Sifat Antirayap Ekstrak Biji Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.) Terhadap Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen)

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mengkudu (Morinda citrifolia Linn.)

  Menurut (Djauhariya, 2003), klasifikasi dari tanaman mengkudu sebagai berikut: Kingdom : Plantae Filum : Angiospermae Sub filum : Dicotyledoneae Divisio : Lignosae Family : Rubiaceae Genus : Morinda Spesies : Morinda citrifolia Tanaman mengkudu berbentuk pohon dengan tinggi dapat mencapai 8 m.

  Mengkudu banyak dimanfaatkan sebagai pewarna dan obat. Tanaman ini tumbuh di tepi pantai, di kebun, bahkan di halaman rumah. Tanaman dapat tumbuh cepat dan mulai menghasilkan buah pada usia 3-4 tahun. Batang pendek dan bercabang banyak. Daun tersusun berhadapan dan bertangkai pendek. Bentuk daun lebar, tebal dan mengkilap. Bentuk daun lonjong menyempit ke arah pangkal (Mangoting dkk., 2005).

  Tanaman mengkudu berbuah sepanjang tahun. Mudah tumbuh pada berbagai tipe lahan, dengan daerah penyebaran dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 dpl. Ukuran dan bentuk buahnya bervariasi, pada umumnya mengandung banyak biji, dalam satu buah terdapat

  ≥ 300 biji, namun ada juga tipe buah mengkudu yang memiliki sedikit biji. Bijinya dibungkus oleh suatu lapisan atau kantong biji, sehingga daya simpannya lama dan daya tumbuhnya tinggi. Dengan demikian, perbanyakan mengkudu dengan biji sangat mudah dilakukan (Djauhariya dkk., 2006).

  Gambar 1. Buah mengkudu (Morinda citrifolia) Buah mengkudu berbongkol, permukaaan tidak teratur, berdaging, panjang

  5-10 cm, buah muda berwarna hijau, semakin tua menjadi kekuningan hingga putih transparan, daging buah berbau tidak sedap. Biji mengkudu berbentuk segitiga, keras berwarna coklat kemerahan. Akar mengkudu berwarna coklat muda dan berjenis tunggang (Sjabana dan Bahalwan, 2002).

  Ada beberapa jenis serangga yang dapat dibasmi dengan pestisida alami dari ekstrak buah mengkudu, antara lain : semut merah, belalang, ulat daun, kutu putih, dan berbagai serangga yang menyerang tanaman. Pestisida ini juga dapat dimanfaatkan untuk membasmi hama ulat kubis (Plutella xylostella). Kematian ulat kubis setelah disemprot ekstrak mengkudu mencapai 90-100%. Hasil ini menunjukkan bahwa mengkudu mempunyai efek insektisida yang sangat baik.

  Kematian larva yang mencapai 100% disebabkan adanya kandungan bahan bioaktif yang beracun bagi ulat serangga tersebut.

  Salah satu kandungan mengkudu adalah antrakuinon dan scolopetin yang aktif sebagai anti mikroba, terutama bakteri dan jamur. Senyawa antrakuinon dapat melawan bakteri Staphylococcus, Bacillus subtilis dan Escherichia coli. Senyawa Scolopetin dan sangat efektif sebagai unsur anti peradangan dan juga anti alergi (Bangun dan Sarwono, 2002).

  (a) (b) Gambar 2. a) Biji mengkudu; b) Serbuk biji mengkudu

  Hasil pemeriksaan kimia menunjukkan bahwa daun mengkudu mengandung triterpen dan tanin. Tanin yang merupakan kandungan daun mengkudu dapat bersifat racun. Daun yang diekstrak dengan air atau aseton dapat bersifat sebagai racun perut pada serangga (Kardinan, 2004), buah mengandung antrakuinon, tanin dan triterpen, sedangkan kulit akar mengandung antrakuinon, saponin dan triterpen. Daun dan buah mengkudu mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol dan antrakinon (Mursito, 2002).

  Salah satu tanaman yang bersifat sebagai insektisida nabati adalah mengkudu (Morinda citrifolia). Mursito (2005), menyebutkan bahwa mengkudu mengandung minyak atsiri, alkaloid, saponin, flavonoid, polifenol dan antrakuinon. Kandungan lainnya adalah terpenoid, asam askorbat, scolopetin, serotonin, resin, glikosida, eugenol dan proxeronin (Bangun dan Sarwono, 2005).

  Hasil penelitian Christiana (2006), dengan menggunakan ekstrak buah mengkudu pada konsentari 3% menghasilkan mortalitas dari Bactrocera dorsalis sebesar 50%. Di dalam buah mengkudu terdapat banyak biji yang dibuang begitu saja sebagai limbah setelah di press. Menurut Wahyuni (2000) ekstrak biji mengkudu sebanyak 1,0% (v/b) dapat menghambat perkembangan daripada

  

Sitophilus zeamais . Biji mengkudu dapat di ekstrak dengan air. Hasil penelitian

  menunjukkkan bahwa biji mengkudu yang mengandung bahan aktif saponin dan tritepenoid menghambat pertumbuhan larva Cricula trifenestrata menjadi pupa sebesar 60 % populasi serangga Sitophilus sp. dan merupakan racun perut terhadap serangga (Kardinan, 2004).

  Ekstraksi

  Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan atau jaringan tanaman. Menurut Prijono (1994), proses awal ekstraksi komponen-komponen aktif dari suatu jaringan tanaman adalah dengan menghaluskan jaringan tanaman tersebut. Hal ini bertujuan untuk memperbesar peluang terlarutnya komponen-komponen metabolit yang diinginkan. Tetapi sebelum diekstraksi, jaringan tanaman dikeringkan untuk mempertahankan kandungan metabolit dalam tanaman yang telah dipotong sehingga proses metabolisme terhenti (Masroh, 2010).

  Terdapat berbagai macam metode ekstraksi seperti maserasi, refluks dan sokletasi. Metode ekstraksi yang digunakan untuk proses ekstraksi dalam penelitian ini adalah maserasi. Prinsip dari metode ini adalah proses difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman untuk mengekstrak senyawa-senyawa yang ada dalam tanaman tersebut. Biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak senyawa yang kurang tahan panas dan digunakan untuk sampel yang belum diketahui karakteristik senyawanya sedangkan kelemahan metode ini adalah waktu ekstraksi yang relatif lama (Ratnawati, 1986).

  Ekstraksi atau penyarian merupakan proses perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel setelah mengalami pembasahan oleh cairan penyari, zat aktif yang terlarut pada cairan penyari akan keluar dari dinding sel. Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Metode ekstraksi dengan cara maserasi merupakan cara penyarian sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar (Kartikasari, 2008).

  Campuran bahan padat maupun cair (biasanya bahan alami) seringkali tidak dapat atau sulit dipisahkan dengan metode pemisah mekanik, misalnya karena komponennya bercampur secara homogen. Campuran bahan yang tidak dapat atau sukar dipisahkan dengan metode pemisahan mekanik adalah dengan metode ekstraksi (Tohir, 2010).

  Proses pemisahan ekstraksi cair-cair menggunakan pelarut n-heksana. Pada saat pencampuran antara ekstrak pekat dengan n-heksana terjadi perpindahan massa yaitu ekstrak meninggalkan pelarut yang pertama (media pembawa) dan masuk ke dalam pelarut kedua (media ekstraksi). Sebagai syarat ekstraksi ini, bahan ekstraksi dan pelarut tidak saling melarut atau bercampur agar terjadi perpindahan massa yang baik. Penambahan pelarut n-heksana yang baik adalah yang mana ekstrak yang dihasilkan sebanding dengan pelarut n-heksana (Bernasconi, 1995).

  Isolasi ekstraktif dilakukan melalui ekstraksi dengan campuran pelarut netral

atau dengan campuran pelarut tunggal. Ekstraksi pelarut dapat dikerjakan dengan

berbagai pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau

campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting yang dapat diekstraksi dengan pelarut organik. Komponen utama yang larut air terdiri atas karbohidrat, protein dan garam-garam organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan yang tegas antara komponen ekstraktif yang dipisahkan

dengan pelarut berbeda. Misalnya tanin yang dapat larut dalam air panas tetapi juga

ditemukan juga di dalam ekstrak alkohol (Adijuwana dan Nur, 1989).

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa antara air, metanol, etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang paling banyak adalah metanol.

  Kemampuan pelarutan dari masing-masing pelarut secara berurutan adalah metanol > air > etanol > propanol (Rahmana dkk., 2010).

  Tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai perlindungan terhadap serangan dari luar, misalnya dari serangan rayap. Menurut Mitsunaga (2007), beberapa aktifitas biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman telah diteliti di laboratorium Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological

  

Science, Gifu Univesity , Jepang, menunjukkan bahwa senyawa polifenol dari kayu

  tropis mempunyai efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri. Anti rayap umumnya sebagai zat yang dapat menyebabkan kematian (mortality) rayap atau menolak (repellent) rayap, sedang sebagai anti jamur menghambat pertumbuhan jamur perusak kayu. Sedang sebagai anti bakteri, zat ekstraktif bersifat sebagai

  

bactericide terhadap bakteri yang menyerang kayu. Peranan zat ekstraktif sebagai

insektisida selengkapnya disajikan pada Tabel 1.

  d. Alkaloid indol Penghambat sintetis protein a. Pengaktifan asam amino

  Sumber : Sastrodihardjo (1999) Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat di dalam kayu. Eaton and Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan dalam mencegah serangan serangga.

  b. Replikasi

  a. Mutasi transsisional

  Penghambat sintetis DNA

  b. Kinin, Colchicin, alkaloida Vera- tum, alkaloida diaminos-teroid, furanocoumarin, coumarin Hydrazin

  a. Basa analog (5-metil sitosin)

  c. Komplek inisiasi ribosom 4.

  b. Fungsi protein

  c. Protein toksis (ricin), basa purin

  

Tabel 1. Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida pada

serangga No Jenis zat ekstraktif tumbuhan Target biokimiawi pada serangga 1.

  b. Tanin, stilben, resin, quinon

  a. Asam aminnonouprotein

  Uncouler dari phosphorilasi oksidase 3.

  2. Diterpen, flavonoid, polyacetylen, phenol, asam aromatik, coumarin, asam lemak

  c. Cytokrome oksidase

  b. Oksidasi Suksinat

  a. Antara NAD + dengan Co Q

  Penghambat transport elektron

  a. Rotenon . Tropan, quinon, quinodin, senyawa nitro, imidazol, aldehida Glukosinolat, nitril, N-nitrosamin, cyanogenic, thiosianat

  Biotermitisida Alamiah Pestisida alami adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman

atau tumbuhan. Pestisida nabati bisa dibuat secara sederhana yaitu dengan

menggunakan hasil perasan, ekstrak, rendaman atau rebusan bagian tanaman baik

  

berup a daun, batang, akar, umbi, biji ataupun buah. Biotermitisida sangat

diperlukan dalam pengendalian hama rayap sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

  Penolakan serangga atau binatang untuk memakan tumbuhan tersebut dapat disebabkan tumbuhan memiliki kandungan senyawa kimia yang sifatnya sebagai allomone, yakni memberi efek negatif terhadap perkembangan serangga. Senyawa-senyawa kimia tersebut dikenal dengan istilah metabolit sekunder yang bersifat sebagai senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang terkandung tersebut diduga memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat antirayap dalam mematikan rayap. Senyawa-senyawa bioaktif tersebut juga dapat merusak sistem saraf rayap menyebabkan sistem saraf tidak berfungsi dan pada akhirnya dapat mematikan rayap (Nasir dan Lasmini, 2008). Menurut pernyataan Sastrodihardjo (1999), pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintesis protein, khususnya dari kelompok tanin, stilbena, alkaloid dan resin sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel rayap yang pada akhirnya menghambat proses ganti kulit rayap.

  Pada sisi lain, faktor-faktor perusak harus dilihat sebagai komponen yang muncul sebagai hasil interaksi antara kayu dengan lingkungan penggunaannya, baik lingkungan biotik maupun lingkungan abiotik. Lingkungan biotik dapat mempengaruhi ketahanan kayu karena organisme perusak berinteraksi dengan kayu dalam bentuk menjadikannya sebagai bahan makanan atau tempat perlindungan. Sedangkan lingkungan abiotik mampu mempengaruhi ketahanan kayu karena adanya interaksi fisik, mekanis maupun kimia yang dapat merombak atau merubah komposisi kimia dan bentuk kayu (Utami, 2010).

  Rayap

  Rayap termasuk binatang Arthropoda, kelas insecta yang berasal dari ordo isoptera yang dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorphosa gradual atau bertahap. Kelompok binatang ini pertumbuhannya melalui tiga tahap yaitu telur, nimfa dan tahap dewasa. Setelah menetas dari telur nimfa akan menjadi dewasa dengan melalui beberapa instar, yaitu bentuk diantara dua masa perubahan. Bentuk ini sangat gradual, sehingga baik dari bentuk badan pada umumnya, cara hidup maupun makanan pokok antara nimfa dan dewasa adalah serupa. Pada nimfa yang bertunas sayapnya akan tumbuh lengkap pada instar terakhir, saat binatang itu mencapai kedewasaan (Hasan, 1986).

  Gambar 3. Siklus hidup rayap Rayap bertubuh lunak dan berwarna putih. Sayap depan dan belakang ukurannya hampir sama dan diletakkan datar diatas abdomen pada waktu beristirahat. Bila sayap rayap terputus sepanjang sutera, hanya meninggalkan dasar sayap atau potongan yang menempel pada thoraks. Abdomen pada rayap lebih berhubungan dengan thoraks, kasta yang mandul (pekerja dan serdadu) pada rayap terdiri dari dua kelamin. Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan sekunder. Reproduktif primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya bertugas untuk menghasilkan telur. Kasta – kasta reproduktif terbentuk dari telur yang dibuahi (Borror dkk., 1992).

  Kepala berwarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat ukuran panjang sedikit lebih besar daripada lebarnya. Antena terdiri dari 15 segmen. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung diujungnya, batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46 - 2,66 mm, panjang mandibel tanpa kepala 1,40 - 1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00 - 1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm, panjang badan 5,5 - 6 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri dan bewarna putih kekuning-kuningan (Nandika dkk.,2003).

  Rayap merupakan serangga pemakan kayu (Xylophagus sp) atau bahan- bahan yang mengandung selulosa (Nandika dkk., 2003). Rayap juga hidup berkoloni dan mempunyai sistem kasta dalam kehidupannya. Kasta dalam rayap terdiri dari tiga kasta yaitu :

  1. Kasta prajurit, kasta ini mempunyai ciri-ciri kepala yang besar dan penebalan yang nyata dengan peranan dalam koloni sebagai pelindung koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta ini mempunyai mandible yang sangat besar yang digunakan sebagai senjata dalam mempertahankan koloni.

  2. Kasta pekerja, kasta ini mempunyai warna tubuh yang pucat dengan sedikit kutikula dan menyerupai nimfa. Kasta pekerja tidak kurang dari 80 - 90 % populasi dalam koloni. Peranan kasta ini adalah bekerja sebagai pencari makan, memberikan makan ratu rayap, membuat sarang dan memindahkan makanan saat sarang terancam serat melindungi dan memelihara ratu.

  3. Kasta reproduktif, merupakan individu-individu seksual yang terdiri dari betina yang bertugas bertelur dan jantan yang bertugas membuahi betina. Ukuran tubuh ratu mencapai 5 - 9 cm atau lebih.

  Rayap tanah merupakan hama yang memiliki spesifisitas habitat dan memiliki perilaku yang khas. Koloni rayap membangun istananya di dalam tanah hingga kedalaman tertentu, bahkan acapkali terlihat kokoh di atas permukaan tanah. Koloni rayap dalam tanah bisa berjumlah ratusan ribu hingga jutaan dan dipimpin oleh seekor ratu rayap yang terlindungi oleh ribuan rayap tentara dalam bangunan kokoh yang tersusun dari tanah. Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. (Tarumingkeng, 2000).

  Aktivitas makan rayap pada suatu jenis kayu tergantung faktor luar yaitu jenis kayu. Pada tahap awal, komponen kimia kayu merangsang saraf perasa (gustatory) rayap yaitu pada waktu rayap mulai makan. Kedua adalah tingkat ambang rasa rayap itu sendiri. Dengan demikian tingkat kesukaan makan rayap pada beberapa jenis kayu tergantung pada jenis-jenis kayu dan jenis rayap itu sendiri. Perbedaan sifat kayu dan ambang rasa rayap menimbulkan perbedaan aktivitas makan setiap jenis rayap pada berbagai jenis kayu (Supriana, 1983).

  Rayap mencari makanan tidak melalui proses visual karena rayap memiliki mata yang vestigial (tidak berkembang). Oleh karena itu, rayap akan menjelajah secara acak. Rayap pekerja menyebar dari pusat sarang sampai menemukan sumber makanan yang sesuai dan kembali ke pusat sarang sambil meletakkan feromon penanda jejak sehingga rayap pekerja lain dapat menuju sumber makanan yang baru ditemukan (Bignell et al., 2001).

  Beberapa jenis rayap memperlihatkan tingkat kesukaan pada kayu yang telah diserang jamur pendegradasi lignin (Cornelius dkk., 2004). Penelitian oleh Nandika dkk., (2003) menunjukkan bahwa kayu pinus yang terlapukkan oleh jamur Schizophyillum commune lebih disukai oleh Coptotermes curvighnathus dibandingkan dengan kayu yang tidak lapuk. Jamur menghasilkan substansi yang menarik rayap dan memudahkan pencernaan.

  Dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diperhatikan. Beberapa sifat-sifat penting rayap menurut Nandika (1991) adalah sebagai berikut: 1.

  Sifat Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan pertukaran bahan makanan.

  2. Sifat Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) dimana mereka selama periode yang pendek di dalam hidupnya memerlukan cahaya (terang).

  3. Sifat Kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk memakan individu sejenis yang lemah dan sakit. Sifat ini lebih menonjol bila rayap berada dalam keadaan kekurangan makanan.

  4. Sifat Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.

  5. Sifat polimorfisme atau polimorfik, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda antara pekerja, prajurit dan rayap reproduktif.

  Menurut Tarumingkeng (2003) setiap koloni rayap terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif (reprodukif primer dan reproduktif suplementer). Membuat sarang dan hidup di dalam sarang merupakan karakteristik dari serangga sosial.

  Bahan yang digunakan untuk membangun sarang sangat tergantung pada makanan dan bahan yang tersedia di habitatnya. Tanah, kotoran dan sisa tumbuhan serta air liur merupakan bahan utama untuk pembuatan sarang. Partikel tanah yang seringkali digunakan untuk membangun sarang dan merupakan komponen yang dominan dapat diklasifikasikan menurut ukurannya, yaitu kerikil >2,00 mm, pasir kuarsa 2,0 - 0,2 mm, pasir halus 0,2 - 0,02 mm, lumpur 0,02 - 0,002 mm, dan liat < 0,002 mm. Sedangkan kotoran dan air liur berfungsi sebagai perekat dalam pembuatan sarang (Nandika dkk., 2003).

  Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen)

  Taksonomi dari rayap tanah M. gilvus adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Divisi : Avertebrata Kelas : Insecta Ordo : Isoptera Famili : Termitidae Sub famili : Macrotermitidae Genus : Macrotermes Spesies : Macrotermes gilvus

  Rayap M. gilvus termasuk ke dalam famili Termitidae, sub-famili Macrotermitidae dan genus Macrotermes. Kepala rayap ini berwarna coklat tua.

  Mandibel berkembang dan berfungsi, mandibel kiri dan kanan simetris dan tidak memiliki gigi marginal. Mandibel melengkung pada ujungnya dan digunakan untuk menjepit. Ujung dari labrum tidak jelas, pendek dan melingkar. Ruas antena terdiri atas 16 - 17 ruas (Nandika dkk., 2003).

  Menurut Tarumingkeng (2000), kasta prajurit pada rayap ini memiliki dua bentuk yaitu kasta prajurit berukuran besar dan kasta prajurit berukuran kecil.

  Adapun ciri-ciri dua jenis kasta prajurit dari M. gilvus adalah sebagai berikut:

  1. Kasta prajurit berukuran besar, berwarna coklat kemerahan, dengan lebar 2,88 - 3,10 mm, panjang kepala dengan mandibel 4,80 - 5,00 mm. Antena 17 ruas, ruas ketiga sama panjang dengan ruas kedua, ruas ketiga lebih panjang dari ruas keempat.

  2. Kasta prajurit berukuran kecil. Kepala berwarna coklat tua, dengan lebar 1,52 - 1,71 mm, panjang kepala dengan mandibel 3,07 - 3,27 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,84 - 2,08 mm. Antena 17 ruas, ruas kedua sama panjang dengan ruas keempat.

  Tambunan dan Nandika (1989) menyatakan bahwa pada koloni-koloni rayap bawah tanah, rayap pekerja merupakan individu yang jumlahnya jauh lebih banyak. Seperti serdadunya, rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, buta dengan tubuh berwarna lebih muda dan sedikit lebih pendek dari ¼ inci. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu, dan kasta inilah yang menimbulkan segala macam kerusakan yang disebabkan oleh rayap bawah tanah.

  Di hutan alam, rayap tanah jenis M. gilvus berperan penting sebagai degradator primer (Khrishna and Weesner, 1969). Konsumsi makan rayap didefinisikan sebagai tingkat kesukaan rayap terhadap sumber makanan yang ada di lingkungannya. Rayap ini berperan penting dalam proses daur ulang nutrisi tanaman melalui proses disintegrasi dan dekomposisi material organik dari kayu yang telah mati, ranting dan serasah menjadi material organik yang lebih halus (Bignell dkk, 2010). Preferensi makan penting diperhatikan, karena berpengaruh terhadap persediaan makanan di habitat alami. Rayap merupakan serangga pemakan kayu (Xylophagus sp) atau bahan-bahan yang terdiri dari selulosa; di negara-negara sub tropis jenis kayu seperti pinus merupakan kesukaannya (Bignell et al., 2000). Kayu yang lapuk sangat mudah dimakan rayap namun kayu sehat pun sangat disukai. Rayap banyak memakan kayu yang sedang dalam proses pelapukan akibat meningkatnya kelembaban. Oleh karena itu, kerusakan kayu oleh rayap erat hubungannya dengan pelapukan kayu oleh jamur. Taman jamur (fungus garden) diperlukan sebagai sumber protein dan vitamin bagi rayap tanah

  

M. gilvus . Hal ini merupakan simbiosis mutualisme yang terjadi antara rayap dan

jamur (Korb and Aanen, 2003).

  Kebanyakan rayap tanah dapat makan kayu sebanyak 2 - 3% dari berat badannya setiap hari. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rayap adalah keadaan lingkungan, ukuran badan dan besar kecilnya koloni. Rata-rata besar koloni rayap tanah di daerah sub tropis adalah 60 - 350 ribu ekor rayap pekerja.

  Jenis rayap genus Coptotermes paling cepat menghabiskan makanan dibandingkan dengan genus lain. Jenis ini memerlukan kayu sebanyak 5 - 31 g dalam waktu 19 hari (Lee, 2002).

  Menurut Nakashima et al (2002) menyatakan bahwa di dalam tubuh rayap tanah terdapat beberapa spesies jamur yang berfungsi menghasilkan enzim

  

sellulase, seperti Spirotrichonympha leidyi, Holomastigotoides mirabile, dan Pseudotrichonympha grassii . Sementara itu enzim amylase, protease dan glycosyl

hydrolase yang dihasilkan bakteri membantu rayap tanah M. gilvus untuk mendegradasi selulosa (Bayane and Guiot, 2011). Dalam proses degradasi senyawa-senyawa dalam kayu, jamur Termitomyces menghasilkan enzim sellulase dan xylanase untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa. Termitomyces juga menghasilkan enzim laccase yang membantu rayap mendegradasi senyawa lignin (Johjima et al., 2006), Termitomyces kaya dengan nitrogen yang dibutuhkan rayap untuk hidup dan berkembang biak (Sawhasan et al., 2012).

  Rayap tanah M. gilvus berkebun jamur di dalam sarangnya, terutama

  

Termitomyces (Jouquet et al., 2005). Peranan jamur dalam sarang rayap terhadap

  ekosistem alam sangat menguntungkan untuk meningkatkan kadar C dan N dalam tanah dan mineral tanah (NH4+, NO3-, Ca 2+, Mg2+, K+ dan Na+). Biomassa jamur Termitomyces dalam sarang rayap M. gilvus adalah 1,1 g/m2, sementara

  

M. carbonarius 3,4 gr/m2 dan M. annandalei 10,6 g/m2. Hal ini menunjukkan

  bahwa jamur dalam sarang rayap tanah M. gilvus berperan sangat positif dalam proses degradasi bahan-bahan organik menjadi bahan-bahan anorganik di dalam ekosistem alam (Yamada et al., 2005). Rayap M. gilvus mampu memodifikasi profil tanah dan sifat kimia tanah sehingga menyebabkan terjadi perubahan vegetasi. Di sekitar sarang rayap ini cenderung lebih banyak mengandung silika sehingga menyebabkan hanya jenis-jenis tumbuhan tertentu yang dapat tumbuh di atas sarang rayap (Nandika dkk., 2003).