BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mahoni (Swietenia mahogani) - Efek Hipoglikemia Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia mahogani Jack.) Dan Gambaran Mikrostruktur Limpa Pada Mencit (Mus musculus L.) Yang Telah Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mahoni (Swietenia mahogani)
Mahoni (Swietenia mahogani Jack.) adalah spesies tanaman dari suku Meliaceae, yang berasal dari Hindia Barat dan Afrika. Mahoni banyak ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung, juga dapat tumbuh subur bila tumbuh di pasir dekat dengan pantai. Di Indonesia, pada awalnya mahoni tumbuh secara liar di hutan- hutan, di kebun maupun di mana saja, namun sejak 20 tahun terakhir sudah dibudidayakan karena kualitas kayunya keras dan sangat baik untuk bahan mebel dan kerajinan tangan (Anonim, 2009).
Gambar 1. Swietenia mahogani
Tanaman mahoni termasuk jenis tanaman pohon tinggi, percabangannya banyak, tingginya dapat mencapai kira-kira 10-30 meter. Daun majemuk menyirip genap. Daun duduk tersebar. Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung dan pangkal daun runcing, panjang 8-12 cm, lebar 3-5 cm, berwarna hijau tua. Buahnya bertangkai, panjang tangkai kira-kira 1-3 cm, berbentuk bola atau bulat telur memanjang, berwarna cokelat, panjang 8-15 cm, lebar 7-10 cm (Suryowinoto, 1997).
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan mahoni diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Rutales Famili : Meliaceae Genus : Swietenia Spesies : Swietenia mahagoni Jack
(Tjitrosoepomo, 2009) Selama ini, pohon mahoni dikenal sebagai penyejuk jalanan. Selain itu, kayunya yang dikenal sebagai kayu yang sangat bagus yang juga digunakan sebagai bahan untuk membuat berbagai macam perabot rumah atau furniture. Berdasarkan penelitian di laboratorium, pohon mahoni (Swietenia mahagoni Jack.), termasuk pohon yang bisa mengurangi polusi udara sekitar 47% - 69%.
Pohon mahoni yang ditanam di hutan kota atau sepanjang jalan berfungsi sebagai filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daunnya berfungsi untuk menyerap polutan-polutan di sekitarnya. Pada tahun 1970-an banyak orang mencari biji mahoni, untuk dijadikan sebagai obat. Orang-orang mengonsumsi biji mahoni hanya dengan menelan bijinya setelah membuang bagian yang pipih (Nafri, 2007).
Kandungan kimia mahoni ada dua macam yaitu flavonoid dan saponin. Manfaat flavonoid yang dikandungnya antara lain adalah untuk melancarkan peredaran darah, mengurangi tingkat kolesterol, mengurangi penimbunan lemak pada dinding saluran darah, membantu pengurangan rasa sakit, pendarahan dan leba m, dan bertindak sebagai antioksidan, juga berfungsi menyingkirkan radikal bebas. Sedangkan, saponin befungsi sebagai pencegah penyakit sampar, mengurangi lemak badan, meningkatkan sistem kekebalan, mencegah pembekuan darah, mengerem tingginya tingkat gula dalam darah, menguatkan fungsi hati dan memperlambat proses pembekuan darah (Agus, 2009).
2.2. Simplisia dan ekstraksi
Simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk (Gunawan & Mulyani, 2002) Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Ditjen POM, 2000 dalam Lumban Raja, 2009).
Ekstraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metode sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotary evaporator (Lumban Raja, 2009).
2.3. Diabetes melitus
Diabetes adalah kumpulan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh defisiensi insulin yang menyebabkan suatu gangguan kronis yang bercirikan hiperglikemia dan menyangkut metabolisme glukosa, lemak dan protein dalam tubuh terganggu (Drury, 1986; Ganong, 2005; Tjay, 2007). Pada tahun 1674, Thomas Willis menyatakan bahwa kencing si penderita penyakit ini berasa madu sehingga penyakit ini diberi nama diabetes melitus (melitus=madu) (Soehadi, 1996).
Penyakit diabetes melitus memiliki gejala 3P, yaitu poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan). Di samping naiknya kadar gula darah, diabetes bercirikan adanya gula dalam kemih (glycosuria) dan banyak berkemih karena glukosa yang diekskresikan banyak mengikat air. Banyak berkemih akan menimbulkan rasa sangat haus, kehilangan energi, turunnya berat badan serta rasa letih. Tubuh mulai membakar lemak untuk memenuhi kebutuhan energinya, yang disertai pembentukan zat-zat perombakan antara lain aseton, asam hidroksibutirat dan diasetat, yang membuat darah menjadi asam. Keadaan ini yang disebut ketoacidosis dan terutama timbul pada tipe 1, sangat berbahaya karena pada akhirnya dapat menyebabkan pingsan (coma
diabeticum ). Napas penderita yang sudah sangat kurus juga sering kali berbau aseton. Keluhan dan gejala yang khas disertai hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa > 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. (Ganong, 2005; Mansjoer, 2007).
American Diabetes Association (ADA) menetapkan konsentrasi glukosa darah normal saat puasa kurang dari 100 mg/dL. Glukosa plasma terganggu jika konsentrasi glukosa saat puasa antara 100-125 mg/dL, sedangkan toleransi glukosa terganggu jika konsentrasi glukosa darah setelah pembebanan glukosa 75g, antara 140-199 mg/dL. Seseorang dikatakan menderita diabetes jika konsentrasi glukosa darah saat puasa lebih dari 126 mg/dL atau bila konsentrasi glukosa darah setelah pembebanan 75 g lebih dari 200 mg/dL (Djuanda, 2011).
2.4. Glukosa
Glukosa tersebar di alam yaitu di dalam sayur, buah, sirup jagung, sari pohon, dan bersamaan dengan fruktosa dalam madu. Tubuh hanya dapat menggunakan glukosa dalam bentuk dekstro. Glukosa merupakan hasil akhir pencernaan pati, sukrosa, maltosa, dan laktosa pada hewan dan manusia. Dalam proses metabolisme, glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang beredar di dalam tubuh dan di dalam sel merupakan sumber energi. Dalam keadaan normal sistem syaraf pusat hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Glukosa dalam bentuk bebas hanya terdapat dalam jumlah terbatas dalam bahan makanan. Glukosa dapat dimanfaatkan untuk energi tinggi. Tingkat kemanisan glukosa hanya separuh sukrosa, sehingga dapat digunakan lebih banyak untuk tingkat kemanisan yang sama (Almatsier, 2004).
Pada keadaan setelah penyerapan makanan, kadar glukosa darah pada manusia dan mamalia berkisar antara 4,5–5,5 mmol/L. Setelah ingesti makanan yang mengandung karbohidrat, kadar tersebut naik hingga 6,5– 7,2 mmol/L. Saat puasa kadar glukosa darah akan turun menjadi sekitar 3,3 – 3,9 mmol/L. Penurunan mendadak kadar glukosa darah akan menyebabkan konvulsi, seperti terlihat pada keadaan over dosis insulin, karena pengaturan otak secara langsung pada pasokan glukosa. Namun, kadar yang jauh lebih rendah dapat ditoleransi asalkan terdapat adaptasi yang progressif (Stryer, 2000).
Glukosa adalah pengendali terpenting sekresi insulin. Meskipun beberapa faktor dapat meningkatkan atau menurunkan sekresi insulin, pengendali utama sekresi insulin adalah efek umpan balik glukosa darah pada sel beta pankreas. Jika konsentrasi glukosa darah meningkat melebihi ambang puasa, sekresi insulin meningkat. Akibat efek insulin yang merangsang penyerapan glukosa oleh hati dan jaringan perifer, konsentrasi glukosa darah akan pulih ke tingkat normal. Keadaan ini merupakan mekanisme umpan balik negatif penting untuk mengendalikan konsentrasi glukosa darah (Guyton & Hall, 2007).
Glukosa darah manusia pada kondisi normal memiliki konsentrasi yang seimbang. Banyak faktor yang mempengaruhi sirkulasi tingkatan glukosa seperti makanan, pencernaan, metabolisme, ekskresi, gerak badan atau latihan tubuh, kondisi fisiologis dan kondisi reproduksi. Glukosa darah akan menurun ketika terjadi aktivitas tubuh, terutama jika asupan makanan terbatas. Kekurangan glukosa darah dapat dikenali oleh sel pada pankreas yaitu sel alpha. Sel ini yang kemudian akan melepas glukagon, yang merupakan suatu hormon yang merangsang sel hati untuk melepaskan glukosa sehingga kadar glukosa dalam darah akan kembali normal. Dalam hal lain, jika glukosa dalam darah meningkat, yang sering terjadi pada saat setelah makan, sel pankreas lain, yaitu sel beta akan melepaskan hormon insulin, yang akan menginduksi glukosa dari darah ke hati dan sel lain, sehingga kadar glukosa turun dan kembali normal (Simon & Schuster, 1996).
2.5. Pengaruh hormonal dalam pengaturan glukosa darah
2.5.1. Insulin
Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung dua rantai asam amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin dibentuk oleh sel beta yang terdapat pada pulau-pulau Langerhans. Satu hari bisa dihasilkan 30-40 unit. Insulin manusia memiliki berat molekul dan berisi 51 asam amino yang disusun oleh 21 rantai A dan 30 rantai B yang membentuk ikatan disulfida (Drury, 1986; Ganong, 2005). Sekali insulin memasuki sirkulasi, maka insulin diikat oleh reseptor khusus yang terdapat pada membran sebagian besar jaringan sehingga memudahkan glukosa menembus membran sel (Katzung, 2002 dalam Lumban Raja, 2009).
Menurut Guyton (1990), insulin berperan dalam: 1) menghambat fosforilase, enzim yang menyebabkan glikogen hati pecah menjadi glukosa, 2) meningkatkan ambilan glukosa dari darah oleh sel-sel hati. Ini terjadi dengan meningkatkan aktivitas enzim glukokinase, yaitu enzim yang menyebabkan fosforilase awal glukosa setelah ia berdifusi ke dalam sel-sel hati. Sekali terfosforilasi, glukosa tertangkap di dalam sel-sel hati, karena glukosa yang telah terfosforilasi tak dapat berdifusi kembali melalui membran sel, 3) meningkatkan aktifitas enzim yang meningkatkan sintesis glikogen. Efek bersih dari kerja di atas adalah meningkatkan jumlah glikogen di dalam hati. Glikogen dapat meningkat sampai total sekitar 5-6 persen dari massa hati, yang hampir sama dengan penyimpanan 100 g glikogen.
Selain pengaruh langsung hiperglikemia dalam meningkatkan ambilan glukosa baik ke hati maupun jaringan perifer, hormon insulin juga mempunyai peranan sentral dalam pengaturan konsentrasi glukosa darah. Hormon ini dihasilkan oleh sel–sel beta pada pulau Langerhans pankreas sebagai reaksi langsung terhadap keadaan hiperglikemia. Konsentrasi glukosa darah menentukan aliran lewat glikolisis, siklus asam sitrat dan pembentukan ATP. Peningkatan konsentrasi ATP akan menghambat saluran K yang sensitif terhadap ATP
- sehingga menyebabkan depolarisasi membran sel beta, keadaan ini akan
2+ 2+
meningkatkan aliran masuk Ca lewat saluran Ca yang sensitif terhadap voltase dan dengan demikian menstimulasi eksositosis insulin (Stryer, 2000).
2.5.2. Glukagon
Glukagon merupakan hormon yang dihasilkan oleh sel-sel alfa pada pulau-pulau Langerhans pankreas, yang tersusun oleh asam-asam amino. Sekresinya dirangsang oleh keadaan hipoglikemia. Pada saat mencapai hati (lewat vena porta), glukagon menimbulkan glikogenolisis dengan mengaktifkan enzim fosforilase. Sebagian besar glukagon endogen (dan insulin) dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati. Glukagon juga meningkatkan glukoneogenesis dari asam amino dan laktat (Drury, 1986; Stryer, 2000).
Glukosa adalah pengendali terpenting sekresi glukagon dan insulin. Namun glukosa memiliki efek yang berlawanan dengan kedua hormon ini. Hipoglikemia meningkatkan sekresi glukagon; akibat efek hiperglikemik glukagon, konsentrasi glukosa dalam darah kembali normal. Sebaliknya peningkatan konsentrasi glukosa darah menurunkan sekresi glukagon; glukagon dan insulin menghasilkan efek yang penting, tetapi bertentangan untuk mengatur konsentrasi glukosa darah (Guyton & Hall, 2009).
2.6. Pankreas
Pankreas adalah suatu organ lonjong kira-kira sepanjang 15 cm yang terletak di belakang lambung dan sebagian di belakang hati. Organ ini terdiri dari 98% sel- sel dengan sekresi ekstern yang memproduksi enzim-enzim cerna yang disalurkan ke duodenum. Sisanya terdiri dari kelompok sel (pulau langerhans) dengan sekresi intern, yakni hormon-hormon yang disalurkan langsung ke aliran darah, yang terdiri atas dua jenis jaringan: 1) asini, yang mengeluarkan getah pencernaan melalui duktus pankreatikus ke dalam duodenum atau fungsi eksokrin; dan 2) pulau atau islet Langerhans, yang tidak mengeluarkan sekresinya ke dalam duktus tetapi mengalirkannya ke dalam darah atau fungsi endokrin (Guyton & Hall, 2009; Tjay & Rahardja, 2007).
Menurut Tjay & Rahardja (2007) dalam pankreas terdapat empat jenis sel endokrin, yaitu: a. Sel alfa, yang memproduksi hormon glukagon
b. Sel beta, dengan banyak granula yang berdekatan membran selnya, yang berisi insulin, yang akan disekresikan dengan bantuan aliran darah diangkut ke hati.
c. Sel delta, memproduksi somatostatin
d. Sel PP, memproduksi PP (pancreatic polypeptide), yang mungkin berperan pada sekresi endokrin dan empedu.
2.7. Limpa
Limpa merupakan salah satu dari organ limpoid pertama yang muncul pada kehidupan embrio, yang aktif pada pembentukan darah selama bagian pertama fetus hidup. Fungsi ini berkurang sampai pada bulan kelima ataupun keenam hidup fetus limpa mencapai karakter yang matang tanpa aktivitas pembentukan darah (Robbins, 1962). Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis organisme atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan ini disebut kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan limfoid di dalam tubuh (Guyton, 1977).
Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam peredaran darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat tubuh yang dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar CO2 darah, gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada perangsangan nervus simpatikus pada umumnya (Ressang 1984). Selain itu, beberapa fungsi limpa bagi tubuh manusia adalah sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap partikel atau benda asing yang masuk ke dalam darah, mendegradasi sel darah merah yang rusak, penghasil antibodi. Limpa dilindung oleh kapsula yang terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan jaringan penyokong dan lapisan otot halus. Melihat dari fungsi limpa sebagai pertahanan melawan penyakit serta sebagai penghancur sel- sel darah yang tidak normal. Limpa sangat beresiko terserang berbagai penyakit, mulai dari infeksi virus atau bakteri yang masuk ke dalam tubuh, racun yang mengkontaminasi sel-sel darah abnormal, maupun gangguan dari fungsi jaringan dalam organ tersebut.
Tikus memiliki suatu bagian populasi stem sel yang ada di limpa yang apabila dimasukkan ke dalam inang yang sakit dapat bermigrasi ke pankreas dan menjadi pulau-pulau yang fungsional yang dapat dapat memperbaiki kadar gula darah menjadi normal. Donor sel limpa setelah ditransfer secara intravena, ditempatkan ke pankreas inang dan akan berdiferensiasi tanpa tanpa pemasukan sel inang ke dalam sel β (Kodama, et al., 2005)
Menurut Alexandra, et al., (2007) menyatakan bahwa, stem sel sumsum tulang dan stem sel-sel limpa pada mencit diabetes sudah dilaporkan pada penelitian sebelumnya bahwa stem sel sumsum tulang dan stem sel-sel limpa ini akan berdegenerasi untuk menghasilkan sel β pada pankreas atau sebagai sumber potensial untuk menghasilkan sel β pada pankreas akan tetapi pada mencit normal stem sel sumsum tulang dan stem sel-sel limpanya ini tidak akan menghasilkan atau tidak akan berdegenerasi menjadi sel β pada pankreas.
Pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Lonyai et al., (2007) menyatakan bahwa, pada mencit yang diinduksi diabetes dengan STZ, yang menyebabkan diabetes tipe-1 (kekurangan hormon insulin akibat sel β pada pankreas rusak) dan stem sel-sel limpa ini sangat penting karena berpengaruh untuk menghasilkan sel β pada pankreas.
2.8. Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 2,4,5,6-pyrimidinetetrone) merupakan suatu zat yang bersifat diabetagonik. Zat kimia yang memiliki nama lain Mesoxalylurea
4
2
2
4
dan 5-Oxobarbituric acid ini mempunyai rumus kimia C H N O , yang larut bebas dalam air. Aloksan diisolasi secara murni pada tahun 1818 oleh Brugnatelli, kemudian diberi nama oleh Friedrich Wöhler dan Justus von Liebig pada tahun 1838. Nama aloksan diambil dari kata “Allantoin” dan “Oxalsaure”atau oxaluric acid. Aloksan merupakan analog toksik terhadap glukosa, secara selektif bisa merusak sel yang memproduksi insulin dalam pankreas pada tikus dan beberapa spesies hewan lainnya. Hal ini menyebabkan diabetes melitus yang tergantung dengan insulin yang disebut “Alloxan Diabetes” pada hewan ini, dengan karakteristik yang mirip dengan diabetes melitus tipe I pada manusia. Aloksan secara selektif bersifat toksik terhadap sel beta pankreas yang memproduksi hormon insulin karena aloksan terakumulasi di sel beta yang masuk melalui GLUT2 glukosa transporter. Aktifitas toksik aloksan pada sel beta dipicu oleh radikal bebas yang terbentuk melalui reaksi redoks (Waspandji dalam Syafira Riske, 2008). Aloksan adalah senyawa kimia tidak stabil dan senyawa hidrofilik. Waktu paruh aloksan pada pH 7,4 dan suhu 37ºC adalah 1,5 menit ( Lenzen, 2008).
Aloksan merupakan bahan kimia yang digunakan untuk menginduksi diabetes pada binatang percobaan. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi diabetik eksperimental (hiperglikemik) pada binatang percobaan. Aloksan dapat diberikan secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan pada binatang percobaan. Aloksan bereaksi dengan merusak substansi esensial di dalam sel beta pankreas sehingga menyebabkan berkurangnya granula- granula pembawa insulin di dalam sel beta pankreas. Aloksan meningkatkan pelepasan insulin dan protein dari sel beta pankreas tetapi tidak berpengaruh pada sekresi glukagon. Efek ini spesifik untuk sel beta pankreas sehingga aloksan dengan konsentrasi tinggi tidak berpengaruh terhadap jaringan lain (Watkins et
al ., 2008; Filippono et al., 2008).
2.9. Hewan Percobaan
Percobaan mengenai diabetes melitus dengan menggunakan hewan percobaan didasarkan pada patogenesis penyakit tersebut pada manusia, namun kondisi patologis hewan percobaan tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi patologis secara nyata pada manusia. Hal ini disebabkan kondisi fisiologi, perbedaan patologis dari beberapa tipe diabetes melitus, ragamnya penyakit diabetes melitus, serta adanya komplikasi yang menyertai dari penyakit tersebut. Menurut Cheta (1998), berdasarkan cara pembuatannya, hewan percobaan diabetes melitus dibedakan menjadi dua yaitu: (1) terinduksi (induced), misalnya melalui pankreaktomi, senyawa kimia (diabetogenik) dan virus; (2) spontan (spontaneous), misalnya menggunakan tikus BB (bio breeding) atau mencit NOD (non-obese diabetic) yang mempunyai karakteristik yang relatif sama dengan kondisi diabetes melitus pada manusia meliputi gejala-gejala penyakit, imunologi, genetik maupun karakteristik klinik lainnya.
Mencit dipilih menjadi subjek eksperimental sebagai bentuk relevansinya pada manusia. Walaupun mencit mempunyai struktur fisik dan anatomi yang jelas berbeda dengan manusia, tetapi mencit adalah hewan mamalia yang mempunyai beberapa ciri fisiologi dan biokomia yang hampir menyerupai manusia terutama dalam aspek metabolisme glukosa melalui perantaraan hormon insulin. Disamping itu, mempunyai jarak gestasi yang pendek untuk berkembang biak (Syahrin, 2006 dalam Fidzaro, 2010).