BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Pengelolaan Bagan Pancang Nelayan Secara Berkelanjutan Di Kelurahan Sibolga Ilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

  Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh berbagai pihak untuk kepentingan seluruh masyarakat (Alikodra, 2006). Konsep pembangunan berkelanjutan diinterpretasikan oleh para ahli secara berbeda-beda.

  Namun demikian konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya didasarkan pada kenyataan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya alam dan adanya kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus meningkat.

  Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu model pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Basri, 2007:123). Pembangunan berkelanjutan ini mengandung tiga unsur utama yakni : a.

  Pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically

  sustainable areal ecosystem), jika kawasan tersebut mampu menghasilkan

  barang dan jasa secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder atau tersier.

  b.

  Pembangunan secara ekologis berkelanjutan (an ecologically sustainable

  areal ecosystem), manakala basis sumber daya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumber daya yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumber daya tidak dapat diperbaharui yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan subsitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan kondisi iklim.

  c.

  Pembangunan dianggap secara sosial berkelanjutan (an socially sustainable

  

areal ecosystem), apabila memenuhi kondisi-kondisi tertentu, yaitu kebutuhan

  dasar antara lain: pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan seluruh penduduknya terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil, kemudian adanya kesetaraan gender, serta terdapat akuntabilitas dan partisipasi politik.

  Dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya laut, pemerintah dan bangsa Indonesia telah membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan menjadikan matra laut sebagai sektor tersendiri dalam GBHN tahun 1993. Kebijakan ini perlu ditindaklanjuti dengan penetapan kebijakan dan strategi pembangunan yang mantap dan berkesinambungan.

2.1.1 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

  Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan berkelanjutan menurut Propenas adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan masyarakat serta antar negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.

  Selanjutnya dalam sistem pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan lingkungan pesisir juga harus memerlukan indikator kinerja. Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan telah dilakukan di berbagai negara di dunia ini. Indonesia belum menjadikan kinerja pembangunan berkelanjutan. Tetapi Propinsi Sumatera Utara telah mulai menginisiasi indikator kinerja pembangunan berkelanjutan (Bapedalda SU). PBB divisi pembangunan berkelanjutan (UN, 2001) telah menyusun indikator pembangunan berkelanjutan. Adapun indikatornya adalah seperti pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Indikator Pembangunan Berkelanjutan No Kategori Indikator Parameter

I. Indikator Sosial

  Jumlah presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

  d.

  Tamat SMP c. Angka buta huruf.

  Tamat SD b.

  3. Tingkat pendidikan a.

  Tingkat pemakaian alat kontrasepsi.

  f.

  Immunisasi.

  e.

  Persentase penduduk yang memiliki saluran pembangunan limbah (MCK).

  Tingkat harapan hidup.

  b.

  1. Kemiskinan a.

  Tingkat kematian anak-anak di bawah 5 tahun.

  b.

  Status gizi anak-anak.

  2. Kesehatan a.

  Tingkat pengangguran.

  c.

  Indeks Gini Ketidakadilan Pendapatan.

  c.

  4. Kondisi rumah tempat Luas rumah/ jiwa.

  tinggal 5. Kriminalitas Jumlah kriminalitas per 100.000 penduduk.

  6. Kependudukan a.

  Tingkat pertumbuhan penduduk.

  b.

  Pemukiman penduduk formal dan informal di perkotaan.

  II. Indikator Lingkungan

  1. Perubahan iklim Emisi gas rumah kaca

  2. Berlubangnya lapisan ozon Tingkat konsumsi zat yang merusak lapisan ozon

  3. Kualitas air Konsentrasi pencemaran air ambien di perkotaan.

  4. Pertanian a.

  Peruntukan lahan pertanian b.

  Penggunaan pupuk c. Penggunaan pestisida untuk pertanian.

  5. Kehutanan a.

  Persentase lahan untuk hutan b.

  Intensitas pengambilan kayu 6. Penggurunan Lahan yang menjadi gurun.

  7. Perkotaan Pemukiman penduduk formal dan informal di perkotaan.

  8. Pesisir a.

  Konsentrasi algae di laut.

  b.

  Persentase dari total penduduk menetap di pesisir.

  9. Kuantitas air bersih Persentase air yang diambil dari ABT dan APU dari air yang tersedia setiap tahun.

  10. Kualitas air bersih a.

  BOD di badan air b.

  Konsentrasi bakteri coli pada air bersih 11. Spesies Kelimpahan spesies terpilih.

  III. Indikator Ekonomi

  1. Kinerja ekonomi GDP perkapita

  2. Perdagangan Keseimbangan perdagangan barang dan jasa

  3. Status keuangan GNP

  4. Konsumsi material Intensitas penggunaan material

  5. Penggunaan energy a.

  Konsumsi penggunaan energi per kapita/tahun.

  b.

  Intensitas penggunaan energi c. Pembagian konsumsi sumberdaya energi yang dapat diperbaharui.

  6. Manajemen sampah a.

  Sampah industri dan sampah padat b.

  Limbah B3 c. Sampah radioaktif d.

  Penggunaan kembali dan recycle sampah

IV. Indikator Kelembagaan

  1. Implementasi strategi

  Pembangunan Berkelanjutan Nasional 2.

  Kerjasama internasional

  Implementasi dari ratifikasi perjanjian global

  3. Akses informasi Jumlah internet yang terdaftar per 1000 penduduk.

  4. Komunikasi Jumlah nomor telepon per 1000 penduduk

  5. Infrastruktur -

  6. Sains dan Teknologi Persentase biaya litbang dibandingkan dengan GDP.

  7. Persiapan dan tanggung

  jawab terhadap bencana Kerugian manusia akibat bencana. Sumber: UN, 2001 (Indicators of Sustainable Development)

  pembangunan berkelanjutan

2.1.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir

  Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi empat dimensi yaitu: (1) Ekonomi, (2) Sosial, (3) Ekologi, dan (4) Pengaturan (governance). Adapun indikator pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan laut yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat dilihat pada

Tabel 2.2 berikut ini:Tabel 2.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Dimensi Indikator

   Ekonomi a.

  Volume dan nilai produksi b.

  Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total ekspor nasional).

  c.

  Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB d.

  Pendapatan nelayan e. Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan.

   Sosial a.

  Penyerapan tenaga kerja b.

  Budaya kerja c. Tingkat pendidikan d.

  Tingkat kesehatan

  e. gender dalam proses Distribusi pengambilan keputusan.

  f.

  Kependudukan.

   Ekologi a.

  Komposisi hasil tangkap b.

  Hasil tangkap per satuan upaya c. Kelimpahan relatif spesies target d.

  Dampak tidak langsung alat tangkap terhadap struktur tropik e.

  Dampak langsung alat tangkap terhadap habitat f. Perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan g.

  Hak kepemilikan

   Governance a.

  Ketaatan terhadap peraturan perundangan b.

  Transparansi dan partisipasi

  Sumber: Dahuri, 2003

2.2 Wilayah Pesisir dan Laut Pesisir adalah jalur yang sempit dimana terjadi interaksi darat dan laut.

  Artinya kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok (Dahuri, 2001) yaitu: 1.

  Sumber daya dapat pulih Sumber daya dapat pulih terdiri dari: hutan mangrove, ekosistem terumbu karang, rumput laut, sumber daya perikanan laut, yang merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia utrient bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut.

  2. Sumber daya tak dapat pulih Sumber daya tak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, antara lain: minyak, gas, granit, emas, timah, bouksit, tanah liat, pasir dan kaolin.

  3. Jasa-jasa lingkungan Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media komunikasi dan transportasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penampung limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya. Wilayah pesisir dan laut dari konsep wilayah bisa termasuk dalam empat jenis wilayah yaitu: a.

  Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya yang tergolong di bawah garis kemiskinan.

  b.

  Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti.

  c.

  Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa wilayah administrasi yang realatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun juga dapat berupa kabupaten/ kota pada kabupaten/kota yang berupa pulau kecil.

  d.

  Sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Karena menggunakan batasan kriteria ekologis tersebut, maka batas wilayah pesisir sering melewati batas-batas satuan wilayah administrasi.

  Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan wilayah pesisir dan laut adalah wilayah yang dipengaruhi secara langsung oleh pengaruh pasang surut air laut, sehingga batasan darat adalah wilayah desa/ kecamatan yang berbatasan dengan pantai, sedangkan batasan laut adalah batas-batas wilayah kecamatan/ kabupaten/ propinsi atau negara (Budiharsono, 2001: 21).

  Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa:

  “Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut”.

  Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP PK disebutkan bahwa: ”Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai.” Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara itu, menurut UNCLOS 1982, pengertian batasan wilayah pesisir tidak diatur, tetapi UNCLOS 1982, membagi laut ke dalam zona-zona yaitu: a.

  Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu negara adalah: 1.

  Perairan Pedalaman (Internal Waters) 2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) 3. Laut Wilayah (Territorial Sea) 4. Zona Tambahan (Contiguous Zone) 5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) 6. Landas Kontinen (Continental Shelf)

  b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu negara adalah: 1.

  Laut Lepas (High Seas) 2. Dasar Laut Dalam atau Kawasan (Area/ Deep Sea Bed) (Lowe, 1999: 30).

  Penentuan batas wilayah pesisir dan laut tidak dapat disamakan antara ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dengan UNCLOS 1982. UU Nomor 27 Tahun 2007 berlaku pada batas wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai, sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah pesisir maupun cara pengukurannya. Karakteristik, pengertian dan batasan wilayah pesisir di setiap negara berbeda-beda, tergantung kondisi geografisnya. Pada umumnya karakteristik umum wilayah pesisir dan laut adalah sebagai berikut :

  1. Laut merupakan sumber dari common property resources (sumberdaya milik bersama), sehingga memiliki fungsi publik dan kepentingan umum;

  2. Laut merupakan open access, memungkinkan siapapun untuk memanfaatkan ruang laut untuk berbagai kepentingan;

3. Laut bersifat fluida, dimana sumberdaya (biota laut) dan dinamika

  hydrooceanography tidak dapat disekat atau dikapling; 4.

  Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan); 5. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumberdaya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia (Dahuri, 2003: 15). Wilayah pesisir dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta kaya akan ekosistem yang memiliki keanekaragaman lingkungan laut. Pesisir tidak sama dengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir.

  Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup: a.

  Laut Territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia, b.

  Perairan Kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai.

  c.

  Perairan Pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup. Perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut, dan di pelabuhan.

  Pada pasal 2 ayat 2 UU No. 6 tahun 1996 ditegaskan bahwa perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang menjadi bagian dari daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia. Pemahaman tersebut menegaskan bahwa laut dan daratan merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat dipisahkan.

  Di luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak eksklusif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam Zona Ekonomi Ekseklusif (ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation

  

Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982. Zona Ekonomi Ekseklusif

  adalah suatu bagian wilayah laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab V UNCLOS 1982. ZEE mencakup wilayah laut sampai dengan 200 mil diukur dari garis pangkal. Di dalam ZEE Indonesia memiliki hak-hak berikut:

  1. Hak berdaulat untuk mengeksplorasi kekayaan alam atau eksploitasi sumber daya alam yang bernilai ekonomi.

  2. Hak yurisdiksi (kewenangan) yang berhubungan dengan pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi bangunan-bangunan, penelitian, dan perlindungan serta pemeliharaan lingkungan laut.

  3. Hak-hak dan kewajiban lainnya sesuai ketentuan UNCLOS 1982.

  Berkaitan dengan hak-hak tersebut, Indonesia dituntut untuk menetapkan dan mengumumkan allowable catch di ZEE Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ketentuan UNCLOS 1982 bahwa negara lain, terutama yang tidak memiliki pantai, berhak untuk memanfaatkan ”surplus” yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai yang memiliki ZEE. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar wilayah darat negara yang bersangkutan, sampai pada pinggir terluar dari tepian kontinen (continental margin). Beberapa ketentuan tambahan tentang landas kontinen adalah sebagai berikut:

  1. Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak kurang dari 200 mil dari garis pangkal, batas landas kontinen ditetapkan 200 mil dari garis pangkal (sama dengan ZEE).

  2. Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak lebih dari 200 mil dari garis pangkal, maka batas landas kontinen ditetapkan maksimal 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil laut dari batas kedalaman 2.500 meter isodepth.

  Sebagaimana ZEE, Indonesia juga memiliki hak untuk berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di landas kontinen.

  Hak pemanfaatan sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan, sejak dari perencanaan hingga pengendalian pemanfaatannya. Mengingat salah satu aspek penataan ruang adalah pemanfaatan sumber daya untuk kesejahteraan masyarakat, ruang lautan menurut UU No. 24/1992 mencakup laut teritorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia, mengingat Indonesia memiliki hak untuk mengelola sumber daya yang di dalamnya. Pengertian laut menurut UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang dapat diinterpretasikan dari ketentuan Pasal 9, bahwa:

  “Laut merupakan unsur ruang wilayah yang penataannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah”.

  Dalam hal ini penataan ruang wilayah propinsi mencakup wilayah laut sampai dengan batas 12 mil, sesuai dengan ketentuan batas kewenangan menurut pasal 3 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara penataan ruang wilayah Kabupaten/ Kota mencakup wilayah laut sampai dengan batas 4 mil atau sepertiga wilayah laut propinsi, sesuai ketentuan batas kewenangan menurut pasal 10 ayat 3 UU No. 22/1999.

  Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu dengan lainnya, baik secara bio- geofisik maupun sosial ekonomi. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Dengan memperhatikan aspek kewenangan daerah di wilayah laut, dapat disimpulkan bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah administrasi daerah Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota.

  Definisi wilayah pesisir diatas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/ Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

  Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah: a.

  Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.

  b.

  Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonom tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. c.

  Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai aset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan finansial yang sangat besar.

  d.

  Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.

  e.

  Wilayah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagai simpul transportasi laut di wilayah Asia Pasifik. Sebagaimana diketahui, pasar Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 70-80% pasar ekspor dunia. Pada tahun 1999 kontribusi peti kemas Indonesia baru mencapai 11,6% dari total pasar Asia Pasifik (24 juta TEUs). Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4% – 9% per tahun).

  f.

  Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi: (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak; (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial; dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan ecotourism.

  g.

  Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.

  h.

  Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  Salah satu kunci dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang demikian besar dan memiliki karakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita semua sudah maklum bahwa berbagai kasus bencana banjir yang melanda hampir seluruh pesisir utara Jawa, Madura dan beberapa tempat di Sumatera dan bencana kekeringan yang tengah kita alami dewasa ini merupakan buah dari pembangunan selama ini yang terlalu mengedepankan kepentingan ekonomi dan kepentingan jangka pendek semata. Pengalaman buruk ini, tentunya menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua agar lebih hati-hati dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas tersebut.

2.2.1 Batasan Wilayah Pesisir dan Laut

  Zona Pesisir dan Zona Laut, dimana zona itu dapat diartikan sebagai daerah atau wilayah, yang terdiri dari:

1. Zona Pesisir

  Berdasarkan kedalamannya zona pesisir dapat dibedakan menjadi 4 wilayah (zona) yaitu:

  a. Zona Lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir atau shore. Di wilayah ini pada saat air pasang tergenang air dan pada saat air laut surut berubah menjadi daratan. Oleh karena itu wilayah ini sering disebut juga wilayah pasang surut.

  b. Zona Neritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari sehingga wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan-tumbuhan, contoh: Jaut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut disekitar Kepulauan Riau.

  c. Zona Bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat ditembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak yang terdapat di zona neritic.

  d. Zona Abysal (wilayah laut sangat dalam), yaitu wilayah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 1800 m. Di wilayah ini suhunya sangat dingin dan tidak ada tumbuh-tumbuhan, jenis hewan yang hidup di wilayah ini sangat terbatas. Untuk lebih memahami penjelasan di atas perhatikan gambar berikut ini.

Gambar 2.1 Klasifikasi wilayah laut menurut kedalamannya

2. Zona Laut

  Sebagai negara kepulauan yang wilayah perairan lautnya lebih luas dari pada wilayah daratannya, maka peranan wilayah laut menjadi sangat penting bagi kehidupan bangsa dan negara.

  a. Batas wilayah laut Indonesia

  2 Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km . Ini berarti luas wilayah laut Indonesia lebih dari dua setengah kali luas daratannya.

  Sesuai dengan Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh PBB tahun 1982. Berikut ini adalah gambar pembagian wilayah laut menurut konvensi Hukum Laut PBB.

Gambar 2.2 Pembagian wilayah menurut Konvensi Hukum Laut

  PBB, Montego, Caracas tahun 1982

  b. Wilayah perairan laut Indonesia dapat dibedakan tiga macam, yaitu zona laut Teritorial, zona Landas kontinen, dan zona Ekonomi Eksklusif. 1)

  Zona Laut Teritorial Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal. Garis dasar adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung pulau. Sebuah negara mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya sampai batas laut teritorial, tetapi mempunyai kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di bawah permukaan laut. Pengumuman pemerintah tentang wilayah laut teritorial Indonesia dikeluarkan tanggal 13 Desember 1957 yang terkenal dengan Deklarasi Djuanda dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No.4 Prp. 1960.

  2) Zona Landas Kontinen Landas kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan lanjutan dari sebuah kontinen (benua).

  Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter. Indonesia terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen Asia dan landasan kontinen Australia. Adapun batas landas kontinen tersebut diukur dari garis dasar, yaitu paling jauh 200 mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landasan kontinen, maka batas negara tersebut ditarik sama jauh dari garis dasar masing-masing negara.

  Sebagai contoh ditas landasan kontinen berimpit dengan batas laut teritorial, karena jarak antara kedua negara di tempat itu kurang dari 24 mil laut. Di selat Malaka sebelah utara, batas landas kontinen antara Thailand, Malaysia, dan Indonesia bertemu di dekat titik yang berkoordinasi 98 °BT dan 6 °LU. Di dalam garis batas landas kontinen, Indonesia mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalamnya, dengan kewajiban untuk menyediakan alur pelayaran lintas damai. Pengumuman tentang batas landas kontinen ini dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Febuari 1969. 3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

  Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam memanfaatkan sumber daya laut. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan batas zona ekonomi eksklusif antara dua negara bertetangga yang saling tumpang tindih, maka ditetapkan garis-garis yang menghubungkan titik yang sama jauhnya dari garis dasar kedua negara itu sebagai batasnya.

  Pengumuman tetang zona ekonomi eksklusif Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1980.

Gambar 2.3. Batas wilayah laut Indonesia Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan- kegiatan manusia di daratan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu: 1.

  Batas yang sejajar garis pantai (longshore) 2. Batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore) (Dahuri, 1998)

  Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri.

  Hal di atas menunjukkan bahwa tidak ada garis batas yang nyata, sehingga batas wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh situasi dan kondisi setempat. Misalnya di delta Sungai Mahakam (Kalimantan Timur) dan Sungai Musi (Sumatera Selatan), garis batas pesisir dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit.

2.2.2 Komponen Fisik Ekosistem Pesisir dan Laut

  Ekosistem pesisir baik mangrove, lamun maupun terumbu karang sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen fisik yang ada di sekitarnya. Komponen tersebut meliputi kimia air (termasuk susunan zat-zat kimia dan kecenderungannya di laut), aliran dan pergerakan arus, interaksi antara atmosfer dan samudra, serta proses-proses alam yang terjadi di laut. Komponen ini berperan sebagai media transport materi dan energi sekaligus mendukung komponen biotik yang ada. Komponen fisik lainnya antara lain: a.

  Struktur air b. Komposisi kimia air laut c. Gas-gas terlarut d. Berat jenis (densitas) e. Suhu dan salinitas air laut f. Cahaya g.

  Gelombang h. Arus Laut

2.2.3 Komponen Biotik Ekosistem Pesisir dan Laut

  Biota yang hidup di wilayah pesisir dan laut pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu plankton, nekton, dan bentos.

  a. Plankton Plankton adalah tumbuhan (fitoplankton) atau hewan (zooplankton) yang mengapung atau berenang secara berlahan di laut dan pergerakannya sangat tergantung pada arus. Pada umumnya tergolong mikroskopik, seperti hewan-hewan bersel satu yang melayang bebas di laut, tetapi banyak juga organisme seperti ubur-ubur (jellyfish) yang termasuk dalam kategori ini. b. Nekton Biota yang termasuk kategori ini adalah ikan yang dapat bergerak bebas tidak tergantung pada arus. Distribusi dari plakton dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, suplai oksigen dan sumber makanan.

  c. Bentos Organisme yang hidup di dasar perairan atau pada substrat, baik tumbuhan maupun hewan. Komposisi sedimen dasar perairan akan mempengaruhi jenis dan tipe organisme yang ada.

2.2.4 Ekosistem Spesifik di Wilayah Pesisir dan Laut

  Wilayah pesisir dan laut secara ekologi merupakan tempat hidup beberapa ekosistem yang unik dan saling berhubungan, dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang umumnya terdapat di wilayah pesisir meliputi: a.

  Ekosistem mangrove, yaitu ekosistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

  b.

  Ekosistem lamun Lamun adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk tumbuhan sejati, karena sudah dapat dibedakan antara batang, daun, dan akarnya. Secara umum gambaran lamun yaitu seperti padang rumput di daratan, lamun sangat berguna dalam hal pembersihan lautan karena lamun berfotosintesis. Ekosistem lamun adalah sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik.

  c.

  Ekosistem terumbu karang, yaitu masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari kelas

  scleractinia , yang mana termasuk hermatytic coral atau jenis-jenis karang

  yang mampu membuat bangunan atau terumbu karang dari kalsium karbonat (Dahuri, 2003).

  Ekosistem ini saling berinteraksi membentuk suatu konektivitas dengan menjalankan fungsinya masing-masing.

2.3 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Integrated

  Coastal Zone Management)

  Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target.

  Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Selanjutnya konsep pengelolaan wilayah pesisir dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.

  Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut (Integrated Coastal Zone

  

Management ) berdasarkan pada Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi Johannesburg

  2002, Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development 2002, dan Bali Plan of Action 2005, bahwa Integrated Coastal Zone Management merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan lingkungan. Implementasi

  

integrated coastal zone management dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi

  konflik dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, dan tumpang tindih kewenangan serta benturan kepentingan antar sektor.

  Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone

  Management / ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan yang luas, sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru bagi masyarakat dunia.

  Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan (environmental

  services ) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian

  menyeluruh (comphrehensive assessment) tentang kawasan pesisir serta sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaannya dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia.

  Integrated Coastal Zone Management (ICZM) berisi prinsip-prinsip dalam

  pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagaimana di atur dalam Agenda 21

  Chapter 17 Program (a), Pemerintah Indonesia pada tahun 1995 telah menyusun Agenda 21-Indonesia, dalam Bab 18 tentang Pengelolaan Terpadu Daerah Pesisir dan Laut. Disebutkan bahwa orientasi pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut menjadi prioritas pengembangan, khususnya yang mencakup aspek keterpaduan dan kewenangan kelembagaannya, sehingga diharapkan sumberdaya yang terdapat di kawasan ini dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan bangsa Indonesia di abad mendatang. Perbedaan pemahaman pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia memunculkan banyak konflik diantara para pengguna wilayah tersebut dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Kemajemukan peraturan perundangan-undangan sangat potensial menimbulkan terjadinya konflik norma.

  1. Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development, 2002 menyatakan bahwa:“Ocean, seas, islands and coastal areas form an

  

integrated and essential component of the Earth’s ecosystem and are critical

for global food security and for sustaining economic prosperity and the well-

being of many national economies, particularly in developing countries. Ensuring the sustainable development of the oceans requires effective

coordination and cooperation, including at the global and regional levels,

between relevant bodies, and actions at all levels to….. ”.

  2 Bali Plan of Action, “Towards Healthy Oceans and Coast for the Sustainable

  

Growth and Prosperity of the Asia-Pacific Community,” Joint Ministerial

  Statement, the 2nd APEC Ocean-Related Ministerial Meeting (AOMM2), Bali, 16-17 September 2005.

  3 Agenda 21 Indonesia, Publikasi Awal, Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan, integrasi terhadap pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir adalah melalui sinkronisasi pengaturan perundangan-undangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

  Selain itu, terdapat adanya Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Propinsi Sumatera Utara yang mengacu kepada kebijakan- kebijakan pembangunan daerah yang merupakan penjabaran dari kebijakan pembangunan nasional. Posisi Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Sumatera Utara dalam konteks perencanaan dapat dilihat, dimana Renstra ini merupakan acuan didalam pendayagunaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir.

  Renstra Pesisir ini disusun dengan mengakomodir hasil dari partisipasi publik dan lokakarya selama 2 (dua) tahun 2002 – 2003 dengan melibatkan berbagai macam

  

stakeholders lainnya seperti: Lembaga atau Instansi terkait, LSM, tokoh

  masyarakat pesisir dan Perguruan Tinggi dimana kegiatan ini merupakan Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Propinsi Sumatera Utara.

  Penyusunan Rencana Pesisir dilaksanakan melalui suatu proses koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antara instansi terkait ditingkat Propinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan. Provincial Task Force (PTF) yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur turut berperan dalam proses penyusunan Renstra Pesisir ini.

  Renstra Pesisir ini merupakan suatu acuan dan kerangka dasar dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Dari Renstra pesisir ini akan disusun dokumen perencanaan lebih lanjut yaitu Rencana Zonasi (Zonation

  Plan ), Rencana Pengelolaan (Management Plan) dan Rencana Aksi (Action Plan)

  untuk pemanfaatan sumberdaya pesisir melalui berbagai kegiatan yang akan melibatkan masyarakat pesisir. Pengembangan hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yang meliputi:

1. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir; berperan dalam menentukan visi dan wawasan misi pengelolaan.

  2. Rencana Zonasi, berperan dalam pengalokasian ruang, memilih kegiatan yang sinergis dalam ruang dan kegiatan yang tidak sinergi diruang lain serta pengendalian ruang laut sesuai tata cara yang ditetapkan.

  3. Rencana Pengelolaan; berperan untuk menuntun pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya diwilayah prioritas sesuai dengan karakteristiknya.

  4. Rencana Aksi; berperan menuntun penetapan dan pelaksanaan kegiatan sebagai upaya mewujudkan rencana pengelolaan, serta mencapai tujuaan dan sasaran dari pengelolaan kawasaan pesisir dan laut. Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi stakeholder yang paling terpengaruh oleh keputusan pengelolaan sumberdaya. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu diwujudkan untuk penggunaan, menikmati pembangunan, perawatan dan konservasi dan perlindungan sumberdaya alam. Tujuan utama dari Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (ICZM) adalah untuk membentuk kerangka kebijakan, prosedur dan tanggung jawab yang diperlukan untuk pembuatan keputusan secara terus menerus pada pengalokasian dan penggunaan berkelanjutan sumberdaya pesisir. Adapun Rencana pengelolaan wilayah pesisir terpadu dapat dilihat pada Gambar 2.4 sebagai berikut:

Gambar 2.4 Hirarkhi Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Bappedasu, 2002).

  Tujuan khusus Rencana Pengelolaan adalah untuk: 1. Membangun kerjasama dan kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan masyarakat.

  2. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal (usulan) pembangunan yang sistematik.

  3. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki rencana ICZM.

  4. Mengkoordinasikan dengan inisiatif perencanaan lain.

  Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang terakhir telah disempurnakan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa wilayah daerah propinsi terdiri dari wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan; sedangkan kewenangan daerah kabupaten/ kota sejauh sepertiga dari batas laut daerah propinsi. Melalui pelimpahan kewenangan tersebut, maka daerah dapat lebih leluasa dalam merencanakan dan mengelola sumberdaya wilayah pesisir, termasuk jasa lingkungan lainnya bagi kepentingan pembangunan daerah itu sendiri.

  Proses pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, berdasarkan kesepakatan internasional, mengikuti suatu siklus pembangunan atau kebijakan (Gambar 2.5).

  Siklus tersebut terdiri dari 5 (lima) langkah yaitu: 1.

  Identifikasi isu-isu pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir 2. Persiapan atau perencanaan program 3. Adopsi program dan pendanaan 4. Pelaksanaan program 5. Monitoring dan evaluasi Gambar 2.5 Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Olsen et al, 1998).

  Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu membutuhkan waktu beberapa tahun untuk dapat diimplementasikan walaupun hanya untuk kawasan tertentu (sesuai pengalaman negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand dan Sri Langka). Propinsi Sumatera Utara dengan komposisi masyarakat pesisir yang sangat majemuk dituntut untuk dapat mengawali Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dengan menyelesaikan satu siklus kebijakan pengelolaan. Program akan menjadi lebih matang dan didukung oleh seluruh stakeholder, bila telah berhasil melewati satu siklus yang disebut juga dengan satu generasi program. Dokumen Renstra Pesisir ini merupakan langkah kedua dari siklus kebijakan, sekaligus sebagai dokumen dasar bagi penyusunan dokumen perencanaan selanjutnya yaitu rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi.

  

2.3.1 Keunggulan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu

(PWPLT)

Dokumen yang terkait

Evaluasi Sistem Drainase Di Kawasan Jalan Jati Pancuran Bambu Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga

5 75 86

Hubungan Kondisi Fisik Rumah Nelayan dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Lingkungan Pintu Angin, Kelurahan Sibolga Hilir, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Tahun 2013

5 74 107

Strategi Pengelolaan Bagan Pancang Nelayan Secara Berkelanjutan Di Kelurahan Sibolga Ilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga

4 50 201

Fakor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembuangan Tinja Pada Masyarakat Ketapang Kelurahan Sibolga Ilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga Tahun 2006

0 39 89

Pengaruh Penyuluhan Dengan Metode Ceramah Dan Poster Terhadap Perilaku Konsumsi Makanan Jajanan Murid Di SD Kelurahan Pincuran Kerambil Kecamatan Sibolga Sambas Kota Sibolga Tahun 2011

32 158 107

Gambaran Perilaku Ibu Menyusui Tentang Pemberian Asi Eksklusif Di Kecamatan Sibolga Selatan Kota Sibolga Tahun 2008

8 49 85

Hubungan Higiene Perorangan Siswa Dengan Infeksi Kecacingan Anak SD Negeri Di Kecamatan Sibolga Kota Kota Sibolga

5 31 138

Analisis Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Di Kota Sibolga

25 157 88

4. Nelayan 5. Pedagang 6. Ibu Rumah Tangga 7. Lain-lain - Hubungan Kondisi Fisik Rumah Nelayan dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Lingkungan Pintu Angin, Kelurahan Sibolga Hilir, Kecamatan Sibolga Utara, Kota Sibolga Tahu

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sehat 2.1.1. Defenisi Rumah Sehat - Hubungan Kondisi Fisik Rumah Nelayan dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Lingkungan Pintu Angin, Kelurahan Sibolga Hilir, Kecamatan Sibolga Utara, Kota

0 0 18