BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Pola Kaderisasi Partai Golongan Karya Kotamadya Pematangsiantar (Studi Etnografi Antropologi Politik tentang Kekuasaan)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Eksistensi partai politik atau parpol di Indonesia sebagai organisasi politik menunjukkan perkembangan yang kian meningkat baik secara kwalitas dan kwantitas. Selaras dengan perkembangannya, parpol memerlukan sistem yang modern sehingga menghasilkan organisasi politik yang bisa survive dan bertahan dikancah perpolitikan nasional yang kini menjadi prioritas baru diberbagai parpol. Demi tercapainya sebuah hasil yang diinginkan untuk memuaskan kebutuhan akan tetap survive dan bertahan tadi, maka berbagai alternatif pun dihalalkan. Orientasi sebuah parpol ke depan adalah menciptakan icon parpol yang populer untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat, sehingga diharapkan kepada masyarakat untuk memilih kader dari parpol tersebut, apabila ada pemilihan legisliatif. Umumnya dijumpai bahwa sebuah parpol kurang memperhatikan kinerja dan kemampuan yang dimiliki seorang kader. Parpol lebih condong mencari kader yang sudah punya nama dan berpengaruh terlebih utama ketimbang kualitasnya. Tentu saja hal ini sah di mata hukum terkait jelas sekali diatur dalam UUD 1945 dalam pasal 28E yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Juga Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 14 poin pertama dan dua menyebutkan bahwa “ Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota parpol jika ia sudah atau pernah menikah dan menyetujui AD dan ART”.
Fenomena sekarang ini banyak jumpai artis-artis yang diusung oleh Parpol menduduki jabatan sebagai pemimpin daerah seperti Dede Yusuf dan Dedi Mizwar. Disamping itu beberapa nama artis seperti Eko Patrio, Angel Lelga menjadi caleg DPR RI dari PPP, Axel anak dari Ayu Azhari akan mewakili PAN, Ridho Irama akan mewakili PKB, Edo Kondoligit mewakili PDIP, Irwansyah dan Jamal Mirdad akan mewakili Gerindra, Vena Melinda masih mewakili Partai
1 Demokrat . Jika dicermati secara detail bahwasanya peranan pengkaderan parpol
saat ini sudah tidak lagi melahirkan kader-kader yang unggul dan berkompeten, kebanyakan dari parpol merekrut kader secara instan.
Selain itu, ditemukan juga permasalahan kader parpol yang dengan gampangnya berpindah-pindah partai dalam badan politik nasional istilah ini disebut dengan kutu loncat. Hal ini juga menggambarkan tentang pencitraan buruk bagi parpol ditingkat nasional seperti kader partai Golkar Dr. H. Yuddy Chrisnandi yang dulunya menjabat sebagai Ketua Ormas DPP MKGR, 2005- 2010, sekarang telah berpindah ke Partai Hanura dan menjabat sebagai Ketua DPP
bidang pemenangan pemilu. Ruhut Sitompul dari partai Golkar ke Demokrat, Dede Yusuf dari PAN ke Demokrat, Ali Mochtar Ngabalin dari PBB ke Golkar, Basuki Tjahaja ( ahok ) dari Golkar pindah ke Gerindra.
(di akses pada tanggal 15 november 2013) (akses tanggal 15 november 2013)
Terjadinya kutu loncat di berbagai partai saat ini baik di parpol Golkar, Demokrat, NasDem, Hanura, PPP dan parpol lainnya menunjukkan lemahnya sistem pengkaderan kepartaian di hampir semua partai politik. Lemahnya sistem perkaderan ini terjadi karena partai yang ada masih mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan ketika ada pemilihan umum atau pemilihan ketua partai dalam maraih jabatan kepemimpinan sehingga terbentuk sebuah faksi politik didalamnya. Yang menang akan mengganti seluruh pengurus yang kalah meski yang bersangkutan berpengalaman namun karena berbeda dukungan membuat seluruh komponen harus dirombak demi menghindari konflik yang berakhir pada kudeta.
Orang yang kemudian didepak dalam kepengurusan berada di pinggiran membuat dirinya menjadi tidak punya lagi kewenangan.Dengan kondisi demikian pihak yang terdepak hanya memilih diam karena lemah, melawan karena seimbang atau harus loncat ke partai lainnya. Jika kebetulan partai lain menawarkan posisi strategis maka secara otomatis akan memilih lompat dari pada tinggal dikandang sendiri namun pada akhirnya terkerdilkan sebab tak ada posisi dan kewenangan yang jelas.
Loncat dari partai yang lain merupakan bentuk pertahanan diri dari serangan, kehancuran dan kekalahan. Jika seseorang diserang dan merasa terancam dengan serangan tersebut maka dia akan meninggalkan kondisi itu dengan mencari suasana baru. Pindahnya seseorang ke partai lain juga banyak disesbabkan karena partainya sudah tidak lagi menggembirakan untuk konteks yang lebih besar dari pada hancur maka lebih baik mencari partai baru.
Fenomena kutu loncat terjadi disebabkan kader- kader di suatu partai tidak memiliki ideologi jelas. Partai tanpa kejelasan ideologi dalam proses pembentukan kader secara otomatis tidak memiliki tanggung jawab kepartaian, tanggung jawab moral sehingga perjuangannya hanya untuk memenangkan kepentingannya. Jika kepentingan di partainya tidak terjawab maka terpaksa memilih partai lainnya.
Proses rekrutmen dan pola kaderisasi partai sangat lemah, hampir semua partai politik tidak memiliki sistem rekrutmen calon legislatif dan para pengurusnya, hanya karena terkenal, artis yang bisa mendulang suara maka seseorang sudah bisa masuk ke dalam partai tersebut padahal kebiasaan seperti ini akan merusak tatanan dan urusan perkaderan dan rekrutmen partai. Partai tidak lagi memiliki standar rekrutmen dalam menggaet kader dengan tetap mengedepankan proses, tidak bisa sekedar seseorang masuk tanpa melalui perkaderan dan tahapan yang jelas.
Perkaderan di suatu partai terjadi secara instan, seseorang bisa masuk menjadi caleg, bupati hanya karena popolaritas, ketokohan dan kedekatan dengan pimpinan partai padahal itu sudah tidak sejalan dengan urusan dasar perkaderan.Perkaderan di suatu partai harus menjadi dasar bahwa semua calon anggota dewan harus melewati fase kepengurusan, fase perjuangan di partai, fase pendidikan di partai agar jika terpilih benar-benar bisa bertanggungjawab ke partai dan bangsa.
Kutu loncat di partai hanya bisa di atasi jika ada sistem perkaderan di setiap partai dengan menerapkan proses ideologisasi, kemudian di setiap partai harus ada tahapan perkaderan sehingga kader- kadernya terbentuk secara mental dan intelektual untuk bertanggungjawab ke rakyat.
Sehingga para kader-kader yang berpindah ke partai lain tidak menunjukkan sikap loyalitas, militansinya kepada partai sesuai dengan apa yang diungkapakan oleh Niccolò Machiavelli dalam buku the prince Sang Penguasa “menjelaskan bahwasanya manusia bersifat pragmatis dan melakukan tindakan hanya berdasarkan kepentingan saja.”
Partai politik hadir di tengah-tengah masyarakat bertujuan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu partai politik dalam sistem demokrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum.Partai politik agar memperoleh eksistensi dalam sistem politik, partai politik harus bersaing dalam pemilihan umum untuk memperoleh suara dari masyarakat dan mendapat kursi di parlemen.
Rekruitmen politik atau representasi politik memegang peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena proses ini menentukan orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga- lembaga yang ada. Oleh karena itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik yang baik tergantung pada kualitas rekruitmen politik. Kehadiran suatu partai politik dapat dilihat dari kemampuan partai tersebut melaksanakan fungsinya. Salah satu fungsi yang terpenting yang dimiliki partai politik adalah fungsi rekruitmen politik.
Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar) dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuaerdirinya Sekber GOLKAR pada masa-masa akhir pemerintahan Presidedalam kehidupan politik. Dalam perkembangannya, Sekber GOLKAR berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu. Dalam Pemilu 1971, salah satu pesertanya adalah Golongan Karya yang tampil sebagai pemenang sampai dengan tahun 1998.
Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, proses demokratisasi di Indonesia pasca orde baru telah menghasilkan desain sistem politik yang sangat berbeda secara signifikan dengan desain yang dianut selama masa orde baru. Reformasi prosedural dan kelembagaan yang walau dilakukan secara bertahap, telah mengubah landasan berpolitik secara sangat radikal, sehingga Akbar Tandjung yang terpilih sebagai ketua umum di era itu kemudian mati-matian mempertahankan partai tersebut. Di bawah kepemimpinan Akbar, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar. Saat itu Golkar juga mengusung citra sebagai Golkar baru.Upaya Akbar Tandjung tak sia-sia, dia berhasil mempertahankan Golkar dari serangan eksternal dan krisis citra.
Pada Munas VII Partai Golkar yang dianggap sebagai Munas paling panas dalam sejarah perjalanan Golkar terjadi pertarungan memperebutkan posisi Ketua Umum setidaknya melibatkan tiga kelompok besar, yaitu kelompok struktural, kelompok tradisional dan kelompok saudagar. Kelompok stuktural terdiri dari jajaran pengurus DPP Partai Golkar di bawah kepemimpinan Akbar Tanjung, Kelompok tradisional terdiri dari atas beberapa Ormas pendiri Golkar, khususnya SOKSI dan Kosgoro yang memberikan dukungan kepada Wiranto. Sedangkan kelompok Saudagar, yang diwakili oleh Surya Paloh, kemudian berkoalisi mendukung Jusuf Kalla.Kelompok ini memiliki modal financial yang paling besar dalam menggalang dukungan, selain Surya Paloh dan Jusuf Kalla, beberapa aktor penting pendukung koalisi ini adalah Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Muladi, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan Ginanjar Kartasasmitha. Pada Munas ini
terpilih Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Dalam Munas VIII di Pekanbaru, Aburizal Bakrie terpilih sebagai ketua umum menggantikan Jusuf Kalla.
Pada masa kepemimpinan Abu Rizal Bakrie partai Golkar fokus pada masalah kaderisasi sesuai dengan hasil Rapimnas tanggal 17-19 Oktober 2010.
Setidaknya, ada tiga indikator keseriusan Partai GOLKAR di bidang kaderisasi : 1.
Perubahan “Tri Sukses” menjadi “Catur Sukses” dengan menempatkan secara khusus program perkaderan sebagai salah satu 3 “sukses” yang harus diraih dalam program “Catur Sukses”. Ini berarti, Tandjung,Akabar(2007). The Golkar Way( hal 302-303). Jakarta: Gramedia. sukses kaderisasi tidak lagi menjadi subordinasi Sukses Konsolidasi, sebagaimana yang dianut selama ini.
2. Dalam struktur kepengurusan Partai GOLKAR, mulai tingkat pusat hingga desa/kelurahan dan organisasi sayap pemuda dan perempuan, terdapat seorang ketua yang secara khusus membidangi kaderisasi dan keanggotaan.
3. Rapimnas I tahun 2010 telah menetapkan “Tahun 2011 sebagai Tahun
Kaderisasi”.
Refleksi Perkaderan
Pemilu 1999 dengan multi-party system merupakan Pemilu I setelah pemerintahan Orde Baru tumbang tahun 1998. Pelajaran penting dari Pemilu 1999, Partai GOLKAR mengalami proses kristalisasi dan secara alamiah menyeleksi kader – kadernya yang setia dan militan.
Sistem perkaderan Partai GOLKAR dan kekuasaan yang dimiliki selama 30 tahun, ternyata tidak melahirkan kebanggaan bagi kader – kadernya dan gagal melahirkan kader – kader tangguh dengan loyalitas, kemampuan dan daya tahan tinggi menghadapi tekanan dan situasi yang mencekam dan begitu cepat berubah.
Jika Partai GOLKAR kehilangan suara lebih dari 300 persen pada Pemilu 1999, merupakan indikasi cukup kuat bahwa sistem apapun yang ada di Partai GOLKAR selama puluhan tahun, tidak mampu mengikat anggota dan kadernya secara kelembagaan dan ideologis.
(akses tanggal 15 November 2013)
Kesalahan sistem perkaderan Partai GOLKAR selama ini karena Partai GOLKAR sangat memanjakan para kadernya dengan materi, jabatan dan kekuasaan. Situasi seperti ini hanya melahirkan kader – kader pragmatis. Jika tidak mendapatkan yang diinginkannya, mereka mencari – cari alasan menyalahkan Partai GOLKAR, bahkan pindah ke partai lain. Hal ini terjadi sampai sekarang, misalnya di sejumlah Pilkada dan pemilu legislatif yang lalu. Selain itu, target perkaderan Partai GOLKAR tidak jelas dan ambigu, pelaksanaannya tidak efektif dan tidak maksimal. Kegiatan perkaderan dianggap sebagai rutinitas-konstitusional. Yang penting sudah dilaksanakan.
Jadi, sistem perkaderan Partai GOLKAR sangat longgar dan lemah, terutama secara ideologis. Ada sejumlah gejala yang bisa menggambarkan lemahnya sistem perkaderan Partai GOLKAR dan inilah wajah perkaderan Partai GOLKAR sesungguhnya : a.
Siklus perkaderan tidak jelas. Kurikulum, silabus dan target out-put perkaderan yang achemestry dengan kebutuhan jangka panjang partai.
b.
Sistem perkaderan Partai GOLKAR tidak berorientasi pada tujuan (by obyective), tapi sekedar mengejar target jumlah orang yang ikut perkaderan (by process). Perkaderan yang berorientasi pada proses, sifatnya sangat pragmatis, kuantitatif dan tidak memiliki nilai strategis-ideologis.
c.
Keterbatasan sumber daya manusia di bidang perkaderan. Orang – orang yang dilibatkan dalam kegiatan perkaderan (Korbid, LPK, instruktur/penceramah) tidak dalam kapasitas dan kompetensi yang tepat.
d.
Tidak ada standar keinstrukturan dan standar kualitatif-ideologis bagi instruktur, in-put dan out-put perkaderan Partai GOLKAR.
e.
Tidak ada proporsionalitas bagi peserta pendidikan kader. Tiap orang bisa mengikuti perkaderan, tidak perduli di jenjang perkaderan seperti apa dan untuk kualifikasi anggota seperti apa. Acap terjadi, seseorang yang belum pernah ikut Diklat, tiba – tiba mengikuti Diklat Karsinal provinsi bahkan nasional. Yang lebih parah, orang yang baru beberapa saat menjadi anggota Partai GOLKAR dan belum pernah ikut Diklat, tiba tiba menjadi peserta Diklat Instruktur.
f.
Tidak maksimalnya peran kelembagaan dalam pengelolaan perkaderan, tidak adanya standar evaluasi, monitoring dan tindaklanjut aktifitas perkaderan, tidak ada konsistensi dalam penugasan kader di jabatan – jabatan politis – strategis, seperti kepala daerah dan anggota legislatif.
g.
Tidak ada konsistensi pelaksanaan standar pendayagunaan potensi kader. Banyak anggota yang tidak pernah mengikuti perkaderan, tiba
- – tiba bisa menjadi pengurus harian di partai dan duduk di legislatif. Yang lebih parah, kemarin terdaftar sebagai pemimpin sebuah partai, tapi hari ini malah menjadi pimpinan di Bidang Pemenangan Pemilu Partai GOLKAR. Terlalu murah harga kualifikasi kader dan jabatan –
h.
Materi kegolkaran (mata pelajaran dan waktu yang digunakan) di setiap jenjang dan bentuk perkaderan ternyata porsinya sangat kecil, sementara materi dan waktu yang digunakan tidak sama. Bagi partai sebesar dan setua Partai GOLKAR, dengan porsi mata pelajaran kegolkaran yang sangat minim, sangat tidak relevan dengan situasi dan kebutuhan partai ke depan. Apa yang bisa dieksplor oleh para kader di desa, kecamatan dan kabupaten/kota jika dalam pendidikan mereka hanya mendapat dua sesi kegolkaran selama 90 menit, atau Diklat Karsinal Provinsi yang hanya punya tiga sesi kegolkaran, masing – masing 60 menit (Pedoman Perkaderan 1998 – 2004 dan 2004 – 2009). Sebagai sebuah Partai nasional, Struktur organisasi Partai Golkar mengikuti struktur pemerintahan yang ada di Indonesia yang memilki tingkatan dari pusat sampai tingkat daerah begitupun dengan partai Golkar juga memilki tingkatan yang sama. Hanya saja pada partai Golkar untuk tingkat pusat disebut dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP), daerah tingkat I atau Propinsi disebut Dewan Piempinan Daerah I (DPD I), daerah tingkat II atau Kabupaten/Kotamadya disebut Dewan Pimpinan Daerah II (DPD II).
Salah satu perwakilan partai Golkar di daerah adalah Dewan Pimpinan Daerah I (DPD I) Partai Golkar Sumatera Utara. DPD I Golkar Sumut menaungi beberapa DPD II Partai Golkar seperti DPD II Partai Golkar Tebing Tinggi, DPD II Partai Golkar Pematangsiantar, DPD II Partai Golkar Simalungun dan beberapa daerah tingkat II lainnya.
Partai Golongan Karya Pematangsiantar yang saat ini dipimpin oleh ketua yang bernama Mangatas Silalahi, SE. Sekretaris partai dipegang Syaiful Amin Lubis, ST. Sedangkan Lembaga Pengelola Kaderisasi (LPK) Golkar Pematangsiantar periode 2011-2015, dengan Ketua Marli Suryatama.Partai Golkar di bawah kepemimpinan Mangatas Silalahi lebih memfokuskan pada permasalahan pengkaderan partai. Walaupun partai ini memiliki banyak kader dan juga simpatisan, tidak membuat partai lupa akan fungsi nya yaitu rekruitmen kader partai. Dia juga meminta kepada para pengurus agar tampil baik di tengah- tengah masyarakat, termasuk untuk menjaga citra Partai Golkar. Lanjutnya, dengan revitalisasi itu dapat meningkatkan intensitas pengurus, khususnya pengurus harian.
Dalam harian metro siantar ketua pernah mengucapkan “Saya meminta loyalitas penuh dari seluruh pengurus, karena tanpa kerjasama dan solidaritas yang baik, partai tidak akan menang, begitu juga sebaliknya. Sehingga target 30 persen dapat tercapai pada Pemilu 2014 mendatang. Saya Yakin, para pengurus
dapat melahirkan semangat baru dan memupuk rasa kebersamaan,”.
Mangatas juga berharap, seluruh pengurus DPD II PG Siantar, termasuk pengurus kecamatan, kelurahan, dan organisasi pendukung, seperti SOKSI,
akses tanggal 15 November 2013) MKGR, Kosgoro dan sebagainya, termasuk para kader agar melakukan kerjasama yang baik, sehingga dapat bersinergis untuk memaksimalkan kinerja PG dalam rangka pemenangan Pemilu 2014.
“Yang terpenting, seluruh kader PG harus berprilaku simpatik dan santun untuk merebut simpati masyarakat di Kota Pematangsiantar. Termasuk peka terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat,” sebutnya. Mangatas juga yakin dan percaya, PG akan keluar menjadi pemenang pada 2014 di Kota Pematangsiantar. Dalam rapat pleno diperluas tersebut, Sekretaris DPD II Partai Golkar, Syaiful Amin Lubis ST menyampaikan perlunya revitalisasi itu mengingat kepengurusan yang sudah berjalan dua tahun, ada hambatan dalam mengkonsolidasikan pengurus, khususnya para Wakil Ketua, dan pengurus harian.
Menurut Syaiful Amin Lubis ST, Ketua DPD II PG berkeinginan ‘mesin’ PG di Siantar dapat berjalan sesuai dengan hasil Musyawarah Nasional (Munas) beberapa waktu lalu di Pekan Baru, Riau. “PG merupakan partai modern, dengan menerapkan sistem matrik, dimana berfungsinya tugas-tugas wakil ketua yang ada di kepengurusan.Kita berharap, revitalisasi ini menciptakan kepengurusan yang kuat dalam bekerja membantu Ketua DPD II,” ucapnya.
Syaiful menambahkan, ke depan program atau agenda PG akan direferensikan sesuai tugas dan fungsi para wakil ketua. Hal ini sesuai dengan tujuan revitalisasi untuk lebih memberdayakan para wakil ketua. Dalam revitalisasi kepengurusan DPD II PG Pematangsiantar ini, ada sejumlah pengurus baru, baik di posisi wakil ketua, wakil sekretaris, wakil bendahara, ketua bagian,
dan anggota.
Akan tetapi dinamika sebuah partai tidaklah semulus dengan prediksi seseorang yang berdiri di dunia impian, harapan dari seorang pemimpin pastilah menjalankan partai dengan kenyamanan bukan dengan segala kekisruhan yang terjadi,seperti Musyawarah Daerah DPD Tingkat II Partai Golkar Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, berlangsung ricuh. Kekesalan itu dilampiaskan dengan membanting kursi di ruangan rapat.Suasana nyaris kisruh sehingga jalannya
musda terpaksa dihentikan panitia.
Kekesalan seorang kader partai tidaklah semestinya dengan membuat kerisuhan dengan membantingkan kursi, tindakan ini bukanlah mencerminkan gambaran seorang kader yang sudah menjalani basic training yang panjang tentunya. Dan sering terjadi keributan ketika masa pencalonan calon legislative dimana kader partai yang loyal dan bertanggung jawab selama beberapa tahun di kesampingkan dan digantikan dengan kader-kader instan seperti terjadi di daerah Simalungun, terjadi konflik antara ketua kecamatan dengan ketua Golkar, dugaan adanya intrik suap dan menyuap sehingga kader Golkar yang pantas dan layak di buang dari bakal calon legislative.
( akses tanggal 15 November 2013) (akses pada tanggal
15 November 2013)
Menurutnya, pernyataan tersebut dianggap mencederai Partai Golkar seutuhnya. Sebab selama ini, partai berlambang pohon beringin itu memiliki visi Catur Sukses Golkar, meliputi konsolidasi, kaderisasi untuk mencari simpatisan sebanyak-banyaknya, kekaryaan berbuat untuk daerahnya masing-masing pada kepentingan masyarakat luas dan menyukseskan pemilu 2014.
“Dengan pernyataan Janter yang menginginkan agar saya keluar, merupakan fenomena buruk partai karena visi kaderisasi ini telah gagal.Berarti Janter sudah mencederai Golkar. Soalnya dia meminta saya pindah partai,
sementara Golkar, sesuai visinya, ingin terus menambah kader.
Dari persoalan yang di diskripsi oleh Partai Golkar Pematangsiantar, maka permasalahan pengkaderan ini boleh dilakukan penelitian sebagai salah satu syarat untuk menempuh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
1.2. Tinjauan Pustaka
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan. Antropologi adalah bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti ilmu.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk
9 ( akses pada tanggal 15 November 2013) Koentjaraningrat (1990).Pengantar Ilmu AntropologiCetakan ke delapan. Jakarta : Rineka Cipta mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Antropologi Politik sebagai salah satu spesialis ilmu Antropologi, membahas pendekatan antropologi terhadap gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia. Pembahasan meliputi teori-teori mengenai perwujudan politik dalam kehidupan manusia serta sistem politik pada masyarakat sederhana dan modern.
Selain itu juga membahas pendekatan antropologi terhadap gejala-gejala politik dalam kehidupan manusia, termasuk yang tidak terkategori sebagai gejala-gejala politik yang berkaitan dengan lembaga-lembaga politik formal/pemerintah dalam masyarakat modern. Dengan demikian, cakupan pembahasan meliputi pula berbagai gejala politik dan organisasi sosial dalam komuniti-komuniti masyarakat perdesaan/non-masyarakat kompleks.
Kaitan antara Ilmu Antropologi dengan ilmu politik yaitu ilmu antropologi memberikan pengertian-pengertian dan teori-teori tentang kedudukan serta peranan satuan-satuan sosial budaya yang lebih kecil dan sederhana. Mula-mula Antropologi lebih banyak memusatkan perhatian pada kehidupan masyarakat dan kebudayaan di desa-desa dan dipedalaman. Namun semenjak Antropologi di kontemporerkan maka semua yang lini kehidupan yang ada aktifitas manusia dapat dikaji oleh ilmu Antropologi.
Ruang lingkup atau batasan yang menjadi "ruang sentuhan" antara disiplin antropologi dan ilmu politik. Pengertian dasar mengenai kedua disiplin ini akan memudahkan perumusan mengenai ruang lingkup antropologi politik. Pendekatan-pendekatan antropologi politik melalui pemahaman atas kedua aspek ini, suatu kajian dapat secara subyektif menyatakan diri memakai pendekatan antropologi politik atau secara obyektif ke dalam subdisiplin ini.
Secara tersirat dari istilah yang dipergunakan yaitu antropologi politik, subdisiplin ini menempati wilayah kajian yang menjembatani disiplin antropologi dengan ilmu politik. Ruang jembatan tersebut diisi dengan titik-titik persentuhan dalam teori, konsep maupun metodologi dan pendekatan yang dipergunakan.
Dalam hal teori dan konsep, hubungan tersebut dapat berupa "hubungan antara struktur dan masyarakat dengan struktur dan tebaran kekuasaan dalam masyarakat" tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa jika antropologi merupakan kajian atas struktur masyarakat dan pranata sosial, dan ilmu politik secara umum memfokuskan kajiannya dalam aspek kekuasaan, maka kajian antropologi politik berusaha menghubungkan kedua ilmu tersebut menjadi satu wilayah kajian.
Antropologi telah pula berpengaruh dalam bidang metodologi penelitian ilmu politik, salah satu pengaruh yang amat berguna dan terkenal serta kini sering dipakai dalam ilmu politik ialah metode peserta pengamat. Penelitian semacam ini memksa sarjana ilmu politik untuk meniliti gejala-gejala kehidupan sosial “dari dan dalam” masyarakat yang menjadi obyek penelitiannya.
Pembahasan dalam antropologi politik bisa berisi beraneka macam persoalan yang berkaitan dengan deskripsi dan analisa tentang sistem (struktur, proses, dan perwakilan) yang terdapat dalam masyarakat yang dianggap "primitif". Lebih jauh lagi, dapat didefninisikan bahwa antropologi politik merupakan pendekatan antropologi dalam mempelajari proses-proses dan struktur-struktur politik yang dilakukan melalui metode kajian kasus yang intensif
maupun melalui kajian perbandingan lintas budaya.
Kebudayaan merupakan tejemahan dari istilah culture dari bahasa Inggris. Kata culture berasa dari bahasa latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman dan ternak. Upaya untuk mengola dan mengembangkan tanaman dan tanah inilah yang selanjutnya dipahami sebagai culture, sementara itu kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi. Kata buddhi berarti budi dan akal. Kamus besar Bahasa Indonesia mengartikan kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budaya) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat – istiadat.
Dalam buku “ Primitive Culture” E.B. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt-istiadat, kebiasaan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Menurut Koentjaningrat (1985) kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi lebih singkat terdapat pada pendapat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi
akses pada tanggal 15
November 2013)
(1964), menurut mereka kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Bila disimak lebih seksama, definisi Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi lebih menekankan pada aspek hasil material dan kebudayaan.
Sementara Koentjaraningrat menekankan dua aspek kebudayaan yaitu abstrak (non material) dan konkret (material). Pada definisi Koentjaraningrat, tampak bahwa kebudayaan merupakan suatu proses hubungan manusia dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam proses tersebut manusia berusaha mengatasi permasalahan dan tantangan yang ada dihadapannya.
Terlepas dari perbedaan yang ada di antara pendapat di atas.Tampak bahwa belajar merupakan unsur penting dari pengertian kebudayaan.Seperti terlihat pula pada definisi kebudayaan menurut Kroeber (1948). Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan, serta perilaku yang ditimbulkannya.
Koentjaraningrat(1985)menyebutkan ada tujuh unsur-unsur kebudayaan. Ia menyebutnya sebagai isi pokok kebudayaan. Ketujuh unsur kebudayaan universal tersebut adalah :
1. Sistem Religi.
2. Sistem Organisasi Masyarakat 3. 11 Sitem Pengetahuan
Id.wikipedia.org/wiki/budaya (diakses pada tanggal 6 juni 2014)
4. Sistem Mata Pencaharian Hidup dan Sistem – Sistem Ekonomi 5.
Sistem Teknologi dan Peralatan 6. Bahasa 7. Kesenian
Dalam kepustakaan antropologi ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut satu aspek dari kebudayaan yang mengatur penyusunan manusia dalam kelompok-kelompok yang tercakup di dalam masyarakat, Istilah yang dipergunakan oleh banyak ahli antropologi untuk membatasi pengertian tersebut adalah organisasi sosial. Herskovits mengatakan bahwa organisasi sosial itu meliputi lembaga-lembaga yang menetapkan posisi dari laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, dan karenanya melahirkan relasi antar masyarakat. Kategori ini terbagi dalam 2 kelas lembaga-lembaga, yaitu lembaga-lembaga yang timbul dari kekerabatan, lembaga-lembaga yang berkembang dari asosiasi bebas di antara individu-individu.
Struktur kekerabatan meliputi keluarga dan pengembangannya sampai kelompok-kelompok seperti klan. Asosiasi bebas yang tidak dibangun atas dasar kekerabatan meliputi berbagai-bagai bentuk dari pengelompokan berdasarkan sex, umur dan dalam arti yang lebih luas, struktur sosial itu juga meliputi relasi sosial yang mempunyai karakter politik yang berdasarkan atas daerah tempat tinggal dan status, studi mengenai organisasi sosial menurut Herskovits meliputi studi tentang prinsip-prinsip berkelompok berdasarkan kekerabatan dan organisasi politik.
Ahli antropologi lain yaitu W.H.R. Rivers,dalam Harsojo(1967) melihat organisasi sosial sebagai proses yang menyebabkan individu disosialisasikan dalam kelompok. Ia berpendapat, bahwa dia dapat juga mengganti studi mengenai organisasi sosial menjadi studi tentang social groupings, dan bagian-bagian dari fungsi sosial yang mengiringi pengelompokan itu. Ia mengatakan bahwa ruang lingkup penyelidikan mengenai organisasi sosial meliputi struktur dan fungsi dari pada kelompok. Adapun fungsi tersebut dapat dibagi dalam dua bagian: 1.
Fungsi yang berhubungan antara kelompok dengan kelompok dan 2. Fungsi yang bermacam-macam dari pada kelompok sosial itu adalah pranata-pranata sosial.
Raymond Firth, dalam Harsojo(1967), mengemukakan arti yang khusus bagi konsep organisasi sosial. Dalam bukunya “elements of social organization”, dia mengemukakan bahwa Antropologi sosial menyelidiki “human social process
comparatively” . Dengan proses sosial disini dimaksudkan operasi dari kehidupan
sosial, cara bagaimana aksi dan existensi dari pada manusia hidup itu mempengaruhi manusia lain yang hidup dalam suau relasi tertentu.
Dalam penyelidikan mengenai relasi sosial apakah istilah ini digunakan dalam rangka pengertian tentang masyarakat, kebudayaan atau community, dapatlah dibedakan antara struktur, fungsi dan organisasinya. Dalam hubungan ini Firth melihat pengertian mengenai struktur sosial itu sebagai pola-pola ideal, sedang organisasi sosial dilihatnya sebagai aktivitas konkrit. Ide tentang organisasi ialah bahwa ada sejumlah orang yang menjalankan suatu pekerjaan dengan aksi yang direncanakan bersama. Organisasi adalah satu proses sosial dan pengaturan aksi berturut- turut konform dengan tujuan yang dipilih. Organisasi sosial adalah penyusunan dari relasi sosial yang dilakukan dengan jalan pemilihan dan penetapan.
Menurut Parson(1953): individu mendapatkan akses ke jenjang status peranan yang lebih tinggi karena prestise yang di dapat sangat penting berupa ganjaran materi dan lainnya yang lebih besar. Sekurang-kurangnya dalam masyarakat demokratis persaingan ini relatif terbuka karena orang memiliki kesempatan yang masuk akal untuk melakukan yang terbaik bagi masyarakat. Tatanan yang dibangun secara fungsional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
serta di tempatkan pada tempatnya secara kompeten dan qualified.
Menurut Redcliffe Brown organisasi politik adalah organisasi yang melaksanakan aktifitas sosial yang menyangkut penjagaan keteraturan dan stabilitas masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, dengan menggunakan
kekuasaan dan kalau perlu kekerasan secara absah.
Partai politik dalam era modern dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita- cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
12 13 Saifuddin,Achmad(2005). Antropologi Kontemporer Cetakan I. Jakarta: Kencana.
Claessen,H.J.M(1988). Antropologi Politik suatu Orientasi. Jakarta: Erlangga. Sehingga dapat didefinisikan bahwa tujuan manusia berpolitik adalah mencari kekuasaan yang memiliki pengertian : a.
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) b.
Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi
(Ramlan Surbakti,1992).
c.
Menurut Hume kekuasaan hanyalah kemampuan untuk menimbulkan akibat-akibat terhadap orang atau barang.
d.
Menurut MG. Smith kekuasaan sebagai kemampuan untuk bertindak secara efektif terhadap orang atau barang, dengan mempergunakan cara-cara yang berkisar dari bujukan ( persuasi ) sampai kekerasan.
e.
Menurut Weber kekuasaan adalah kemampuan yang terdapat pada aktor, didalam konteks hubungan sosial tertentu, memerintah
sebagaimana yang dikehendakinya sendiri.
14 15 Budiardjo, Miriam (1998); Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Balandier, Georges. Antropologi Politik (234-235). Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Beberapa pengertian partai politik menurut ahli Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik.
Dalam rangka memahami Partai Politik sebagai salah satu komponen Infra Struktur Politik dalam negara, berikut beberapa pengertian mengenai Partai Politik, menurut beberapa ahli : 1.
Carl J. Friedrich: Partai Politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan pemerintah bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasan ini memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun materil.
2. R.H. Soltou: Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyaknya terorganisir, yang bertindak sebagai satukesatuan politik, yang dengan memanfaatkan kekuasan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
3. Sigmund Neumann: Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis
Politik yang berusaha untuk menguasai kekuasan pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan melawan golongan- golongan lain yang tidak sepaham.
4. Miriam Budiardjo: Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
5. Georges Balandier: Partai Politik adalah alat utama modernisasi, karena sifatnya sebagai inisiatif elit modernis, karena organisasinya yang memberikan kontak lebih erat dengan komunitas ketimbang yang di milki
oleh negara.
Adapun beberapa fungsi partai Poltik adalah : 1.
Partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest articulation).
Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan 16 kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Balandier, Georges. Antropologi Politik (234-235). Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat. Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
3. Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.
4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum. Pada penelitian ini akan membahas tentang pola kaderisasi partai golkar sehingga sebelum kita membahas terlalu jauh alangkah lebih baiknya kita paham dalam pengertian pola.
Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu
itu dikatakan memamerkan pola.
Partai politik memiliki wadah bagi orang-orang untuk berproses dan belajar sehingga rekruitmen politik inilah yang akan melahirkan kader-kader partai politik tersebut.
Menurut AS. Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner’s Dictionary) dikatakan bahwa “Cadre is small group of people who are specially
chosen and tarined a particular purpose“ . Jadi pengertian kader adalah
“Sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar“. Hal ini dapat dijelaskan, Pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan-aturan permainan organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah aspek kualitas. Keempat, seorang keder memiliki visi
17 http://id.wikipedia.org/wiki/Pola diakses pada tanggal 20 November 2013 dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan
mampu melakukan ” social engineering”.
Di Indonesia banyak sekali partai-partai yang berkembang pada zaman sekarang. Partai-partai lama yang bertahan sampai sekarang adalah Partai Golkar, Partai PDI-P, Partai PPP. Yang menjadi sorotan dari peneliti adalah Partai Golkar terutama dalam hal kaderisasinya.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini adalah penelitian yang berfokus pada kaderisasi Partai Golongan Karya yang terjadi di Kotamadya Pematangsiantar.Mengingat kajian ini menggunakan pendekatan struktural sebagai salah satu ciri khas antropologi dalam menggambarkan objek studinya, maka gambaran penilitian tentang Partai Golkar ini akan tergambar dalam serangkaian pertanyaan penelitian yang mencakup:
1. Bagaimanakah pola kaderisasi di Partai Golkar khususnya di daerah
Kotamadya Pematangsiantar ? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi proses kaderisasi partai
Golkar di daerah Pematangsiantar ? 3. Faktor apakah yang paling dominan dalam mempengaruhi proses 18 pencalonan kader menjadi calon anggota legislatif ?
http://www.marxists.org/indonesia/archive/guevara/1962-Kader.htm (diakses pada tanggal 10
desember 2013)1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan dan manfaat yang sangat penting, karena melalui tujuan dan manfaat itulah, maka suatu penelitian dapat di mengerti dan di pahami. Tujuan dari penelitian ini salah satunya adalah untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan kuliah S1 pada Departemen Antropologi FISIP USU. Kemudian penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pola pengkaderan yang dilakukan oleh DPD II Partai Golkar Pematangsiantar.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah dan mengembangkan wawasan keilmuan khususnya Antropologi. Kemudian penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengkaderan suatu partai politik. Secara lebih rinci, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaaat untuk para mahasiswa agar dapat mengetahui pola pengkaderan suatu partai khususnya Partai Golkar di Pematangsiantar sehingga para mahasiswa dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk berpartisipasi dalam dunia politik. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi partai golkar pematangsiantar sebagai referensi dalam memperbaiki mekanisme pola pengkaderan.
1.5. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab. Bab pertama adalah pembahasan mengenai latar belakang masalah dari penelitian ini. Kemudian tinjauan pustaka yang berisi teori dan konsep yang mendukung penelitian ini. Selanjutnya pembahasan rumusan masalah yang disusul dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dua bagian terakhir adalah pembahasan mengenai sistematika penulisan dan metode penelitian yang berisi tentang pengalaman penelitian.
Pada bab kedua berisi hal-hal yang menyangkut kondisi umum Kota Pematangsiantar dan sejarah partai golkar baik secara umum maupun secara kedaerahan.
Pada bab ketiga berisi tentang pembahasan polakaderisasi DPD II partai Golkar pematangsiantar.
Pada bab keempat akan dibahas hal-hal mengenai pola partai golkar di ranah pengkaderan sehingga menghasilkan kader-kader yang berkarakter serta menghasilkan kader-kader yang di bangun untuk dijadikan seseorang menjadi pemimpin yang akan merebut posisi-posisi di pemerintahan.
Selain itu bab ini juga berisi tentang politik uang yang dilakukan anggota- anggota partai Golkar dalam hal politik untuk mengambil posisi pemerintahan tersebut.
Bab terakhir atau bab kelima berisi tentang kesimpulan yang bisa diambil dari bab-bab sebelumnya mengenai pola pengkaderan yang terjadi di tubuh partai Golkar Kotamadya Pematangsiantar. Bab ini juga berisi saran-saran yang diperlukan dan diharapkan bisa menjadi masukan bagi para pihak yang berkepentingan terhadap penulisan skripsi ini.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Penelitian adalah suatu tindakan seseorang yang dilakukan sistematis dan mengikuti aturan-aturan metodologi, misalnya: observasi, dikontrol dan berdasarkan pada teori yang dapat diperkuat dengan gejala yang ada.
Penelitian yang akan dilakukan ini tentunya mempunyai metode yang akan digunakan. Metode penelitian adalah cara-cara dan prosedur yang dilakukan untuk mengumpulkan data secara bertanggung-jawab sesuai dengan masalah yang diteliti dan disiplin ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Menurut Gunnar Myrdal: “etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran ‘objektif’.
Penelitian ini bersifat deksriptif dengan menggunakan metode kualitatif untuk menggambarkan bagaimana pola pengkaderan yang dilakukan oleh Partai Golkar di Pematangsiantar. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala hubungan tertentu antar suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini, tentunya akan bersifat etnografi pula, karena untuk mendeskripsikan fenomena di lapangan, pastinya banyak hal yang dapat harus dipahami dalam proses mendeskripsikannya. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.Sebagaimana dikemukakakn oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktifitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berfikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, etnografi berarti lebih daripada belajar dari masyarakat.
Di dalam penelitian ini, ada 2 jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data skunder.Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan juga melalui wawancara. Sedangkan pada data sekunder, hanyalah sebagai pelengkap untuk melengkapi data primer yaitu data yang diperoleh dari karangan-karangan ilimiah ataupun dokumen-dokumen yang berasal dari media massa internet, data dari pemerintahan, partai politik dan sebagainya.
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan struktural yang memiliki arti suatu metode atau cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditujukan kepada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri sendiri di luar kesatuannya, melainkan ditujukan pula kepada hubungan antar unsurnya.
Struktural merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktural itu.
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini diperlukan data yang valid dan objektif sehingga dibutuhkan suatu teknik pengumpulan data yang tepat. Pada kesempatan ini peneliti menggunakan kombinasi tiga teknik pengumpulan data, yaitu :
a. Observasi Partisipasi