BAB II RAHASIA JABATAN NOTARIS ATAS AKTA YANG DIPERBUAT OLEH ATAU DIHADAPAN NOTARIS YANG BERINDIKASI TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Notaris Sebagai Pejabat Umum - Perlindungan Hukum Bagi Notaris Untuk Menjaga Kerahasiaan Isi Akta Yang D

BAB II RAHASIA JABATAN NOTARIS ATAS AKTA YANG DIPERBUAT OLEH ATAU DIHADAPAN NOTARIS YANG BERINDIKASI TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Notaris

1. Notaris Sebagai Pejabat Umum

  Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat-pejabat lainnya, sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lainnya maka

  29

  kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris. Istilah Notaris berasal dari

  30 bahasa Latin, yaitu Notarius, yang artinya adalah orang yang membuat catatan.

  Namun ada juga yang mengatakan bahwa istilah Notarius itu berasal dari kata Nota

  Literaria,

  yang artinya tanda (letter mark atau karakter) yang menyatakan sesuatu

  31

  perkataan. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke- 17

  32 Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC)

  dengan beradanya di Indonesia. Pada tanggal 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jacatra sebagai

  33 ibu kota , mengangkat Melchior Kerchem, sebagai Notaris Pertama di Indonesia.

  Produk penting dari peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan dalam era reformasi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 29 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 40. 30 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-Hak Notaris, Wakil Notaris (sementara), Pradyna Parmita, Jakarta, 1982, hal 34. 31 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu penjelasan, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hal 13. 32 33 G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hal. 15.

  Tanggal 4 Maret 1621 dinamakan “Batavia” .

  32

  (UUJN) yang telah berlaku sejak tanggal diundangkannya yakni tanggal 6 Oktober 2004. Pembentukan UUJN ini disebabkan karena Peraturan Jabatan Notaris 1860 Nomor 3 tentang Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia yang mengatur mengenai jabatan Notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Adapun beberapa ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan melalui pembentukan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sehingga dikeluarkanlah

  34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Notaris.

  Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah “Pejabat Umum yang berwenang membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akt otentik (Pasal 15 ayat (1) UUJN) dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat. Produk yang dihasilkan Notaris sebagai pejabat publik ialah akta yang memiliki kekuatan hukum dan nilai pembuktian yang sempurna para pihak dan siapapun, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya, bahwa akta tersebut tidak sah dengan menggunakan asas praduga sah secara terbatas. Namun Notaris sebagai 34 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014. pejabat publik mempunyai batasan pertanggungjawaban, yaitu sampai yang bersangkutan masih mempunyai kewenangan sebagai Notaris, maka ketika seorang Notaris pensiun atau berhenti dengan alasan apapun sudah tidak mempunyai pertanggungjawaban lagi.

35 Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan

  wewenang Notaris. Menurut Wawan Setiawan, PejabatUmum ialah organ negara yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebahagian dari kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata.

36 Soegondo Notodisoejo mengatakan bahwa :

  Pejabat umum adalah seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan (gezag) dari pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat.

37 Pejabat yang menjalankan sebagian kekuasaan negara yang bersifat mengikat

  publiekrechtelijk

  disebut pejabat umum dan dalam menjalankan jabatannya pejabat umum tersebut mempunyai ciri khusus yaitu : a. Suatu kedudukan yang mandiri (onafhankelijkheid-independency);

  b. Tidak memihak onpartijdigheid-impartially guna menjamin keabsahan dari akta otentik tersebut baik di dalam hal kekuatan pembuktian lahiriah, kekuatan pembuktian formal dan kekuatan pembuatan material; 35 Habib Adjie, Op. Cit., hal. 51. 36 Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT dibandingkan

  

dengan kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara menurut sistem hukum nasional, Pengurus Pusat

Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta, 2 Juli 2001, hal. 8. 37 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia suatu penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 44.

  Dalam menjalankan jabatannya Notaris berada dalam kedudukan yang netral dan tidak memihak artinya Notaris berada di luar para pihak yang melakukan hubungan hukum tersebut dan bukan sebagai salah satu pihak dalam hubungan hukum itu. Notaris menjalankan jabatannya dalam posisi netral di antara para penghadap yang meminta jasanya, untuk menjamin kenetralan tersebut, maka Notaris harus bersikap mandiri dan tidak memihak serta tidak terpengaruh terhadap keinginan pihak-pihak tertentu, terutama jika keinginan tersebut melanggar ketentuan hukum yang berlaku atau merugikan pihak lain. Dalam hal menjaga kemandirian Notaris dalam menjalankan jabatan maka pengangkatan Notaris dilakukan oleh pemerintah berdasarkan kewenangan atributif atas ketentuan undang-undang untuk melaksanakan sebagian dari kekuasaan yang dimiliki negara, terutama dalam bidang hukum keperdataan.

  Notaris dalam menjalankan tugas kewenangannya selaku Pejabat Umum hanyalah merekam, mengkonstantir atau merelateer secara tertulis dan otentik dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan, Notaris tidak berada di dalamnya, artinya yang melakukan perbuatan hukum itu adalah pihak-pihak yang membuat serta yang terkait dalam dan oleh isi perjanjian, adalah mereka pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal terjadinya pembuatan akta Notaris atau akta otentik itu berada pada pihak-pihak. Menurut Subekti, persetujuan juga disebut perjanjian, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, selain itu juga dapat dikatakan, bahwa dua perikatan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perjanjian

  38

  merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Karenanya akta Notaris atau akta otentik tidak menjamin bahwa pihak-pihak “berkata benar”tetapi yang dijamin oleh akta otentik adalah pihak-pihak “benar berkata” seperti termuat dalam akta perjanjian mereka.

2. Tugas/Kewenangan Notaris

  Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang tersebut. Wewenang Notaris memiliki batasan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan pejabat yang bersangkutan.

  Setiap perbuatan pemerintahan diisyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa ada kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun Badan Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun bagi setiap

  39 badan.

  Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga sumber yakni atribusi, delegasi

  40

  dan mandat. Kewenangan yang diperoleh dengan cara atribusi, apabila terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan perundang- undangan dan perundang-undanganlah yang menciptakan suatu wewenang 38 39 Subekti, Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta, 1992, hal. 1.

  Lutfi Effendi, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal. 77. 40 Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian administrative law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal 139-140. pemerintahan yang baru. Kewenangan secara delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan suatu peraturan perundang- undangan atau aturan hukum. Kewenangan mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang tapi karena yang berkompeten berhalangan.

  Berdasarkan UUJN tersebut ternyata Notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh kewenangan secara atribusi, karena wewenang tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Jadi wewenang yang diperoleh Notaris bukan berasal

  41

  dari lembaga lain, misalnya dari Departemen Hukum dan HAM. Jadi, Notaris memiliki legalitas untuk melakukan perbuatan hukum membuat akta otentik.

  Ketentuan mengenai kewenangan Notaris tercantum dalam Pasal 15 UUJN, dimana kewenangan Notaris dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: a. Kewenangan Umum Notaris

  Kewenangan Umum Notaris tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris adalah membuat akta secara umum, namun dengan batasan sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang, menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan, mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

  b. Kewenangan Khusus Notaris 41 Habib Adjie, op cit, hal. 78

  Kewenangan Khusus Notarisuntuk melakukan tindakan hukum tertentu tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, seperti : a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus; b) Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

  c) Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

  e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

  f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang.

  Adapun kewenangan khusus Notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam bentuk In Original, yaitu akta : a) Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

  b) Penawaran pembayaran tunai;

  c) Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

  d) Akta kuasa;

  e) Keterangan kepemilikan; atau f) Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat dalam minuta akta yang telah ditanda tangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembentulan tersebut Notaris wajib menyampaikannya kepada para pihak.

  42 Pembetulan yang dimaksud dalam Pasal 51 UUJN bukanlah pembetulan

  sebagai renvoi, hal ini dikarenakan pembetulan tersebut harus dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan mengenai hal tersebut pada Minuta Akta dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan (Pasal 51 ayat (2) UUJN). Salinan akta berita acara tersebut wajib disampaikan kepada para pihak (Pasal 51 ayat (3) UUJN).

  Kewenangan untuk melakukan pembetulan pada suatu akta yang mengakibatkan adanya kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta dapat dilakukan oleh notaris dengan membuat berita acara pembetulan. Namun terdapat perbedaan ketentuan yang diatur didalam UUJN yang lama dengan yang ada di dalam UUJN sekarang ini. Menurut aturan UUJN yang lama (UU Nomor

  30 Tahun 2004) bahwa pembetulan tersebut dapat dilakukan oleh Notaris tanpa perlu adanya kehadiran dari para penghadap. Sedangkan menurut UUJN yang baru (UU Nomor 2 Tahun 2014) bahwa kewenangan untuk melakukan pembetulan tersebut 42 Pasal 51 UUJN selengkapnya berbunyi :

  (1) Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani; (2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan penghadap, saksi, dan Notaris yang dituangkan dalam berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada

  Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor Akta berita acara pembetulan; (3) Salinan Akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para Pihak; (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mengakibatkan suatu Akta

hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan

bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. hanya dapat dilakukan oleh notaris apabila pembetulan itu dilakukan dengan kehadiran penghadap.

  Berdasarkan UUJN yang baru dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kewajiban hadirnya penghadap maka pembetulan atau perbaikan tersebut tidak dilakukan oleh Notaris tetapi dilakukan oleh para penghadap dengan membuat akta perbaikan.

  c. Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tercantum dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN. Dimana kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian merupakan kewenangan yang akan muncul akan ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam artian bahwa jika Notaris melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, maka Notaris telah melakukan tindakan diluar wewenang, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable), dan pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat

  43 digugat secara perdata ke pengadilan negeri.

43 Setiap orang yang datang menghadap Notaris sudah tentu berkeinginan agar perbuatan atau

  tindakan hukumnya yang diterangkan di hadapan atau oleh Notaris dibuat dalam bentuk akta Notaris tapi dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, kepada ,mereka dibuatkan akta dibawah tangan yang kemudian dilegalisasi atau dibukukan oleh Notaris sendiri. Tindakan Notaris tersebut sebenarnya tidak dapat dibenarkan, untuk membuatkan surat semacam itu, tapi yang dibenarkan adalah melegalisasi atau membukukan surat tersebut. Agar sesuai dengan kewenangan Notaris, tindakan tersebut tidak perlu dilakukan oleh Notaris, kalau ingin dibuat dengan akta dibawah tangan dapat dibuat sendiri oleh yang bersangkutan saja, bukan dibuat oleh Notaris.

  (Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 82).

3. Kewajiban Notaris

  Notaris dalam menjalankan kewajibannya menganut beberapa asas yang dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas jabatan Notaris. Asas atau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan alas, dasar, tumpuan, tempat untuk

  44

  menyadarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. Asas-

  45

  asas dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris yaang baik adalah sebagai berikut :

  a) Asas Persamaan; Sesuai dengan perkembangan zaman, institusi Notaris telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin meneguhkan institusi

  Notaris. dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Notaris tidak boleh membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan keadaan sosial-ekonomi atau alasan lainnya. hanya alasan hukum yang dapat dijadikan dasar bahwa Notaris dapat tidak memberikan jasa kepada pihak yang menghadap.

  b) Asas Kepercayaan; Salah satu bentuk dari Notaris sebagai jabatan kepercayaan, yaitu Notaris mempunyai kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh gunapembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN juncto Pasal 4 ayat (2) UUJN).

  c) Asas Kepastian Hukum; 44 45 Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hal.119.

  Philipus M. Hadjon,-dkk, Op. Cit., hal. 270 Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukumyang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta.Dimana akta yang dibuat oleh Notaris harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, yang apabila terjadi permasalahan akta Notaris dapat dijadikan pedoman bagi para pihak.

  d) Asas Kecermatan; Meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepada Notaris dan mendengarkan keterangan atau pernyataan para pihak wajib dilakukan sebagai bahan dasar untuk dituangkan dalam akta. Notaris dalam kecermatannya wajib melakukan pengenalan terhadap penghadap, berdasarkan identitas penghadap. Menanyakanmendengarkan serta mencermati keinginan piha yang menghadap, memeriksa setiap bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak, memberikan saran kepada penghadap, memenuhi teknik dalam pembuatan akta serta memenuhi kewajiban lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaantugas jabatannya sebagai Notaris.

  e) Asas Pemberian Alasan; Setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris harus sesuai dengan alasan serta fakta yang mendukung.

  f) Larangan Penyalahgunaan Wewenang; Batas kewenangan Notaris dituangkan dalam Pasal 15 UUJN, apabila Notaris melakukan tindakan di luar kewenangannya maka tindakan tersebut dapat disebut sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang. g) Larangan Bertindak Sewenang-wenang; Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan kepada nya. dalam hal ini Notaris mempunyai peranan untuk menetukan suatu tindakan apakah dapat dituangkan dalam bentuk akta atau tidak, dan keputusan yang diambil harus didasarkan pada alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para penghadap.

  h) Asas Proporsionalitas; Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN, Notaris wajib menjaga kepentingan para pihak yang terkaitdalam perbuatan hukum atau dalam menjalankan tugas jabatannya, wajib mengutamakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban para penghadap. i) Asas Profesionalitas

  Dalam menjalankan tugas jabatannya mengutamakan keahlian (keilmuan) berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris. Hal tersebut diwujudkan dalam melayani masyarakat dan akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris.

  Notaris selaku pejabat umum yang memiliki kewenangan dalam membuat akta otentik, dalam menjalankan tugasnya melekat pula kewajiban yang harus dipatuhi, karena kewajiban tersebut merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUJN, yang menyatakan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris memiliki kewajiban:

  a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

  d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

  e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

  g. Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

  h. Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2

  (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan n. Menerima magang calon Notaris.

  Kewajiban Notaris untuk “bertindak jujur dan seksama”, artinya bahwa Notaris harus terbuka dan cermat dalam setiap pengambilan keputusan, apakah tindakan atau keinginan para pihak dapat dirangkumkan ke dalam bentuk akta Notaris, dan apakah semua syarat yang dibutuhkan/diperlukan dalam pembuatan akta sudah dipenuhi. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka Notaris wajib untuk menolaknya. Sehingga Notaris sebagai pejabat umum harus memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat yang membutuhkan bukti otentik atas perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan Notaris.

  Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN memuat Notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-alasan tertentu. Alasan untuk menolak tersebut merupakan alasan yang mengakibatkan agar Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami/isterinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.

  Dalam praktik ditemukan alasan-alasan lain, sehingga Notaris menolak memberikan jasanya, antara lain

  46

  :

  a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi berhalangan karena fisik; b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang sah;

  c. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapat melayani orang lain;

  d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak diserahkan kepada Notaris; e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh penghadap tidak dikenal oleh Notaris atau tidak dapat diperkenalkan kepadanya; f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea materai yang diwajibkan;

  g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya atau melakukan perbuatan melanggar hukum; h. Apabila pihak-piahak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang menghadap berbicara 46 R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit., hal. 97-98. dengan bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, apabila Notaris ingin menolak untuk memberikan jasanya kepada pihak yang membutuhkan, maka penolakan tersebut harus merupakan penolakan dalam arti hukum dan memiliki alasan yang jelas, sehingga ada alasan atau argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga masing- masing pihak yang terkait dapat memahaminya.

  Notaris memiliki kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya, sehingga menjadi jelas isi akta Notaris tersebut, serta memberikan penjelasan terhadap informasi, termasuk perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta.

  Kewajiban Notaris terkandung dalam Pasal 4 UUJN terkait sumpah/janji jabatan Notaris sebagai berikut:

  (1)Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan menteri atau pejabat yang ditunjuk; (2)Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

  “saya bersumpah/berjanji:

  • bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia,

  Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.

  • bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
  • bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
  • bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.

  • bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsng, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapapun.”

  Sumpah jabatan Notaris dalam Pasal 4 dan kewajiban Notaris dalam Pasal 16 ayat 1 huruf (f) UUJN mewajibkan Notaris untuk tidak bicara, sekalipun di muka pengadilan, artinya tidak dibolehkan untuk memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam akta. Notaris tidak hanya berhak untuk bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak bicara. Kewajiban ini mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUHPerdata.

B. Akta Otentik Yang Dibuat Oleh Atau Dihadapan Notaris Yang Berindikasi Perkara Pidana

  1. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Yang Dibuat Oleh Atau Dihadapan Notaris Defenisi akta Notaris dimuat dalam Pasal 1 angka 7 yang mengatakan bahwa

  “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang- undang ini.” Dan tersirat dalam Pasal 58 ayat (2) UUJN disebutkan bahwa Notaris wajib membuat daftar Akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau dihadapan

  47 Notaris. Menurut Sudikno Mertokusumo , akta adalah surat sebagai alat bukti yang

  diberi tandatangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. 47 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 149.

  Akta Notaris lahir dan tercipta karena :

  1. Atas dasar permintaan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan, agar perbuatan hukum mereka itu dinyatakan atau dituangkan dalam bentuk akta otentik;

  2. Atas dasar Undang-undang yang menentukan agar untuk perbuatan hukum tertentu mutlak harus dibuat dalam bentuk akta otentik dengan diancam kebatalan jika tidak, misalnya dalam mendirikan suatu perseroan terbatas,

  48 harus dengan akta otentik.

  Terdapat 2 (dua) jenis akta Notaris yakni Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta Notaris; Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan

  49 agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.

  Akta otentik merupakan alat bukti bagi para pihak dalam suatu perjanjian yang berisi hak dan kewajiban para pihak tersebut berkaitan dengan hal-hal yang telah disepakati. Oleh karena itu akta otentik berguna bagi para pihak untuk memastikan hak dan kewajiban masing-masing demi kepastian hukum, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan dan sekaligus juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Keotentikan akta tersebut tetap bertahan walaupun Notaris yang membuatnya meninggal dunia. Tanda tangan Notaris yang 48 49 Rachmat Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A Bardin, Bandung, 1999, hal. 3 G. H. S. Lumban Tobing, op.cit, hal 51.

  bersangkutan tetap memiliki kekuatan meskipun ia tidak dapat lagi menyampaikan

  50 keterangan mengenai kejadian-kejadian pada saat pembuatan akta itu.

  Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya perjanjian harus dipernuhi. Pasal 1320 KUHPerdata telah mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para

  51 pihak yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.

  Menurut A. Pitlo, akta merupakan surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa

  52

  surat itu dibuat. Sedangkan menurut Subekti, Akta berbeda dengan surat, artinya bahwa kata akta bukan berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan

  53

  hukum, berasal dari kata acte yang dalam bahasa Prancis berarti perbuatan. Dalam

  54

  menilai sebuah akta Notaris harus didasarkan pada 3 (tiga) nilai pembuktian, yaitu:

  a. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) 50 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2009, hal. 43. 51 Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 1335 KUHPerdata). Jika

  tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab

yang lain, daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah (Pasal 1336 KUHPerdata). (Habib

Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), (Bandung :PT. Refika Aditama, 2009), hal. 82). 52 A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa (Alih Bahasa M. Isa Arief), Intermasa, Jakarta 1986, hal. 52. 53 54 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1980, hal. 29.

  R. Soegondo Notodisoerjo, op.cit., hal. 55. G. H. S. Lumban Tobing, op.cit., hal. 54-65. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 123; R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1989, hal. 93-94. Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant

  sese ipsa).

  Artinya kata itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik karena kehadirannya, kelahirannya sesuai atau ditentukan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik bukan akta otentik, penilaian pembuktiannya haris didasarkan pada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Dimana pembuktiannya harus melalui upaya gugatan ke pengadilan dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta Notaris.

  b. Formal (Formele Bewijskracht) Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuktian akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul atau waktu menghadap, dan identitas dari pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, demikian juga tempat dimana akta itu dibuat, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris pada akta pejabat/berita acara dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap pada akta pihak.

  c. Materiil (Materiele Bewijskracht) Akta Notaris memberikan kepastian tentang materi suatu akta bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Jika akan membuktikan aspek materiil dalam akta, yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris. Kuantitas Notaris sangatlah tinggi, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap pembuatan akta. Setiap perbuatan melanggar hukum tentunya haruslah mengalami proses penyelidikan, penyidikan, dan persidangan serta proses hukum lainnya, baik secara perdata maupun pidana. Terkait dengan hal-hal yang demikian, seringkali permasalahan tersebut masuk dalam ranah hukum pidana. Sengketa hukum ini tentunya tidak hanya berimplikasi pada Notaris yang membuat akta itu saja, tapi juga dapat berimplikasi pada akta itu sendiri. Dalam hal pemanggilan dan kehadiran seorang Notaris dalam pemeriksaan perkara pidana dapat dibedakan sebagai berikut :

  a. Sebagai Ahli;

  Dalam hal ini Notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai ahli hukum yang berwenang membuat akta otentik sehingga diperlukan pertimbangan hukum yang khusus sesuai keahliannya berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab Notaris serta hal-hal yang dapat memberikan penjelasan kepada penyidik di Kepolisian, Jaksa/penuntut umum, hakim, pengacara/penasehat hukum maupun pihak pencari keadilan; b. Sebagai Saksi;

  Dalam hal ini Notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana, dalam kapasitas sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik, diperlukan kesaksiannya terhadap apa yang dilihat, didengar dan bukti-bukti pendukung dalam pembuatan akta otentik tersebut, yang ternyata terindikasi perkara pidana. Dalam kedudukan sebagai saksi ini apabila kuat dugaan Notaris terlibat, maka dapat ditingkatkan statusnya menjadi tersangka; dan c. Sebagai tersangka;

  Dalam hal ini Notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai tersangka berdasarkan bukti awal sehingga patut diduga adanya tindak pidana yang dilakukan Notaris sebagai pembuat akta otentik, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama, yang ditemukan oleh penyidik, sehingga Notaris harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dalam persidangan.

  Pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir, formal dan materil akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana; Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta dihadapan atau oleh Notarisyang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan Tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

  Notaris kemungkinan dikenakan dakwaan, seperti :

  1. Notaris telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang yaitu sifat melawan hukum formil, sebagai dampak kriminalisasi dan penalisasi yang telah dilakukan oleh penguasa, dalam rangka reaksi kemungkinan terjadinya penyimpangan;

  2. Dalam rangka menentukan ada atau tidaknya tindak pidana kepada yang bersangkutan, maka proses peradilan umum akan menguji seberapa jauh syarat-syarat penentuan perkara telah terpenuhi; Apakah perbuatan Notaris yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur delik dalam undang-undang dan apabila sudah, masih harus dipersoalkan mengenai kesalahan Notaris, baik intern maupun ekstern, membenarkan atau tidak terhadap perbuatan Notaris tersebut. Penyimpangan dapat melanggar norma hukum pidana dan atau melanggar hukum disiplin. Hal ini penting untuk dipersoalkan, karena apa yang dinamakan bersifat melawan hukum pada dasarnya harus bersifat formil dan materil, jika hanya berpegang pada hukum tertulis saja akan mengurangi rasa keadilan;

  3. Sifat melawan hukum materil tersebut dapat digali baik dari ketentuankode etik maupun dari ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (sekarang UUJN). Kode etik yang seharusnya ditegakkan oleh peradilan disiplin profesi yang sampai saat ini belum kelihatan aktivitas dan peraturan jabatan Notaris ditegakkan oleh peradilan administrasi. Keputusan yang telah diambil oleh salah satu dari peradilan tersebut tidak menghalangi keputusan peradilan umum, bahkan sifatnya saling melengkapi atau komplementer;

  4. Kemudian baru dipersoalkan, adakah alasan pembenar baik dalam undang- undang maupun di luar undang-undang.

  Jika tahapan tersebut di atas sudah dapat dipenuhi, maka keputusan Hakim untuk memberikan jaminan kepastian dan keadilan dapat diwujudkan, terutama kepada profesi Notaris.

55 Sanksi pidana merupakan ultimatum remedium, yaitu obat terakhir, apabila

  sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi.

  Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta Notaris, pihak penyidik, penuntut umum dan hakim akan memasukkan Notaris telah melakukan tindakan hukum :

  a. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2), KUHP); b. Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP);

  c. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266 KUHP);

  d. Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55 jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP); e. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).

  Sebagai contoh kasus pendukung dan bukan sebagai objek dalam penelitian ini, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1847 K/Pid/2010 merupakan kasus yang terjadi di wilayah Kota Medan dan bukan merupakan contoh kasus yang berada di 55 Nico, Tanggung Jawab Notaris selaku Pejabat Umum, CDSBI, Yogyakarta, 2003, hal. 185-186. wilayah Kota Pematangsiantar, hal ini disebabkan karena di Kota Pematangsiantar belum terdapat kasus yang mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menyangkut dengan pembuatan akta otentik dan terkait dengan jabatannya sebagai Notaris. Dari putusan tersebut dapat diketahui bahwa Notaris yang melakukan tindak pidana tersebut telah dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membuat surat Autentik Palsu. Dimana Mahkamah Agung menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 265/Pid/2009/PT.MDN, yang amar putusannya :

  1. Menyatakan terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH, MH telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membuat surat Autentik Palsu” (Pasal 264 ayat (1) ke- 1 e KUHP); 2. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

  Adapun kasus posisinya ialah sebagai berikut : Bahwa ia Terdakwa Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH.MH pada tanggal 26 Desember 1990 atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada bulanDesember 1990 bertempat di Kantor Notaris Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI,SH Jalan Palang Merah No.56 Medan atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan memalsukan surat Akta Authentik yang dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bermula Terdakwa Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH.MH pada hari Rabu tanggal 26 Desember 1990 di Kantor Notaris Drs. ADE RACHMAN MAKSUDI, SH Jalan Palang Merah No. 56 Medan, didatangi Haji Sugeng Imam Soeparno untuk membuat perubahan-perubahan pada Akta Authentik No. 132 tanggal 26 Desember 1990, Terdakwa menuliskan perubahan-perubahan dan pengurangan serta menghilangkan isi yang ada dalam asli/Minuta Akta Yayasan Trie Argo Mulyo Nomor 132 tanggal 26 Desember 1990 ke dalam selembar kertas kosong. isi Akta yang telah dirubah Terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. Pada hari Senin targgal 25 Juni 2007 sekira pukul 11.00 Wib di Kantor Pengadilan Negeri Medan Jalan Pengadilan No. 08 Kota Medan Propinsi Sumatera Utara Akta Authentik No 132 tanggal 26 Desember 1990 yang seolah-olah sesuai dengan isi Minuta Asli salinan kedua Akte No. 132 tanggal 26 Desember 1990 yang dibuat oleh Notaris Soeparno, SH selaku pejabat yang menampung protokol Notaris Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. Digunakan oleh saksi Haji Sugeng Imam Soeparno sebagai barang bukti dalam perkara Perdata di Pengadilan Negeri Medan Nomor 306/Pdt.G/06/PN.Mdn, tanggal 08 September 2006. Yang dibuat oleh Terdakwa Drs. Ade Rachman Maksudi, SH. mengakibatkan kerugian kepada saksi Alwi selaku Direktur Operasional PT. Pancing Business Centre Medan (pelapor) yaitu kalah dalam sidang perdata nomor 306/Pdt.G/06/PN.Mdn, tanggal 08 September 2006, Akibat dari perbuatan Terdakwa memalsukan surat Akta Authentik mengakibatkan suatu kerugian.

  2. Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum Terhadap Akta Otentik Yang diperbuatnya Otensitas akta Notaris bukan pada kertasnya akan tetapi akta yang dimaksud dibuat di hadapan Notaris sebagai Pejabat umum dengan segala kewenangannya atau dengan perkataan lain akta yang dibuat Notaris mempunyai sifat otentik, bukan karena undang-undang menetapkan sedemikian akan tetapi oleh karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868

56 KUHPerdata. Perlunya akta otentik dalam suatu peristiwa hukum adalah untuk

  menjamin kepastian hukum untuk melindungi para pihak, baik secara langsung yaitu para pihak yang berkepentingan langsung dengan akta itu maupun secara tidak langsung yaitu masyarakat.

  Mengenai tanggung jawab terhadap akta yang dibuat dihadapan Notaris, perlu ditegaskan bahwa dengan kewenangan Notaris dalam pembuatan akta Notaris, bukan berarti Notaris dapat secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuat akta otentik

  57 tanpa adanya para pihak yang diminta untuk dibuatkan akta.

  58 Substansi Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memuat tiga

  syarat suatu akta otentik yakni:

  1. Dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa (pejabat publik yang berwenang) dimana hal yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang dimaksud tersebut haruslah dipercaya dan diakui telah sesuai hukum (rechtmatig), misalnya akta yang dibuat oleh Notaris, pejabat lelang, pejabat pembuat akta catatan sipil, dan sebagainya;

  59

  2. Format atau bentuk akta tersebut telah ditentukan oleh undang-undang; 56 57 G. H. S. Lumban Tobing, op.cit., hal 82.

  Ismantoro Dwi Yuwono, Memahami Berbagai Etika Profesi dan Pekerjaan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hal. 193 58 Pasal 1868 selengkapnya berbunyi “suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat”.

  3. Akta tersebut ditempat pejabat publik itu berwenang atau ditempat kedudukan hukum pejabat publik tersebut.

  Ketiga syarat tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, kekuatan pembuktian akta tersebut tidaklah otentik dan hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Ketiga syarat ini sangatlah penting dikarenakan suatu akta otentik memliki kekuatan pembuktian yang penuh dan sempurna (probatio plena), dimana pembuktian pembuktian akta otentik itu tidak lagi memerlukan alat bukti lain selain akta otentik itu sendiri, dan akta otentik tersebut haruslah tetap dianggap benar selama belum ada pembuktian yang dapat membuktikan otentisitas akta tersebut.

  Adapun syarat otensitas dari akta Notaris adalah sebagai berikut :

  a. Para penghadap menghadap Notaris;

  b. Para penghadap mngutarakan maksudnya;

  c. Notaris mengkonstantir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;

  d. Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap;

  e. Para penghadap membubuhkan tandatangannya, yang berarti membenarkan hal- hal yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat itu juga;

  f. Dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. 59 Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-Undang yang tecantum dalam Pasal 38 UUJN.

  Apabila akta yang bersangkutan tidak memenuhi syarat otensitas tersebut di atas, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan kalau akta tersebut di tandatangani oleh para pihak. Surat yang ditanda tangani oleh pihak-pihak secara di bawah tangan itu, sekalipun merupakan salah satu bukti surat tertulis, namun kekuatan hukumnya agak lemah, karena jika ada pihak yang meragukannya maka surat di bawah tangan ini tidak dapat menjamin tentang tanggal yang pasti saat pembuatan suratnya; surat dibawah tangan ini tidak dapat mempunyai kekuatan eksekusi dan bila surat dibawah tangan itu hilang, baik asli maupun salinannya maka sulit sekali pihak-pihak yang telah menandatangani surat itu untuk membuktikan bahwa antara mereka telah ada suatu ikatan perjanjian atau ada suatu perbuatan hukum yang saling mengikat.

  Notaris merupakan suatu jabatan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan yang luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti dari tugas seorang Notaris yakni mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat

  60

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Bagi Notaris Untuk Menjaga Kerahasiaan Isi Akta Yang Diperbuatnya Dalam Perkara Pidana (Studi Di Pematangsiantar)

8 111 141

Perlindungan Hukum Bagi Notaris Terhadap Akta Yang Dijadikan Dasar Pemeriksaan Polisi

5 121 123

Pengawasan Terhadap Notaris Dan Tugas Jabatannya Guna Menjamin Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Umum

0 35 42

Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik

5 63 134

Kekuatan Hukum Akta Notaris Yang Bersifat Simulasi

2 42 2

TINJAUAN YURIDIS PEMBUATAN AKTA PENDIRIAN KOPERASI OLEH NOTARIS (Studi Pada Kantor Notaris Iman Santosa, S.H.)

0 16 29

BAB II PEMBUATAN KOMPARISI AKTA OTENTIK A. Tinjauan Umum Akta Otentik 1. Pengertian Akta dan Akta Otentik - Analisis Yuridis Komparisi Penghadap Dalam Akta Notaris Berdasarkan Putusan No. 51 Pk/Tun/2013

0 6 30

BAB II TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BPHTB A. Tinjauan Umum Tentang Notaris 1. Sejarah Notaris di Indonesia - Analisis Hukum Atas Perbuatan Oknum Notaris yang Menerima Penitipan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangu

0 1 37

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA A. Jabatan Notaris - Tanggung Jawab Werda Notaris Terhadap Akta Yang Dibuatnya

6 44 38

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor

0 1 30