studi syariat islam di Aceh

Judul Buku

:Penerapan Syariat islal di Aceh (Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara
Bangsa)

Penulis

:Prof.DR. Al Yasa Abu Bakar, MA.

Penerbit

:Dinas Syariat Islam Aceh

Cetakan

:Pertama, Nopember, 2013

Jumlah Halaman

:xiv + 345 hlm


Oleh

: Lia Almuknisa

NIM

: 150106011

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Lingkup Pembahasan
Buku penerapan syariat islam di Aceh akan membahas tentang kebijakan yang

diputuskan untuk merealisasikan penegakan syariat islam. Kebijakan ini memiliki dua maksud,
yang pertama kebijakan dalam arti formal, yaitu kebijakan yang sudah disahkan sebagai aturan
perundang undangan, artinya aturan yang berbau syariat tersebut sudah di positifkan dan diakui
sebagai peraturan resmi negara. Yang kedua dalam arti substansial, yaitu tentang kebijakan mana
yang diambil dari kaidah fiqh untuk membentuk kebijakan dalam arti fomal. Namun buku ini

hanya akan membahas terbatas di bidang pidana yang dalam istilah fiqh disebut jinayat.
Kebijakan syariat islam di Aceh dilakukan untuk menciptakan hukum yang lebih baik
dan lebih sesuai dengan keadaan sekarang, yaitu syariat islam di Aceh lebih baik dan lebih sesuai
daripada hukum peninggalan Belanda, sekaligus lebih baik dan lebih sesuai daripada aturan fiqh
dalam kitab ulama zaman dahulu yang terkesan begitu kaku jika dilihat dari keadaan modern
sekarang. Oleh karena itu kebijakan dalam penegakan syariat sangat memperhatikan
kemaslahatan bagi muslim di Indonesia, khususnya di Aceh. Di sisi lain sistematika hukum dan
proses peradilan peninggalan belanda akan tetap dipakai selama tidk bertentangan dengan
kebijakan substansial, maka penerapan syariat ini belum sepenuhnya berdiri sendiri
B.

Sistematika Pembahasan
Buku ini akan membahas tentang sejarah usaha rakyat Aceh dalam memperjuangkan hak

pelaksanaan syariat di Aceh, pengertian fiqh dalam kajian modern, prisip dalam pembuatan
qanun, kajian tentang UU No. 14 tahun 1999, UU No. 18 tahun 2001, langkah langkah yang
sudah ditempuh dalam penyusunan hukum positif berdasarkan syariat islam, kajian tentang UU
No. 11 tahun 2006, dan penutup yang memaparkan kesimpulan isi buku.

C.


Sejarah Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Sejak awal kemerdekaan rakyat aceh sudah mengajukan izin agar pelaksannan hukum

sesuai syariat islam dapat diterapkan di Aceh, di saat yang sama juga dilakukan pengajuan agar

provinsi Aceh memiliki hak otonomi, hal ini mungkin dilakukan karena pemuka saat itu
menyadari bahwa syariat Islam hanya bisa berhasil jika Aceh berdiri sebagai provinsi sendiri.
Beberapa tulisan menyatakan bahwa Presiden Soekarno memberikan izin secara lisan bersamaan
meminta bantuan untuk membeli pesawat saat mengunjungi Aceh pada tahun 1948. Bahkan
sebelum diberi izin pun Residen Aceh sudah membentuk Mahkamah Syariah atas izin Gubernur
Sumatera melalui surat kawat Nomor 189 tanggal 13 Januari 1947.
Pada Agresi Militer belanda yang kedua aktivitas Pemerintah Pusat terhenti karena
belanda berhasil menduduki Yogyakarta yang merupakan ibukota Indonesia saat itu, agar
pemerintahan tetap berlanjut maka dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
yang berkedudukan di Sumatera

dengan presidennya Syafruddin Prawiranegara. Pada saat

berkunjung ke Aceh tahun 1949 presiden PDRI memberikan status otonom untuk provinsi Aceh.

Indonesia berubah menjadi negara serikat setelah diadakan Konferensi meja Bundar,
namun Pemerintahan serikat ini hanya bertahan sebentar, lalu pada tahun 1950 RIS berubah
menjadi NKRI dengan konstitusi baru yaitu UUDS 1950.
Salah satu kesepakatannya adalah Provinsi Aceh dihapuskan dan digabung dengan
Sumatera utara, sehingga mahkamah syariah yang sebelumnya sudah ada di Aceh terbengkalai,
akibatnya timbul pemberontakan Aceh pada September 1953 dan berlanjut hingga 1962. Untuk
mengatasi masalah ini, Pemerintah pusat kembali membentuk Aceh pada tahun 1956 atas dasar
UU No. 24 Tahun 1956. Mahkamah syariah juga diakui kembali melalui UU No.29 Tahun 1957.
Madrasah juga dinegerikan berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1959. Tapi hal
ini tidak mampu membendung pemberontakan yang sudah terlanjur muncul, sehingga
diadakanlah musyawarah antara pemerintah Indonesia dengan Abu Beureueh yang menghasilkan
Keputusan Missi Hardi pada tanggal 26 mei 1956, yang isinya memberikan keistimewan dalam
tiga bidang di Aceh, yaitu dalam agama, pendidikan dan peradatan. Meski begitu Abu Beureueh
dan beberapa pengikutnya masih belum puas dan tetap menuntut izin dan jaminan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh sehingga menghasilkan Keputusan Prinsipal Bijaksana.
Pencapaian tersebut tidak berpengaruh pada pelaksanaan syariat, sehingga penyematan
nama Daerah Istimewa Aceh tidak bermakna sama sekali, pelaksanaan syariat ditolak karena
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Pada tahap selanjutnya lembaga gampong sebgai
sebuah masyarakat dihapuskan dan diganti dengan lembaga desa, diseragamkan dengan bentuk
pemerintahan paling kecil di seluruh Indonesia, hal ini berujung pada pemberontakan GAM


untuk memisahkan diri dari NKRI yang dipimpin oleh Dr. Muhammad Hassan di Tiro pada
Desember 1967.
Izin pelaksanaan syariat didapatkan di era Reformasi setelah runtuhnya era Orde Baru
melalui pengesahan UU No 44 tahun 1999. Rakyat Aceh sangat gigih memperjuangkan
penerapan syariat islam karena dua alasan. Pertama adalah keinginan untuk hidup sesuai syariat
islam secara penuh, bukan sekedar dalam hal ibadah tapi seluruh tatanah kehidupan. Kedua yaitu
sebagai pembuktian bahwa hukum Islam bersifat universal dan dapat digunakan sepanjang masa.

BAB II
PENGERTIAN DAN PERKEMBANGAN
A.

Pengertian Fiqih
Istilah Fiqh pada masa sahabat dan tabiin menjadi sandingan ilmu. Fiqh dipahami sebagai

pengetahuan yang didapatkan melalui perenungan dan penalaran, sedangkan ilmu merupakan
pengetahuan yang didapatkan melalui penuturan atau periwayatan. Pada masa ini fiqh sangat
identik dengan metode ra’yu.
Pada periode Imam Mazhab, Fiqh bukan sekedar pengetahuan hasil penalaran tapi juga

harus dibarengi dengan pemikiran yang sistematis, Imam Hanafi menggunakan istilah fiqh
sebagai makna dari kaidah kaidah. Selanjutnya Imam Syafi’I mempersempit makna istilah fiqh
sebagai kaidah di bidang perbuatan saja, sehingga pengertian fiqh menjadi pengetahuan
sistematis tentang aturan perbuatan atau tata kehidupan keseharian. Akhirnya pada masa modern,
istilah fiqh yang awalnya sering disangkutpautkan sebagai ilmu atau kemampuan penalaran
menjadi produk yang dihasilkan penalaran tadi.
Setelah periode Imam mazhab, para ulama memunculkan istilah siyasah syariah, yaitu
produk fiqh yang dalam pelaksanaannya harus melibatkan pemerintah atau negara, karena untuk
mewujudkannya tidak bisa dilakukan oleh individu. Dikarenak siyasah syariah membutuhkan
kebijakan penguasa yang sangat perlu mempertimbangkan kemaslahatan rakyat, maka siyasah
syariah cenderung lebih longgar dibanding fiqh yang lebih kaku dan bahkan pada masa
kemunduran diklaim sebagai kebenaran yan tidak akan pernah bisa berubah.
Meskipun istilah siyasah syariah sudah diperkenalkan, namun sedikit sekali ulama yang
mau memberikan perhatian, kebanyakan kitab siyasah syariah yang sudah ada dituliskan oleh
ulama yang pernah menjadi qadhi. Pembelajaran saat ini cenderung sangat kokoh pada fiqh
sehingga siyasah syariah terabaikan.
Definisi fiqh secara umum adalah ilmu tentang seperangkat hukum syara’ yang bersifat
amaliyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran darri dalil tafshiliyyah. Ilmu yang
dimaksud ini adalah pengetahuan hukum syara’ yang didapatkan melalui penalaran, sedangkan
ketentuan yang tidak didapatkan melalui penalaran karena sudah jelas hukumnya di dalam Al

quran tidak disebut fiqh, begitu juga pengetahuan yang diperoleh melalui taqlid tidak disebut
fiqh. Hukum syara’ adalah norma hukum yang disimpulkan dari dalil, dalam ushul fiqh hukum

syara’ dibagi dua, yaitu hukum taklify yang berisi perintah, larangan, serta perizinan, dan hukum
wadhi yang menjelaskan

pengkondisian dari suatu perbuatan. Adapun istilah amaliyah

digunakan untuk menunjukkan semua perbuatan lahir manusia, baik dari perbuatan, ucapan,
maupun niat. Sedangkan dalil tafshili berarti dalil yang dipakai sebagai dasar sebuah peraturan.
Dalam pembahasan ushul fiqh ulama lebih terfokus pada cara memperoleh dalil, dan
siapa yang berwenang melakukan istinbath, sedangkan penjelasan tentang subjek hukum dan
metode untuk menghasilkan definisi diabaikan. Banyak yang menjelaskan definisi suatu
perbuatan hukum, tapi tidak dijelaskan metode umtuk melahirkan definisi tadi. Begitu pula
pembahasan tentang orang yang memiliki kewenangan dalam upaya penegakan hukum syara’,
intinya tidak ada metode hukum acara dalam fiqh.
Dengan demikian

definisi dari masa lalu masih belum berubah hingga sekarang,


begitupun kajian kajiannya, untuk itu masih perlu dikembangkan kajian mengenai hukum acara
serta sistem yang akan dipakai supaya fiqh menjadi suatu hukum yang mapan.
B.

Karakteristik, Isi, dan Sistematika
Hukum hukum yang tertera dalam Al quran pada umumnya merupakan jawaban terhadap

permasalahan umat pada masa itu, jadi tidak ada teori, sistem peradilan, maupun paradigma
hukum di dalamnya. Sitematika pembagian hukum yang kita ketahui sekarang merupakan hasil
yang dikembangkan para ulama.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, hukum yang dirumuskan adalah sekedar penyelasaian
dari permasalahan masyarakat dimana metode yang digunakan untuk menghasilkan peraturan ini
merupakan pengalaman mereka dengan rasulullah, oleh karena itu kesimpulan ijtihad yang
dihasilkan bukan merupakan sesuatu yang sistematis.
Pada masa itu, metode menghasilkan yang seperti itu masih sangat unggul jika
dibandingkan hukum di masyarakat lain, namun setelah kelahiran kode napoleon pada abad 19,
tentu saja penyebutan fiqh menjadi parsial. Mayoritas anggota masyarakat tertarik pada fiqh
karena kepatuhan dan keimanan pada Allah, sehingga sistem penegakan hukumnya terlihat
kurang penting. Di sisi lain, karena tidak ada upaya untuk menyususun suatu sistem hukum acara
yang mapan, maka adat Arab jahiliyah maupun adat asing yang didapatkan melalui perluasan

wilayah yang tidak bertentangan dengan syariat atau tidak diubah secara nyata dalam Al Quran

cenderung dipertahankan dan bahkan oleh para Sahabat dan Imam Mazhab dijadikan fiqh, entah
dengan atau tanpa sengaja.
Sistemasi fiqh baru ada pada zaman belakangan, tepatnya pada masa imam mazhab yang
bahannya diambil dari isi fiqh di masa sahabat.
C.

Periodesasi Perkembangan Fiqh
Pada masa pra fiqih penyelesaian masalah didapatkan dari wahyu yang turun, sedangkan

jika ada ijtihad para sahabat, maka akan dianggap sebagai hadits taqriri, penyebaran islam saat
itu terjadi dengan cara internalisasi, dimana para sahabat mendapat praktik langsung dari
Rasulullah.
Setelah Rasul wafat proses penurunan wahyu pun selesai, sehingga dimulailah periode
fiqh. Ijtihad para sahabat dihargai tinggi sekali sampai ada pendapat bahwa generasi selanjutnya
tidak boleh keluar dari pendapat yang dihasilkan sahabat, hal ini didasari hanya para sahabat lah
yang mendapatkan penuturan langsung dari Rasulullah.
Setelah para sahabat wafat muncul periode kelahiran mazhab, pada masa ini hasil fiqh
para sahabat mulai disistemasi oleh ulama mazhab, meski begitu pondasi fiqh yang digunakan

masih sama. Hal ini dilakukan karena metode, praktek dan penyusunan yang ada pada masa
sahabat sudah tidak memenuhi keperluan masyarakat lagi.
Pada masa berikutnya muncullah rasa fanatik terhadap mazhab, dimana segala sesuatu
yang disampaikan oleh imam mazhab dianggap final dan tidak boleh dirubah. Kefanatikan ini
menimbulkan perpecahan dalam umat Islam, dimana seolah kelompok dari mazhab berbeda
dianggap di luar islam
Para ulama penerus hanya melengkapi hasil ijtihad dari ulama mazhab dan berkembang
anggapan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, hal ini menimbulkan kemunduran islam karena
tidak ada lagi pembaruan hukum. Keadaan ini diperparah dengan jatuhnya kerajaan turki utsmani
oleh tentara mongol. Di saat yang bersamaan Eropa semakin maju karena lahirmya kode
napoleon yang lebih makan dari fiqh, juga kemajuan teknologi yang pesat sehingga Eropa yang
dulunya konsumen berubah menjadi produsen, di sisi lain dunia semakin bergantung pada Eropa.
Anjuran untuk meninggalkan mazhab pun mulai berkembang, tapi kenyataannya
pembaharuan fiqh tidak ada yang keluar dari mazhab, sedangkan bidang peradilan yang
sebelumnya kurang mendapat perhatian mulai mengikuti sistem peradilan barat. Dalam keadaan

ini penguasa Turki Usmani yang mulai memperkenalkan peradilan sekuler berupaya menyusun
fiqh mengikuti sistem peradilan barat.
Pada perkembangan selanjutnya, fiqh mulai diupayakan untuk dikodifikasi, juga
menyusun fiqh dengan format baru disertai dengan keterlibatan pemerintah. Di samping itu

kehadiran peradilan yang dipengaruhi sistem barat mulai diperkenalkan. Pada mulanya
pembaruan ini merupakan tekanan politik dari pemerintah, sehingga ada aturan yang benar benar
sesuai dengan syariat dan ada pula karena paksaan pemerintah karena silau dengan hukum barat.
Meski begitu, seiring berjalannya waktu makin banyak ulama yang menyetujui dan ikut
merumuskan kebijakan baru dengan sungguh sungguh, artinya tidak lagi berdasarkan hasil fiqh
lama. Tapi hal ini tidak berjalan mulus karena masih banyak perbedaan pendapat antara ulama
yang memang benar benar ingin menerapkan pola tajdidiyah, ulama yang masih cenderung
terikat pada mazhab dan pemerintah yang ingin memaksakan keinginannya.

BAB III
PRINSIP PRINSIP SYARIAT ISLAM
A.

Prinsip Prindip syariat dalam Tulisan Para Ulama
Maksud prinsip syariat disini adalah konsep, nilai,kaidah dasar dan umum yang diperoleh

dari serangkaian penafsiran dalil dari Al quran maupun Sunnah yang berkaitan dengan fiqh.
Dalam penentuan kebijakan harus ada prinsip tertentu, dalam hal ini prinsip syariat untuk
menjadi dasar penalaran kebijakan hukum yang berlandaskan syariat. Dalam buku fiqh atau
ushul fiqh klasik tidak dipaparkan mengenai prinsip ini, tapi dalam mukaddimahnya langsung
disampaikan materi dari fiqh itu sendiri. Dalam fiqh klasik hanya terdapat konsepsi fiqh atau
penggolongan fiqh, seperti konsepsi yang dibagi oleh Imam Syafi’I ke dalam empat bagian
Salah satu kitab yang bisa dianggap pengecualian adalah kitab yang disusun oleh Al
syathibi, yang melalui penalaran induktif atas ayat ayat Al quran dan Sunnah dalam menyusun
beberapa asas atau prinsip umum. Beliau berpendapat bahwa semua ketentuan Allah itu untuk
memenuhi dan melindungi kebutuhan manusia yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
dharuriyyat yang artinya kebutuhan primer manusia dimana tanpanya akan menghilangkan
eksistensi manusia tersebut, hajiyyat artinya kebutuhan sekunder untuk mempermudah dan
menyempurnakan manusia dalam mencapai kebutuhan dharuriyyat, tahsiniyyat artinya
kebutuhan tersier untuk membuat kehidupan manusia lebih nyaman.
Selain itu banyak ulama lain yang merincikan asas asas ini setelah sebelumnya dibagi ke dalam
beberapa kelompok hukum, misalnya asas hukum pidana, asas hukum keluarga, dan lainnya.
Menurut Muhammad Ali Daud hanya ada tiga asas hukum fiqh yaitu asas keadilan, asas
kepastian hukum, dan asas kemanfaatan.
Meski banyak ulama yang berpendapat tentang isi prinsip hukum, tapi belum ada yang
menjelaskan bagaimana metode yang digunakan untuk menghasilkan prinsip tersebut. Namun
sebagai contoh, Muhammad Ali Wari, yang menulis buku tentang kemungkinan pengalihan
pahala dan dosa dari satu orang ke orang lain, salah satu kaidah yang beliau simpulkan berbunyi
“bahwa seseorang hanya akan mendapat pahala atau dosa semata mata dari perbuatannya sendiri
saja, tidak boleh sama sekali dari amal perbuatan orang lain”. Dalam menetukan prinsip ini
beliau meneliti dan membahas 102 ayat Al Quran, yang menurut beliau semuanya mendukung
ketidaksahan penghadiahan. Setelah itu beliau juga mengkaji hadits, ada 17 hadits yang sejalan

dan 4hadits yang tidak sejalan, maka beliau secara tegas menolak keempat hadits itu karena
bertentangan dengn AL Quran.
Metode yang dilakukan oleh Muhammad Ali Wari ini bisa dijadikan metode untuk
merumuskan prinsip prinsip syariah, yaitu dengan menghimpun dan meneliti ayat Al quran
sebanyak mungkin, setelah itu dikaitkan juga dengan keadaan lingkungan.
B.

Pengembangan dan Penyempurnaan Prinsip Prinsip Syariat
Prinsip

syariat

yang

dihasilkan

ulama

selanjutnya

terus

dikembangkan

dan

disempurnakan, di samping itu prinsip yang dirumuskan sebelumnya merupakan asas yang
bekaitan dengan fiqh sebagai subtansif, di zaman sekarang perlu juga merumuskan prinsip untuk
hukum yang akan dihasilkan para mujtahid ketika mereka melakukan ijtihad atau istinbath.
Menurut Prof. Dr. Al Yasa Abubakar,MA. Ada sebelas prinsip syariat yaitu
1. Ada perbedaan antara nash (syariat) yang bersifat mutlaq dan berlaku sepanjang masa
dengan hasil ijtihad (fiqh) yang bersifat nisbi.
2. Ada nash yang qathi dan yang zhanni
3. Ada keterkaitan erat antara ketentuan agama dan moral dengan hukum.
4. Semua orang sama di hadapan hukum (baik perempuan maupun laki laki)
5. Perubahan hukum diakui, karena ada perubahan waktu, tempat, budaya, serta
kemampuan dan kecenderungan mujtahid.
6. Hukum dasar ibadah dilarang, dasar muamalah mubah, dasar munakahat ihtiyat, dan
dasar jinayat adalah menghindari syubhat,pemenuhan rasa keadilan, dan perlindungan
korban.
7. Ada perbedaan ibadat kepada Sunnah, ibadat kepada bidah rasulullah, dan bidah
Rasulullah dengan bidah ijtihadiah.
8. Harus ada keseimbangan antar fiqh untuk kebutuhan individual dengan fiqh untuk
kepentingan masyarakat umum dan pengadilan.
9. Menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan.
10. Semua hukum Allah dari hasil ijtihad harus mengandung kemaslahatan untuk manusia.
11. Adat yang baik dalam masyarakat yang dapat diterima oleh Al Quran tidak perlu dirubah,
sedangkan yang buruk harus diubah.

Selain pinsip dasar mengenai fiqh yang diambil sebagai dasar kebijakan, maka untuk
rancangan qanun tentang pelaksanaan syariat, maka ada beberapa prinsip yang layak dijadikan
pedoman.
1. Ketentuan yang ditulis harus berasal dari Al Quran dan Sunnah
2. Rancangan qanun yang bedasarkan dalil harus disesuaikan dengan adat lokal Aceh
3. Rancangan qanun sebagai hasil penafsiran harus berorientasi ke masa sekarang bahkan
pada masa depan.
4. Tetap memakai ketentuan lama yang dianggap baik.
Selain empat prinsip utama ada lima prinsip tambahan untuk mendukung prinsip utama,
yaitu:
1. Islam bertujuan untuk menyingkirkan semua hal yang tidak sejalan dengan fitrah manusia
2. Kejelasan antara fiqh dan siyasah syariah
3. Penyempurnaan terhadap metode penalaran Al Quran dan Sunnah
4. Penyelesaian yang rinci tmenggunakan fiqh erhadap permasalahan kontemporer
5. Memberi tempat bagi konstitusi dalam kegiatan istinbath
C.

Hambatan dan Tantangan yang Perlu Diperhatikan
Ada beberapa hambatan dalam upaya menjalankan syariay islam dengan gaya fiqh

modern untuk dijadikan hukum positifyang berlaku secara penuh di tengah masyarakat muslim
dalam kerangka negara berbangsa.
1. Mayoritas kaum muslim masih sangat terikat dengan fiqh klasik, sehingga sungkan untuk
menerima fiqh dengan komposisi dan sistem yang lebih modern
2. Tidak ada contoh nyata tentang bagaimana pelaksanaan syariat islam yang layak untuk
dijadikan model hukum negara modern
3. Ketakutan dan tuduhan bahwa hukum islam kejam dan tidak manusiawi, yang dikemukan
sangat berlebihan oleh oknum di luar bahkan kalangan umat islam sendiri.
4. Rendahnya kemauan tokoh politik untuk merealisasikan jalannya syariat islam
5. Kurangnya tenaga ahli yang mampu membuat kebijakan berkaitan dengan syariat

BAB IV
(KEBIJAKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM UU NO.44/99)
A.

Isi Undang Undang
Undang-Undang No.44 tahun 1999 adalah UU yang menguatkan serta melindungi

penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang sudah diberikan sejak
tahun 1959. Dalam UU No.44/99 cakupan pelaksanaan syariat islam masih sangat abstrak,
karena syariat islam didefinisikan dengan tuntunan ajaran islam dalam semua aspek kehidupan.
Tapi, karena berkaitan dengan keistimewaan yang sebelumnya telah diberikan pemerintah pusat,
maka ada beberapa idang yang menonjol, yaitu bidang hukum, pendidikan dan adat, yang
dikaitkan dengan bentuk pemerintahan pada tingkat desa. Dikarenakan masalah pendidikan dan
bentuk serta kewenangan pemerintahan desa sudah menjadi otonomi setiap daerah di Indonesia
melalui UU No.22/99, maka UU 44/99 hanya menonjol pada penyelenggaran kehidupan
beragama. Ditambah lagi, pasal 11 menyatakan bahwa pelaksanaan keistimewaan ini dilakukan
berdasarkan PERDA, akibatnya pelaksanaan syariat tidak bisa dilakukan sepenuhnya karena
tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Hal ini menimbulkan keraguan pada manfaat yang akan dicapai Aceh, yaitu izin untuk
melaksanakan syariat islam di Aceh masih terlalu Abstrak. Kedua, tidak ada penjelasan yang
memadai mengenai dana dan biaya dalam melaksanakan kegiatan yang diberikan izin oleh UU
untuk dikerjakan di Aceh. Ketiga, pelaksanaan keistimewaan dilakukan dengan peraturan daerah
yang kewenangannya masih sangat terbatas, tidak tegas. Dan juga tertib perundang-undangan di
Indonesia pada waktu itu belum terumuskan secara jelas dan baik, sehingga PERDA bukan
hanya tidak boleh bertentangan dengan UU, PP, dan PERPRES, tapi juga TAP MPR. Keempat,
upaya menjalankan syariat sebagai hukum positif di bisdang pidana menjadi tidak mungkin,
karena sanksi yang diberikan oleh peaturan daerah lebih rendah dibandigkan dengan sanksi
syariat. Kelima , aparat penegak hukum yang akan melaksanakan syariat dalam bentuk peraturan
daerah tersebut adalah aparat pemerintah pusat (kepolisian dan pamong praja), kejaksanaan dan
pengadilan yang kemungkinan besarnya akan menganak tirikan peraturan-peraturan dalam
bidang syariat.

Namun ada beberapa keuntungan yang didapat dari pengesahan UU 44/99. Yaitu:
1. Penegakan

syariat islam di Aceh adalah perjuangan yang sudah berlangsung, jadi

pengesahan UU No.44/99 adalah sesuatu yang harus disyukuri
2. UU No.44/99 adalah bagian dari upaya dan perjuangan panjang bukan akhir dari
segalanya, masih harus diperjuangkan lagi untuk mencapai tingkat yang unggul
3. Pelaksanaan syariat islam di Aceh ataupun di wilayah lain adalah suatu pencapaian yang
baru, dengan segala keterbatasan yang ada, pelaksanaan tetap harus dilakukan guna
mencapai tujuan hidup dalam beragama.
4. Pemerintah Aceh dapat membuat kebijakan berbagai kegiatan secara resmi atas nama
syariat islam secara langsung, bukan atas nama gubernur/bupati/ bahkan walikota atau
kegitan pelaksanaan syariat yang dihubungkan dengan kegiatan lain.
B.

Qanun Yang Dihasilkan
Meskipun keadaan Aceh pada saat itu sangat kacau dan tidak stabil, pemerintah tetap

berupaya menjalankan dan mengisi izin yang diberikan oleh UU No.44/99, maka telah disahkan
lima buah PERDA sebagai berikut :
1. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh no.04/1999 tentang larangan minuman
beralkohol yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh
no.04/2000 tentang perubahan pertama atas peraturan daerah provinsi daerah istimewa
aceh n0. 04/1999; Dalam hal ini, PERDA ini mengatur tentang pencegahan penggunaan
khamar yang tengah meresahkan masyarakat dan penjatuhan hukuman bagi yang
melanggarnya.
2. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.3/2000 tentang pembentukan,
organisasi, dan tata kerja MPU provinsi daerah istimewa Aceh; Dalam PERDA ini diatur
tentang pembentukan lembaga independen yang beranggotakan ulama (MPU) yang
merumuskan peranan tentang kebijakan daerah provinsi aceh.
3. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.5/2000 tentang pelaksanaan syariat
islam;
4. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.6/2000 tentang penyelenggaraan
pendidikan;

5. Peraturan daerah provinsi daerah istimewa Aceh no.7/2000 tentang penyelenggaraan
kehidupan adat.
Secara umum, kehadiran UU No. 44/99 tidak berpengaruh besar pada pelaksanaan syariat
islam di Aceh. Izin pelaksanaan syariat oleh sebagian orang dianggap diberika setengah hati,
dan dengan rumusan yang tidak cukup jeas sehingga tidak dapat dijalankan secara nyata. Hak ini
dimanfaatkan oleh GAM untuk mengejek Pemerintah dan para ulama, mereka menunjukkan
kepada masyarakat bahwa cara mereka lebih efektif daripada cara pemerintah. Keadaan ini
mengharuskan para ulama untuk memberi pengertian bahwa pelaksanaan syariat oleh apparat
yang tidak berwenang tidak sejalan dengan syariat itu sendiri.
Menyampaikan pendapat seperti itu pada masa itu oleh orang yang tidak masyhur sangat
beresiko karena akan dituduh tidak mendukung pelaksannan syariat dan berseberangan dengan
GAM.

BAB V
(KEBIJAKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM UU NO.18/01)
A.

Isi Undang Undang
Setelah kehadiran UU No.44/99, TAP MPR No.IV/MPR/1999 merekomendasikan agar

Aceh diberikan otonomi khusus, TAP MPR no.IV/MPR/2000 merekomendasikan agar UU
otonomi Khusus untuk Aceh tersebut dapat dikeluarkan sebelum mei 2001. Maka untuk
memenuhi hal ini, pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang N0.18 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Undang-undang ini adalah tentang apa otonomi khusus yang diberikan kepada
Aceh, akan tetapi tidak dipaparkan secara jelas mengenai maksud dari otonomi khusus ini.
Berdasarkan UU No.18/2001, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga pemahaman
tentang otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, pertama, Aceh mendapatkan peraturan
yang berbeda dalam bidang yang sebetulnya sudah diotonomikan ke seluruh wilayah Indonesia.
Misalnya, anggota DPRD Aceh lebih banyak dari anggota DPRD di daerah lain. Kedua, Aceh
mendapatkan tambahan kewenangan dari pemerintah pusat, artinya kewenangan pemerintah di
Aceh diatur berbeda dengan kewenangan di daerah lain. Misalnya, Aceh diberikan kewenangan
tambahan dalam bidang hukum, yaitu izin melaksanakan syariat islam sebagai hukum materiil
dan formiil, meski dalam bidang peradilan Aceh tidak diotonomikan tetapi diatur berbeda
dengan daerah lain. Ketiga, keberadaan lembaga Wali Nanggroe, adanya Majelis
Permusyawaratan Ulama(MPU) sebagai mitra DPRD dan Gubernur dalam membuat kebijakan
peraturan daerah (UU No.44/99) serta izin penggunaan alam dan lambang Aceh.
Undang-Undang ini berlaku selama lima tahun, setelah MOU diganti dengan UU No.11
tahun 2006 yang dianggap lebih sempurna, meskipun diganti namun pembicaraan mengenai UU
No.08 tahun 2001 tetap dianggap perlu karena adanya qanun didasarkan pada UU No. 44/99.
Sejak saat itu otonomi khusus ini disebut dengan Qanun Provinsi Namggroe Aceh
Darussalam, UU ini memperkuat kedudukan qanun, jadi meskipun Qanun sejenis dengan
PERDA, tapi secara hirarki kedudukannya tepat berada dibawah UU, jadi tidak diselingi dengan
PP dan PERPRES. Selain itu, juga ada pengakuan terhadap keberadaan Peradilan Syariat Islam

sebagai sistem peradilan nasional. Mahkamah syariah terdiri dari tingkat kab/kota dan provinsi,
sedangkan tingkat kasasi ditangani Mahkamah Agung.
Ketentuan pembentukan peradilan di Aceh ini cenderung masih umum, dan tidak
dijelaskan rumusan mengenai hal tersebut, baik secara teknis maupun teoritis.
B.

Peraturan pelaksanaan dan Upaya Sinkronisasi
Dalam mengadapi ketidakjelasan ini, Pemerintah Provinsi Aceh melakukan pembicaraan

dengan Pemerintah Pusat untuk mencari jalan keluar dalam menjalankan otonomi ini. Dalam hal
ini, pemerintah Aceh memberikan pra rancangan peraturan untuk membantu kebijakan yang
wewenangnya dipegang pemerintah pusat.
Mungkin karena menyadari kerumitan ini dan disertai lobi dari pemerintah Aceh yang
intensif, akhirnya Departemen Dalam Negeri membentuk tim yang menanggani masalah
pembentukan mahkamah syariah di aceh
C. Qanun yang Dihasilkan
Adapun qanun – qanun yang dihasilkan di Aceh bersamaan dengan koordinasi, konsultasi
dan pembicaraan dengan pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung dilakukan pula berbagai
kegiatan untuk mempersiapkan qanun qanun, peraturan gubernur / peraturan lainnya guna
mendorong dan mempercepat pelaksanaan secara nyata izin melaksanakan syariat islam yang
sudah tercantum dalam UU No.08/2001. Demikianlah pada tahun 2002 disahkan dua buah qanun
provinsi, sedang pada tahun 2003 disahkan 3 buah qanun provinsi, selanjutnya pada tahun 2004
disahkan juga 2 buah qanun provinsi.
Pada qanun provinsi No.10/ 2003 memberikan ketidakjelasan yang ditemukan di dalam
UU dan langsung mengambil inisiatif untuk membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh. Tetapi
pembentukan ini tidak dilakukan dari nol atau membentuk lembaga baru, tetapi hanyalah sekedar
mengubah pengadilan agama menjadi mahkamah syar’iyah.

BAB VI
PRIORITAS DAN LANGKAH PENULISAN
QANUN SYARIAT DI ACEH
A.

Prioritas dan Langkah Penulisan Qanun
Penulisan rancangan qanun di Aceh sudah dimulai sejak kelahiran UU No.44/99, dan

baru mendapat momentumnya setelah kehadiran UU No 18/01. Hasil dari diskusi tentang
kebijakan ini dapat disimpulkan menjadi empat bidang.
Hal pertama yang harus dirumuskan adalah penulisan tentang mahkamah syariah sebagai
badan pelaksana peradilan Syaiat Islam di Aceh, badan peradilan ini dianggap perlu karena UU
18/01 tidak menjelaskan bagaimana pembentukan badan, tapi memberikan

kewenangan

pembentukannya pada qanun Aceh tentang pembentukannya. Dalam merealisasikan hal ini telah
disahkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darusslam nomor 10 Tahun 2002 tentang peradilan
syariat islam. Sebenarnya dalam penegakan hukum dibutuhkan komponen lain seperti badan
kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penunut, tapi keberadaan dua lembaga ini
tidak diberi izin oleh UU untuk diatur dengan Qanun.
Kedua, penulisan qanun di bidang ibadah, meski begitu qanun ini akan lebih bersifat
mengatur, artinya qanun ini diberlakukan untuk mengatur ketertiban dan mendorong pengadaan
fasilitas. Akan tetapi selalu saja ada usul agar ada hukuman uqubat bagi yang tidak menunaikan
ibadah tertentu, meski begitu peniadaan paksaan terhadap ibadah tetap dipertahankan. Qanun
tentang ibadah juga disahkan Qanun Provinsi Nanggroe aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2001
tentang pelaksanaan syariat islam bidang Aqidah, Ibadat, dan Syiar Islam. Akan tetapi masalah
zakat tidak dapat diselesaikan di tahun 2002.
Langkah ketiga adalah kebijakan di bidang jinayat (pidana). Prof. Dr. Al Yasa’ Abu
Bakar memilah pidana dalam empat bagian.
1. Berkaitan dengan perlindungan moral seperti larangan meminum khamar, perjudian, zina,
perbuatan mesum, pemerkosaan serta pencemaran nama baik.
2. Berkaitan dengan perlindungan harta sepertipencurian dan penipuan.
3. Berkaitan dengan perlindungan nyawa manusia yaitu tentang larangan membunuh
4. Berkaitan dengan hukum formiil atau hukum acara pidana, hukum acara jinayat akan
tetap mengadaptasi sistem hukum acara pidana nasional, tapi untuk membedakannya

maka dibuatkan Qanun yang berbeda dengan aturan nasional dan menambahkan qanun
Aceh dengan aturan yang tidak ada dalam aturan nasioanal. Untuk rencana jangka
panjang maka akan diatur pula hukum acara pidana dengan mengkaji ulang serta menulis
hukum acara pidana baru dalam sebuah kitab kodifikasi sesuai dengan kebutuhan Aceh.
B.

Penentuan Perbuatan Pidana dan Hukuman
Mayoritas ulama masih tetap mengikuti ketentuan yang ada dalam khazanah pemikiran

fiqh yang selama ini berkembang untuk menentukan bagaimana sebuah perbuatan dapat dikatakan
perbuatan pidana, berikut beberapa metode perolehannya
1. Telah disebutkan langsung dalam nash, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri atau
qisas bagi pembunuh
2. Perbuatan yang dinyatakan sebagai jarimah oleh nash, maksudnya perbuatan tersebut
termasuk hudud tapi belum memenuhi syarat untuk dianggap hudu, seperti kasus
pencurian yang hasil curiannya belum mencapai perbuatan hudud
3. Al Quran dan Hadits menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan maksiat
tanpa menyatakan hukumannya, kemudian ulama menetapkan hukuman setelah
sebelumnya memilah akan memberikan hukuman jarimah bagi maksiat yang merugikan
orang lain dan tidak ada jarimahmaksiat yang tidak merugikan orang lain.
4. Al Quran dan Hadits tidak menyebutkan masalah itu secara langsung, tapi ada nash
umum yang dapat diambil sebagai rujukan. Contohnya aturan lalu lintas.
Para ulama sepakat bahwa hukuman yang sudah ada daam Al Quran tidak boleh diubah,
akan tetapi dalam prinsip pemberian hukum ada tiga aspek yang harus diperhatikan yaitu aspek
keadilan, aspek melindungi masyarakat, dan aspek pertaubatan. Oleh karena itu jenis dan bentuk
hukuman dapat terus dikembangkan, diubah, maupun ditambah dan dikurang seseuai dengan
kebutuhan masyarakat.
C.

Hakikat Penghukuman
Pada umumnya hakikat pemidanaan merupakan “suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat akibat lain yang tidak menyenangkan, yang diberikan oleh oran atau badan
yang memiliki kewenangan, dan dikenakan pada seseorang yang telah melkukan tindak pidana
menurut UU atau peraturan yang berlaku.”

Hukuman yang ada sekarang bermacam ragam, hukuman yang diterapkan dalam suatu
negara dipilih berdasarkan pandangan dan peradaban masyarakat, banyak ocehan yang
menyatakan bahwa hukuman yang diatur dalam islam sangat kejam, padahal kejam atau tidaknya
suatu hukum bersifat subjektif, tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat.
Di masa sekarang paham yang banyak dianut adalah liberarisme, maksudnya paham yang
sangat mendukung kebebasan individu sehingga menghasilkan HAM. Menurut Liberalisme
kebebasan adalah hak yang paling tinggi dan paling berharga yang ada pada seseorang, maka
hukuman yang terberat adalah dengan cara merampas kemerdekaan tersebut, sehingga saat ini
pada umumnya banyak negara yang memakai hukuman kurungan atau penjara.
Menurut Prof.Dr. Al Yasa’ Abu Bakar hukuman penjara ini juga termasuk hukuman yang
tidak manusiawi karena menghilangkan hak dan kesempatan seseorang hanya karena dia pernah
dihukum, menurut penalaran ini maka sangat salah jika menyatakan hukum yang ada dalam
agama islam tidak manusiawi atau kejam, karena kejam tidaknya suatu hukuman bergantung
pada budaya yang ada.
D.

Prinsip dan Materi di Bidang Hukum Acara Pidana
Dalam khazanah pemikiran fiqh, terutama fiqh ensilopedis, masalah hukum acara

cenderung tidak dibicarakan. Uraian tentang ini biasanya terdapat dalam buku keilmuan lain
yang bukan buku fiqh.
Oleh sebab itu kajian ijtihad dalam menetapkan kebijakan hukum formiil lebih luas
daripada hukum materiil, Prof. Dr. Al Yasa’ Abu Bakar menawarkan beberapa prinsip mengenai
hukum acara pidana
1. Mengakui adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, serta pemisahan keduanya sesuai
dengan KUHP, karena kewenangan polisi dan kejaksaan diatur hukum nasional,dalam
fiqh jinayah dikenal hak pemaafan maka kewenangan dan tugas penuntutan ikut
disesuaikan dengan hak pemaafan yang ada pada korban atau keluarga korban.
Selanjutnya tanggung jawan eksekusi ditentukan kejaksaan dengan mengikutu aturan
nasional.
2. Menetapkan adanya izin penahan terhadap terdakwa selama proses pemeriksaan dan
penyidangan, sama seperti KUHP, akan tetapi penahanan ini merupakan bagian dari
proses pemeriksaan dan bukan hukuman, Karena itu, penahanan hanya dilakukan jika

sangat terpaksa. Selain itu, hukum acara pidana umum juga menerapkan hal yang sama,
dan bagi orang yang diputuskan tidak bersalah maka akan ada pembayaran ganti rugi
atas masa penahanan tersebut.
3. Adanya izin penyitaan atas barang yang dianggap berkaitan dengan perbuatan pidana
dan akan dikembalikan setelah persidangan, akan tetapi jika barang tersebut barang yang
tidak sah untuk dimiliki maka akan disita oleh negara untuk dimanfaatkan atau
dimusnahkan.
4. Pembuktian atas adanya perbuatan pidana harus betul betul menunjukkan perbuatan
tersebut benar terjadi.
5. Pengakuan mempunya kekuatan hukum dan dapat diterima sekiranya atas kehendak
sendiri dan tidak berada dibawah tekanan atau paksaan.

BAB VII
KEBIJAKAN PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
DALAM UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2006
DAN UNDANG-UNDANG NO.48 TAHUN 2007
A.

Isi Undang Undang No. 11 Tahun 2006
Salah satu kesepakatan yang dicapai dalam MOU Helsinki 15 Agustus tahun 2005 adalah

keharusan menulis UU tentang Aceh, maka disahkanlah UU No.11 tahun 2006 sebagai UndangUndang Pemerintah Aceh (UUPA). Undang-undang ini terdiri 40 bab, 273 pasal dan diantaranya
terdapat tiga bab tentang pelaksanaan pelaksanaan syariat islam. Aturan aturan yang telah
disepakati lebih dulu seperti keistimewaan Aceh tidak diatur dalam UU Baru ini karena sudah
ada dalam UU No.
Pelaksanaan syariat islam dijelaskan secara rinci dalam bab XVII syariat islam dan
pelaksanaannya, bab XVIII tentang Mahkamah Syar’iyyah dan bab XIX membahas tentang
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sedangkan dalam bab lainnya ditemukan tentang
Zakat. Ada juga tentang tugas dan hubungan kepolisian dan kejaksaan dengan penegakan syariat
islam serta pasal tentang sanksi syariat yang boleh digunakan dalam qanun Aceh oleh Pihak
Wilayatul Hisbah (WH).
BAB XVII terdiri dari 3 pasal tentang syariat islam dan pelaksanaannya yang diatur
dalam pasal 125, 126 dan 127 yang mengatur tentang syariat islam yang dilaksanakan di Aceh
meliputi syariat, Aqidah dan Akhlak. BAB XVIII terdiri atas 10 pasal tentang Mahkamah
Syar’iyah yang diatur dalam pasal 128 sampai pasal 137. BAB XIX membahas tentang Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) terdiri atas 3 pasal yang diatur dalam pasal 138 sampai dengan
pasal 140.
B.

Perluasan kewenangan
Dalam UU No.11 tahun 2006 ada 4 penambahan yang signifikan yang berakitan dengan

pelaksanaan syariat islam, yaitu :

1. Aturan tentang “peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah” yang diatur dalam UU
No.44/1999 yang telah dijabarkan menjadi MPU dalam peraturan Daerah provinsi Aceh
No.3 tahun 2000, dimasukkan menjadi satu bab tersendiri dalam UU No.11/06.
2. Ada bab baru tentang syariat islam dan pelaksanaannya yang diletakkan sebelum bab
Mahkamat Syar’iyyat.
3. Ada tambahan dan penyempurnaan yang berkaitan dengan penetapan zakat sebagai
pendapatan Asli daerah (PAD).
4. Pengakuan dan peneguhan keberadaan Wilayatul Hisbah sebagai polisi pamong praja dan
sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).