Ketika Metta Memilih ebook
book
Penulis
Hendry Filcozwei Jan
Penyunting
Tasfan Santacitta
Handaka Vijjānanda
Penata
Andreas Dīpaloka
Penerbit
Ehipassiko Foundation
085888503388 | BB 237DE149
www.ehipassiko.or.id
Hak Cipta ©2014 Hendry Filcozwei Jan
Cetakan 1, Okt 2014
KEKUATAN BUKU DHARMA
Saat ini kita bisa mempelajari ajaran Buddha berkat naskah/kitab/buku yang dituliskan dan diwariskan oleh para guru Dharma kepada generasi penerus dari berbagai zaman.
Buku Dharma adalah media yang bisa: dipelajari kapan pun, dipelajari di mana pun, dipelajari siapa pun, disimpan, dirujuk ulang, dipinjamkan, dihadiahkan, disebar massal, diwariskan.
Buku Dharma: sarana dana Dharma dan pelimpahan jasa, sarana tebar Dharma yang paling ekonomis, tak tergantikan oleh metode lisan, melestarikan Dharma lebih lama, daripada bangunan fisik.
Ehipassiko Foundation bermisi menerbitkan dan membagikan gratis buku-buku Dharma kepada yang membutuhkan.
Sabba Dānaṁ Dhammadānaṁ Jināti
Tanpa bantuan Anda, kami tak akan bisa menebar
Dari segala pemberian, pemberian Dharma adalah yang tertinggi.
Dhammapada 354
Pengantar
Bagaimana saya dapat berkontribusi dalam pembabaran
Dhamma? Itu pertanyaan yang terlintas dalam benak penulis. Ada
banyak cara berkontribusi. Ada yang berkontribusi membabarkan
Dhamma dengan cara memberikan ceramah Dhamma, ada yang
menulis artikel Dhamma dan menerbitkan buku Dhamma, ada
yang menciptakan lagu Buddhis, ada yang bederma, dan lain-
lain. Terbitnya buku ini adalah cara penulis ikut berkontribusi.
Tampaknya membabarkan Dhamma lewat cerpen (cerita pendek)
belum banyak dilirik, maka penulis coba mengisi kekosongan buku
cerpen Buddhis di tanah air.Sebagian besar isi cerpen Buddhis di dalam buku ini adalah
“imajinasi liar” penulis, kecuali ada keterangan di akhir cerpen
bahwa ini terinspirasi dari kisah nyata. Seperti halnya tulisan di
akhir tayangan sinetron, penulis juga menyatakan “Cerita ini hanya
fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian
ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur
kesengajaan.”Di dunia tulis menulis (khususnya menulis fiksi), penulis bebas
berkreasi. Mungkin inilah salah satu sisi menarik jadi seorang
penulis. Penulis bebas memulai alur cerita dari mana saja
(dari depan ke belakang atau flashback), bebas menggunakan
sudut pandang aku sebagai siapa saja (laki-laki atau bahkan jadi
perempuan), penulis bebas mengakhirinya dengan happy ending
yang umumnya disukai pembaca ataupun sad ending. Inilah yang
jadi pilihan penulis dalam membabarkan Dhamma karena lebih
fleksibel. Penulis dapat membabarkan Dhamma dengan cara yang
lebih santai dan semoga cara ini menjadi lebih menarik dari sisi
pembaca.
Akhir kata, terima kasih buat Linda (istri yang selalu mendukung
aktivitas penulis), yang jadi pembaca pertama sekaligus editor.
Terima kasih buat Dhika dan Revata, dua putra kami yang telah
mewarnai hari-hari kami. Terima kasih kepada MoM Handaka
Vijjānanda beserta tim Ehipassiko Foundation yang menerbitkan
buku cerpen Buddhis ini dan pihak-pihak lain yang tak dapat
disebutkan satu per satu, yang ikut berkontribusi hingga buku ini
sampai ke tangan pembaca. Terima kasih kepada Anda yang telah
menyisihkan uang untuk mendanai penerbitan buku ini (Anda
juga sudah berkontribusi bagi Buddha Dhamma). Semoga buku
kumpulan cerpen Buddhis “Ketika Metta Memilih” ini mendapat
sambutan yang baik sehingga kita bisa berharap ada buku kumpulan
cerpen Buddhis lain yang kembali akan diterbitkan Ehipassiko
Foundation. Kritik dan saran bisa dialamatkan ke: hfj1105@yahoo.
com Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitatta.Semoga semua makhluk bahagia. Mettācittena, Hendry Filcozwei Jan www.facebook.com/papadhika.revata
Senarai isi
Pengantar 4 Ketika Metta Memilih
7 Siapa Bilang Tak Boleh Bohong?
16 Seandainya Aku Bisa Kembali ke Masa Lalu
28 Kapan Menyusul?
39 Ego
46 Aktris Tanpa Piala Citra
58 Jimat Kakek Lockyanto
74 Dunia Ini Slalu Berputar
81 20:03
89 Pemain Akrobat Jalanan 102
Penulis 110
Buku ini dipersembahkan untuk
Linda Muditavati, istriku
Anathapindika Dravichi Jan (Dhika), anakku
Revata Dracozwei Jan (Ray), anakku
Ketika Metta Memilih
Dear Diary,
Metta lagi sedih nih.... Metta sayang banget sama Andreas,
kami sudah setahun pacaran. Dia baik, sayang sama Metta,
perhatian, jarang marah.... Pokoknya dia baik deh.
Ini pacar Metta yang pertama, maunya juga yang terakhir.
Tapi itu tidak mudah. Andreas dan Metta berbeda keyakinan.
Andreas ketua muda-mudi di gereja. Metta aktif di seksi
perpustakaan Pemuda Vihara Vimala Dharma (PVVD).
Cerita perkenalan kami mirip kisah sinetron! Dia yang
menyenggol Metta saat Metta sedang belanja di swalayan.
Botol shampo dan BlackBerry yang Metta pegang terjatuh.
Metta marah besar. Dia berkali-kali minta maaf dan berjanji
akan mengganti semua kerusakan BlackBerry Metta. “Saya
lagi buru-buru, saya tak bawa uang banyak, ini Rp100.000
panjar ganti ruginya. Bawa saja ke tempat servis, nanti
biayanya saya ganti,” katanya sungguh-sungguh. Dia
memberikan nomor ponsel dan alamatnya. Dari SMS-an, lalu
BBM-an, akhirnya baru tahu kalau kami satu kampus, cuma
beda fakultas. Kami jadi makin akrab dan akhirnya Andreas
nembak Metta dan Metta terima.
Beberapa kali Andreas bertanya, “Apa Metta bersedia pindah
agama agar kita nanti bisa bersatu?”Batin Metta bergejolak, pindah rasanya tidak mungkin.
Keluarga besar Metta sebagian besar umat Buddha;
Metta aktif di kegiatan PVVD. Andreas pun mengatakan
hubungan kami.
Kami sama-sama “keras kepala”. Tak ada yang mau
“mengalah” untuk urusan agama, tapi juga tak ada yang
berani mengambil keputusan untuk berpisah karena sudah
terlanjur sayang.
Apakah sebaiknya kami menikah, tapi tetap menjalani
keyakinan masing-masing? Apa ini solusi yang terbaik? Entahlah...Diary, sudah dulu ya. Besok setelah puja bakti, Metta akan
ke rumah Anita, sahabat baik Metta di Taman Kopo Indah 3.
Anita besok tidak ikut puja bakti karena harus bantu-bantu
perayaan ultah keponakannya. Sorenya, kami mau pesta
rujak. Metta dapat tugas belanja buah-buahan di Superindo,
swalayan di dekat gerbang Taman Kopo Indah 1.- Saat membayar barang hasil belanja di kasir, Metta bertemu Ko Jason, umat Vihara Vimala Dharma juga. Ia mantan ketua
“Lho... kok belanja jauh-jauh ke sini. Bukannya Metta kost di sekitar kampus?” tanya Ko Jason.
“Mau main ke rumah Anita di TKI 3 Ko,” jawabku. “Tadi naik apa ke sini, trus mau naik apa ke sana?” “Tadi dari wihara naik angkot, nanti ke rumah Anita mau naik becak, Ko.” “Naik becak? Cewek cakep naik becak sendirian, entar diculik lho.... Ko Jason antar pakai motor saja, ya? Tapi sebelumnya kita mampir dulu ke rumah Ci Ling-Ling di TKI 2. Ini Ko Jason mau kasih biskuit dan minuman untuk dua keponakan Ko Jason. Setelah itu baru Ko Jason antar Metta ke rumah Anita. Gimana?” Aku diam sejenak. “Boleh deh.... Waktunya masih agak lama, jadi nggak buru-buru,” aku menerima tawaran Ko Jason.
“Oh ya, Ci Ling-Ling punya cukup banyak buku yang sudah tak terpakai. Katanya minta diberesin dan disumbangkan ke perpustakaan wihara. Kalau tidak merepotkan, Metta bantu yang tidak layak. Nanti yang sudah terpilih Ko Jason antar ke wihara minggu depan. Mau ya bantu seleksi?” “Wah...
anumodana atas sumbangannya. Oke, nanti Metta bantu seleksi bukunya,” jawab Metta riang.
- “Permisi!” Ko Jason berteriak di depan rumah cicinya. Seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah lalu bergegas membuka pintu pagar. “Oh... Nak Jason. Ibu dan Bapak tidak ada di rumah. Tadi ke sini cuma antar pulang Visakha dan Jonathan, lalu Ibu dan Bapak pergi lagi,” kata pembantu tersebut. “Ya Bi. Memang saya cuma janjian sama Visakha dan Jonathan,” jawab Ko Jason. “Metta, mari masuk!”
Dua anak muncul di pintu rumah, keduanya menyapa. “Ciu- ciu** Jason, Namo Buddhaya,” sapa anak perempuan kecil itu sambil beranjali. “Ciu-ciu, Mama dan Papa barusan pergi,” kata anak laki-laki yang lebih besar.
“Oh ya. Nggak apa-apa kok. Ciu-ciu cuma pengen ketemu Visakha dan Jason kok,” jawab Ko Jason.
“Cici, ayo masuk!” sapa mereka bersamaan. Ko Jason menyerahkan kantong kresek berisi biskuit dan minuman kepada kedua keponakannya tersebut, lalu mengajak Metta ke belakang. “Kita ke gudang, yuk!” kata Ko Jason. ”Bukunya sudah disiapkan.” Metta mengikuti langkah Ko Jason ke belakang.
Metta dan Ko Jason melewati ruang tengah, Metta melihat ada dua altar di sana. Sebuah altar dengan Buddharupang dan satu lagi, altar dengan patung Bunda Maria. “Kok begini ya?” batin Metta.
- Ada dua tumpuk buku di depan pintu gudang. Ko Jason memandang Metta dengan tatapan agak aneh. “Kamu kenapa Metta? Kok mukanya seperti orang bingung?” tanya Ko Jason.
“Ah... nggak,” jawab Metta. “Kok kelihatannya nggak seceria tadi?” tanya Ko Jason lagi.
“Ehm... boleh Metta tanya? Tapi maaf ya kalau dianggap lancang,” Metta memberanikan diri. “Oh... nggak apa, silakan saja,” jawab Ko Jason.
“Jonathan itu saudara sepupu Visakha?” “Bukan. Jonathan itu kakak kandung Visakha.
Emang kenapa?” “Nggak apa sih. Metta pernah lihat Visakha di Taman Putra Vidyasagara. Tapi kok nggak pernah lihat Jonathan?” “Oh… itu. Jonathan sekolah minggunya di gereja. Mereka beda agama. Ci Ling-Ling itu umat Buddha. Suaminya, Ko Christian, Katolik. Meski beda keyakinan, mereka rukun- rukun saja. Kalau Minggu, Ko Christian mengantar Ci Ling- Ling dan Visakha ke wihara, lalu Ko Christian dan Jonathan ke gereja. Selesai kebaktian, Ko Christian dan Jonathan menjemput Ci Ling-Ling dan Visakha di wihara lalu mereka jalan-jalan menikmati hari Minggu,” kata Ko Jason dengan ada dua altar,” sambung Ko Jason. Metta mengangguk perlahan.
- Dear Diary,
Hari ini Metta lega. Pertemuan Metta dengan Ko Jason tadi
siang memberi pencerahan. Apalagi dapat pinjaman buku
“10 Tahun Melangkah Bersama” dari Ko Jason. Penjelasan
Bhante Uttamo tentang pernikahan dari sisi Buddhis
membuat Metta yakin, berpisah alias putus (meski pasti
akan sangat menyakitkan) merupakan jalan terbaik bagi
kami berdua. Metta tidak ingin keluarga Metta kelak seperti
keluarga Ci Ling-Ling.Secara teori, satu keyakinan tentu lebih mudah mencapai
kebahagiaan. Metta susah membayangkan satu keluarga,
tinggal seatap tapi berbeda prinsip. Ada anak yang agamanya
ikut papa, ada anak yang agamanya ikut mama. Kalau hanya
punya satu anak bagaimana?
menjalaninya. Diary, hari-hari ke depan pasti lebih berat
karena Metta putuskan akan berpisah secara baik-baik
dengan Andreas. Tapi Diary mau kan tetap mendengar
curhat Metta? Met malam Diary....
Siapa Bilang
Tak Boleh Bohong?
“Ma, hari ini Mita kelihatannya agak murung,” kata suamiku saat kami sudah berbaring di kasur dan siap-siap tidur.
“Ya, Pa. Mama juga merasakan itu. Mama sudah tanya tahu, tapi Mita bilang tidak ada apa-apa. Mama tidak mau mendesaknya. Kayaknya Mita ingin coba menyelesaikan sendiri masalahnya,” jawabku.
“Ma, besok kan hari Sabtu, anak-anak libur. Coba deh Mama ajak Mita ngobrol dari hati ke hati, siapa tahu Mita mau cerita. Papa takut jangan-jangan ada masalah serius yang tidak bisa Mita selesaikan sendiri,” lanjut suamiku.
“Ya, Pa...,” jawabku.
- Sekitar pukul empat sore, aku baru sampai di rumah. Hari ini aku harus lembur menyelesaikan laporan keuangan karena deadline-nya hari ini. Harusnya sejak kemarin sudah selesai, tapi karena kemarin hari libur nasional, baru hari ini bisa kuselesaikan. Aku mendapati Kalyani, putri bungsuku yang kini duduk di kelas 6 SD, sedang menonton TV di ruang tamu. “Ma, besok kita liburan ke Ciater ya?” Yani merengek sambil
“Oke deh Ma...,” kata Yani. “Yani, Cici Mita di mana?” tanyaku. “Ada di kamar Ma,” jawab Yani.
- Hmmm... segarnya badan sehabis mandi dan keramas. Aku memandangi foto keluarga di kamar tidurku. Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kedua putriku sudah beranjak remaja, Yani kelas 6 SD, sementara Paramita si sulung sudah kelas 1 SMP. Aku teringat pesan suamiku untuk mencari tahu masalah apa yang sedang dihadapi Mita. Sebelum makan malam, harus sudah selesai, batinku. Sebentar lagi Prajna, suamiku akan pulang.
“Ma, hari ini Papa pulang agak telat. Masih ada tugas yang harus diselesaikan. Tapi Papa usahakan sebelum pukul tujuh malam, Papa sudah sampai rumah. Hari ini Mama tidak usah beli lauk, Papa yang akan beli makan malam spesial,” begitu bunyi BBM suamiku.
- Aku melangkahkan kaki dengan perlahan menaiki tangga menuju kamar kedua putriku di lantai dua. Pintu kamar Mita tidak tertutup rapat. Aku mendorong pintu kamar Mita, putri sulungku. Mita tampak sedang duduk di depan meja belajarnya, diam dan termenung. Kuketuk perlahan pintu kamarnya, menanti reaksi Mita atas kehadiranku. Mita membalikkan badan dan mencoba tersenyum ke arahku, “Ada apa Ma?” tanya Mita. “Hmmm... anak Mama lagi ada masalah apa nih? Kok dari kemarin sore kelihatan tidak ceria seperti biasa?” tanyaku. Aku selalu memosisikan diriku sebagai ibu sekaligus teman dan sahabat bagi kedua putriku Paramita dan Kalyani. Aku
“Mita bingung Ma....” “Bingung kenapa?” “Kemarin Mita ke rumah Sherly, tapi Sherly belum pulang dari les, jadi Mita ngobrol sama Mama Sherly. Semula cuma ngobrol hal-hal biasa, tentang pelajaran di sekolah, tentang liburan nanti akan ke mana, sama hal-hal lain. Tapi akhirnya Mama Sherly tanya apa Sherly sudah punya teman cowok yang sedang dekat?” Mita berhenti sejenak.
Aku diam dan tak memberi reaksi berlebihan agar Mita tidak takut untuk meneruskan ceritanya. “... Terus?” pancingku agar Mita untuk melanjutkan ceritanya. “Mita terpaksa berbohong Ma. Mita bilang tidak ada. Masa Mita harus bocorkan semua rahasia teman Mita? Pasti nanti Sherly tidak mau temenan lagi sama Mita dan bilang Mita tak bisa dipercaya. Sherly pernah cerita kalau Victor nembak dia, mereka kini pacaran,” cerita Mita. “Waktu Sherly cerita ke Mita, Sherly suruh Mita janji agar rahasia ini tidak diceritakan ke siapa pun. Makanya Mita bohong sama Mama Sherly,” Mita menjelaskan duduk persoalannya.
“Soalnya Mama Sherly pernah menemukan surat cinta dari Victor yang bilang Victor cinta banget sama Sherly. Waktu Sherly ditanya mamanya, Sherly membantah. Katanya, Victor yang kasih surat itu, tapi Sherly menolak cinta Victor,” lanjut Mita. “Mama Sherly mengancam akan menghentikan Sherly kalau masih SMP sudah pacaran.” kata Mita sambil menatapku.
“Oh... gitu?” kataku datar. “Kok Mama tidak marah ketika tahu Mita bohong?” tanya Mita.
“Mita, di dunia ini, tidak hanya ada hitam dan putih saja. Terkadang ada yang samar-samar, warnanya abu-abu, tidak putih, tapi juga tidak bisa disebut hitam,” aku berhenti dicerna oleh anak SMP seusia Mita. “Secara umum, agama apa pun mengatakan bahwa bohong itu tidak baik. Yang terbaik adalah jujur. Pancasila Buddhis juga mengatakan hal yang sama: musavada veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya ‘aku bertekad melatih diri menghindari berdusta’,” aku berhenti lagi, memberi kesempatan agar Mita memahami apa yang kuucapkan.
“Tapi terkadang kita dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Jujur atau terpaksa bohong? Coba Mita pikirkan contoh yang Mama berikan ini: “Mita sedang berdiri di depan rumah, lalu ada seorang pria berkaos merah lari sangat kencang dengan wajah ketakutan.
Tak lama kemudian ada seorang pria juga berlari ke arah Mita sambil membawa golok. Orang ini bertanya kepada Mita, ke arah mana larinya pria berkaos merah yang tadi lewat sini? Apakah yang akan Mita lakukan? Bohong atau jujur?” “Kalau Mita jujur, pria berkaos merah tadi mungkin akan tertangkap dan mungkin dibunuh. Kalau bohong, mungkin pria tadi akan selamat,” aku kembali berhenti dan memberi kesempatan Mita mengeluarkan pendapatnya.
“Mita akan bohong....” “Nah... itu salah satu contoh dilema, pilihan yang sulit. Dalam kehidupan ini, kita akan menemukan banyak pilihan dan kadang pilihan itu tidaklah mudah,” aku melanjutkan.
“Kalau begitu, kita boleh dong berbohong?” tanya Mita. “Bukan itu intinya. Apa yang kita tanam, itulah yang kelak akan kita petik. Bohong, apa pun alasannya, tetaplah akan menghasilkan kamma-vipaka, akibat dari perbuatan yang kita lakukan. Dalam menghadapi dilema, yang harus kita pilih adalah perbuatan yang menghasilkan vipaka buruk yang lebih kecil dan vipaka baik yang lebih besar,” aku menjelaskan.
“Contoh lagi nih. Terkadang kita berbohong demi sopan santun. Waktu bertamu, kita disuguhi makanan dan minuman. Saat kita makan atau minum dan ternyata makanan atau minuman itu rasanya tidak enak, umumnya kita terpaksa menelannya. Saat kita ditanya, apakah makanan atau minuman yang tuan rumah hidangkan enak? Kita akan basa- basi mengatakan, ’Enak Tante.’ Tapi makanan dan minuman itu tidak kita makan lagi dengan alasan sudah kenyang atau sudah tidak haus,” aku memandang kedua mata Mita sebagai
“Ya juga sih... Masa kita langsung bilang makanannya sangat tidak enak Tante. Itu kan tidak sopan?” kata Mita sambil tertawa.
“Nah... Mita sudah mulai mengerti. Mama tidak mengatakan bahwa kita boleh berbohong. Tapi kita harus bijak dalam berpikir dan bertindak. Dan yang harus diingat, apa pun yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik.” “Ibarat air dalam gelas, perbuatan baik Mama ibaratkan air yang bening dan tanpa rasa, garam adalah simbol perbuatan buruk. Ketika kita melakukan hal buruk, ibarat kita menaburkan sedikit garam ke dalam gelas. Air akan berubah rasa menjadi agak asin. Makin banyak perbuatan buruk yang kita lakukan, air akan menjadi semakin asin. Jika kita berbuat baik, ibarat kita menambahkan air ke dalam gelas. Garam di dalam gelas tidak akan berkurang tapi rasa asin akan semakin berkurang jika kita terus menambahkan air ke dalam gelas,” aku menjelaskan panjang lebar.
“Mita sudah mengerti Ma. Mama Shanti memang Mama yang paling hebat di dunia...,” puji Mita. Aku sudah paham, kalau Mita memanggilku dengan tambahan namaku, itu penekanan bahwa ia serius dengan perkataannya.
“Kalau Mita sendiri sudah punya pacar belum?” tanyaku sambil tersenyum. “Ih... Mama. Pasti belum-lah. Kan kata Mama, SMU baru boleh pacaran? Swear deh!” kata Mita sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. “Baguslah kalau begitu, kamu memang anak baik,” lanjutku penuh kelegaan.
“Kalau yang naksir sih ada beberapa orang. Tapi Mita tolak semua,” Mita tersenyum. “Kalau nanti sudah waktunya, pasti Mita akan cerita ke Mama deh. Mita akan minta pendapat, dari sekian cowok yang naksir Mita, mana yang lebih oke,” terang Mita.
Aku langsung memeluknya penuh rasa sayang, “Mita memang anak hebat!” kataku.
“Mitaaa...” terdengar teriakan Prajna, suamiku. “Mamaaa... Ayo makan!” teriak suamiku lagi.
“Ya... Papa,” Mita yang menjawab panggilan Papanya. “Ma, kita sudah ditungguin Papa tuh!” Aku menggandeng tangan Mita, “Ayo kita turun.” “Mama... tunggu sebentar. Mita mau tanya pada Mama, tapi jawab yang jujur ya?” Mita memperlihatkan wajah yang serius. Aku menghentikan langkahku melihat wajahnya yang serius. Tampaknya ada masalah yang lebih serius dan belum selesai diceritakannya. “Tolong Mama jawab dengan jujur, Papa cakep atau tidak?” bisik Mita di telingaku. Aku sedikit jengkel dengan ucapan Mita yang ternyata sedang bercanda dan ingin menggodaku.
Aku pun segera mendekatkan mulutku ke telinga Mita dan sambil berbisik aku berkata, “Ssst... tapi Mita janji ya? Jangan
bilang sama Papa,” lalu aku memandang wajahnya dengan wajah seserius mungkin, padahal aku ingin tertawa.
Aku mendekatkan kembali mulutku ke telinga Mita
Mita mengangguk. “Janji ya, jangan bilang ke Papa,” kembali
Mita mengangguk. “Tidak,” jawabku. “Papa tidak jelek alias cakep banget.”
Aku tersenyum penuh kemenangan. Mita terbengong sejenak. Lalu tertawa keki, “Ih... Mama bisa aja langsung bales ngerjain Mita.” “Paaa!” Mita berteriak kencang sekali. “Kata Mama, Papa cakep banget!!!”
Seandainya Aku Bisa Kembali ke Masa Lalu
“Dina, Jacko kecelakaan waktu mengendarai motor ke pesta ulang tahun Nia. Sekarang Jacko di rumah sakit,” itu bunyi BBM dari Fanny, sepupu Jacko.
“Dina... Dina...,” samar-samar aku mendengar suara orang memanggil namaku.
Aku coba membuka mata dan mencari asal suara tersebut. Walau masih terlihat buram, aku bisa mengenali wajah perempuan yang duduk di sampingku. Mama rupanya yang tadi memanggil-manggil namaku.
“Syukurlah kamu sudah siuman,” kata Mama. “Tadi kamu diantar pulang oleh Robert dan Rosmery. Kamu pingsan di pesta ulang tahun Nia,” lanjut Mama.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Mencoba menyusun puzzle ingatanku. Aku ke pesta ulang tahun Nia bersama Rosmery, diantar Robert dengan sedannya. Jacko tidak bisa mengantarku karena ada keperluan penting yang tak bisa ditinggal, tapi Jacko janji akan datang ke pesta Nia. Saat pesta sudah dimulai, Jacko belum datang, ada BBM masuk, aku membaca BBM dari Fanny bahwa Jacko mengalami kecelakaan dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
“Ma, bagaimana kabar Jacko?” tanyaku. ke kamar begitu mengetahui aku sudah siuman. “Dina, kamu istirahat saja... Jacko sudah ditangani dokter,” Rosmery berusaha menenangkanku.
“Tapi gimana kabar Jacko? Dia baik-baik saja kan?” aku mendesak Rosmery untuk mendapat kepastian tentang Jacko.
“Kata Fanny, Jacko sudah sadar, kaki kiri Jacko yang terluka sudah ditangani dokter. Fanny berpesan agar kamu istirahat saja. Kamu nanti bisa BBM Fanny untuk info lengkapnya. Fanny juga sudah tahu kamu pingsan. Sudah ada yang menjaga Jacko di rumah sakit, semua akan baik-baik saja,” terang Rosmery.
“Dina... kami pulang dulu ya?” Rosmery pamit. “Istirahat saja dulu Dina, semua akan baik-baik saja,” kata Robert. “Kalau perlu bantuan, kami selalu ada untukmu,” tambah Rosmery. “Tante, kami pamit,” kata Rosmery dan Robert.
“Terima kasih...,” jawab Mamaku. “Terima kasih banyak,” kataku sambil berusaha tersenyum.
Ingatanku kembali ke masa lalu, saat aku berkenalan dengan Jacko. Waktu itu, aku sedang main ke rumah Rosmery. Saat sedang asyik ngobrol, Robert dan Jacko datang ke rumah Rosmery juga. Mereka, tepatnya Robert hanya mengantarkan novel yang ingin dipinjam Rosmery. Mereka hanya mampir sebentar, setelah berbasa-basi, mereka berdua pergi mengendarai motor masing-masing.
Aku sempat berkenalan dengan Jack Oscar, biasa disapa Jack. Akulah yang kemudian memberi panggilan khusus, Jacko. Dari Rosmery aku diceritakan kisah tragis Jacko.
Jacko lahir sebagai anak bungsu dari dua bersaudara. Semula perjalanan hidupnya mulus, usaha orangtuanya sukses, Cicinya yang bernama Sandra cantik dan pintar, Jacko keren dan juga pintar, kehidupan keluarga mereka juga harmonis.
Namun, dua tahun lalu, menjelang kelulusan SMA terjadilah tragedi itu. Mama Jacko dan Ci Sandra meninggal dalam kecelakaan pesawat saat pulang dari Australia.
Jacko benar-benar terpukul. Untungnya Robert yang jadi sahabat Jacko banyak membantunya menghadapi tragedi ini. Dari segi finansial, sebenarnya Jacko dan ayahnya tidak terlalu mengalami kesulitan. Hanya kehilangan Mama dan sampai mabuk-mabukan, mulai menggunakan narkoba dan untungnya Robert berhasil mencegah Jacko terjerumus lebih dalam.
Mama Robert yang seorang psikolog banyak membantu, juga Papa Robert yang seorang pandita. Jacko sering menginap di rumah Robert, rumah Robert menjadi rumah kedua Jacko.
Orangtua Robert juga sudah seperti orangtua Jacko. Singkat cerita, jalinan pertemananku dan Jacko semakin akrab karena aku sahabat Rosmery, Jacko sahabat Robert, dan Robert adalah pacar Rosmery. Akhirnya Jacko jadi pacarku. Seperti kata pepatah Jawa, “witing tresno jalaran soko kulino”, cinta terjadi karena seringnya bertemu. Tragedi yang menimpa Jacko tidak berhenti sampai di situ. Sejak tahun awal perkuliahan, Jacko merintis usaha berjualan pulsa elektronik atas saran Robert. “Kamu harus belajar mandiri,” kata Robert. Usaha yang dirintis Jacko terbilang sukses. Tapi uang hasil usahanya lenyap begitu saja. Teman yang sudah dipercayakan mengelola bisnis pulsa melarikan semua uang usahanya.
Saat itu aku dan Jacko sudah berpacaran sekitar satu tahun. kusut. Dalam perjalanan pulang, hujan sangat deras, Jacko menepikan motornya, aku dan Jacko berteduh di depan toko yang sudah tutup. Di sanalah Jacko menceritakan kejadiannya. Semua uang dilarikan temannya, ponsel temannya tersebut tak bisa dihubungi, dan sang teman menghilang bagai ditelan bumi. Teman yang sudah banyak dibantunya malah mengkhianati kepercayaannya. “Jika aku berhasil menemukannya, akan kubunuh dia...,” kata Jacko geram.
“Jacko, yang sabar ya,” kataku. “Apa salahku? Aku sudah mengikuti apa yang Buddha ajarkan. Aku berusaha tidak melakukan perbuatan buruk, melakukan banyak kebajikan, mengapa aku harus ditipu temanku sendiri?” Jacko mengumpat.
“Kita cari dia dulu saja, semoga saja nanti bisa ketemu dan dia bisa mengembalikan uangnya,” aku berusaha menasihati Jacko.
Seekor belalang besar berwarna hijau melompat dan belalang itu, aku bergeser menjauh. Aku merasa geli dengan banyak serangga, termasuk belalang. “Jacko, untuk apa belalang itu? Lepaskan saja. Kasihan,” kataku.
“Kalau aku ketemu dia, akan aku bunuh,” Jacko masih geram pada teman yang menipunya. “Tapi, sebelum dibunuh, dia akan merasakan ini dulu...,” kata Jacko dengan geram. Dengan gerakan cepat, sebelah kaki belalang itu dipatahkan lalu dibuang.
Aku kaget dengan perilaku Jacko. “Jacko, jangan diteruskan!” aku berteriak kencang di sela-sela suara hujan. “Kalau kamu patahkan lagi kaki belalang itu apalagi kau bunuh, kita putus saja dan aku akan pulang jalan kaki sendiri,” aku mengancam Jacko.
Jacko terkesiap melihat reaksiku. “Kamu serius?” suara Jacko melunak.
“Ya... sangat serius,” aku berkata pelan namun penuh ketegasan. “Oke, aku minta maaf,” kata Jacko.
Tok! Tok! Tok! Terdengar ketukan di pintu kamarku. “Dina, Robert dan Rosmery sudah datang,” kata Mama. Suara ketukan Mama membuyarkan lamunanku. “Suruh mereka tunggu sebentar ya Ma. Dina mau ganti pakaian dulu,” jawabku.
Kami akan ke rumah sakit, membesuk Jacko. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Rosmery memberikan penjelasan bahwa kaki kiri Jacko yang tergilas motor terpaksa diamputasi sebatas lutut.
“Dina, kamu harus kuat menerima kenyataan ini, harus tegar, dan bisa tersenyum untuk membangkitkan semangat Jacko yang down,” Rosmery menasihatiku. Aku sempat shock, tapi tidak lama karena memang tidak boleh lama. Dalam hitungan menit, aku akan segera bertemu Jacko di rumah sakit. Yang terpenting bagiku, Jacko selamat.
- Jacko berusaha tersenyum melihat kami yang datang membesuk. “Jack, bagaimana keadaanmu? Kata dokter, kapan bisa pulang?” tanya Robert. “Sudah baikan,” jawab Jacko. “Minggu ini sudah boleh pulang,” kata Jacko riang.
“Saya sungguh beruntung,” kata Jacko. “Fanny menceritakan, karma baik masih berpihak ke saya. Saat tabrakan, saya terlempar dari motor dan pingsan. Kaki kiri dilindas motor dari arah belakang dan dari arah berlawanan, sebuah bus nyaris melindas kepala saya. Untungnya ada pejalan kaki yang berteriak dan memberi tanda agar bus berhenti. Jarak kepalaku dengan ban bus itu tinggal satu meter saat bus berhenti,” cerita Jacko.
Fanny sempat bertemu dengan dua orang yang mengantarkan saya ke rumah sakit. Saya sungguh berhutang nyawa pada orang yang menghentikan bus itu dan pada orang-orang yang berbaik hati mengantar saya ke rumah sakit.
Setelah ngobrol sebentar, Robert dan Rosmery pamit untuk menunggu di luar, memberikan kesempatan kepada kami untuk bicara empat mata.
“Aku bahagia kamu selamat,” kataku. “Terima kasih, Sayang,” kata Jacko. “Tapi saya sekarang tidak seperti dulu lagi. Aku cacat. Mungkin seumur hidup aku harus berjalan dengan bantuan tongkat. Atau mungkin akan memakai kaki palsu, jalanku tidak akan sesempurna dulu...,”
“Masa aku akan meninggalkan kamu saat seperti ini?” aku meyakinkan Jacko. “Aku tetap akan mendampingi kamu sampai akhir hayat... asal kamu janji, lain kali akan lebih berhati-hati dan tidak jadi orang yang emosian,” lanjutku.
“Aku janji...,” kata Jacko tersenyum manis sekali sambil mengangkat telapak tangannya seperti seorang yang sedang diambil sumpah jabatan.
- “Masa lalu tidak perlu disesali karena tak bisa diubah. Kita juga tak boleh merisaukan masa depan, yang belum pasti. Kita harus konsentrasi pada apa yang kita jalani saat ini. Yang kita jalani saat ini akan menentukan apa yang akan terjadi pada kita di masa depan,” begitu kata bijak yang kubaca di salah satu artikel Dhamma. Tapi dalam hati, terkadang aku masih saja berharap, andai aku bisa kembali ke masa lalu, aku pasti akan memaksa Jacko melepaskan belalang sebelum Jacko mematahkan sebelah kaki belalang malang itu dengan penuh kebencian.
Aku mesti bersyukur Jacko masih hidup dan bisa menemaniku menjalani hari-hari yang akan datang.
Kapan Menyusul?
Hidup ini sudah sulit, jangan dipersulit lagi. Banyak hal yang sebenarnya bukan persoalan tapi oleh manusia dijadikan persoalan. Menyelesaikan permasalahan hidup kita sendiri saja sudah cukup berat, mengapa harus menambah beban dengan mempersoalkan kehidupan orang lain yang jelas- jelas bukan urusan kita?
Dicky tersenyum membaca alinea terakhir sebuah artikel di majalah Buddhis. Pas dan mengena sekali. Mengapa ya, orang kok suka kepo? Hidup sendiri saja belum beres, masih sempat-sempatnya mengusili kehidupan orang lain, yang sebenarnya bukan urusannya dan tidak mengganggu kehidupannya.
Ah... sudahlah. Manusia seperti itu memang banyak “beredar” di muka bumi ini (He-he. Seperti koran atau majalah saja, beredar). Banyak manusia yang susah lihat orang lain senang dan senang lihat orang lain susah. Merasa dirinya sudah sempurna dan merasa dirinya layak menjadi “polisi” bagi manusia lain, merasa pantas jadi “atasan” yang sesuka hati mencela dan mengatur kehidupan orang yang dianggapnya bawahan.
- “Ssst. Kamu tahu gak, si Ririn sekarang sudah pisah ranjang sama suaminya?” Titin mengawali pagi dengan ngerumpiin teman departemen lain. “Ah, masa sih Ci?” timpal Winda yang langsung tertarik.
“Bener! Saya tahu langsung dari tetangga Ririn” lanjut Titin, yang biasa dipanggil Ci Titin ini, semakin semangat.
“Woiii! Bikin gosip aja pagi-pagi!” tegur Dicky. “Kerjaan kemarin sudah selesai belum? Hari ini deadline-nya,” tegas Dicky, rekan sekerja Titin.
“Ntar ah! Masih pagi ini. Habis ini saya selesaikan. Bawel lo!” Ci Titin melanjutkan gosipnya.
Dicky meninggalkan ruang kerjanya ke departemen personalia, ia akan minta izin cuti dua hari karena ada keperluan keluarga. Saat meninggalkan ruang kerjanya, samar-samar Dicky mendengar Titin menyindirnya, “Tuh... kamu lihat sendiri Dicky, kalau orang yang sudah cukup usia tapi belum nikah, ya seperti itu tuh... rada gak beres,” sindir Ci Titin sambil tertawa cekikikan.
Dicky sudah tidak mau ambil pusing dengan Ci Titin. Selain usia Ci Titin lebih tua, Dicky dan orang-orang di kantor ini sudah maklum dengan mulut usil Ci Titin, si ratu rumpi, si ratu gosip. Sudah beberapa kali Ci Titin ribut dengan karyawan di perusahaan ini, tapi tetap tidak ada kapoknya.
Bagi Dicky, menikah atau tidak menikah adalah pilihan, bukan keharusan. Begitulah Dhamma yang dibabarkan Buddha. Dalam Sigalovada Sutta, Buddha menjelaskan kewajiban suami-istri, bukan kewajiban bahwa seseorang harus menikah. Dalam agama Buddha, tidak pernah ada tentangan ataupun penolakan terhadap pernikahan. Menikah atau tidak adalah pilihan bebas bagi yang akan menjalaninya. Yang terpenting adalah menjalani dan menerima semua konsekuensi atas pilihan yang sudah diambil.
Sudah terlalu banyak ucapan usil Ci Titin yang seharusnya memanaskan telinga Dicky. “Jomblo, tidak laku, kurang beres, dan lain-lain,” kata Ci Titin, baik langsung maupun Dicky dengar dari orang lain.
Beberapa teman yang gerah dengan mulut cerewet Ci Titin sudah pernah mengingatkannya, tapi karena memang sudah bawaan sifatnya, sepertinya sudah tidak bisa diubah atau dimodifikasi agar jadi lebih baik. “Ibarat motor atau mobil tua yang sudah tak ada yang jual spare part-nya, tinggal tunggu mogok saja, lalu dijual kiloan,” kata Valdo.
Dicky dan Valdo bergegas ke pelaminan, menyalami sang raja dan ratu sehari, Kent dan Angel. Setelah itu Dicky dan Valdo langsung masuk ke antrean prasmanan. Saat antre, Valdo mencolek Dicky sambil berbisik, “Dicky, kita pindah ke sebelah sana saja yuk! Di barisan sebelah kanan kita ada Ci Titin.” Dicky cuek. “Biarin sajalah. Saya sudah kebal dengan sindirannya,” Dicky tak ambil pusing. “Tenang saja, saya yang disindir saja cuek kok,” Dicky menegaskan sikapnya.
Sebagai sahabat baik Dicky, Valdo tidak habis pikir dengan ketenangan Dicky menghadapi mulut usil Ci Titin. Kok bisa ya, Dicky dengan santainya menghadapi perkataan yang demikian pedasnya dan bukan hanya sekali, tapi berkali-kali, batin Valdo. Padahal menikah atau tidaknya Dicky, tidak ada urusannya sama Ci Titin. Tidak ada pihak yang dirugikan. kita berada di posisi lawan bicara kita dulu, baru kita bisa merasakan betapa menyakitkannya sebuah celetukan, batin Valdo lagi.
Benar saja, saat mengambil hidangan, Dicky dan Valdo berhadapan dengan Ci Titin dan beberapa rekan sekantor. Dasar ratu rumpi, sambil mengambil hidangan, mata Ci Titin memandang ke arah Dicky dan nyeletuk cukup kencang “Kapan menyusul?” Kontan saja, celetukan ini disambut tawa cekikikan anggota geng gosip Ci Titin.
Dicky hanya tersenyum.
- Hari ini kabut duka menyelimuti karyawan perusahaan garmen tempat Dicky bekerja. Thomas, rekan sekerja mereka, meninggal karena kecelakaan. Thomas ditabrak mobil dari belakang saat mengendarai motor. Siapa menyangka bahwa Thomas yang masih muda harus berlalu begitu cepat. Kemarin, hingga usai jam kerja, Thomas masih sehat dan bercanda. Sekarang ia berbaring di dalam peti mati.
Namun, karena suasana hening, pastilah bisikan Valdo terdengar oleh semua yang ada di sekeliling peti mati Thomas: “Kapan menyusul?”
Ego
“Braaak...” Ronald membanting buku ke lantai dengan keras.Seluruh mata tertuju padanya. Sedetik kemudian, Ronald tersadar bahwa saat ini ia sedang berada di perpustakaan, bukan di kamar kost-nya. penyesalan. Ronald segera berdiri, lalu mengatakan, “Permisi....” Ronald melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan Vihara Vimala Dharma diikuti pandangan mata umat di perpustakaan dan sekitar perpustakaan. Maksud hati menenangkan diri dari masalah yang dialami dengan membaca, apa daya justru malu luar biasa yang didapat.
Masalah yang dihadapi Ronald bukan problem sederhana. Dilema. Langkah yang akan diambilnya adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Apa yang akan diputuskan, akan menentukan bagaimana masa depannya nanti.
Selama ini, ia patuh pada apa yang disarankan oleh mamanya. Sejak kecil ia selalu menuruti semua yang dipilihkan mama.
Dari TK hingga SMA, semua sekolah adalah pilihan mama. Dianjurkan kuliah di Fakultas Ekonomi, ia ikuti. Kuliah sambil bekerja, ia jalani. Ia bisa memaklumi semua permintaan mamanya karena ia tahu mama tentu sayang pada anaknya.
Soal kuliah sambil bekerja, sepenuhnya Ronald maklum, Ronald paham kondisi keuangan mereka. Ia anak tunggal dan sudah tak punya papa sejak ia duduk di kelas 6 SD. adiknya. Tapi bagi Ronald, Kevin tidak masuk hitungan. Kevin terlahir sebagai anak penyandang down syndrome.
Sejak SMP Ronald sudah membantu mama mencari nafkah. Mama mencari uang dengan segala kemampuannya. Menerima jahitan pakaian, membuat kue lalu dititipkan di kantin sekolah, dan usaha apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ronald yang bertugas mengantarkan jahitan yang sudah selesai ke rumah pelanggan, membeli keperluan untuk menjahit, juga mengantarkan kue ke kantin sekolah.
Ronald, Kevin, dan Mama selalu tinggal bersama. Hanya saat kuliah Ronald merantau ke Bandung, sementara Mama dan Kevin tetap tinggal di Jambi.
Rasanya sudah cukup Ronald menuruti kemauan mama sejak kecil hingga sekarang. Tapi permintaan kali ini, rasanya tidak bisa ia ikuti. Masa calon pendamping hidup pun ia harus ikut dengan keinginan mama? “Yang akan menikah dan menjalani hidup adalah Ronald, bukan Mama!” ucap Ronald saat terakhir Mama menelepon. yang menghubungi. Paling Mama mendapat kabar tentang Ronald dari Ii Meilan* yang sering menelepon Ronald. Ronald tahu ini pasti permintaan mama.
- “Lo nggak salah Ron, mau sampai kapan kamu jadi anak mama?” kata Deddy sambil menekankan kata “anak mama”. “Dari kecil lo udah bantu mama. Sementara Kevin adik lo nggak ngapa-ngapain. Cuma makan-tidur saja,” ujar Deddy. “Udah yuk... kita cabut. Bosen di kost-an mulu,” Deddy sudah memakai sepatu dan melangkah keluar dari kamar kost Ronald. Ronald dan Deddy pun menuju warnet, tempat mereka biasa bermain games online. Ronald kenal Deddy juga di warnet saat menunggu giliran main games online. Awalnya Ronald main games online hanya iseng karena suntuk dengan tugas kuliah ditambah perselisihannya dengan mama. Hanya pelarian dari masalah, tapi akhirnya Ronald jadi kecanduan, jadi maniak game.
“Tika, kamu mau kasih apa sama Mama untuk surprise Hari Ibu ini?” tanya Della. “Ehm... tahun ini kayaknya aku akan pesan makanan cepat saji dan kirim sekuntum mawar merah,” kata Tika. “Kalau Della?” Viantika balik tanya. “Aku akan ajak Mama jalan ke mal dan makan berdua. Aku akan ajak Mama menikmati makanan kesukaannya,” Della tersenyum penuh arti. “Emang makanan cepat sajinya tidak basi ketika sampai ke Palembang?” tanya Della sambil mengutak-atik Blackberry-nya. “Zaman sudah canggih dan serba online gini, masa masih harus kirim dari Bandung ke Palembang? Tinggal telepon ke fast food di Palembang, transfer via e-banking, kasih tahu alamat yang dituju, beres deh. Jadi jarak bukan halangan. Teknologi memungkinkan itu semua. Hanya saja kita belum bisa sentuhan langsung dengan orang di tempat berbeda.
Beda dengan Della yang tinggal satu kota dengan Mama, bisa memeluk dan mencium Mama,” kata Tika sambil
mengerlingkan mata. Ronald hanya terdiam mendengar percakapan teman-teman
Mama. Telepon masuk dari Mama pun sedang tak ingin dijawabnya.
Mengapa sih harus ada banyak agama? Mengapa pula aku harus ketemu gadis manis yang menarik perhatian dan cocok denganku tapi kami berbeda keyakinan, batin Ronald.
“Ron, kok ngelamun,” sapa Ko Ananda. “Ada masalah apa nih?” tanya Ko Ananda.
“Ng-nggak ada apa-apa kok,” Ronald berusaha menutupi. “Tak usah sungkan, jika ada masalah ceritakan saja. Siapa tahu Ko Ananda bisa kasih solusi.” Hening sejenak.
“Oh ya, Ron, nanti ikut kan acara kunjungan ke panti wreda pada awal tahun?” lanjut Ko Ananda.
“Pasti ikut Ko!” Ronald pura-pura bersemangat. “Kapan acaranya?” tanya Ronald lagi.
“Tanggal pasti belum diputuskan, tapi sebelum tanggal 5
Ananda. “Oke, Ko Ananda pulang dulu ya? Ada janji sama teman. Kalau ada yang ingin dibicarakan, main saja ke rumah. Sore ini dari sekitar jam 15:00 sampai 18:00, Ko Ananda ada di rumah. Namo Buddhaya.” Ko Ananda pamit sambil beranjali.
Ko Ananda pasti tahu aku sedang ada masalah, sampai memberitahukan ia punya waktu luang jam sekian sampai jam sekian, batin Ronald.