Internal Repository pada Perguruan Tinggi Jonner Hasugian 1. Pendahuluan - Internal Repository pada Perguruan Tinggi

  

Internal Repository pada Perguruan Tinggi

Jonner Hasugian

1.

   Pendahuluan

  Secara sederhana arti dari repositori adalah tempat penyimpanan. Dalam konteks kepustakawanan repositori adalah suatu tempat dimana dokumen, informasi atau data disimpan, dipelihara dan didigunakan. Kadang-kadang istilah depository dipakai untuk menyatakan hal yang sama. Reizt (2004) menyatakan bahwa repository is the physical space (building, room,

  

area) reserved for permanent or intermediate storage of archival materials (manuscripts, rare

books, government documents, papers, photographs etc)

  . Perpustakaan sebenarnya adalah sebuah repositori akan tetapi dalam ruang lingkup yang lebih luas. Dari definisi Reizt di atas, terlihat bahwa dokumen yang dikelola dalam repositori lebih khusus dari pada yang dikelola di perpustakaan. Penyelenggara repositori lebih mengkhususkan diri untuk mengelola dokumen yang belum diterbitkan oleh perusahaan penerbitan atau penerbitan komersial. Dokumen yang dikelola oleh penyelenggara repositori sering juga dinamai dengan sebutan literatur kelabu (gray literature) yang dapat berupa dokumen yang khas, buku-buku yang jarang didapatkan di pasar buku, dan juga dokumen yang dihasilkan oleh instansi atau lembaga pemerintah dan sebagainya, sehingga ada yang menyebutnya local contents.

  Dari sisi teknis, repository is an online locus for collecting, preserving, and

  

disseminating – in digital form – the intellectual output of an institution, particularly a research

institution. For a university, this would include materials such as research journal articles,

before (preprints) and after (postprints) undergoing peer review, and digital versions of theses

and dissertations, but it might also include other digital assets generated by normal academic

life, such as administrative documents, course notes, or learning objects.”

  (Wikpedia 2007) Pendapat lain menyatakan bahwa perguruan tinggi yang berbasis respositori adalah satu set layanan yang menawarkan berbagai bahan digital yang dihasilkan oleh lembaga tersebut ataupun yang dihasilkan lembaga lain yang dikelolanya kepada masyarakat penggunanya (Pfister, 2008). Berdasarkan pendapat ini, bahwa tempat penyimpanan bukan lagi dalam bentuk bangunan atau ruangan melainkan dalam sebuah server komputer, karena bahan yang disimpan, diorganisasikan dan dilayankan adalah bahan-bahan digitial. Repositori dalam hal ini adalah bahagian dari perpustakaan digital. Repositori menurut pengertian ini yang umumnya dijumpai pada perguruan tinggi termasuk di Indonesia.

  Repositori sebagai tempat penyimpanan bahan-bahan digital yang dihasilkan oleh suatu institusi perguruan tinggi berkaitan erat dengan perubahan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya informasi di perpustakaan. Berbagai sumberdaya informasi berbasis kertas (paper-

  based

  ), yang selama ini merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang telah banyak tersedia dalam format digital. Kemapanan sumberdaya informasi berbasis kertas ditantang oleh sumberdaya informasi digital yang menawarkan cara yang berbeda dalam penyimpanan dan menemubalikkan informasi. Beranekaragam sumberdaya informasi digital yang dikembangkan oleh para pustakawan, perpustakaan dan penerbit, terutama di negara maju. Terjadi pertumbuhan informasi yang sangat dahsyat, khususnya dalam format digital yang menyebabkan sejumlah perpustakaan, termasuk perpustakaan perguruan tinggi harus menyediakan layanan digital yaitu dengan cara memberi akses kepada pengguna terhadap berbagai sumberdaya informasi digital baik yang tersedia di dalam perpustakaan (yang dimiliki) maupun yang berada di luar perpustakaan. Akses informasi digital menjadi suatu paradigma baru pelayanan perpustakaan.

  Sumberdaya informasi berkembang biak dengan sangat cepat. Perkembangbiakan informasi ini didukung oleh perkembangan yang pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Aplikasi TIK memunculkan sistem akses dan temu-balik terhadap informasi menjadi semakin cepat. Transfer informasi dari sumber (lokasi) ke pengguna (end user) menjadi cepat. Situasi ini menjadikan akses informasi digital semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi, tanpa mengabaikan akses informasi yang telah berlangsung selama ini secara konvensional. Akses terhadap sumberdaya informasi digital semakin mudah karena dapat diakses secara terbuka, multi user, unlimited access, dan dapat diakses dari jarak jauh (remote access) tanpa harus hadir ke perpustakaan.

  Fenomena umum menunjukkan kencenderungan pengguna perpustakaan, terutama pada perpustakaan perguruan tinggi menggunakan sumberdaya informasi digital baik yang bersifat ilmiah maupun yang non-ilmiah semakin meluas. Berbagai perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia merespon fenomena ini dengan menyediakan pengelolaan dan pelayanan digital dalam organisasi perpustakaan. Sejumlah perpustakaan perguruan tinggi mulai melakukan digitalisasi informasi yaitu dengan cara mendigitaliasi koleksi karya ilmiah yang dimilikinya dan membuatnya tersedia untuk diakses secara online melalui internet. Ketersediaan dan pemanfaatan TIK adalah kunci utama dari keberhasilan perpustakaan untuk menyediakan pelayanan digital.

  Boleh dikatakan bahwa perpustakaan perguruan tinggi pada umumnya memiliki koleksi karya ilmiah berupa disertasi, tesis, skripsi, tugas akhir, dan/atau kertas karya yang dihasilkan oleh mahasiswa, dan karya ilmiah yang dihasilkan dosen berupa artikel ilmiah dan laporan penelitian. Koleksi ini sifatnya adalah un-published sehingga pemanfaatannya terbatas karena tidak dapat dipinjam ke luar dari perpustakaan dan jumlahnya hanya satu eksemplar per judul. Koleksi sejenis inilah yang sering disebut sebagai repositori pada perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. Pengelolaan koleksi ini memunculkan berbagai masalah. Selain membutuhkan

  space

  ruangan yang luas, pemeliharaan terhadap koleksi ini juga memerlukan tenaga dan biaya yang besar. Digitalisasi terhadap koleksi ini menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan masalah dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Digitalisasi terhadap dokumen ini akan menghasilkan dokumen elekronik yang dapat dipastikan akan menambah kuantitas dan kualitas sumberdaya informasi elektronik yang dimiliki oleh Perpustakaan. Digitaliasi terhadap koleksi inilah awal dari berdirinya repositori pada sejumlah perpustakaan perguruan tinggi.

2. Alasan membangun repositori

  Terdapat berbagai alasan untuk membangung repositori. Pfister (2008) mengemukakan sedikitnya ada tiga alasan membangun respositori, pertama adalah peningkatan visibilitas dan dampak dari output penelitian. Para peneliti dan lembaga mendapatkan manfaat dari repositori dalam cara yang sama yaitu mengetahui kejelasan dan dampak dari hasil penelitian. Membangun dan mempertahankan reputasi dalam komunitas ilmiah sangat penting bagi kegiatan akademik dan insitusi dan hal itu dapat dicapai dengan repositori. Untuk mengukur dampak penelitian misalnya, metode bibliometrik seperti analisis sitiran terhadap jurnal akademik yang dikelola oleh suatu institusi sering digunakan untuk mengukur atau mengetahui tingkat penggunaan jurnal tersebut. Sehingga melalui repositori akan lebih mudah diukur seberapa sering sebuah jurnal digunakan, seberapa sering sebuah artikel dalam jurnal ilmiah dibaca atau di-download, seberapa sering suatu laporan penelitian dibaca atau di-download dan sebagainya.

  Kedua, yaitu berkaitan dengan perubahan dalam paradigma publikasi ilmiah. Munculnya gerakan untuk menyediakan akses gratis terhadap publikasi ilmiah. Content ilmiah dihasilkan dan dipublikasikan sendiri dan penyediaan akses gratis terhadap bahan-bahan tersebut adalah merupakan aktivitas utama dalam gerakan akses terbuka (open access movement). Salah satu pernyataan dalam deklarasi Budapest Open Access Initiative (2001) dan Berlin Declaration on

  Open Access to Knowledge in the Sciences and Hunamities

  (2003) adalah memberi akses terbuka terhadap publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh berbagai institusi pendidikan dan lembaga penelitian kepada masyarakat luas. Untuk mengapresiasi deklarasi ini, maka pendirian repositori merupakan jawaban yang tepat. Sebuah perguruan tinggi akan lebih leluasa memberikan akses terbuka terhadap bahan-bahan yang mencerminkan kekayaan intelektual dari perguruan tinggi itu sendiri adalah melalui pendirian repositori.

  Khusus mengenai paradigma open access ini, ratusan organisasi pada tingkat internasional telah menandatangani deklarasi bersama yaitu mendukung gagasan akses terbuka dan menentang penyebarluasan informasi ilmiah yang semata-mata berorientasi kepada publikasi komersial karena dipandang menghambat penyebaran dan pertumbuhan informasi ilmiah. Oleh karena itu, dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, beberapa lembaga penyandang dana terlibat dalam menebitkan hasil penelitian dan ada yang memberikan dukungan keuangan untuk membiayai penyediaan akses terbuka, seperti halnya yang dilakukan oleh Swiss National Fonds (Crow, 2002). Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan terhadap masyarakat perguruan tinggi dan peneliti, menekankan pentingnya publikasi ilmiah yang dapat diakses gratis secara

  online

  ; hal ini merupakan bukti bahwa para penelitia atau penulis mengutip berbagai literatur yang sulit untuk diakses karena alasan biaya.

  Alasan ketiga membangun repositori adalah didasarkan atas kemungkinan perbaikan komunikasi internal. Dengan menyediakan penyimpanan bahan-bahan digital secara terpusat akan mendapatkan manfaat dari bahan yang telah dipublikasikan pada satu sisi, dan pada sisi yang lain menjadi dasar untuk mengetahui bahan-bahan yang belum dipublikasikan secara digital. Sehinggan repositori menjadi salah satu upaya untuk mendorong agar bahan-bahan lain yang bukan kategori ilmiah seperti laporan kegiatan, panduan dan sebagainya untuk dipulikasikan dalam format digital, karena bahan-bahan tersebut juga merupakan bagian dari pengetahuan organisasi dan sebaiknya dapat diakses oleh setiap orang dalam suatu organisasi. Repositori mendorong upaya digitalisasi terhadap dokumen-dokumen perguruan tinggi yang bukan kategori ilmiah, sehingga akses terhadap dokumen tersebut lebih mudah.

  Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa salah satu alasan untuk membangun repositori adalah untuk penyediaan akses terbuka. Ada beberapa keuntungan dari akses terbuka, pertama adalah bahwa output penelitian ilmiah dapat dipublikasikan lebih cepat tanpa intermediasi seperti penerbit. Alasan kedua adalah bahwa penilaian terhadap output penelitian akademis lebih efektif dari segi biaya. Secara khusus, ketika menyangkut jumlah biaya berlangganan jurnal yang sangat mahal sehingga mengarah pada krisis jurnal, maka akses terbuka terlihat menjadi opsi yang menarik. Walaupun tersedia akses gratis, bukan berarti penerbitan terhadap output karya ilmiah gratis seluruhnya. Biaya untuk menjalankan repositori harus diperhitungkan.

  3. Keuntungan Repositori

  Membangun repositori akan menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun bagi lembaga. Hasil-hasil penelitian, artikel ilmiah, makalah, tesis, disertasi dan karya ilmiah lainnya yang tersedia secara online dapat diakses, didownload, dan/atau disitir lebih cepat dan lebih sering dibanding dengan yang tersedia dalam format tercetak. Sehingga, menaruh karya akademis (karya ilmiah) pada sebuah repositori dengan akses terbuka, maka akan meningkatkan profil seorang penulis di bidangnya pada tingkat yang lebih luas (internasional), termasuk penyebaran dan dampak dari hasil penelitiannya. Apabila penulis memuat curriculum vitae (CV) singkat dalam karyanya, maka repositori dapat menggunakan data tersebut untuk keperluan promosi pekerjaan yang lebih baik bagi penulis.

  Repositori pada perguruan tinggi menjadi sarana penting untuk mempublikasikan penelitian dan karya-karya akademik yang dimilikinya. Reputasi perguruan tinggi akan semakin dikenal melalui peran repositori. Karya akademik perguruan tinggi tidak hanya tersebar melalui jurnal, akan tetapi dapat juga melalui repositori, sehingga akan meningkatkan visibilitas dan prestise.

  4. Repositori Internal pada Perguruan Tinggi

  Clifford Lynch (2003) mendefinisikan repositori pada perguruan tinggi adalah serangkaian pelayanan yang diberikan oleh perguruan tinggi kepada anggota komunitasnya untuk mengelola dan menyebarluaskan bahan-bahan digital yang dihasilkan oleh institusi tersebut. Bahan-bahan digital yang dimaksud adalah seluruh karya ilmiah dan/atau output intelektual yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi. Ada juga yang mendefinisikan repositori internal adalah tempat menyimpan seluruh karya yang dihasilkan oleh sivitas akademika suatu perguruan tinggi dan/atau karya lain mengenai perguruan tinggi yang bersangkutan. Akses terhadap karya tersebut sangat tergantung kepada kebijakan masing-masing perguruan tinggi.

  Pendapat di atas secara jelas menunjukkan bahwa bahan digital yang menjadi dokumen utama dalam repositori perguruan tinggi. Oleh karena itu, repositori adalah suatu upaya untuk menciptakan perpustakaan digital. Jones.et.al (2006) menganggap bahwa repositori adalah unsur-unsur konstituen dari perpustakaan digital, atau yang melengkapi perpustakaan digital dengan menyeleksi koleksi-koleksi tertentu apakah berdasarkan lingkup institusi ataupun menurut disiplin ilmu tertentu (disipliner) untuk disediakan sebagaimana halnya sebuah perpustakaan. Penekanan secara institusi ataupun disipliner adalah bergantung kepada ruang lingkup dari sebuah respositori atau perpustakaan digital, apakah pengelolaan dan pelayanannya berdasar kepada bahan yang dihasilkan oleh satu institusi atau hanya mengumpulkan bahan- bahan yang berhubungan dengan suatu disiplin ilmu yang spesifik.

  Repositori sangat penting dilakukan terutama untuk mendukung komitmen perguruan tinggi untuk menyimpan bahan-bahan digital yang dimilikinya, termasuk sebagai upaya untuk preservasi jangka panjang, pengorganisasian, akses dan pendistribusian yang baik. Harus diakui bahwa bahan-bahan digital lebih mudah disimpan, dipelihara, diorganisasikan, diakses dan lebih cepat didistribusikan. Repositori bukan hanya melihat banyak jenis bahan digital yang dimiliki atau banyak bahan yang telah didigitaliasi dan disimpan, akan tetapi juga melihat maksud pelayanannya. Mencari, mengumpulkan, mengelola dan menyebarluaskan output intelektual dari satu atau beberapa komunitas perguruan tinggi menjadi hal penting dalam repositori.

  Sebagaimana telah disebutkan bahwa repositori berkaitan dengan perpustakaan digital, oleh karena itu tanggungjawab operasional repositori pada perguruan tinggi memerlukan kerjasama diantara pustakawan, pakar teknologi informasi, manajer arsip dan record, tenaga administrasi dan pengambil kebijakan (Pennock, 2009). Pada titik tertentu, repositori harus didukung oleh serangkaian teknologi informasi baik untuk kebutuhan perangkat lunak maupun untuk perangkat keras yang digunakan untuk membangun respositori. Peran pakar teknologi informasi sangat dominan dalam hal ini. Dukungan teknologi informasi sangat menentukan keberlangsungan repositori. Repositori memerlukan manajemen teknologi informasi yang dinamis yang dapat mengikuti perubahan yang terjadi. Migrasi dari dokumen cetak ke digital adalah peran dari teknologi informasi. Migrasi digital content yang menggunakan program sistem aplikasi teknologi informasi yang lama ke aplikasi sistem yang baru dan seterusnya adalah juga merupakan peran dari pakar teknologi informasi. Perlu diketahui bahwa repositori bukanlah serangkaian software dan hardware yang permanen, melainkan dinamis mengikuti perkembangan yang terjadi. Program aplikasi yang digunakan dalam repositori cenderung berubah mengikuti perkembangan teknologi informasi.

  Ada kalanya, repositori pada perguruan tinggi mengkombinasikan bahan-bahan arsip atau

  record

  dengan bahan-bahan lainnya. Misalnya, berkas hasil penelusuran online yang dilakukan oleh pustakawan selama bertahun-tahun disimpan dan organisasikan agar dapat digunakan oleh pengguna yang lain. Untuk itu, manajer arsip dan record tentu harus dilibatkan dalam hal ini. Selain itu, peran tenaga administrasi juga sangat dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan respositori.

  Seperti diuraikan sebelumnya bahwa koleksi repositori tidaklah seluas koleksi perpustakaan. Untuk itu, kebijakan untuk menentukan bahan-bahan apa saja yang termasuk ke dalam koleksi repositori internal suatu perguruan tinggi menjadi hal yang penting. Kebijakan akses terhadap koleksi repositori juga harus ditetapkan dengan pertimbangan yang cermat. Apakah koleksi repositori dapat diakses secara terbuka (open acces)? Apakah hanya menyediakan akses terbatas?. Hal ini semuanya tentu memerlukan pertimbangan sesuai dengan kebijakan perguruan tinggi setempat. Dipastikan akan terdapat sejumlah kebijakan yang diberlakukan untuk pelaksanaan repositori. Peran pengambil kebijakan dalam hal ini menjadi sangat penting.

  Tanggung jawab operasional pelayanan merupakan bahagian terdepan dari repositori. Pelayanan juga mencakup pelayanan teknis seperti pengumpulan, pengorganisasian, pengelolaan pemeliharaan contents dan penyediaan akses. Peran pustakawan dalam hal ini sangat dominan dan menjadi titik senteral dari kegiatan repositori sehari-hari.

  Repositori internal pada suatu perguruan tinggi dapat berisi berbagai bahan yang mencerminkan kekayaan intelektual dari suatu perguruan tinggi misalnya, berkas artikel jurnal ilmiah yang ditulis oleh sivitas akademika, makalah, kertas kerja, skripsi, tesis, disertasi, hasil penelitian dan sebagainya. Ada juga repositori internal pada perguruan tinggi yang hanya berfokus kepada satu kelompok materi tertentu, misalnya hanya mengumpulkan karya tulis yang benar-benar dinilai bermutu. Selain itu, ada juga repositori internal pada perguruan tinggi yang berisikan bahan-bahan seperti disebut di atas ditambah dengan memuat seluruh artikel yang dimuat pada jurnal yang diterbitkan di lingkungan suatu perguruan tinggi.

  Secara internal, sejumlah perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia telah melaksanakan kegiatan repositori, yang pada umumnya melakukan digitalisasi terhadap local content yang dimilikinya seperti skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian dan karya ilmiah lainnya. Repositori pada perguruan tinggi di Indonesia umumnya dilakukan oleh perpustakaannya, sehingga menjadi bahagian dari sistem pengelolaan dan pelayanan perpustakaan.

  Kegiatan repositori internal pada perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia mulai terlihat pada awal tahun 2000-an. Kegiatan tersebut bersamaan dengan pengembangan perpustakaan digital pada berbagai perpustakaan perguruan tinggi. Sekitar awal tahun 2000, Perpustakaan ITB misalnya memperkenalkan repositorinya melalui pemunculan Ganesa Digital

  Library Networking

  (GDL) yang sampai saat ini masih banyak diikuti oleh perpustakaan perguruan tinggi sebagai model repositori. Konsep repositori yang ditawarkan GDL idenya sangat baik, karena mengarah kepada konsep jaringan yang memungkinkan berbagai repositori yang ada pada setiap perguruan tinggi dapat menjadi kontributor dan pengguna jaringan.

  Para pengelola perpustakaan perguruan tinggi menyadari bahwa mengelola dokumen digital jauh lebih mudah dibanding dengan dokumen cetak dan diseminasi dan akses terhadap dokumen tersebut lebih cepat. Untuk itu, repositori terhadap local content semakin dirasakan penting oleh perguruan tinggi. Repositori yang diinginkan adalah berisi dokumen akademis dan artikel jurnal yang diterbitkan sendiri oleh masing-masing perguruan tinggi.

  Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kegiatan repositori berkaitan erat dengan pengembangan perpustakaan digital di Perguruan Tinggi. Untuk pengembangan perpustakaan digital tersebut, sejak tahun 2004 DIKTI telah melakukan bebagai pelatihan terhadap pengelola perpustakaan pergruan tinggi, lokakarya, workshop dan berbagai pertemuan diantaranya: Pelatihan Manajer Perpustakaan PTN/PTS se Jabodetabek di Graha Dinar, Cisarua, Bogor dan UI, 27 Sept – 1 Oktober, 2004; Pelatihan Pengelola (Manajer) Perpustakaan PT Se Jawa, Cisarua Bogor 16 – 20 Mei 2005; Pelatihan Pengelola (Manajer) Perpustakaan PT Se Sumatera, Cisarua Bogor 30 Mei – 4 Juni 2005; Workshop Pengembangan Perpustakaan Digital di Perguruan Tinggi Jakarta, 30 Agustus – 1 September 2005; Lokakarya Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi Indonesia Cisarua, 8 – 9 Desember 2006; Pelatihan Manajemen Perpustakaan Digital bagi Pengelola/Manajer Perpustakaan Perguruan Tinggi di Wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Barat, Hotel Pangrango 1, 13 – 15 Desember 2006; Pelatihan Manajemen Perpustakan Digital bagi Perpustakaan Perguruan Tingggi di Wilayah Indonesia Bagian Timur, Makassar Desember

  2006, Seminar Towards World Class University Library, Jakarta, 14 Agustus 2007; Pengembangan Jaringan Perpustakaan Digital menuju Perpustakaan Perguruan Tinggi Bertaraf Internasional di Indonesia Hotel Inna Garuda, Jogjakarta, 29 November 2007 dan sebagainya.

  Kegiatan repositori pada perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia semakin meluas ketika DIKTI pada tahun 2005 memperkenalkan program INHERENT (Indonesian Higger Education Network) dengan menyediakan fasilitas jaringan internet dan memberi kesempatan kepada institusi perguruan tinggi untuk memanfaatkannya secara maksimal. Selain itu, pada tahun 2006 s.d 2007 DIKTI melalui program hibah kompetisi INHERENT K-1 juga memberi kesempatan kepada perguruan tinggi termasuk unit struktural akademik seperti perpustakaan untuk mendanai kegiatan pengembangan sistem, pengembangan konten pembelajaran dan sebagainya. Digitalisasi bahan perpustakaan untuk menghasilkan sumberdaya informasi digital dan pengembangan program aplikasi untuk pemanfaatannya termasuk dalam program yang ditawarkan oleh DIKTI. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh sejumlah perpustakaan perguruan tinggi untuk mendigitalisasi local content yang dimilikinya dan sekaligus membangun repositori internalnya.

  Local contents

  yang telah didigitaliasi tersebut dikelola dengan menggunakan perangkat lunak tertentu agar dapat diakses secara online. Program aplikasi yang digunakan sejumlah perguruan tinggi ada yang menggunakan program aplikasi yang berupa open source software, ada yang membangun program aplikasi yang baru dan ada pula yang hanya melakukan modifikasi terhadap program aplikasi yang sudah ada. Variasi penggunaan program aplikasi untuk repositori ini sebenarnya adalah untuk kemudahan pengelolaan (aspek manejerial) dan kemudahan akses bagi pengguna. Standar metadata yang digunakan untuk membangun repositori

  local content

  pada perguruan tinggi di Indonesia umumnya adalah Dublin Core. Dublin Core adalah salah satu skema metadata yang digunakan untuk web resource description and

  discovery.

  Penyediaan akses terhadap repositori local content perguruan tinggi di Indonesia bervasirasi. Umumnya hanya dapat diakses secara terbatas oleh pengguna. Ada perpustakaan yang hanya menyediakan akses terhadap metadata dan abstrak saja, ada yang menyediakan akses penuh (fulltext) hanya kepada sivitas akademiknya, dan ada pula yang membuka ases terbuka (opened access) dengan fulltext kepada masyarakat luas.

5. Menuju Repositori Institusi

  Institusi repositori pertama sekali dibangun oleh SPARC (The Scholarly Publishing and Academic Resources Coalition) yang berkedudukan di Washington, DC Amerika Serikat. SPARC adalah aliansi internasional dari sejumlah perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan riset yang semula bekerja untuk mengoreksi dan/atau mengawasi keseimbangan sistem dan penyebarluasan publikasi ilmiah. SPARC adalah koalisi dari sejumlah perpustakaan. SPARC berdiri pada tahun 1997 atas prakarsa bersama dari the Association of Research

  Libraries

  (ARL), the Association of American Universities (AAU), the Association of American

  

University Presses (AAUP) dan didukung oleh 12 pimpinan Universitas terbesar dan terkemuka

  di Amerika Serikat dan sejak Juni 1998 SPARC telah memiliki kantor dan staf yang khusus melaksanakan dan mengendalikan kegiatan sehari-harinya.

  Saat ini keanggotaan SPARC telah mencapai 800 institusi yang berasal dari Amerika Utara, Eropah, Jepang, China dan Australia. (Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum satu institusi perpustakaan dari Indonesia yang terdaftar pada SPARC). Selanjutnya SPARC bersama LIBER (Ligue des Bibliotheques Europeenes de Recherche) dan sejumlah organisasi pengelola informasi ilmiah di Eropah membentuk SPARC Europe pada tahun 2001. Mengikuti pola organisasi induknya, SPARC Europe adalah juga aliansi dari sejumlah perpustakaan riset, organisasi perpustakaan dan institusi riset yang ada di Eropah. SPARC Europe menyediakan komunikasi dan dukungan untuk mencapai perubahan yang positif dalam sistem komukiasi publikasi ilmiah.

  Sejak tahun 2002 repositori institusi semakin popular di Eropah ketika SPARC meluncurkan sejumlah inisiatif di Inggris untuk mengeksplorasi, meneliti dan membantu mengembangkan peran repositori dalam transformasi ilmu pengetahuan khususnya pada perpustakaan perguruan tinggi. SPARC Europe bertujuan untuk mempromosikan sistem komunikasi ilmiah yang terbuka di Eropah. Untuk mencapai akses terbuka (open access) terhadap literature dan jurnal ilmiah, SPARC mengikuti rekomendasi dari The Budapest Open

  Access Initiative

  (BOAI) dengan dua strategi yang saling melengkapi yaitu: (1) Self-Archiving. Konsep ini menyatakan bahwa masing-masing mahasiswa harus mendepositkan karya mereka termasuk artikel jurnal yang dirujuk pada open electronic

  archives

  (repositories) sesuai dengan standar open archives initiative. Sedangkan pendaftaran karya akademik lainnya dilakukan berdasarkan direktori dari open access

  repositories .

  (2) Open-Acees Journals. Pendanaan terhadap jurnal-jurnal yang tersedia dalam repositori tidak dibebankan kepada pembaca dengan peneliti. Artikel-artikel jurnal harus gratis kepada pengguna yang memerlukannya. Dalam repositori tersedia daftar dari jurnal- jurnal yang dapat diakses secara terbuka.

  SPARC merangsang kreasi yang lebih baik, lebih cepat dan mempertahankan sistem yang lebih ekonomis untuk pendistribusian pengetahuan baru, sehingga bermanfaat bari para peneliti, mitra penerbitan, perpustakaan dan masyarakat luas. Penyediaan akses terbuka adalah kunci keberhasilan SPARC.

  Repositori dalam format sebagai sebuah institusi yang berupa gabungan atau aliansi dari beberapa repositori yang sering disebut dengan Institutional Repositories seperti model SPARC masih belum optimal berjalan di Indonesia. Akan tetapi, motivasi dan semangat untuk membangun sebuah repositori institusi pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai menguat yang didasarkan atas kebutuhan civitas akademika dan juga stakeholder yang berkeinginan untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan ilmiah di perguruan tinggi.

  Hal ini terlihat dalam kurun waktu 3-4 tahun terakhir ini DIKTI bersama Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI) telah memulai gagasan dan usaha yang mengarah ke Institusional Repositories tersebut.

  Bersamaan dengan pengembangan perpustakaan digital, berbagai kesepakatan dirumuskan diantaranya membentuk Jaringan Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi di Indonesia dengan nama Jaringan Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi Indonesia (JAPERDIPTI) atau Indonesia Higher Education Digital Library Network (ID-LIB NET). Jaringan Perpustakaan Digital Perguruan Tinggi ini dibangun sebagai wujud kebijakan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi dalam rangka pendayagunaan bersama informasi ilmiah perguruan tinggi. Anggota Jaringan adalah Perpustakaan Perguruan Tinggi yang menandatangani formulir kesediaan menjadi anggota yang disetujui oleh Rektor/Pimpinan Perguruan Tinggi dan disahkan oleh Direktur PAK/Dirjen DIKTI.

  Kerjasama jaringan perpustakaan digital tersebut adalah untuk meningkatkan pelayanan perpustakaan dan mendorong pertukaran informasi antar perpustakaan anggota, mendorong aksesabilitas koleksi lokal dan literatur kelabu yang dimiliki oleh masing-masing perpustakaan anggota, mendukung pendidikan berkelanjutan bagi pengelola perpustakaan dan meningkatkan pelayanan perpustakaan melalui konsorsium, merupakan wadah untuk kegiatan diskusi dan pertukaran pemikiran yang bermanfaat bagi pemanfaatan dan penyebaran sumber daya informasi dan membina hubungan dengan jaringan atau konsorsium perpustakaan yang lain, yang diatur tersendiri.

  Perkembangan terakhir dari repositori internal pada perguruan tinggi di Indonesia adalah dibangunnya portal sumber ilmiah nasional dengan nama Referensi Ilmiah Indonesia (RII) atau

  

Indonesian Scientific Resources . Portal ini diharapkan mampu berperan sebagai salah satu sarana

  efektif dalam penyebarluasan informasi dan memungkinkan terjadinya jalinan komunikasi, baik antar perpustakaan kontributor/anggota maupun antar individu sehingga diharapkan memudahkan pengguna untuk saling bertukar informasi. Pengembangan RII ini terselenggara berkat kerja sama antara Direktorrat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI-Depdiknas), Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII - LIPI) dan berbagai pihak sebagai kontributor.

  Tujuan pengembangan RII sangat baik dan sebaiknya harus direspon oleh masing-masing perguruan tinggi di Indonesia karena melalui portal ini maka penyebarluasan informasi yang efektif dan tepat guna sesuai kebutuhan serta harapan pengguna yang selama ini menjadi tantangan besar bagi dunia perpustakaan, dokumentasi dan informasi akan dapat teratasi. Dalam panduan RII dinyatakan bahwa portal ini dikembangkan sebagai titik akses informasi ilmiah dilakukan melalui penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi dengan melibatkan partisipasi dan kerjasama berbagai perguruan tinggi dan lembaga penelitian, terutama dalam hal penyediaan fasilitas dan konten secara terintegrasi. Portal RII diharapkan sebagai titik akses tunggal bagi seluruh layanan (one stop services), mencakup pula E-Journal Domestik yang didalamnya dimuat pula karya ilmiah seperti, laporan penelitian, tugas akhir mahasiswa seperti skripsi, tesis dan disertasi, paten, prosiding, standar nasional Indonesia (SNI), pidato pengukuhan guru besar dan berbagai jenis karya ilmiah lain yang dihasilkan oleh akademisi dan peneliti yang ada di Indonesia.

  Portal RII diharapkan akan menjadi repositori institusi dan selanjutnya akan menjadi perpustakaan digital. Pengalaman dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa perpustakaan digital dianggap sebagai salah satu sarana efektif dalam penyebarluasan informasi karena memungkinkan terjadinya jalinan komunikasi, baik antar perpustakaan maupun antar individu sehingga diharapkan memudahkan pengguna untuk saling bertukar informasi.

  Perpustakaan digital umumnya dikelola dalam format pangkalan data yang terintegrasi antara satu isntitusi dengan institusi yang lain, termasuk pangkalan data karya ilmiah. Pangkalan data yang terintegrasi di Indonesia sampai saat ini masih belum dikelola secara optimal. Keadaan ini mengakibatkan terhambatnya transfer informasi penting mengenai karya ilmiah kepada masyarakat, terbatasnya akses informasi karya ilmiah, terjadinya duplikasi kegiatan penelitian dan tidak terpantaunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada hal pontensi dan peluang untuk membangun repositori institusi mengikuti model yang dibuat oleh SPARC di Indonesia sangat memungkinkan mengingat Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang berada di bawah pembinaan Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional memiliki keragaman informasi yang berasal dari ratusan perpustakaan yang mereka miliki, baik dalam bentuk tercetak maupun digital dan pada umumnya perguruan tinggi tersebut mengelola karya ilmiah berupa skripsi, tesis, disertasi, prosiding, dan laporan penelitian universitas dalam bentuk pangkalan data (database).

6. Penutup

  Pendirian repositori internal pada masing-masing pergurun tinggi di Indonesia sangat memungkinkan pembangunan repositori institusi seperti model yang dikembangkan oleh SPARC. Konsep RII telah mengarah kepada repositori isntitusi yang selanjutnya akan berkembang menjadi perpustakaan digital.

  Repositori institusi dipandang sebagai suatu sistem yang memudahkan akses terhadap informasi ilmiah daan sebagai salah satu pendorong munculnya karya ilmiah yang bermutu. Akses terbuka (open access) adalah merupakan ciri dari repositori institusi. Aplikasi akses terbuka ini dapat diatur lebih lanjut oleh pengelola repositori dengan kontributor bahan repositori (dokumen). Untuk itu, ke depan perlu ditetapkan pengelola yang khusus menangani repositori institusi ini.

  

Daftar Bacaan

Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities (2003).

  Retrieved October 25, 2007 from http://oa.mpg.de/openaccess-berlin/berlin_declaration.pdf .

  Budapest Open Access Initiative

  (2001). Retrieved October 25, 2007 from http://www.soros.org/openaccess/read.shtml. Crow, R. (2002). The Case for Institutional Repositories: A SPARC Position Paper. The Scholarly Publishing & Academic Resources Coalition.

  Retrievef May 23, 2007 from

  http://www.arl.org/sparc/bm%7Edoc/ir_final_release_102.pdf

  Davis, Philip. M. (2007). Institutional Repositories: Evaluating the Reasons for Non-uses of Cornell University,s Installation of DSpace. D-Lib Magazine. Vol. 13, No.3/4, March/April 2007 Jones, R.; et.al. (2006). The Institutional Repository. Oxford: Chandos Publishing.

  Lynch, C. (2003). Institutional Repositories: Essential infrastructure for scholarship in the digital age, ARL Bimonthly Report, No. 226. Retrieved October 24, 2007 from

  http://www.arl.org/resources/pubs/br/br226/br226ir.shtml .

  Pennock, Maureen. (2007). Institutional Repositories: The New University Challenge. ALISS

  Quarterly

  , April 2007 Pfister, Joachim and Hans-Dieter Zimmermann. (200) Towards the Introduction of an Institutional Repository: Basic Principles and Concepts. http://edoc.hu-berlin.de/conferences/bobcatsss2008/

  Referensi Ilmiah Indonesia. (2009). Panduan Kerjasama Jaringan. Di-dowonload November 2009 dari http://jurnal.dikti.go.id/jurnal/panduan Kontributor. Reitz, Joan M. (2004). Dictionary for Library and Information Science. Westport, Connecticut

  London: Libraries Unlimited Wikipedia (2007): Institutional Repository. Retrieved October 10, 2007 from http://en.wikipedia.org/wiki/Institutional_repository.