A. STRES AKADEMIK 1. Stres a. Definisi stres - Perbedaan Stres Akademik antara Kelompok Siswa Minoritas dengan Mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan

  14

BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi

  siswa, sekolah pembauran, dan profil sekolah. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian.

A. STRES AKADEMIK 1. Stres a. Definisi stres

  Sarafino (2006) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dimana transaksi antara individu dan lingkungannya mengarahkan individu mempersepsikan adanya kesenjangan antara tuntutan fisik atau psikologis dari suatu situasi tertentu dengan sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang dimiliki individu.

  Lazarus (dalam Sarafino, 2006) menambahkan bahwa stres melibatkan stresor dan respon individu terhadap stresor berupa ketegangan (strain).

  Agolla dan Ongori (2009) juga mendefinisikan stres sebagai persepsi dari kesenjangan antara tuntutan lingkungan dan kemampuan individu untuk memenuhinya. Seyle (dalam Sarafino, 2006) membagi stres menjadi dua tipe yaitu eustres dan distres. Eustres adalah tipe stres yang menguntungkan dan membangun. Distres adalah tipe stres yang merugikan atau tidak menyenangkan yang sifatnya mengancam.

  Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi dalam diri individu yang diakibatkan adanya tuntutan fisik, psikologis, dan lingkungan yang menimbulkan kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutannya.

b. Respon terhadap stres

  Sarafino (2006) mengemukakan bahwa ada dua respon tubuh terhadap stres yaitu: i.

  Respon biologis Merupakan reaksi fisiologis terhadap stressor ataupun ketegangan, dimana diukur dengan melalui tingkat ketegangan. Canon (dalam Sarafino, 2006) menambahkan mengenai uraian dasar mengenai bagaimana tubuh bereaksi terhadap keadaan yang darurat. Reaksi ini disebut dengan respon fight-or-flight, yaitu suatu pilihan untuk menyerang ancaman atau melarikan diri dari ancaman.

  

Fight-or-flight respon dapat mengerahkan individu untuk merespon secara cepat

  terhadap bahaya, akan tetapi level ketegangan yang tinggi dapat berbahaya bagi kesehatan jika berkepanjangan. ii.

  Respon psikologis Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi:

  1) Kognitif

  Stres dapat mempengaruhi fungsi dari cara berpikir seseorang, yaitu menjadi sering mengganggu perhatian dan mengakibatkan sulit berkonsentrasi. Di sisi lain, stres dapat meningkatkan perhatian, khususnya terhadap stressor.

  2) Emosi

  Emosi cenderung menyertai stres saat menilai kondisi stres yang dialami. Rasa takut adalah salah satu reaksi emosi umum yang sering dialami individu meliputi ketidaknyaman psikologis dan keterbangkitan fisik ketika dihadapkan pada situasi perilaku agresif atau perasaan sedih atau depresi.

  3) Perilaku sosial

  Stres dapat merubah tingkah laku seseorang ke arah yang lain. Dalam suatu situasi yang penuh dengan stres seperti bencana alam, situasi darurat, ataupun situasi lainnya, banyak orang yang akan saling bekerja sama untuk menolong orang lain agar bisa bertahan. Namun dalam situasi stres lainnya, individu mungkin akan menjadi kurang bergaul, kurang peduli dan lebih bermusuhan, serta kurang sensitif terhadap individu lainnya.

  Jadi dapat disimpulkan bahwa, ada dua respon terhadap stres yaitu aspek biologis dan psikologis (kognitif, emosi, dan perilaku sosial).

c. Tahapan stres

  Seyle (dalam Sarafino, 2006) menyebutkan serangkaian reaksi fisiologis sebagai General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri dari tiga level, yaitu: i.

  Tahap reaksi kegelisahan (alarm reaction) Merupakan tahap pertama respon tubuh (fight or flight) terhadap bahaya yang berfungsi memobilisasi sumber-sumber daya tubuh. ii.

  Tahap pertahanan (stage of resistance) Jika stressor yang kuat terus berlanjut, tubuh akan mencoba untuk beradaptasi dengan stressor. Keterbangkitan fisik mulai berkurang namun masih tetap lebih tinggi dari kondisi normal. Tahap kelelahan (stage of exhaustion)

  Ketegangan fisiologi yang dihasilkan oleh stres yang lama dan berulang menyebabkan kekebalan tubuh menurun dan berkurangnya simpanan energi tubuh.

b. Gejala stres

  Menurut Fremont (2004) gejala stres dibagi kedalam empat kategori yakni: i. Perasaan Meliputi perasaan cemas, mudah marah, ketakutan, moody, dan pemalu. ii.

  Pemikiran Menjadi self-criticsm, sulit berkonsentrasi atau sulit membuat keputusan, mudah lupa, terlalu memikirkan masa depan, pemikiran yang terus berulang, ketakutan akan kegagalan. iii.

  Perilaku Mudah menangis, menurun atau meningkatnya nafsu makan, mengganggu teman, bertingkah laku impulsif, penggunaan alkohol dan obat-obatan (termasuk merokok), tawa yang gugup, menggertakkan gigi atau menggenggam kuku, berbicara dengan gugup atau menjadi kesulitan berbicara, menjadi lebih mudah jatuh dan mendapatkan kecelakaan. iv.

  Fisik Sulit tidur, otot mengeras, sakit kepala, mudah lelah, kedinginan atau tangan berkeringat, mengeluh sakit leher atau tulang belakang, sakit perut atau gangguan pencernaan, sering demam atau infeksi , nafas cepat dan jantung 2.

   Stres Akademik a. Definisi stres akademik

  Berdasarkan sub-bab sebelumnya diketahui bahwa stres adalah suatu kondisi dalam diri individu yang diakibatkan adanya tuntutan fisik, psikologis, dan lingkungan yang menimbulkan kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan kemampuan individu untuk memenuhi tuntutannya.

  Stres akademik menurut Rao (2008) merupakan tekanan yang muncul dari lingkungan sekolah seperti ujian dan kompetisi antar siswa dalam pencapaian standar sekolah. Pengalaman stres akademik ini dapat memunculkan distres yang bermanifestasi terhadap berbagai masalah psikologis dan perilaku.

  Carveth dkk. (dalam Misra & McKean, 2000) mengemukakan bahwa stres akademik adalah persepsi siswa terhadap banyaknya pengetahuan yang harus dikuasai dan persepsi terhadap ketidakcukupan waktu untuk mengembangkan pengetahuan yang harus dikuasai tersebut.

  Stres akademik adalah stres yang berhubungan dengan aspek pembelajaran, khususnya pengalaman belajar (Nanwani, 2010). Olejnik dan Holschuh (2007) menyatakan bahwa stres akademik sebagai ketegangan akibat terlalu banyaknya tugas yang harus dikerjakan siswa. Seyle (dalam Sarafino 2006) menyebutkan bahwa setiap tuntutan tersebut akan membangkitkan respon tertentu dan membawa perubahan dalam hidup individu.

  Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres mempersepsikan tuntutan akademik yang menimbulkan kesenjangan antara tuntutan lingkungan sekolah dengan kemampuan untuk mencapainya, sehingga mengakibatkan perubahan respon dalam dirinya baik secara fisik ataupun psikologis.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi stres akademik

  Menurut Suldo (2009) ada 7 faktor yang mempengaruhi stres akademik: i. Kebutuhan akademik

  Meliputi stressor-stressor yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan akademis seperti 1) pemenuhan tugas (contoh: pekerjaan rumah/PR, ujian besar, proyek sekolah), 2) manajemen waktu yang berkaitan dengan pengaturan sejumlah tantangan akademik, 3) harapan yang tinggi dari diri sendiri, teman sebaya, dan guru, untuk mencapai perfomansi akademik yang baik/superior. ii.

  Hubungan orang tua-anak Berisi stressor-stressor yang berhubungan dengan hubungan antara orang tua dan anak yang berkaitan dengan akademis seperti 1) konflik dengan orang tua, 2) manajemen waktu yang berhubungan dengan tanggung jawab di rumah. iii.

  Kejadian yang menekan remaja Stressor-stressor yang menyinggung perubahan-perubahan dalam hidup yang menonjol selama perkembangan remaja yang terkait dengan akademik meliputi

  1) rasa aman , 2) transisi (seperti persiapan kuliah, kehilangan anggota keluarga), besar (seperti sekolah, masyarakat), dan 4) komunitas yang mengalami kejadian stres. iv.

  Hubungan sebaya Stressor yang berhubungan dengan hubungan sebaya seperti 1) konflik dengan teman sekelas dan partner romantis, 2) merasa tidak cocok dengan teman, dan 3) tekanan sebaya. v.

  Masalah didalam keluarga Stressor yang berhubungan dengan masalah dalam keluarga yang mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar seperti 1) perceraian orang tua, 2) konflik antar orangtua, dan 3) ketidakhadiran orang tua dirumah. vi.

  Aktivitas ekstrakulikuler Stressor yang berhubungan dengan keikutsertaan dalam kegiatan ekstrakulikuler seperti 1) kekhawatiran yang berhubungan dengan performansi dalam bidang olahraga, 2) manajemen waktu antara hambatan dari aktivitas ekstrakulikuler dan tanggung jawab (dalam sekolah), dan kebutuhan pribadi (seperti tidur). vii.

  Perjuangan akademik Stressor yang berhubungan dengan perjuangan akademik seperti 1) keterampilan belajar yang kurang, 2) ketidakikutsertaan dalam belajar (seperti karena tidak tertarik pada materi dan kurang baiknya hubungan antara guru dan c.

   Sumber stres akademik

  Menurut Suldo (2009) ada 4 sumber stres akademik yang berhubungan dengan sekolah, yakni: i.

  Stressor akademik Seorang siswa mengalami tekanan di sekolah dari hari ke hari seperti tes, peringkat, pekerjaan rumah, akademik, dan harapan berprestasi. Tipe dari stressor yang berhubungan dengan sekolah meliputi performansi akademik, kehadiran, interaksi dengan guru, dan keseimbangan waktu sekolah. Hal ini berkaitan dengan metode instruksional, hubungan guru dan siswa, beban akademik yang berat, linhkungan kelas fisik yang kurang dan ketidakteraturan perencanaan tugas dan jadwal. Stressor akademik spesifik meliputi tes yang terstandar. ii.

  Stressor hubungan Suatu hubungan ditemukan dapat mempengaruhi stres dan membawa pada hasil negatif. Hal ini hadir dari sumber umum stres yang berhubungan dengan tekanan teman sebaya, hubungan romantis dan hubungan dengan orang tua. Puncak dari stres yang berhubungan dengan mempertahankan hubungan dengan orang terdekat. Stressor yang paling mempengaruhi dalam akademik biasanya yang berhubungan dengan keluarga dan teman. iii.

  Stressor transisi remaja Remaja dikarakteristikkan sebagai transisi yang unik dengan peran dan ini meliputi tekanan untuk menghasilkan uang, interferensi dari pekerjaan, sekolah dan aktivitas sosial dan berfokus pada masa depan, kompetisi sebagai tekanan dalam mencapai nilai tinggi dalam suatu tes atau ujian. iv.

  Stressor kelompok remaja Stressor dapat muncul dari kelompok remaja, seperti mereka yang tergabung dalam lingkungan urban, latar belakang etnis minoritas, atau mereka dengan intelektual tinggi. Remaja dalam suatu kelompok mungkin akan mengalami pelecehan, merasa tidak aman dan tertekan, cenderung terlibat dalam perilaku kekerasan. Siswa minoritas memiliki resiko yang tinggi untuk gagal di sekolah. Hal ini berhubungan dengan status sosioekonomi, dimana komunitas ini ditandai dengan kurangnya sumber daya, miskin, pengangguran, rasis, konflik keluarga dan kekerasan.

  Lebih lanjut McPherson (2010) menyatakan bahwa sumber stres yang berkaitan dengan sekolah terdiri dari: i.

  Underachievers dan Overachievers Siswa yang tidak mampu mencapai kemampuan standar biasa disebut dengan

  

underachiver . Terkadang tekanan dari orang tua ataupun guru, mendorong diri

  mereka untuk mencapai standar tersebut. Overeachievers biasanya merelakan waktu rekreasi mereka, waktu tidur, dan tidak bersenang-senang demi mencapai tujuan yakni peringkat yang baik.

  ii.

   Reward

  Penghargaan tidak hanya sebagai bukti tanda peringkat tinggi, tetapi juga sebuah insentif dapat menambah beban stres beberapa siswa yang telah merasakannya. iii.

  Tidak ada waktu istirahat Belajar membutuhkan waktu yang banyak, terkadang beberapa jam yang digunakan sekolah dalam sehari untuk mengefektifkan momen yang lebih produktif, seperti membaca, matematika, sains, dan sejarah dirasa lebih penting dibanding bermain, membuat beberapa sekolah memiliki waktu istirahat yang sedikit. Waktu istirahat memberikan siswa kesempatan untuk mengendurkan otot akibat stres mereka, dan mengisi energi mereka kembali dan meningkatkan kemampuan konsentrasi. iv.

  Ekspektasi Tekanan untuk sukses dalam akademik merupakan insentif di sekolah.

  Peringkat menjadi sesuatu yang penting dibandingkan kebutuhan mereka kedepannya. Beberapa siswa mengisi waktu diluar sekolah mereka dengan mengerjakan pekerjaan rumahnya, sebagian lagi mengambil les yang diberikan orang tua yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Masalah muncul ketika orang tua fokus terhadap peringkat anak dan pekerjaan rumah mereka. v.

  Pekerjaan rumah (PR) Pekerjaan rumah menjadi penyebab utama tekanan akademik pada siswa.

  Konsep pekerjaan rumah masih diperdebatkan. Pekerjaan rumah dapat membantu siswa untuk mengerti pelajaran mereka. Namun banyak siswa mengeluh dengan rumah dianggap terlalu banyak dan berat membuat lelah dan cemas, sehingga mereka kehilangan kesenangan dalam belajar dan lebih memilih melakukan aktivitas yang mereka sukai.

d. Penggolongan stres akademik

  Oon (2007) mengemukakan empat tipe stres akademik, yaitu: i. Stres reaktif

  Disebabkan oleh tekanan dan tuntutan terhadap siswa yang melebihi kemampuannya. Contohnya: reaksi terhadap tes mendadak, terlambat menghadiri kegiatan penting di sekolah, atau dimarahi di depan kelas. ii.

  Stres kumulatif Respon terhadap stres yang masih berlangsung dan gejalanya meningkat dari waktu ke waktu. Masalah-masalah tersebut sering menjadi penyebab siswa tidak produktif. Contohnya: siswa tidak mampu mengerti instruksi di kelas atau terus menerus diomeli atau dimarahi. iii.

  Stres insiden kritis Reaksi terhadap tuntutan yang mendadak, diluar dugaan, ancaman, dan insiden-insiden khusus. Stres jenis ini menyebabkan reaksi emosional yang kuat. Contohnya: diganggu secara fisik oleh kakak kelas di sekolah atau terlibat dalam kecemasan yang mengancam jiwa. iv.

  Stres post-traumatis Reaksi terhadap ingatan tentang suatu insiden traumatis yang berhubungan

  Stres ini juga sering disebut disfungsi kesadaran. Ini terjadi ketika pikiran selama kondisi sadar diisi oleh ingatan traumatis akibat insiden kritis, misalnya dibawah ancaman sebilah pisau. Stres ini membutuhkan pengobatan dan pertolongan psikologis jangka panjang.

e. Dampak negatif dari stres di sekolah

  Menurut McPherson (2010) dampak negatif dari stres yang muncul di sekolah adalah sebagai berikut:

  i.

   Burnout

  Siswa merasa lelah dengan kegiatan sekolah biasa akan kehilangan minat untuk belajar. Hal ini terjadi dikarenakan siswa kehilangan insentif pada tugas- tugas tertentu yang dirasa terlalu menghabiskan waktu dan energi yang banyak. Jika perasaan ini tidak tertolerir akan berubah menjadi depresi. ii.

  Menyontek Kebiasaan dalam menilai kesuksesan pada performansi di sekolah menyebabkan stres pada siswa di sekolah. Pemikiran siswa untuk mencapai peringkat yang tinggi memunculkan perilaku menyontek untuk mencapainya. iii.

  Gangguan makan Tekanan akademik yang intens berkontribusi pada kemungkinan kecenderungan terhadap gangguan makan. Cemas yang berlebihan terhadap peringkat bukanlah penyebab suatu gangguan namun beresiko memperburuk.

  eating ” (perilaku makan yang kompulsif).

  iv.

  Penggunaan Obat-obatan Terkadang tekanan akademik, berkolaborasi dengan tekanan teman sebaya, memunculkan keinginan siswa untuk bereksperimen dengan alkohol dan obat- obatan. Hasil dari penggunaan dan konsumsi obat-obatan dapat menyebabkan rasa lelah, iritabilitas, sakit kepala dan rasa tidak nyaman pada badan. Dapat membuat proses berpikir menurun, siswa tidak menyelesaikan pekerjaan rumahnya seperti biasa, kesulitan berkonsentrasi dan sulit mempelajari materi baru.

B. KELOMPOK SISWA 1. Definisi Kelompok Siswa

  Definisi kelompok menurut kamus besar bahasa indonesia adalah kumpulan manusia yang merupakan kesatuan yang memiliki beberapa atribut yang sama atau berhubungan dengan pihak yang sama. Kelompok menurut Horton (1999) adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaannya dan saling berinteraksi. Sedangkan kelompok menurut Johnson & Johnson (1987) didefinisikan sebagai dua atau lebih individu dalam interaksinya serta sadar akan keanggotaannya dalam suatu komunitas.

  Jadi kelompok siswa merupakan kumpulan siswa yang memiliki beberapa atribut yang sama pada suatu sekolah yang membedakannya dengan kumpulan siswa lain.

   Konsep Mayoritas dan Minoritas

  Hogg (2003) menyatakan bahwa mayoritas dan minoritas merupakan suatu kelompok yang bergantung pada kriteria jumlah (besar versus kecil) seperti persentase individu yang menduduki pada suatu posisi.

  b.

  Minoritas Minoritas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. Menurut Mendatu (2010) suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Minoritas merupakan suatu jumlah persentase kelompok yang besarnya kurang dari 50% (UTC, 2006).

  Dalam analisis klasik, kelompok minoritas menurut Louis Wirth (dalam Liliweri, 2005), diartikan sebagai kelompok yang memiliki karakteristik fisik dan budaya yang sama, kemudian ditunjukkan kepada orang lain dimana mereka hidup dan berada. Akibatnya, kelompok itu diperlakukan secara tidak adil sehingga mereka merasa bahwa kelompoknya dijadikan objek sasaran diskriminasi. Keberadaan minoritas dalam suatu komunitas menunjukkan hubungan mereka dengan eksistensi kelompok mayoritas yang lebih kaya, lebih sehat, lebih berpendidikan. Perilaku dan karakteristik dari kelompok minoritas selalu distigmatisasi oleh kelompok dominan atau kelompok mayoritas.

  Jadi minoritas adalah jumlah orang paling sedikit yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibawah 50% dimana jumlah anggota kelompok komunitas.

  c.

  Mayoritas Mayoritas menunjukkan jumlah yang paling banyak sedangkan minoritas menunjukkan jumlah yang paling sedikit. Mayoritas menurut kamus besar bahasa

  Indonesia adalah jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri tersebut. UTC (2006) mendefinisikan mayoritas sebagai jumlah yang lebih dari 50%.

  Konsep tentang mayoritas juga sering kali dihubungkan dengan dominant

  

culture . Dengan menggunakan analisis Gollnick dan Chinn (dalam Liliweri,

  2005), konsep ini dipahami sebagai sebuah aspek yang berhubungan dengan interaksi antar manusia. Setiap suku bangsa mempunyai seperangkat nilai dan standar kehidupan yang mempengaruhi semua unsur kehidupan kita. Nilai-nilai seperti persaingan, individualisme, dan kebebasan, mungkin bagi kelompok dominan tidak berarti apa-apa. Kelompok dengan budaya dominan lebih mengutamakan etika kerja sebagai kunci sebuah peran untuk mengartikan norma dari kelompok dominan. Liliweri (2005) mengatakan bahwa kelompok mayoritas atau kelompok dominan dalam suatu masyarakat merupakan kelompok yang memiliki kontrol atau kekuasaan untuk mengontrol.

  Jadi mayoritas merupakan jumlah terbanyak atau dominan yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah dari 50% dibanding kelompok lain.

3. Konsep siswa pribumi dan non pribumi

  Sebagai dampak dari masyarakat multikultural dalam bidang pendidikan, Pelly (2003) menjelaskan bahwa identitas siswa pribumi merupakan identitas yang muncul dari peninggalan Belanda dimana mereka merupakan warga negara Indonesia (WNI) keturunan asli Indonesia, yang berasal dari suku-suku asli di Indonesia.

  Sedangkan untuk siswa non pribumi, Pelly (2003) menyebutkan bahwa siswa non pribumi merupakan identitas yang muncul kepada mereka yang berasal dari keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih) maupun campuran, walaupun telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia yang biasa dikenal sebagai warga negara Indonesia (WNI) keturunan asing.

C. SEKOLAH PEMBAURAN

  Mitchell (1999) menjelaskan mengenai konsep pembauran sebagai konsep metafora yang menetapkan bahwa kaum minoritas (microculture) harus melebur kedalam kelompok mayoritas, menyingkirkan bahasa ibu mereka dan tradisi budayanya dan menyesuaikan adat istiadat budaya dengan budaya mayoritas (macroculture). Dalam setting sekolah, di Amerika memberikan dimensi khusus dan penting dari mosaik Amerika yang mempertahankan identitasnya sendiri yang unik. Hal ini penting untuk mendorong siswa untuk mempertahankan tradisi mengekspos siswa untuk tradisi macrocultural.

  Di Indonesia sendiri pada pemerintah Orde Baru ingin menjadikan sekolah (lembaga pendidikan) dari tingkat SD (Sekolah Dasar) sampai dengan SMA (Sekolah Menengah Atas) sebagai wadah pembauran atau melting pot (Glazer & Moynihan 1963). Melting pot dapat dianggap sebagai wadah asimilasi dengan harapan agar kelompok tertentu (dalam hal ini WNI keturunan Tionghoa) dapat meleburkan (dirinya dan budayanya) kepada kelompok yang lebih dominan (dalam hal ini kelompok WNI asli). Dalam rangka integrasi nasional, terdapat perbedaaan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap kelompok-kelompok etnik WNI asli jika dibandingkan dengan WNI keturunan asing. Untuk WNI keturunan asing, pemerintah menekankan agar mereka melakukan asimilasi total ke dalam budaya nasional (kelompok WNI asli), sedang bagi antar sesama kelompok etnik WNI asli diharapkan terjadi akulturasi (saling memberi dan menerima unsur budaya masing-masing) (Pelly, 2003).

  Sekolah-sekolah pembauran dilihat oleh pemerintah sebagai wadah pembauran antara kelompok WNI asli (pribumi) dengan kelompok WNI keturunan asing (Tionghoa), maka diharapkan generasi muda WNI keturunan Tionghoa tersebut dapat meleburkan diri dan budayanya ke dalam budaya nasional melalui wadah pendidikan itu. Alur pemikiran ini dapat dilihat dari aturan-aturan baku yang diterapkan dalam sekolah pembauran (Pelly 1985).

  Peleburan identitas siswa-siswa non pribumi ke dalam budaya nasional, seperti yang diharapkan oleh pemerintah Orde Baru tidak terjadi selama sepuluh tahun Menurut Glazer dan Moynihan di New York (1963), walaupun sebagai kota metropolitan sekolah pembauran tetap menampung belasan kelompok etnik/ras dari berbagai penjuru dunia (terutama Eropa dan Afrika), tetapi proses kehidupan urban itu sendiri tidak meleburkan masing-masing identitas mereka.

  Pelly (2003) menjelaskan bahwa proses kebersamaan (togetherness) siswa pribumi dan non pribumi adalah tumbuhnya suatu kehidupan yang majemuk, walaupun mereka telah banyak mengacu pada kesatuan unsur-unsur budaya bersama melalui pendidikan dengan kurikulum nasional.

  Mahfud (2009) menjelaskan bahwa wacana pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk merespons fenomena konflik etnis, sosial, budaya yang kerap muncul ditengah-tengah masyarakat yang berwajah multikultural. Menurut Liliweri (2005), pendidikan multikultural merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas.

  Menurut Banks (2001) kurikulum dalam pendidikan multikultural ini menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek, dimana siswa lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerja sama, daripada membicarakan etnik, budaya dan kelompok status sosialnya. Melalui pembelajaran multikultural, siswa belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi.

  Perbedaan-perbedaan pada diri siswa yang harus diakui dalam pendidikan multikultural, antara lain mencakup kelompok minoritas etnis dan ras, kelompok pemeluk agama, perbedaan agama, perbedaan jenis kelamin, kondisi ekonomi, daerah atau asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain (Banks, 2001). Melalui pendidikan multikultural ini siswa diberi kesempatan dan pilihan untuk mendukung dan memperhatikan satu atau beberapa budaya, misalnya sistem nilai, gaya hidup, atau bahasa.

  Adapun lima dimensi pendidikan berbasis multikultural menurut Banks (2001), yaitu: 1.

  Dimensi integrasi isi/materi (content integration) Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam.

  2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).

  Suatu dimensi dimana guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan sendiri.

  3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction).

  Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang datang ke sekolah dengan banyak stereotip, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan textbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu siswa untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para siswa untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

  4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy).

  Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning).

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure ).

  sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat.

D. PROFIL SEKOLAH WR.SUPRATMAN

  Perguruan Wage Rudolf Supratman Medan didirikan sebagai usaha dan perjuangan tanpa pamrih dari Yayasan untuk membantu Pemerintah mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia (Chandra, 2007).

1. Deskripsi lembaga pendidikan Wage Rudolf Supratman Medan (d/h bernama Tri Bukit):

  Pada tanggal 1 Juli 1960 telah berdiri satu lembaga pendidikan yang berbadan hukum Yayasan Perguruan Tri Bukit, dan dibuat Akte Notaris pada tanggal 28 Juni 1963 di hadapan Notaris Ny. Jo Jian Tjaij, S.H.

  Pada tahun 1960 Yayasan Perguruan Tri Bukit hanya menyelenggarakan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun 1974 pemerintah berdasarkan Intruksi Presiden Kabinet No. 37/U/In/G/1967 pemerintah mendirikan Sekolah Nasional Proyek Khusus (SNPK) sebagai sekolah pembauran dalam rangka untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan Bangsa. Program pembauran terhadap sekolah swasta nasional yang muridnya mayoritas WNI Keturunan. Program tersebut disambut baik oleh para pengurus yayasan, karena dan untuk memperkokoh pembinaan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia.

  Pembauran tidak mengalami kesulitan dan berjalan lancar dan baik.

  Sampai dengan sekarang sekolah ini terus berkembang dengan pesat dengan berbagai program yang ditawarkan mulai dari kelas reguler sampai dengan kelas nasional plus. Pada kelas reguler, untuk tingkat SMP untuk siswa pribumi dikenakan uang sekolah sebesar Rp 360.000 dan untuk siswa non pribumi dikenakan uang sekolah sebesar Rp 370.000. Jam sekolah dari Senin-Sabtu dari jam 07.30-13.05 WIB. Adapun jumlah kelas sebanyak 12 kelas, dimana kelas VII SMP (5 kelas), kelas VIII SMP (4 kelas), dan kelas IX SMP (3 kelas).

2. Visi

  Mendidik tunas muda bangsa sebagai generasi penerus bangsa yang memiliki pribadi yang bertanggung jawab, berbudi pekerti luhur, beriman, insan terdidik, dan berkembang dalam kecerdasan agar siap memasuki era globalisasi, menguasai keunggulan teknologi informatika dan 3 bahasa dunia (Indonesia, Inggris, dan Mandarin).

  3. Misi a.

  Mengembangkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, tangguh, cerdas, berakhlak mulia, penuh tanggung jawab dalam memajukan pendidikan nasional demi masa depan bangsa dan negara yang cerah. Mengupayakan terbentuknya pribadi yang matang dan berkembang menjadi pendidik yang profesional sehingga mampu menciptakan sesuatu yang baru bagi diri sendiri dan bagi anak didik.

  4. Tujuan

  Mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan WR.Supratman, sehingga perguruan yang telah dirintis sejak tahun 1960 dapat bertahan dan semakin dikenal dan dicintai masyarakat.

  5. Kurikulum

  Pendidikan di sekolah ini berbasis kurikulum Nasional KTSP yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan Republik Indonesia. Siswa juga dibekali dengan kemampuan berbahasa asing yakni bahasa Mandarin dan bahasa Inggris. Untuk bahasa Inggris siswa mendapatkan tambahan pelajaran English Conversation yang diajarkan langsung dari guru-guru asli (Native Speaker) asal Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Fasilitas laboratorium bahasa sebagai media pembelajaran bahasa Inggris. Selain itu siswa dibekali kemampuan teknologi informatika yang bekerja sama dengan BINUS Center dengan adanya laboratorium komputer. Dalam praktikum pelajaran IPA (Biologi, Fisika, Kimia) dan Elektronik dilakukan secara berkala sesuai dengan materi pelajaran melalui fasilitas Laboratorium IPA dan elektronik.

E. PERBEDAAN STRES AKADEMIK ANTARA KELOMPOK SISWA MINORITAS DENGAN MAYORITAS

  Sekolah dengan konsep pendidikan berbasis multikultural memiliki tujuan untuk mengembangkan pendidikan bagi siswa-siswa dengan berbagai macam yang menetapkan kelompok minoritas (microculture) untuk melebur kedalam kelompok mayoritas, menyingkirkan bahasa ibu mereka dan tradisi budayanya dan menyesuaikan adat istiadat budaya dengan budaya mayoritas (macroculture) (Mitchell & Salsburry, 1999).

  Dalam sekolah pembauran, terjadi dikotomi antara siswa pribumi dan siswa non pribumi yang merupakan hasil dari program asimilasi era orde baru (Pelly,2003). Namun, komposisi siswa pribumi tidak mencapai 50% dikarenakan terdapat hambatan fisik dan psikologis, seperti keengganan belajar di satu kelas yang sama dengan murid WNI keturunan Tionghoa, letak sekolah pembauran yang sebagian besar berada di komunitas WNI keturunan Tionghoa, disiplin sekolah yang ketat, dana untuk buku, pakaian, dan uang sekolah yang tinggi (walaupun beberapa sekolah memberikan keringanan kepada mereka, terutama dalam pembayaran uang sekolah) (Pelly, 2003).

  Siswa pribumi merupakan kelompok siswa minoritas dikarenakan minimnya jumlah siswa pribumi yang bersekolah di sekolah pembauran. Menurut Mendatu (2010) suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas tersebut. Status minoritas juga sebagai suatu konsep yang menunjukkan perbedaan buruk yang berkaitan dengan ras dan keanggotaan etnis, apalagi stressor status kelompok minoritas meliputi konflik intragroup seperti perasaan tertekan untuk menunjukkan loyalitas pada satu kelompok tertentu dan merasa tekanan yang muncul akibat perbandingan kelompok, khususnya merupakan sumber unik pada stres yang dirasakan siswa.

  Stres dalam lingkup akademik dapat membawa konsekuensi positif jika terkontrol dengan baik dan menjadi negatif jika tidak terkontrol (Agola & Ongori, 2009). Stres akademik merupakan ketegangan yang muncul dari tuntutan akademik (Oljenik & Holschuch, 2007). Rao (2008) menyatakan bahwa banyak sumber stres akademik, yang membuat siswa merasa tertekan dan alhasil menjadi

  

distres karena harapan akademis mereka yang tinggi. Berbagai faktor yang dapat

  menyebabkan terjadinya stres akademik yang dikemukakan oleh Suldo (2009) seperti kebutuhan akademik, hubungan orang tua-anak, kejadian yang menekan di masa remaja, tekanan dari hubungan sebaya, aktivitas ekstrakulikuler, dan perjuangan untuk mencapai standar akademik yang baik.

  Kondisi minoritas lebih rentan terhadap stres di sekolah. Dari hasil penelitian Zajacova dkk (2005) menunjukkan bahwa mayoritas dari populasi siswa minoritas beresiko mengalami stres tinggi, perasaan stres akan menjadi prediktor penting yang berdampak kepada prestasi akademik mereka. Penelitian yang dilakukan Greer (2008) untuk melihat perbedaan pengalaman stres siswa keturunan Afrika- Amerika yang bersekolah di sekolah yang berlatar belakang siswa yang berkulit hitam dan sekolah yang diisi sebagian besar oleh siswa berkulit putih, menunjukkan bahwa siswa keturunan Afrika-Amerika lebih memiliki tingkat

  

distres yang lebih tinggi saat belajar di sekolah yang siswanya mayoritas berkulit

  putih dibanding di sekolah yang mayoritas siswanya berkulit hitam. Menurut Fleming, (1981, dalam Greer, 2008) stres muncul sebagai kontribusi dari di kedua institusi ini.

  Rice (1993) mengadakan penelitian mengenai dampak stres pada pendidikan multikultural, melalui keanekaragaman ras dan etnis pada 103 siswa berkulit hitam, 129 hyspanic dan 105 siswa berkulit putih pada sekolah multietnik di Southwestern, dimana kelompok-kelompok etnis ini merupakan kelompok minoritas di sekolah-sekolah distrik di Southwestern. Tiap kelompok dibandingkan dalam hal stres akademik, penilaian terhadap dampak kejadian- kejadian negatif, dukungan sosial dan gejala psikologis. Dari hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh perbedaan etnis atau ras terhadap stress, sumber daya personal, dan respon terhadap stress.

  Pendapat Kearney, Darpey, & Baron (2003) menunjukkan bahwa siswa minoritas mengalami kesulitan yang lebih besar dalam iklim sekolah karena berbagai kekhawatiran tertentu, seperti alienasi sosial dan kurangnya dukungan sosial, selain itu adanya diskriminasi rasial di sekolah. Rasisme dan lingkungan yang bermusuhan dapat menyebabkan lebih banyak stres dalam kehidupan siswa etnis minoritas mengarah ke tekanan yang lebih besar. Faktor resiko yang berkaitan terhadap kondisi minoritas adalah pengalaman sehari-hari berupa perilaku diskriminasi dari individu karena suatu ras (Taylor,1994). Menurut Rice

  (1993) kelompok siswa minoritas diindikasikan memiliki masalah dalam hal performansi akademik yang buruk dan jumlah drop out dari sekolah yang cukup tinggi. Hal inilah yang menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan stres akademik antara kelompok siswa minoritas dan mayoritas.

F. HIPOTESIS

  Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis yang akan diuji kebenarannya dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan stres akademik antara kelompok siswa minoritas dengan kelompok siswa mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Self-Efficacy terhadap Stres Akademik pada Siswa Kelas 1 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMP Negeri 1 Medan

12 129 128

Perbedaan Pendekatan Belajar Siswa SMA yang Stres dan yang Tidak Stres dalam Menghadapi Ujian Nasional di Kota Medan

2 32 76

BAB I LANDASAN TEORI A. Stres Kerja A.1. Definisi Stres Kerja - Pengaruh Tuntutan Kerja dan Hubungan Atasan -Bawahan terhadap Stres Kerja

0 2 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Kehamilan 1.1 Definisi Kehamilan - Stres Ibu Selama Menjalani Kehamilan di Kelurahan Belawan II Kecamatan Medan Belawan

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stres 1.1. Defenisi Stres - Hubungan Stres Kerja Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Dumai

0 0 16

BAB II LANDASAN TEORI III. A. COPING STRES III. A. 1. Defenisi Stres - Gambaran Strategi Coping Stres pada Ibu yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki di Tanah Gayo

0 0 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stres 1.1 Pengertian Stres Akademik - Gambaran Stressor dan Koping Mahasiswa Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 18

BAB II LANDASAN TEORI A. STRES KERJA 1. Definisi Stres Kerja - Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Stres Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Kanwil Kementrian Agama Medan

0 2 14

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Stres 1.1 Pengertian Stres Akademik - Gambaran Stressor Dan Koping Mahasiswa Pembelajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

0 0 18

Perbedaan Stres Akademik antara Kelompok Siswa Minoritas dengan Mayoritas di SMP WR.Supratman 2 Medan

0 0 33