

peradaban Barat dan teknologi modern sekitar tahun 1900-an sampai dewasa ini. lihat A. Daliman,
Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2012),
hal. 3.
2
Anton Satyo Hendriatmo, Giyanti 1755: Perang Perdebutan Mahkota III dan Terpecahnya
Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta, (Tangerang: CS Book, 2006), hal. 125.

Susuhunan Prabu Amangkurat IV. Ibunya bernama Mas Ayu Tejowati yang
berasal dari desa Kepundung, Kartasura.3
Berbeda dengan saudara-saudaranya sesama keturunan raja, R. M.
Sudjono tidak suka mencari kesenangan lahiriyah. Beliau peduli dengan rakyat
kecil, sering bergaul dan memberi sedekah kepada mereka. Mendasarkan pada
Serat “Cebolek”4, W.S. Rendra menggambarkan secara detail bagaimana perilaku
dan kebiasaan R. M. Sudjono. Rendra menulis sebagai berikut:5
“ketika masih tinggal di Surakarta, ia suka sekali berjalan kaki mengarungi
hutan, menuju ke telaga-telaga, mengembara di sepanjang pantai, mendaki

bukit kapur di pantai selatan, dan yang paling sering adalah: mendaki
Gunung Merapi. Dalam perjalanan itu ia tidak suka memakai pakaian
sesuai derajatnya, melainkan ia hanya memakai pakaian sehari-hari
seorang santri. Maka apabila ia berhenti di tengah-tengah keindahan alam,
selalu, sambil mengisap keindahan, ia melakukan perenungan-perenungan.
Inti perenungan itu adalah “sangkan paraning dumadi” (dari mana dan
akan kemana seluruh alam ini).
Secara metaforis Rendra menggambarkan alam dan desa tempat R. M.
Sudjono berkelana sebagai “kamar studi” sedangkan pohon, burung, bulan,
sungai, dan kehidupan rakyat kecil adalah perpustakaannya. Di dalam “kamar
studi” itu seluruh panca indranya terlibat dalam proses pembelajaran.
Menurut Rendra, perjalanan R.M.Sudjono tersebut lebih bersifat religius:
upacara untuk berkomunikasi dengan “kang murbeng jabat” (penguasa alam
semesta) melalui pendekatan pada ciptaan-ciptaannya yang tergelar di bumi.
Dengan pakain santri biasa ia lebih bisa menghayati pergaulan yang spontan
dengan rakyat di desa-desa.6 Melalui pembaurannya dengan masyarakat dan
permenungannya terhadap alam yang dijumpai ia menghayati apa sejatinya hidup.
Hal ini tercermin dari pesan R. M. Sudjono terhadap Ronggo Wirosetiko dan
Demang Djojoroto sebagaimana tersebut dalam Babad Giyanti “keutamaan
manusia hidup ialah bisa membahagiakan hati sesama makhluk, memuliakan

3

R.M. Sumardjo Nitinegoro, The Founding of Yogyakarta, (Yogyakarta: Putra Jaya, tt), dimuat
ulang dalam Hermanu, Ngayogyakarta, (Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta, 2011), hal. 35.
4
Serat Cebolek adalah karya R. Ng. Yasadipura I, Pujangga hidup sejak Paku Buwono II
hingga Paku Buwono IV. Ia pula yang menulis Babad Giyanti sebagai sumber yang paling lengkap
tentang perjalanan hidup Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengku Buwono I. Lebih lanjut lihat S.
Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, dan Pembebasan, (Bandung: Nuansa, 2004), hal. 21 – 40.
5
W. S. Rendra, “Latihan Sultan Hamengku Buwono I di Masa Remaja”, Majalah Pendidikan,
Ilmu dan Kebudayaan Pusara, Tahun ke-41, April 1972, diterbitkan oleh Majeli Luhur Taman Siswa,
Yogyakarta, 1972, hal. 129 – 132. Dimuat kembali dalam Hermanu, Ngayogyakarta, hal. 79 – 83.
6
Ibid, hal. 80.

sesama yang tumbuh, memperbanyak perbuatan baik, berlemah lembut dalam
bahasa, bahasa yang penuh dengan maksud baik, menggemberikan para
pendengarnya”.7
Dalam rangka menyelami kehidupan rakyat kecil, ia sering menyamar dan

tinggal beberapa hari di rumah rakyatnya. Dikisahkan bahwa suatu hari ketika
sudah menginjak dewasa, R. M. Sudjono ia pergi dari kraton menuju desa
Masiran. Di sana ia menumpang di rumah seorang petani yang tidak sadar bahwa
dirinya adalah seorang putra raja. Ia sangat menurut pada petani itu dan membantu
bekerja dengan sangat rajin. Karena tingkah lakunya yang berbudi itu, petani
tersebut sangat mengasihi dan kemudian ia mengadopsinya sebagai anak karena
petani itu sendiri tidak memiliki anak. Ayahnya mengutus utusan untuk
mencarinya, kemudian untuk menghindari utusan raja tersebut ia pindah dari desa
Masiran menuju desa Pedan Klaten. Di sana ia tinggal di rumah seorang penjual
kuda. Dalam waktu singkat, ia sudah menguasai seluk beluk memelihara kuda.
“Majikannya”,

penjual

kuda

tersebut

merasa


mendapatkan

peningkatan

keuntungan yang besar setelah kedatangan R.M. Sudjono.8 Demikianlah cara
belajar R.M. Sudjono dengan cara terlibat langsung dan merasakan kehidupan
rakyat kecil.
Kebiasaan lain dari R.M. Sudjono dalam mengembangkan karakter
kepemimpinannya menurut Rendra diistilahkan dengan “latihan menguasai
jasmani untuk kepentingan batin” untuk mencapai tingkatan menyatunya lahir
dengan batin. Caranya adalah seperti seperti orang melatih kuda agar bisa
menyatu dengan penunggangnya, yaitu dengan tali kendali. Tali kendalinya
berupa disiplin kerja keras, disiplin dalam kesederhanaan hidup, berpuasa dan
kesetiaan pada ritual agama. Dalam melatih kerja kerasnya itu, menurut Serat
Cebolek sebagaimana dikutip oleh Rendra, R. M. Sudjono bahwa setiap hari
Jum’at, ia melepas kedua cincin berliannya yang bernama “Pepe dan Telawong”,
lalu dilemparkan ke dasar sungai. Di malam hari, ia terjun ke sungai itu untuk
mencari kedua cincinnya itu sampai ketemu kembali. Seringkali terjadi bahwa

7


Ibid
R.M. Sumardjo Nitinegoro, The Founding of Yogyakarta, (Yogyakarta: Putra Jaya, tt), dimuat
ulang dalam Hermanu, Ngayogyakarta..hal. 36.
8

kedua cincin itu dilemparkan pada jam sembilan malam dan baru bisa ditemukan
kembali di dasar sungai pada pagi menjelang fajar.9
Digambarkan bahwa pada masa mudanya, R. M. Sudjono sangat religius,
suka berpuasa senin dan kamis, gemar mengaji dan berguru di berbagai pesantren
di sekitar Kartasura. Hanya tidak disebutkan di pesantren apa ia belajar. 10 Selain
belajar agama, sebagai seorang putra raja, ia juga belajar sastra, budaya dan tradisi
Jawa. Ini yang kelak

berpengaruh terhadap visinya dalam membangun

pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta. Kehidupannya yang sangat sederhana di
luar istana menjadikannya tumbuh sebagai pribadi yang sederhana, taat ajaran
agama, dan bertradisi Jawa.11
Dalam menjalin hubungan dengan bawahan, tampak ia tidak terlalu

struktural formal, tetapi lebih humanis dan mengedepankan rasa, sebagaimana
tercermin dalam nasehatnya terhadap Ronggo Wirosetiko dan Demang Djojoroto
sebagaimana dikutip oleh Rendra di atas. Tampaknya ia begitu mencintai
bawahannya itu, sehingga banyak nasehat yang diberikan. Nasehat yang lain
misalnya: “dan hendaklah dicamkan jangan sampai lupa, untuk selalu tekun
menilik sukma, sadarilah akhirnya, akhir dari segala yang tumbuh, agar tahu
menjaga keselamatan, yang sempurna, kesempurnaan pengetahuan akan akhir
dari segala yang hidup, rekatkanlah pada penglihatan yang sejati, kesejatian
yang satu-satunya”.12

C. Berdirinya Kraton Yogyakarta
Ketika R. M. Sudjono telah kembali (dijemput kembali) ke istana,
ayahandanya segera memanggil putra tertuanya, putra mahkota, Gusti Bendoro
Raden Mas Probo Suyoso (Pangeran Adipati Anom). Sang raja mengatakan
“anakku Probo Suyoso, aku serahkan adikmu, Sujono, kepadamu. Cintailah dan
perlakukanlah dengan baik karena ia adalah adikmu. Jangan melukai hatinya.
9

Ibid. hal. 83.
Kemungkinan besar, pesantren tersebut antara lain Pesantren Jamsaren sebagai pesantren

tertua di Jawa. Pesantren ini didirikan Kyai Jamsari dari Banyumas, yang diundang secara khusus oleh
kraton untuk memberikan pendidikan agama bagi keluarga raja.
11
Maharsi, “Babad Kraton: Analisis Simbolisme Struktural, Upaya untuk Memahami Konsep
Berpikir Jawa Islam” Disertasi tidak diterbitkan, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2007), hal. 205.
12
W. S. Rendra “Latihan Sultan Hamengku Buwono I...hal. 82.
10

Ingatlah Probo Suyoso, jika kamu membuatnya tidak bahagia dan melukai
hatinya, itu adalah pertanda jelas bahwa kerajaan ini akan terbagi menjadi
dua”.13
R. M. Probo Suyoso atau Pangeran Adipati Anom setelah ayahandanya
meninggal, ia kemudian dinobatkan menjadi raja penggantinya dengan gelar
Sunan Pakubuwono III. Selang tiga tahun setelah penobatannya, Sunan Paku
Buwono III kemudian melantik adiknya, R.M. Sudjono menjadi pangeran, dengan
gelar Bendara Pangeran Harya Mangkubumi. Pengangkatan R. M. Sudjono
menjadi pangeran disertai dengan pemberian tanah lungguh seluas 500 karya14
dan membawahi pejabat kraton dengan pangkat Ronggo dan Demang. Pada

kesempatan itu, Pangeran Mangkubumi melakukan pengangkatan abdi dalem
yang telah lama mengabdi, den Goto menjadi Ronggo Prawirosentika dan Gus
Jalal menjadi Demang Joyoroto.
Nasehat dari raja tersebut tampaknya kemudian terbukti dengan
terbelahnya kerajaan mataram menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta.
Terbentuknya Kraton Yogyakarta diawali dengan adanya perjanjian damai antara
antara Kompeni, Sunan Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi di desa
Giyanti pada tanggal 12 Februari 1755, sehingga perjanjian tersebut dinamakan
perjanjian Giyanti.15 Perjanjian tersebut ditandangani tiga pihak, yakni pihak
Kompeni Belanda diwakili oleh Hartingh, Sunan Paku Buwono III mewakili Patih
Adipati Pringgalaya, dan pihak Sunan Kabanaran (Pangeran Mangkubumi)
diwakili oleh Pangeran Notokusuma.16
Perjanjian tersebut berisikan 9 pasal yang secara garis besar adalah sebagai
berikut:17
(1) Susuhunan Kabanaran (Pangeran Mangkubumi) berhak menjadi raja atas
separuh wilayah Mataram dengan gelar Sultan, namun harus bersumpah setia
kepada Kompeni beserta segenap keluarga dan keturunannya;

13

R.M. Sumardjo Nitinegoro, The Founding of Yogyakarta..hal. 37.
Karya adalah ukuran luas. 1 karya kurang lebih 7.096,5 m2.
15
Sejarah yang melajarbelakangi terjadinya perjanjian damai setelah terjadinya perang saudara
yang berkepanjangan dapat dibaca di Anton Satyo Hendriatmo, Giyanti 1775...
16
Ibid.
17
Ibid
14

(2) Kerjasama di antara Kompeni dan orang-orang Jawa (kawula Sultan) untuk
ditingkatkan dan mencegah adanya sikap saling merugikan di antara kedua
belah pihak;
(3) Penunjukan pepatih dalem dan bupati serta petinggi kerajaan oleh Sultan harus
mendapatkan persetujuan dari wakil Kompeni di Semarang dan berjanji untuk
tidak melakukan usaha-usaha yang dapat merenggangkan hubungan kerajaan
dengan kompeni;
(4) Pemecatan pepatih dalem dan bupati serta petinggi kerajaan oleh Sultan harus
mendapatkan persetujuan dari Kompeni;
(5) Sultan diwajibkan untuk mengampuni seluruh kesalahan para bupati yang
pada masa perang terdahulu berpihak pada kompeni;
(6) Sultan tidak boleh lagi menuntut wilayah mataram, terutama pesisir pulau
Jawa yang telah diserahkan kepada Kumpeni melalui perjanjian Ponorogo
1743, dan sebagai ganti atas wilayah tersebut Kompeni akan membayar uang
sejumlah 20.000 real kepada sultan tiap tahunnya. Juga Sultan harus bersedia
bekerjasama dengan Kompeni secara militer terhadap setiap bentuk
perlawanan yang ditujukan kepada Kompeni dan sebaliknya;
(7) Sultan tidak boleh menuntut haknya atas kerajaan Surakarta beserta segenap
keturunannya
(8) Sultan diwajibkan menjual seluruh hasil buminya hanya kepada Kompeni
dengan harga yang ditetapkan oleh Kompeni
(9) Sultan diminta untuk tetap menghargai dan mematuhi seluruh perjanjian
dengan Kompeni yang sudah ada seperti perjanjian 1705, perjanjian 1733,
perjanjian 1743, perjanjian 1746, dan perjanjian 1749.
Tidak lama setelah dinobatkan sebagai raja, Sri Sultan Hamengku Buwono
I memindahkan istananya dari Kabanaran ke Ambarketawang, daerah Gamping
(kira-kira 5 km dari Yogyakarta), sembari mencari tempat yang lebih cocok untuk
istananya. Saat itu beliau teringat dengan pesan Tumenggung Sindurejo kala
perang di daerah Tanjung yang menyatakan bahwa jika ingin memerintah dalam
waktu yang lebih lama, ia disarankan untuk mengeringkan rawa di daerah
Pacetokan di mana banyak tumbuh pohon Banyan. Di tempat itulah sang raja
harus membangun istananya.

Sri Sultan selalu ingat pesan ini, sehingga setiap malam selalu jalan-jalan
sekitar tempat itu sambil melihat-lihat.18 Setelah ketemu tempatnya, kraton
dibangun tempat yang kalau ditarik garis lurus akan berada di tengah antara
Gunung Merapi dan Laut selatan. Sungai Winongo yang mengalir di daerah itu
dialirkan ke barat, sedangkan sungai Code dialirkan ke timur. Setahun kemudian,
setelah kraton selesai dibangun, pada tanggal 7 Oktober 1776 istana dipindahkan
dari Ambarketawang ke istana baru, dan kraton itu dinamakan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Tanggal 7 Oktober itulah yang kini diperingati sebagai hari jadi Kota
Yogyakarta. Tidak lama kemudian, beliau membangun Taman Sari yang dalam
literatur barat disebut dengan water castle (istana air).
Sri Sultan Hamengku Buwono I memerintah selama hampir 40 tahun, dari
13 Februari 1755 hingga wafatnya pada Minggu Kliwon, 24 Maret 1792 dalam
usia 75 tahun. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana, sehingga oleh rakyatnya
dijuluki Sinuwun Suwargo. Di bawah kepemimpinannya, seni dan budaya
berkembang. Beliau adalah ahli tari dan musik gamelan. Beliau menciptakan tari
Srimpi dan Bedoyo, juga tarian perang yang bernama Beksan Lawung. Dalam hal
musik, beliau menciptakan Gending Gajah Endro yang hanya boleh dimainkan
saat raja berjalan ke tahtanya untuk melakukan siniwaka (pertemuan) dengan para
pengeran, bupati, demang, dan ronggo. Untuk keperluan yang sama, Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII berpuluh-puluh tahun kemudian menciptakan gending
Raja Manggolo.19
Perjanjian Giyanti yang menandai pecahnya mataram terbagi menjadi dua,
Yogyakarta dan Surakarta, bukan menyangkut pembagian wilayah kekuasaan dan
rakyat, tetapi juga pembagian tanda-tanda kebesaran kerajaan seperti lambanglambang kekuasaan, dan lebih penting juga pusaka raja. Ini semua merupakan
benda-benda suci dengan kekuatan magis yang tidak dapat dipisahkan dari raja
yang memerintah. Pusaka itu sekaligus sebagai alat legitimasi kekuasaan seorang

18

Konon saat melihat-lihat lokasi tersebut, ia bertemu dengan seorang kakek yang sedang
memancing tanpa umpan yang tubuhnya memancarkan sinar. Sri Sultan kemudian mendekati dan
bertanya siapa sebenarnya kakek tersebut dan dijawab bahwa namanya “Kiai Wirojombo Dono
Murah”. Kakek tersebut kemudian cerita bahwa sebenarnya dia adalah anak dari almarhum Susuhunan
Paku Buwono I dari ibunya Nyai Rondo Cumbing. Setelah tahu bahwa orang tua tersebut adalah
kakeknya, kemudian ia minta pendapatnya dimana harus membangun istana, dan ditunjukkan sebelah
tenggara hutan banyan, tempat yang banyak mendapat sinar matahari.
19
Sumardjo Nitinegoro, The Founding of Yogyakarta, hal. 51.

raja. Pusaka-pusaka itu bahkan dipercaya dapat menampakkan kemarahannya
terhadap orang yang memperoleh kekuasaannya dengan cara yang tidak benar.20

D. Pendidikan Islam di Kraton dan Sultan Sebagai Pemimpin Agama
Konsep Jawa memandang Sultan sebagai seseorang yang dianugerahi
kerajaan dengan kekuasaan politik, militer, dan keagamaan yang absolut. Hal ini
tercermin dari gelar Sultan yang secara lengkap Sampeyan Dalem ingkang
Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman
Sayidin Panatagama Khalifatullah fil ardh.21 Dalam gelar tersebut terkandung
makna bahwa sultan selain pemimpin wilayah (hamengku Buwono), panglima
perang (senapati ing Ngalaga), dan hamba Allah (Ngabdurrahman) juga sekaligus
sebagai pemimpin agama (Sayidin Panata Gama) dan khalifah (khalifat ullah fil
ardh).22 Namun menurut Selo Sumarjan, konsep ini diambil dari negara-negara
Islam di Timur Tengah yang memiliki bentuk seperti itu, dan ini terjadi di Jawa
pada abad kelimabelas, ketika pertama kali orang Islam masuk ke Indonesia.23
Dengan gelar tersebut, konsep sultan di Yogyakarta tidak memisahkan antara
kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Dengan demikian, sultan adalah
sekaligus pemimpin agama.
Dalam posisinya sebagai pemimpin agama inilah akan terlihat bagaimana
peran sultan dalam perkembangan pendidikan Islam di Yogyakarta. Visi
pendidikan Islam Sri Sultan Hamengku Buwono I terlihat dalam beberapa hal
sebagai berikut:

20

Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1981), hal. 25.
21
Secara bahasa arti gelar tersebut adalah hamengku maknanya adalah menguasai, memimpin,
Buwono artinya bumi. Senapati ing Ngalaga maknanya ia juga sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
sebagai senapati, penentu perdamaian dan peperangan, panglima tertinggi angkatan perang dan saat
terjadi peperangan. Ngabdurrahman berasal dari bahasa Arab ‘abd al-Rahman yang berarti hamba
Allah yang Maha Pengasih. Sayidin Panata Gama artinya adalah tuan yang bertugas sebagai pemimpin
agama. Khalifatullah fil ardh artinya adalah khalifah (wakil) Allah di muka bumi.
22
Gelar khalifah dalam sejarah Islam disematkan kepada para sahabat pengganti dan pemimpin
tertinggi dalam sistem pemerintahan Islam setelah wafatnya rasulullah. Diawali dari Khalifah Abu
Bakar ash-Shidiq hingga khalifah pada masa Bani Abbasiyah. Dalam sejarahnya, gelar khalifah selain
sebagai pemimpin politik juga sekaligus sebagai pemimpin agama.
23
Selo Sumarjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, hal. 23.

1. Mendirikan “Sekolah Tamanan”.
Sekolah ini didirikan pada tahun 1757 yang mengandung dua muatan
utama, yaitu pendidikan yang dimaksudkan untuk membentuk jiwa/karakter
ksatriya dan pendidikan yang berdasarkan nilai ketentaraan, pertanian, dan
kebudayaan. 24
Tujuan yang pertama diwujudkan dengan muatan pelajaran yang
diberikan yaitu: (1) bahasa dan kesustraan Jawa Baru dan Kawi; (2) Sejarah
Kraton Yogyakarta; (3) Menyanyi (nembang)

Mocopat, Tengahan, dan

Gedhe; (4) Tata Negara; (5) Undang-Undang Sepuluh; (6) Angger Pradhata
dan Pidana (Hukum Perdata dan Pidana); (7) Mengaji: kitab turutan, Qur’an
dan Tafsir, Hukum Agama, tradisi dari mataram sampai Ngayogyakarta
Hadiningrat yang berhubungan dengan agama, perail (hukum waris Islam),
dan perkawinan dan talak. Tujuan yang kedua muatan mata pelajaran sebagai
berikut: (1) Menari (tarian putri); (2) Menari (tarian laki-laki); (3) memilih dan
menunggang kuda; (4) latihan berperang (setiap hari Sabtu di Alun-Alun Utara
dari jam 16.00 – 18.00); (5) latihan memanah; (6) menatah dan menyungging
wayang; (7) membuat dan melaras gamelan; (8) seni bangunan; (9)
memelihara

segala

tanam-tanaman

pekarangan,

ladang,

sawah,

dan

perkebunan; (10) membuat dan memelihara saluran pengairan dan bendungan
untuk pertanian rakyat.25
2. Mendirikan Masjid Keprabon (Masjid Gedhe Kauman).
Perkembangan pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta juga ditandai
dengan dibangunnya masjid agung di komplek kraton, yang sekarang disebut
24

K.R.T. Jatiningrat, Perkembangan Sekolah di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dokumen
tidak diterbitkan, disarikan dari buku Peringatan 200 Tahun Kota Yogyakarta (1956).
25
Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI terjadi perubahan kurikulum, dari semula pada
masa Sri Sultan Hamengku Buwono I banyak muatan mata pelajaran keislaman, pada masa ini berubah
dan semuanya pelajaran umum. Perubahan ini akibat adanya campur tangan Pemerintah Hindia
Belanda, di mana pada tahun 1867 M dibentuk sekolah dengan nama SRI MANGANTI yang bertempat
di Bangsal Trajumas. Yang diperkenankan belajar di sini adalah para putra raja dan anak para abdi
dalem yang berpangkat tinggi. Atas campur tangan Pemerintah Hindia Belanda pula, dibentuk
SEKOLAH PAGELARAN yang bertempat di Bangsal Pengapit Barat. Yang diperkenankan belajar di
sini adalah anak-anak para abdi dalem yang berpangkat menengah ke bawah. Mata pelajaran yang
diberikan di dua sekolah tersebut adalah: (1) membaca huruf Jawa dan Latin; (2) menulis huruf Jawa
dan Latin; (3) berhitung, menambah, mengurang, memperbanyak, dan membagi bilangan bulat dan
pecahan; (4) ukuran, timbangan, dan takaran; (5) ukuran luas dan isi (besar); (6) Bahasa Jawa dan
Melayu; (7) Ilmu Bumi seluruh Hindia Belanda (Indonesia); (8) Menggambar; (9) Ilmu Hayat (bagian
manusia dan hewan); (10) Nembang (menyanyi); (11) Sejarah Kraton Yogyakarta; dan (12) Ilmu Ukur.
Dari perubahan kurikulum ini terlihat pula bagaiamana perkembangan pendidikan Islam di Kraton
Yogyakarta yang mulai menyurut sejak Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

dengan masjid besar Kauman. Saat ini, masjid ini terletak di Kampung
Kauman, Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta.
Bangunannya secara keseluruhan seluas 2.578 m2 yang terdiri dari ruang
utama 784 m2 dan serambi 1.102 m2 di atas tanah seluas 4000 m2.26
Masjid Gedhe Kauman dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I
bersama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat (penghulu kraton pertama) dan Kyai
Wiryokusumo sebagai arsiteknya. Masjid ini dibangun pada hari Ahad Wage,
29 Mei 1773 M atau 6 Robi’ul Akhir 1187 H. Masjid ini adalah masjid
keprabon, sebagai tempat ibadah sekaligus lembaga pendidikan Islam bagi
masyarakat dalam beteng kraton. Posisi masjid keprabon memiliki makna
tersendiri dalam perspektif ilmu lingkungan, apalagi jika dikaitkan dengan
keberadaan masjid-masjid yang disebut sebagai masjid Pathok Negoro yang
terdapat di empat penjuru kraton Yogyakarta.27
Bukan hanya Sri Sultan Hamengku Buwono I, raja-raja mataram
Islam,

di

samping

mendirikan

istana

sebagai

tempat

kedudukan

pemerintahannya juga membangun masjid. Saat pusat kerajaan masih di
Kotagede, di sana juga dibangun sebuah masjid sebagai pusat keagamaan dan
pendidikan. Saat pemerintahan pindah ke Plered Bantul, di sana juga dibangun
Masjid Agung yang terletak di dusun Kauman, sebelah barat laut Desa
Kedaton. Demikian juga ketika Mataram Islam pindah ke Kartasura juga
didirikan masjid agung. Di berbagai tempat itu, kampung yang berada di
sebelah masjid dinamakan Kauman karena disitu oleh Sultan ditempatkan para
pengurus masjid yang, tempat para kaum (Qaimuddin: penegak agama).
Kepengurusan masjid pada awalnya dipegang oleh Penghulu Kraton, dibantu
oleh Ketib, Modin, Merbot, dan abdi dalem pametakan, abdi dalem Kaji
Selusinan, serta abdi dalem berjamangah.28
Keberadaan masjid keprabon tersebut tidak disangsikan lagi fungsinya
sebagai lembaga pendidikan Islam, sebagaimana lazimnya perkembangan
pendidikan Islam pada masa awal juga berangkat dari masjid sebagai lembaga
26

Tim Penyusun yang diketuai oleh Slamet Hamzah, Masjid Bersejarah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Kanwil Departemen Agama Pro. DIY, 2007), hal.
1.
27

Drajat Suharjo, Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004)
Tim Penyusun yang diketuai oleh Slamet Hamzah, Masjid Bersejarah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, hal. 5
28

pendidikan. Meskipun karena keterbatasan sumber, penulis belum menemukan
sistem pendidikan Islam yang utuh yang terdapat di masjid tersebut.

3. Mendirikan masjid Pathok Negoro
Keberadaan masjid Pathok Negoro yang terletak di empat penjuru
kraton Yogyakarta memiliki makna tersendiri dalam konteks perkembangan
pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut didirikan
atas prakarsa dari Sri Sultan Hamengku Buwono I yang berfungsi sebagai
tempat pendidikan agama Islam, selain fungsi utamanya sebagai tempat
ibadah.
Ada lima masjid pathok negoro yang dibangun pada masa Sri Sultan
Hamengku Buwono I, yakni Masjid Mlangi (sebelah barat), Masjid
Plosokuning (sebelah utara), Masjid Babadan (sebelah timur), Masjid
Dongkelan (sebelah selatan), dan Masjid At Taqwa Wonokromo (juga
berada di daerah selatan).
Di antara masjid-masjid Pathok Negoro tersebut, Masjid Mlangi
memiliki sejarah khusus dalam perkembangan pendidikan Islam di Kraton
Yogyakarta. Masjid Mlangi didirikan oleh tokoh sentral guru agama di
daerah itu yang bernama Kyai Nur Iman atau R.M. Sandeyo. R.M. Sandeyo
adalah putra dari R. M. Suryo Putro atau Amangkurat Jawa. R.M. Suryo
Putro adalah anak dari Pangeran Puger.
Dikisahkan bahwa karena tidak suka dengan perang saudara antara
Amangkurat II (R.M. Rahmat) dan Pangeran Puger, R.M.Suryo Putro pergi
ke Pesantren Gedangan di Surabaya belajar pada Kyai Abdullah Muhsin.
R.M. Suryo Putro kemudian menjadi santri dan berganti nama menjadi M.
Ihsan. M. Ihsan kemudian dinikahkan dengan putri Adipati Wironegoro
yang bernama R.A. Retno Susilowati. Setelah menikah kemudian ia
bersama istrinya kembali ke Pesantren Gedangan.29
Sementara itu, sepeninggal RM. Suryo Putro ternyata keadaan
kerajaan semakin kacau hingga akhirnya terciumlah keberadaan M. Ihsan
oleh keluarga Kraton. Sang Raja kemudian mengirim utusan untuk
menjemput pulang M. Ihsan ke Mataram. Karena itu merupakan perintah
29
http://sayyidmuhammadraffie.blspbticbm/2010/05/riwayat-kyai-nuriman-m.anli-tarikh-nurihtm.

Raja, maka M. Ihsan tidak berani menolak. Sebelum ia pulang ke kraton, ia
menitipkan istrinya yang sedang hamil ke kyai A. Muhsin dan berpesan
"Kelak jika anaknya lahir laki laki harap diberi nama RM. Sandeyo, tetapi
jika perempuan, pemberian nama terserah Kyai". Kyai juga diminta
mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni, karena kelak ia kan
dijemput pulang ke kraton Mataram. Ternyata bayi yang lahir itu benar laki
- laki dan kemudian oleh kyai diberi nama RM. Sandeyo, selain itu oleh
Kyai bayi itu juga diberi nama M. Nur Iman.
Seiring waktu berlalu Nur Iman / RM Sandeyo telah tumbuh dewasa
dan telah menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya,
hingga pada suatu saat datang lah utusan tersebut dan meminta RM
Sandeyo untuk pulang ke Mataram. Akhirnya M. nur Iman mau untuk
pulang, akan tetapi Beliau tidak mau pulang bersama dengan utusan
tersebut. setelah pamit pada Kyai Abdullah Muhsin dan mendengarkan
semua pesan nasihat dari Kyai, maka RM. Sandeyo berangkat ke Mataram
dengan ditemani dua sahabat dekatnya yang bernama Sanusi dan
Tanmisani. Sesuai dengan nasihat Kyai, maka sepanjang perjalanannya
mereka tanpa henti berdakwah menyebarkan ilmu agama dan mendirikan
Ponpes, hingga perjalan sampai ke Mataram memakan waktu agak lama.
Ponpes yang didirikan M. Nur Iman antara lain ponpes yang ada di
sepanjang Ponorogo dan Pacitan. Kyai Abdullah Muhsin juga mempunyai
keyakinan kuat bahwa kelak M. Nur Iman akan menjadi Ulama besar dan
termasyhur.30
Saat terjadi perang saudara antara adik-adiknya (Pangeran
Sambernyowo, RM. Said, dan Pangeran Mangkubumi), M. Nur Iman
memilih meninggalkan istana dan berdakwah di daerah Kulon Progo. Di
sana kemudian ia menikah dengan putri Demang Hadiwongso yang
bernama Mursalah. Setelah mertuanya wafat ia sekeluarga pindah ke utara,
tepatnya di desa Kerisan. Di desa inilah RM. Sandeyo bertemu dengan
Sultan Hamengku Buwono I ( yang tidak lain adalah adiknya ). Sultan
Hamengku Buwono I kemudian meminta agar M. Nur Iman kembali ke
kraton. Saat jumenengan dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I, M. Nur
Iman diberi hadiah tanah perdikan (tanah bebas pajak). Tanah tersebut
30

Ibidi

kemudian dijadikan desa untuk mengajarkan agama Islam. Didirikanlah
pondok pesantren untuk Mulangi (mengajar agama), sehingga nama desa
tersebut dikenal dengan Mlangi.31
Dari pesantren Mlangi inilah kelak lahir tokoh-tokoh kuat, termasuk
Pangeran Diponegoro, putra Sultan Hamengku Buwono III, banyak dididik
oleh pesantren Mlangi ini, selain ia dididik langsung oleh neneknya di
derah Tegalrejo, yang juga seorang ahli agama. 32 Hingga saat ini,
keberadaan pesantren di daerah Mlangi masih memainkan peranan yang
sangat penting dalam perkembangan pendidikan Islam di Yogyakarta.
Simpul lain yang tak kalah pentingnya dalam perkembangan
pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta adalah masjid at-Taqwa yang saat
ini terletak di Wonokromo, Plered, Bantul. Masjid ini didirikan oleh Kyai
Muhammad Faqih, seorang guru agama Islam yang tinggal di Ketonggo. Ia
suka membuat “welit” (atap rumbia) yang terbuat dari daun ilalang. Karena
hasil kerjanya ini ia kemudian dikenal dengan Kyai Welit.
Kyai Abdullah Faqih memiliki makna tersendiri bagi Sultan
Hamengku Buwono I dan perkembangan pendidikan Islam di Kraton
Yogyakarta. Dikisahkan bahwa suatu hari, Sri Sultan Hamengku Buwono I
hendak menemui Kyai Muhammad Faqih (kelak diketahui bahwa ternyata
ia adalah kakak ipar Sri Sultan). Setelah ketemu, Sultan mengutarakan
maksudnya untuk menuntu ilmu atau ngangsu kawruh kepada Kyai Faqih.
Kyai Fakih keberatan, karena prinsipnya beliau hanya memberikan ilmu
kepada murid-muridnya. Setelah itu, Sri Sultan menyamar sebagai utusan
sultan. Penyamarannya tidak diketahui oleh Kyai Muhammad Fakih.
Karena niatnya yang sungguh-sungguh agar diterima sebagai murid, maka
permintaan itupun dikabulkannya. Pada saat itu, ia meminta nasehat kepada
Kyai Fakih bagaimana agar negara menjadi aman. Kyai Fakih kemudian
menasehatkan dua hal. Pertama, agar sultan melantik orang-orang yang
dapat mengajar dan menuntun akhlak/budi pekerti, yang disebut “Pathok”.
Pathok-pathok ini karena jabatannya kemudian dianugerahi tanah perdikan
(tanah bebas pajak). Kedua, Sultan harus memilih “Kenthol” (Kepala Desa)
31

Ibid.
Lfeih .fnlkap tfntanl ealaimana pfran pfsantrfn M.anli da.am prieadi
Panlfran Dipbnflbrb dapat dieaca da.am Patfr Carfy, Takdir: Riwayat Pangeran
Diponegoro (1785 – 1855), (Jakarta: Pfnfreit Buku Kbmpas, 2014)i
32

yang karena jabatannya diberi tanah pelungguh. Saran tersebut disetujui
sultan, dan Kyai Fakih kemudian dijadikan sebagai Pathok, dan pada tahun
1774 dianugrahi tanah perdikan yang terletak di sebelah selatan Ketonggo.
Di tanah itulah kemudian dibangun masjid yang diberinama “Wana
Karoma” (supaya benar-benar Mulya).33 Masjid tersebut kelak berubah
nama menjadi Masjid At Taqwa.
Dikisahkan pula bahwa Sultan Sangat senang dengan Kyai
Mohammad Fakih. Pada saat itu sebenarnya Sultan berniat hendak
menunaikan ibadah haji ke Mekah, namun karena situasi belum aman,
maka

Sultan

meminta

kepada

Kyai

Muhammad

Fakih

untuk

menghajikannya. Kyai Fakih bermukim dua tahun di Mekah, sebab di tahun
pertama ia haji untuk dirinya sendiri dan tahun kedua haji untuk Sultan.
Sepulang dari tanah suci, kapal yang ditumpangi Kyai Muhammad Fakih
karam di Selat Malaka, sehingga ia tenggelam dan meninggal di laut.
Karena itu, Kyai Muhammad Fakih juga disebut dengan Kyai Seda Laut.34
E. Aliran Pendidikan Islam Kraton Yogyakarta
Muhammad Jawwad Ridho membagi aliran pendidikan Islam ke dalam
tiga bagian, yakni pertama, religius-konservatif (al-diniy al-muhafidz), kedua,
aliran religius rasional (al-diniy al-aqlaniy), dan aliran pragmatis instrumental (aldzara’i).35 Dikatakan bahwa aliran religius konservatif dalam bergumul dengan
persoalan pendidikan cenderung bersikap murni keagamaan. Mereka memaknai
ilmu dalam pengertian sempit, yakni hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan
sekarang (hidup di dunia) yang jelas-jelas akan membawa manfaat di akherat.
Penuntut ilmu diharuskan mengawali belajarnya dengan kitabullah (al-Qur’an).
Ulumul Qur’an merupakan induk semua ilmu, lalu dilanjutkan belajar al-Hadis
dan ulumul hadis, ushul,nahwu, dan sharaf. Pandangan konservatif yang dimaksud
dalam aliran ini adalah mengarah pada konsep hirarki nilai yang menstrukturkan
ragam ilmu secara vertikal sesuai dengan penilaian mereka tentang keutamaan
masing-masing ilmu.36
33

Tim Penyusun yang diketuai oleh Slamet Hamzah, Masjid Bersejarah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Hal. 53.
34
Ibidi
35
Aedi Rachman Assflaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan
Tokoh Klasik sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafndb Pfrsada, 2013), ha.i 57i
36
Ibid.

Aliran kedua adalah religius rasional (al-diniy al-aqlaniy). Bagi kalangan
religius rasional, persoalan pendidikan cenderung disikapi secara rasionalfilosofis, karena hal itu merupakan entry point bagi mereka yang hendak mengkaji
strategi atau program pendidikan. Kecenderungan rasional filosofis itu secara
eksplisit terungkap dalam rumusan mereka tentang ilmu dan belajar yang jauh
berbeda dengan rumusan kalangan tradisional-tekstualis. Aliran religius rasional
banyak membangun konsep-konsepnya dari pemikiran falsafah Yunani dan
berusaha menyelaraskan pemikiran tersebut dengan pandangan dasar dan orientasi
keagamaan. Kurikulum yang dikembangkan oleh aliran ini lebih menekankan
pada aspek rasional-filosofis, seperti riyadhiyat (ilmu-ilmu eksak), manthiqiyat
(retorika-logika), ilmu-ilmu kealaman (fisika), dan teologi.37
Aliran ketiga adalah pragmatis-instrumental (al-dzara’i). Menurut Jawwad
Ridha, tokoh satu-satunya dalam aliran ini adalah Ibnu Khaldun karena
pemikirannya lebih bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikasi praktis.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa aliran pragmatis yang digulirkan oleh Ibnu
Khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Bila
kalangan konservatif mempersempit ruang lingkup “sekuler”di hadapan
rasionalitas Islam dan mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan
salaf, sedang kalangan rasionalis dalam sistem pendidikannya berpikiran idealistik
sehingga memasukkan semua disiplin ilmu yang dianggap substantif bernilai,
maka Ibnu Khaldun mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan
kebutuhan langsung manusia, baik kebutuhan spiritual-ruhaniah maupun material.
Meski demikian, Ibnu Khaldun sejalan dengan kalangan rasionalis dalam hal
pengakuan rasio (al-‘aql) atau daya pikir (al-fikr).38
Pembagian aliran pendidikan Islam menjadi tiga di atas menurut
Abdurrachman Assegaf sesungguhnya mengandung kerancuan dan tidak
sepenuhnya rigid sebagaimana disebutkan di atas. Istilah religius-konservatif
misalnya menurut Assegaf dalam sejarah Eropa dipahami bahwa secara prinsip
berusaha menerapkan ajaran-ajaran agama tertentu ke dalam politik, di mana
dengan menyatakan nilai ajaran tersebut, dan kadang-kadang nilai ajaran agama
tadi mempengaruhi hukum dan perundang-undangan. Muara dari pengertian
religius-konservatif pada akhirnya menuju pada fundamentalisme, dan bila
37
38

Ibid. Ha.i 58
Ibid.

dinisbatkan

pada

agama

Islam,

maka

konsekuensi

lanjutannya

adalah

fundamentalisme Islam. Begitu pula dengan istilah rasional-filosofis yang pada
ujungnya adalah rasionalisme. Rasionalisme Barat menurut Assegaf tidak
menyentuh aspek nilai kewahyuan, dan terpisah dari dimensi keagamaan,
sehingga

rasionalisme

adalah

sekularisme.

Dengan

mendasarkan

seting

munculnya paham konservatisme dan rasionalisme di Barat, Assegaf mengkritisi
teori aliran pendidikan Islam Muhammad Jawwad Ridha beserta tokoh
pendukungnya. Menurut Assegaf, pemikiran pendidikan Islam sesungguhnya
mengambil beragam bentuk dari berbagai pengaruh, baik peradaban YunaniHelenis maupun internal peradaban umat Islam sendiri, atau bahkan peradaban
pemikiran Barat. Walaupun begitu, pemikiran pendidikan Islam tetap bersifat
eklektif dan selektif.39
Mengamati kurikulum pendidikan Islam yang dikembangkan di Kraton
Yogyakarta pada masa Hamengku Buwono I, menarik untuk melihat aliran
pendidikan yang dikembangkan, dengan menggunakan kacamata pembagian
aliran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Jawwad Ridha di
atas. Kurikulum pendidikan Islam yang dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I diarahkan pada dua tujuan utama, yakni membentuk jiwa ksatria dan
penguasaan

ketrampilan

ketentaraan,

pertanian

(kecakapan

hidup),

dan

kebudayaan. Dari kurikulum yang disusun, karakter ksatria yang dimaksud adalah
orang yang menguasai wawasan kesejarahan (khususnya sejarah Kraton), bahasa
dan sastra Jawa, tata negara, hukum dan perundangan-undangan, serta ilmu-ilmu
agama. Selain itu, pendidikan yang diselenggarakan di Sekolah Tamanan pada
masa Sri Sultan Hamengku Buwono I juga untuk membekali peserta didik dengan
wawasan kebudayaan dan kesenian, seperti tarian, menyungging wayang, melaras
gamelan, dan seni bangunan. Juga membekali peserta didik dengan ketrampilan
praktis berperang seperti memanah, menunggang kuda, dan secara spesifik latihan
berperang. Selain itu, juga membekali peserta didik dengan ketrampilan hidup,
utamanya pertanian. Hal ini dapat dimengerti karena wilayah Kraton Yogyakarta
pada masa Hamengku Buwono I adalah wilayah agraris, berbeda dengan wilayah
pesisir pantai utara yang berbasis perdagangan.
Melihat kurikulum pendidikan Islam yang dikembangkan Sri Sultan
Hamengku Buwono tersebut, secara sekilas tampak sangat pragmatis, tidak
39

Ibid. Ha.i 60i

berkutat pada wilayah pendidikan yang filosofis. Karena itu, dengan berdasarkan
pembagian aliran pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Jawwad Ridha
tersebut di atas, aliran pendidikan yang dikembangkan dapat dinyatakan sebagai
aliran pendidikan PRAGMATIS INSTRUMENTAL (Al-Dzara’i).

F. Penutup

Demikianlah beberapa simpul kecil dari perkembangan pendidikan
Islam pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Uraian di atas dapat
dipahami begitu besarnya komitmen Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam
pengembangan pendidikan Islam. Ia mengembangkan pendidikan Islam
selaras dengan pendidikan kebudayaan yang terlihat dari kurikulumkurikulum yang dirancang di Sekolah Tamanan yang didirikannya.
Perkembangan pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta juga dapat
dilihat pada simpul-simpul penting dalam perkembangannya, antara lain
keberadaan masjid Keprabon (masjid Gedhe Kauman) dan masjid-masjid
yang kini berstatus sebagai Masjid Pathok Negoro. Di tempat-tempat itu
tumbuh dan berkembang pendidikan Islam. Dapat diduga corak pendidikan
Islam yang dikembangkan di Kraton, masjid keprabon, dan masjid pathok
negoro adalah corak yang saat ini dikembangkan oleh Nahdhatul Ulama.
Berdirinya Muhammadiyah pada akhir abad 19 atau awal abad 20
membawa perubahan pada corak pendidikan Islam di Kraton Yogyakarta,
khususnya yang terdapat di simpul Masjid Keprabon (Masjid Gedhe
Kauman) karena disitulah tempat basis perjuangan KH. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah. Sementara itu, di masjid-masjid Pathok Negoro
tidak banyak terpengaruh oleh adanya gerakan Muhammadiyah.
Aliran pendidikan yang dikembangkan oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I dengan menggunakan teori dari Muhammad Jawwad Ridho dapat
dinyatakan menganut aliran Pragmatis Instrumental (al-Dzara’i), sebuah
aliran pendidikan yang berusaha menjawab persoalan praktis pragmatis
yang dihadapi pada masanya.

Apa yang diuraikan masih sangat dangkal, sumber-sumber yang
diperoleh masih dari sumber sekunder, sehingga masih perlu diperkaya
dengan sumber-sumber primer sebagaimana digunakan oleh Ricklef dan
Pater Carey dalam mengurai sejarah Jawa. Naskah-naskah Serat dan Babad
mau tidak mau menjadi sumber primer untuk bisa mengungkap bagaimana
pendidikan Islam di Yogyakarta. Naskah-naskah tersebut antara lain Serat
Cabolek, Serat Suryaraja, Babad Giyanti, Babad Kraton dan naskahnaskah lain yang relevan. Tulisan ini masih awal, dan akan dilanjutkan
dengan penelitian lanjutan yang lebih dalam. Semoga.

REFERENSI
A. Daliman. 2012. Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia, Yogyakarta: Ombak
Abd. Rachman Assegaf. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah
Keilmuan Tokoh Klasik sampai Modern. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Anton Satyo Hendriatmo. 2006. Giyanti 1755: Perang Perebutan Mahkota III dan
Terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Tangerang: CS Book
Dradjat Suharjo. 2004. Mengaji Ilmu Lingkungan Kraton. Yogyakarta: Safiria Insania
Press.
Hermanu. 2011. Ngayogyakarta. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta.
http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2010/05/riwayat-kyai-nur-iman-mlangitarikh-nur.html
K.R.T. Jatiningrat, “Perkembangan Sekolah di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat”,
dokumen tidak diterbitkan, disarikan dari buku Peringatan 200 Tahun
Kota Yogyakarta 1956.
Krina Bayu Adji dan Sri Wintala Ahmad. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa dari
Mataram Kuno hingga Mataram Islam. Yogyakarta: Araska.
M. C. Ricklefs. 1974. Jogjakarta Under Sultan Sultan Mangkubumi 1749 – 1792: A
History of the Division of Java, London: Oxford University Press.
____________ 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004. Jakarta: Serambi
Maharsi. 2007.

“Babad Kraton: Analisis Simbolisme Struktural, Upaya untuk
Memahami Konsep Berpikir Jawa Islam” Disertasi tidak diterbitkan,
Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Masroer Ch. 2004. The History of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di Jawa.
Yogyakarta: Arruz.
Pater Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855, Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2014.
R.M. Sumardjo Nitinegoro. tt. The Founding of Yogyakarta, Yogyakarta: Putra Jaya.
S. Soebardi. 2004. Serat Cabolek: Kuasa, Agama, dan Pembebasan, Bandung:
Nuansa.
Selo Sumarjan. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Tim Penyusun yang diketuai oleh Slamet Hamzah. 2007. Masjid Bersejarah Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Kanwil Departemen
Agama Pro. DIY.
W. S. Rendra, “Latihan Sultan Hamengku Buwono I di Masa Remaja”, Majalah
Pendidikan, Ilmu dan Kebudayaan Pusara, Tahun ke-41, April 1972,
diterbitkan oleh Majeli Luhur Taman Siswa, Yogyakarta, 1972, hal.
129 – 132.