Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia) Terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris Suum, Goeze In Vitro

PENGARUH EKSTRAK BUAH MENGKUDU (Morinda citrifolia) TERHADAP WAKTU KEMATIAN CACING

Ascaris suum, Goeze In Vitro SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran RIZA DEVIANA G0009184

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro

Riza Deviana, NIM: G0009184, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Pada Hari Selasa, Tanggal 3 Juli 2012

Pembimbing Utama

Nama : Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes NIP : 19540505 198503 2 001

Pembimbing Pendamping

Nama : Brian Wasita, dr, Ph.D NIP : 19790722 200501 1 1003 ( )

Penguji Utama

Nama : Darukutni, dr. Sp.Park NIP : 19470809 197603 1 001

Penguji Pendamping

Nama : Ruben Dharmawan, dr. Ir,. Sp.Park. Ph.D NIP : 19511120 198601 1 001

Surakarta, ………………………

Dekan Fakultas Kedokteran UNS

Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM

NIP. 19510601 197903 1 002

Ketua Tim Skripsi

Muthmainah, dr., M.Kes

NIP. 19660702 199802 2 001

commit to user

iii

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 3 Juli 2012

Nama : Riza Deviana NIM. G0009184

commit to user

iv

Riza Deviana, G0009184, 2012. Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro.

Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Latar Belakang

: Mengkudu (Morinda citrifolia) memiliki efek terapeutik,

di antaranya sebagai antibakteri, anthelmintik, dan imunomodulator. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari ekstrak buah mengkudu terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum Goeze, In Vitro.

Metode Penelitian : Eksperimental laboratorik dengan posttest only controlled group design , menggunakan 108 ekor cacing Ascaris suum, Goeze dewasa, dibagi dalam 9 kelompok perlakuan (kelompok kontrol negatif, ekstrak 1% g/ml, 2 % g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, 12% g/ml dan kelompok kontrol positif, yaitu Piperazin 0,4% g/ml). Teknik pengambilan sampel dengan metode simple random sampling . Cacing direndam dalam larutan uji sebanyak 24 ml, diinkubasi pada suhu 37 ºC. Pengamatan dilakukan tiap 30 menit hingga semua

cacing mati. LC 50 dan LT 50 ekstrak buah mengkudu dihitung dengan

menggunakan analisis probit. Analisis statistik yang dipakai adalah uji Kruskall- Wallis dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni.

Hasil Penelitian

: Analisis probit menunjukkan bahwa LC 50 dan LT 50

ekstrak buah mengkudu adalah 4,94165% g/ml dan 703,31770 menit. Hasil dari uji Kruskall-Wallis menunjukkan perbedaan yang signifikan (p < 0,05) pada minimal 2 kelompok. Hasil dari uji Post Hoc Mann-Whitney dengan koreksi Bonferroni menunjukkan bahwa kelompok perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan (p < 0,0014) terhadap kelompok kontrol negatif serta kelompok 12% g/ml memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelompok kontrol positif.

Simpulan Penelitian : Simpulan dari penelitian ini adalah ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) menyebabkan kematian cacing Ascaris suum dengan waktu kematian yang lebih cepat jika dibandingkan dengan obat standar .

Kata Kunci

: ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia), Ascaris

suum , piperazin

commit to user

ABSTRACT

Riza Deviana, G0009184, 2012. The Effect of Mengkudu Fruits (Morinda

citrifolia) Extract on Death Time of Ascaris suum, Goeze In Vitro. Mini Thesis. Faculty of Medicine Sebelas Maret University Surakarta.

Background : Mengkudu (Morinda citrifolia) has a terapeutic effect, such as antibacterial, anthelmintic and imunomodulator. This research is performed to understand the effect of Mengkudu (Morinda citrifolia) fruit extract on death time of Ascaris suum, Goeze In Vitro.

Methods

: The research was performed using experimental laboratory

method with posttest only controlled group design. Adult Ascaris suum, Goeze (108 worms) were divided into 9 groups. The worms treated with NaCl 0,9 % solution and Piperazine 0,4% g/ml served as negative control and positive control group consecutively. The worms treated with increasing dose of Mengkudu fruits (Morinda citrifolia) extract (1% g/ml, 2% g/ml, 4% g/ml, 6% g/ml, 8% g/ml, 10% g/ml, and 12% g/ml) served as treatment groups. Observations were performed

every half hour until the worms died. LC 50 and LT 50 were calculated using probit

analysis. Statistic analysis was performed using Kruskal-Wallis test continued by Post Hoc Test with Bonferroni correction.

Results

: Probit analysis showed that LC 50 and LT 50 of Mengkudu fruits

extract were 4,94165% g/ml and 703,31770 minutes. Kruskall-Wallis test showed that significance difference at least in the two groups. Post Hoc Mann-Whitney with Bonferroni correction test showed that treatment had significant difference (p < 0,0014) to negative control and 12% g/ml group had significant difference to positive control group.

Conclusion : Mengkudu (Morinda citrifolia) fruits extract can induce Ascaris suum death with the death time faster than standard medicine.

Keywords : Mengkudu (Morinda citrifolia) extract, Ascaris suum, Piperazin.

commit to user

vi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena limpahan nikmat, rahmat, hidayah serta ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap Waktu Kematian Cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro ”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan, bimbingan, bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah dengan setulus hati penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR-FINASIM selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi ini.

3. Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes dan Brian Wasita, dr. Ph.D sebagai pembimbing utama dan pembimbing pendamping yang telah berkenan memberikan waktu, bimbingan, saran dan motivasi kepada penulis.

4. Darukutni, dr. Sp.Park dan Ruben Dharmawan, dr. Ir., Sp.Park. Ph.D sebagai penguji utama dan penguji pendamping yang telah memberikan nasihat, koreksi, kritik dan saran untuk menyempurnakan penyusunan skripsi.

5. Keluarga besar Lab. Parasitologi FK UNS untuk segala bantuan dan kemudahannya.

6. Bapak dan ibu tercinta (Sumedi dan Cuk Susilowati) atas doa restu yang tiada habis dan dukungan yang tiada henti baik berupa moril maupun materiil. Adikku Rizal Dewangga yang dengan ikhlas membantu tersusun sempurnanya skripsi ini. Keluarga besarku yang turut memberikan motivasi, dukungan, dan doanya.

7. Dwi Adhi dan keluarga wisma Deka: Cindy, Dio, Brenda, Rizka, Andin, Hana, Dwi, Ami, atas semua support, motivasi, dan semangat yang selalu diberikan.

8. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, dibutuhkan saran dan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu kedokteran pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Surakarta, 25 Juni Riza Deviana

commit to user

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………………………………………………………......

vii

DAFTAR TABEL …………………………………………………......

viii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….....

ix

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….

x BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………….

B. Perumusan Masalah ……………………………………

C. Tujuan Penenlitian ……………………………………..

D. Manfaat Penelitian ……………………………………..

5 BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ……………………………………….

B. Kerangka Pemikiran …………………………………...

27

C. Hipotesis ……………………………………………….

28 BAB III. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………………………………………...

29

B. Lokasi Penelitian ………………………………………

29

C. Subjek Penelitian ………………………………………

29

D. Teknik Sampling ……………………………………....

31

E. Identifikasi Variabel Penelitian ………………………..

31

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……………...

32

G. Rancangan Penelitian ………………………………….

35

H. Alat dan Bahan ………………………………………..

35

I. Cara Kerja …………………………..............................

36

J. Teknik Analisis Data …………………………………..

39 BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Data Hasil Penelitian …………………………………..

40

B. Analisis Data …………………………………………...

43

BAB V. PEMBAHASAN ……………………………………………

51 BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ……………………………………………….

56

B. Saran …………………………………………………...

56

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………

58 LAMPIRAN

commit to user

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.

Jumlah Cacing yang Mati pada Pengamatan Setiap 30 Menit dalam 3 Kali Replikasi................................................

41

Tabel 4.2.

Hasil Uji Mann-Whitney....................................................... 44

Tabel 4.3.

Pengamatan Cacing Selama 810 Menit................................. 48

Tabel 4.4.

Lethal Concentration Ekstrak Buah Mengkudu.................... 48

Tabel 4.5.

Lethal Time Ekstrak Buah Mengkudu................................... 49

Tabel 4.6.

Lethal Time Ekstrak Buah Mengkudu Konsentrasi 12%...... 49

Tabel 4.7.

Lethal Time Piperazin............................................................ 50

commit to user

ix

Gambar 2.1

Morfologi Ascaris lumbricoides................................ 6

Gambar 2.2

Morfologi Ascaris suum …………………………....... 10

Gambar 2.3

Siklus Hidup Ascaris suum…………………............. 12

(Morinda citrifolia)................................................................ ..........

13

Gambar 2.5

Skema Rancangan Penelitian............................................ 34

Gambar 3.1

Skema Rancangan Penelitian............................................ 34

Gambar 4.1

Diagram Error Bar Waktu Kematian Cacing................... 42

commit to user

Lampiran 1 Perhitungan Dosis Lampiran 2 Uji Kolmogorov-Smirnov dan Kruskall-Wallis Lampiran 3 Uji Post Hoc Mann-Whitney Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian

Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel Lampiran 6 Surat Keterangan Pembuatan Ekstrak Lampiran 8 Berita Acara Pembuatan Ekstrak

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cacing masih banyak menyebabkan masalah pada hewan dan manusia (Kumar et al., 2010). Askariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Linn. Askariasis adalah salah satu manifestasi penyakit cacing yang paling sering ditemukan di dunia (David, 2008). Askariasis biasanya tersebar pada negara-negara yang sanitasinya buruk, baik yang beriklim tropis maupun subtropis terutama yang beriklim panas. Oleh karena daerah-daerah seperti ini banyak terdapat di negara berkembang, angka kejadian askariasis di negara berkembang relatif tinggi (Pohan, 2006). Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi telur serta termasuk ke dalam Soil Transmitted Helminth (STH) atau infeksi cacing usus yang ditularkan lewat tanah (Sri, 2003).

Akariasis ditemukan pada semua umur, tetapi paling sering pada anak umur 5-9 tahun dengan frekuensi kurang lebih sama pada kedua jenis kelamin (Brown, 1982). Di Indonesia prevalensi cacingan pada anak sangat tinggi yaitu mencapai 60-0,9% (Sri, 2003). Hasil survei yang dilakukan pada 40 sekolah dasar (SD) di 10 propinsi menunjukkan prevalensi kecacingan berkisar antara 2,2-96,3% (Depkes RI, 2004; Rampengan, 2007).

Penyakit cacing sangat merugikan karena cacing tersebut mengambil sari makanan dari tubuh hospesnya. Manifestasi dari keadaan tersebut adalah

commit to user

berkurang, diare, atau konstipasi, sampai yang berat, misalnya perdarahan dan penggumpalan sel leukosit. Selain itu, daya tahan tubuh hospes akan menurun karena infeksi cacing tersebut (Mursito, 2002; Pohan, 2006).

Obat-obat yang digunakan sebagai terapi askariasis di antaranya adalah Mebendazol, pirantel pamoat, piperazin, levamisol, albendazol, dan tiabendazol (Syarif dan Elysabeth, 2007). Piperazin sitrat merupakan salah satu anthelmintik yang merupakan obat utama dalam terapi askariasis. Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing askaris dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis (Pohan, 2006; Syarif dan Elysabeth, 2007). Preparat obat anthelmintik, misalnya piperazin, yang beredar di pasaran kini dirasa kurang efektif dan telah menimbulkan resistensi sehingga mudah sekali terjadi kekambuhan lagi (Kumar et al., 2010). Karena latar belakang tersebut, peneliti bermaksud meneliti obat alternatif yang berfungsi sebagai anthelmintik yang memiliki efek optimal terutama mampu menangani resistensi serta memiliki harga yang terjangkau.

Mengkudu dilaporkan memiliki efek terapeutik yang luas, di antaranya adalah sebagai antibakteri, antiviral, anthelmintik, antifungi, antitumor, analgesik, hipotensif, antiinflamasi, dan imunomodulator. Tumbuhan

commit to user

Indian, sekitar 2000 tahun yang lalu (Kumar et al., 2010). Seluruh bagian tanaman mengkudu, baik akar, kulit batang, daun, dan buah berkhasiat untuk obat (Mursito, 2002; Bangun, 2002). Buah mengkudu digunakan sebagai obat alternatif untuk berbagai macam penyakit, misalnya arthritis, diabetes melitus, penurun tekanan darah, analgesik, dismenore, nyeri kepala, penyakit jantung, AIDS, kanker, ulkus gastitis, depresi, saluran cerna yang terganggu, ateriosklerosis, penyakit pada pembuluh darah, dan ketergantungan obat (Mathivanan et al., 2005).

Senyawa utama yang terkandung di dalam buah mengkudu adalah skopoletin, asam oktanoat, kalium, vitamin C, terpenoid, alkaloid, anthrakuinon (seperti nordamnachantal, morindon, rubiadin, andrubiadin-1- metil eter, dan antrakuinon glikosid) (Mathivanan et al., 2005). Alkaloid dan senyawa fenol (antrakuinon dan tanin) merupakan senyawa aktif yang memiliki aktivitas anthelmintik dalam buah mengkudu (Murdiati et al., 2000; Satwadhar et al., 2011).

Perasan buah mengkudu memiliki efek anthelmintik yang baik pada konsentrasi tertentu dan memiliki perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan obat standar, yaitu piperazin (Adawiyah, 2006; Gunawan, 2007). Melihat potensi mengkudu sebagai anthelmintik seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian mengenai efektivitas antihelmintik ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris perlu dilakukan.

commit to user

diperhitungkan dalam penelitian ini. Semakin singkat ekstrak mengkudu dapat membunuh cacing maka efektivitas ekstrak mengkudu semakin baik. Pada penelitian kali ini digunakan berbagai konsentrasi ekstrak buah

mengkudu dengan tujuan untuk menghitung LC 50 (Lethal Concentration 50) dan LT 50 (Lethal Time 50) dari ekstrak buah mengkudu yang berfungsi sebagai anthelmintik. Penggunaan ekstrak lebih dipilih daripada perasan dalam penelitian ini disebabkan sediaan dalam bentuk ekstrak lebih menjamin kemurnian zat antihelmintik yang terkandung dalam buah mengkudu.

Penelitian secara In Vitro juga lebih dipilih karena kendala yang akan dihadapi pada penelitian In Vivo lebih besar. Selain itu, penelitian In Vitro lebih mudah dilakukan dibandingkan penelitian In Vivo.

Ascaris suum , Goeze digunakan sebagai subyek pada penelitian ini karena keterbatasan dalam memperoleh sampel Ascaris lumbricoides, Linn. Ascaris suum , Goeze adalah cacing gelang yang terdapat dalam usus halus babi. Cacing ini secara morfologis hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn. dan pada stadium dewasa sebagian besar hidup di usus halus mirip dengan Ascaris lumbricoides, Linn. pada manusia. Cacing ini memiliki siklus hidup dan cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn (Miyazaki, 1991; Roberts et al., 2005). Seperti yang diungkapkan oleh Loreille dan Bouchet, cacing ini juga mempunyai sifat biokimiawi dan

commit to user

2011).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, maka didapatkan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum , Goeze In Vitro.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis Menyediakan data ilmiah mengenai pengaruh ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum, Goeze In Vitro.

2. Manfaat praktis Memberikan informasi tentang khasiat antihelmintik buah mengkudu (Morinda citrifolia) yang diharapkan dapat menjadi obat alternatif dari piperazin.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ascaris lumbricoides, Linn

a. Taksonomi

: Ascaris lumbricoides, Linn

(Utari, 2002)

b. Morfologi

Gambar 2.1. Morfologi Ascaris lumbricoides (Dubs, 2011).

commit to user

betina sekitar 22-35 cm. Cacing dewasa tubuhnya berwarna kuning kecoklatan, mempunyai kutikulum yang rata dan bergaris halus. Kedua ujung badan cacing membulat. Mulut cacing mempunyai bibir sebanyak 3 buah, satu di bagian dorsal dan yang lain di bagian subventral. Pada cacing jantan ditemukan 2 buah spikula atau bagian seperti untaian rambut di ujung ekornya (posterior) masing-masing spikula berukuran 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical) dan lurus. Pada sepertiga bagian depannya terdapat bagian yang disebut cincin atau gelang kopulasi (Zaman, 1997). Cacing dewasa hidup pada usus manusia. Seekor cacing betina dapat bertelur hingga sekitar 200.000 telur per harinya. Telur yang dibuahi berukuran 60x45 mikron sedang telur yang tak dibuahi bentuknya lebih besar sekitar 90x40 mikron. Telur yang telah dibuahi inilah yang dapat menginfeksi manusia (Gandahusada et al., 2006).

c. Habitat dan Siklus Hidup

Telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu dalam lingkunganyang sesuai. Bentuk infektif ini, bila tertelan oleh manusia akan menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfa lalu dialirkan ke jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh

commit to user

ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan oleh hospes sampai berkembang menjadi cacing dewasa dan kemudian bertelur kembali diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada et al., 2006). Cacing dewasa terdapat di dalam usus halus tetapi kadang-kadang dijumpai di bagian usus lainnya (Soedarto, 1992).

d. Patologi dan Gambaran Klinis

Penularan askariasis melalui tertelannya telur yang infeksius bersama makanan atau minuman kemudian telur akan menetas di bagian atas usus halus dan keluarlah larva yang berbentuk rhabtidiformis. Infeksi bertambah di masyarakat akibat pembuangan feses di tanah yang memungkinkan perkembangan telur menjadi infektif (Capello dan Hotz, 2003). Sebagian besar kasus askariasis tidak menunjukkan gejala. Infeksi biasa yang mengandung 10 sampai 20 ekor cacing sering berlalu tanpa diketahui hospes dan baru diketahui setelah ditemukan telur pada pemeriksaan tinja rutin atau cacing keluar sendiri tanpa tinja (Widoyono, 2008). Timbulnya gejala klinis pada askariasis disebabkan oleh:

commit to user

Keberadaan cacing Ascaris lumbricoides, Linn dalam jumlah besar (hiperinfeksi) terutama pada anak – anak, dapat menimbulkan kekurangan gizi. Kekurangan gizi ini timbul akibat gangguan penyerapan monosakarida, asam amino, asam lemak dan gliserol di jejunum (Hutz, 2004).

2) Alergi

Beberapa alergi yang timbul yaitu asma bronchial, urtikaria, hipereosinofillia dan Sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan suatu kelainan yaitu terdapatnya infiltrat eosinofil pada paru-paru yang memberikan gambaran bronkopneumonia yang atipik (Pohan, 2006).

3) Traumatic Action

Cacing Ascaris dapat berkumpul dan membentuk bolus yang cukup besar dalam lumen usus halus sehingga dapat menyebabkan obstruksi. Pada banyak kasus perlu dilakukan pembedahan untuk menghilangkan obstruksi (Rampengan, 2007).

4) Eratic Action

Eratic action merupakan kelainan yang terjadi pada tubuh penderita akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa. Di nasofaring, Askaris dapat migrasi ke tuba eustachii sehingga dapat menimbulkan Otitis Media Akut. Dari nasofaring, cacing ini dapat masuk ke laring, trakea, bronkus sehingga dapat

commit to user

jumlah banyak di kolon dapat menyebabkan komplikasi seperti apendisitis akut, ileus, pankreatitis dan diare akut. Apabila sampai di ginjal dapat menyebabkan nefritis (Hutz, 2004).

2. Ascaris suum, Goeze

a. Taksonomi

: Metazoa Filum : Nemathelminthes

: Ascaris suum, Goeze

(Loreille dan Bouchet, 2003)

b. Morfologi

Gambar 2.2. Morfologi Ascaris suum, Goeze (Blaxter, 2011).

commit to user

secara morfologi hampir sama dengan Ascaris lumbricoides, Linn mulai dari telur sampai bentuk dewasa. Kemiripan morfologi keduanya, tidak dapat dibedakan dengan mikroskop cahaya biasa, tetapi dengan mikroskop elektron, menunjukkan sedikit perbedaan pada deretan gigi dan bentuk bibirnya (Gregers, 2006).

Cacing jantan mempunyai panjang 10-31 cm dengan lebar 2-4 mm. Cacing betina memiliki ukuran lebih panjang daripada cacing jantan, yaitu 23-49 cm dengan lebar 3-6 mm (Roberts et al., 2005)

Hospes yang penting untuk cacing ini adalah babi, tetapi cacing ini dapat juga menjadi parasit pada manusia, kambing, domba, dan anjing. Bukti menunjukkan bahwa cacing tanah dan kumbang tinja (Geotrupes) dapat bertindak sebagai hospes paratenik bagi larva Ascaris suum, Goeze (Noble dan Noble, 1989).

c. Habitat dan Siklus Hidup

Siklus hidup Ascaris suum, Goeze sedikit berbeda dengan Ascaris lumbricoides, Linn. Siklus hidup Ascaris suum, Goeze dapat terjadi secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect).

Babi akan menelan telur fertil yang mengandung larva II pada siklus direct. Telur tersebut akan masuk ke dalam lambung kemudian menuju ke usus halus. Telur tersebut kemudian menetas di usus halus dan keluarlah larva II (Beaver et al., 1984). Larva tersebut akan bermigrasi ke hati dan menjadi larva III. Selanjutnya larva

commit to user

larva akan tertelan dan masuk ke saluran gastrointestinal. Proses ini sering disebut dengan hepato-tracheal migration. Di dalam traktus gastrointestinal (terutama di usus halus), larva akan berkembang menjadi bentuk dewasa dan selanjutnya akan hidup dan berkembang biak dalam usus halus babi (Moejer and Roepstroff, 2006).

Perkembangan larva akan melalui hospes paratenik atau perantara pada siklus indirect. Telur fertil (berisi larva II) tertelan oleh hospes paratenik bersama makanan dan minuman. Larva II akan berada di jaringan sampai babi memangsa hospes paratenik tersebut. Selanjutnya, larva akan berkembang dalam tubuh babi menjadi larva

III seperti proses yang berlangsung dalam siklus direct (Moejer and Roepstroff, 2006).

Gambar 2.3. Siklus Hidup Ascaris suum (Genneen, 1999)

commit to user

Infeksi Ascaris suum, Goeze dapat terjadi ketika babi menelan telur yang mengandung larva stadium II melalui makanan atau minumannya. Telur tersebut akan menetas di usus halus dan keluarlah larva II. Larva II akan berkembang menjadi larva III. Gejala klinis mulai terlihat pada waktu larva III bermigrasi dari usus halus ke hati dan menimbulkan kerusakan pada mukosa intestinal

babi. Hepato-tracheal migration juga dapat menyebabkan peradangan ringan pada hati (Yoshihara, 2008). Walaupun demikian, gejala yang timbul sulit dibedakan dengan penyakit infeksi lainnya (Roberts et al., 2005).

Larva dapat menyebabkan hemoragi ketika bermigrasi dari hati ke kapiler paru. Infeksi yang berat dapat menyebabkan akumulasi perdarahan dan kematian epitel sehingga menyebabkan kongesti jalan nafas yang disebut dengan Ascaris pneumonitis. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada babi (Roberts et al., 2005).

3. Mengkudu (Morinda citrifolia)

Gambar 2.4. Tumbuhan dan Buah Mengkudu (Morinda citrifolia)

(Waha, 2000).

commit to user

a. Toksonomi

: Morinda citrifolia L.

(Djauhariya, 2003)

b. Nama Daerah

Morinda citrifolia memiliki nama lokal, seperti yang dituliskan oleh Suryowinoto (1997). Nama lokal tersebut di antaranya Pace (Jawa), Cengkudu (Pasundan), Kodhuk (Madura), Bakudu (Sumatera), Wangkudu (Kalimantan), Bakulu (Nusa Tenggara) (Dewi, 2010).

c. Deskripsi

Mengkudu termasuk jenis tanaman pohon dan berbatang bengkok, ketinggian dapat mencapai 3-8 m. Daun tunggal dengan ujung dan pangkal kebanyakan runcing. Buahnya termasuk buah bongkol, benjol-benjol tidak teratur, dan berdaging. Jika masak daging buah berair. Buah masak berwarna kuning kotor atau putih kekuning-kuningan dengan panjang 5-10 cm, lebar 3-6 cm (Suryowinoto, 1997).

commit to user

tumbuh pada berbagai tipe lahan, dengan daerah penyebaran dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 dpl. Ukuran dan bentuk buahnya bervariasi, pada umumnya mengandung banyak biji, dalam satu buah terdapat ≥ 300 biji, namun ada juga tipe buah mengkudu yang memiliki sedikit biji, sehingga daya simpannya lama dan daya tumbuhnya tinggi. Dengan demikian, perbanyakan mengkudu dengan biji sangat mudah dilakukan (Djauhariya et al., 2006).

d. Efek Farmakologis Mengkudu

Buah mengkudu (Morinda citrifolia L.) mengandung scopoletin , sebagai analgesik, antiradang, dan antibakteri. Scopoletin berfungsi memperlebar saluran pembuluh darah yang mengalami penyempitan dan melancarkan peredaran darah. Selain itu scopoletin juga telah terbukti bersifat fungisida (pembunuh jamur) terhadap Pythium sp. dan juga bersifat antialergi (Waha, 2000).

Glikosida berfungsi sebagai antibakteri, antikanker, dan imunostimulan. Glikosida merupakan gugus gula dan fenol, termasuk di dalamnya adalah flavonoid. Pada mengkudu yang telah diisolasi senyawa ini dinamakan khusus, yaitu iridoides dan morindoides (Peter, 2007). Glikosida lain yang ditemukan dalam mengkudu adalah saponin (Satwadhar et al., 2001)

Beberapa penelitian terbaru tentang mengkudu dilakukan untuk mengetahui kandungan zat-zat antikanker (damnacanthal).

commit to user

ekstrak mengkudu ketika ilmuwan tersebut sedang mencari zat-zat yang dapat merangsang pertumbuhan struktur normal dari sel-sel abnormal K-ras-NRK (sel prakanker) pada 500 jenis ekstrak tumbuhan. Ternyata zat antikanker pada mengkudu paling efektif melawan sel-sel abnormal (Waha, 2000).

Acubin, L. asperuloside, alizarin dan beberapa zat antraquinon telah terbukti sebagai zat antibakteri. Zat-zat yang terdapat di dalam buah mengkudu telah terbukti menunjukkan kekuatan melawan golongan bakteri infeksi: Pseudomonas aeruginosa, Proteus morganii, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan Escherichia coli (Peter, 2005; Waha, 2000; Winarti, 2005).

Mengkudu juga mengandung senyawa terpenoid. Senyawa terpenoid adalah senyawa hidrokarbon isometrik yang juga terdapat pada lemak/minyak esensial (essential oils), yaitu sejenis lemak yang sangat penting bagi tubuh. Zat-zat terpen membantu tubuh dalam proses sintesa organik dan pemulihan sel-sel tubuh (Waha, 2000).

Asam askorbat yang ada di dalam buah mengkudu adalah sumber vitamin C yang luar biasa. Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang hebat. Antioksidan bermanfaat untuk menetralisir radikal bebas (partikel-partikel berbahaya yang terbentuk sebagai hasil samping proses metabolisme, yang dapat merusak materi

commit to user

kaprilat dan asam kaprik termasuk golongan asam lemak. Asam kaproat dan asam kaprik inilah yang menyebabkan bau busuk yang tajam pada buah mengkudu (Waha, 2000).

Oligosakarida dan polisakaarida juga terkandung di dalamnya. Polisakarida merupakan gugus gula dengan rantai molekul yang panjang yang merupakan penyedia probiotik bagi koloni bakteri di dalam tubuh yang selanjutnya mampu difermentasikan sehingga menjadi asam lemak rantai pendek yang memiliki berbagai macam fungsi bagi kesehatan tubuh manusia (Peter, 2007).

Noniosid merupakan kombinasi dari alkohol dan asam pada mengkudu yang memberikan aroma dan rasa pada mengkudu (Peter, 2007).

Beta-sitosterol merupakan steroid yang berasal dari tumbuhan yang berfungsi sebagai antikolesterol (Peter, 2007).

e. Kandungan Ekstrak Mengkudu yang Berpotensi sebagai Anthelmintik

Cacing merupakan invertebrata yang terdiri dari segmen- segmen. Cacing tidak memiliki tulang dan bergerak karena kontraksi dan relaksasi segmen pada badannya. Cacing bergerak secara siliar. Lapisan luar cacing adalah lapisan mucilaginous yang terdiri dari kompleks mukopolisakarida. Lapisan ini seperti lumpur,

commit to user

membran mukopolisakarida akan mengekspos lapisan luar dan menyebabkan pergerakan menjadi terbatas dan dapat menyebabkan paralisis. Hal ini dapat menimbulkan kematian cacing (Salhan et al., 2010).

Semua antihelmintik membunuh cacing dengan cara membuat cacing kelaparan sampai mati atau menimbulkan paralisis karena cacing tidak memiliki cadangan energi, cacing harus makan hampir secara kontinyu untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Semua gangguan pada proses ini menimbulkan deplesi energi. Parasit juga mati jika parasit dibuat paralisis dan kehilangan kemampuan mempertahankan posisi di usus (Salhan et al., 2010).

Sekitar 160 senyawa fitokimia telah diidentifikasi pada tanaman mengkudu, dan mikronutrien utama adalah senyawa fenol, asam organik, dan alkaloid. Senyawa fenol yang paling penting adalah antrakuinon (damnacanthal, morindone, morindin, dll) dan juga aucubin, asperuloside, scopoletin (Rethinam et al., 2007). Beberapa antihelmintik fenolik sintetik seperti Niclosamide, Oxyclozamide, Bithionol , dan lain-lain dilaporkan dapat mengganggu pembentukan energi cacing dengan cara uncoupling oxidative phosphorylation (Khatri et al., 2011). Senyawa fenol lain yang berhasil diidentifikasi dari buah mengkudu adalah tannin. Konsentrasi tannin dalam buah mengkudu adalah sekitar 1,20%

commit to user

yaitu mampu berikatan dengan protein bebas pada traktus digestivus hospes sehingga menyebabkan pengambilan nutrisi oleh cacing dari usus hospes terganggu. Tannin juga mampu berikatan dengan glikoprotein pada kutikula cacing sahingga menyebabkan kerusakan pada kutikula dan selanjutnya menyebabkan kematian pada cacing (Salhan et al., 2011). Selain itu, tannin juga mempunyai efek antihelmintik dengan cara menggumpalkan protein tubuh cacing. Aktivitas ini dapat mengganggu metabolisme dan homeostasis tubuh cacing sehingga cacing akan mati (Harvey dan John, 2004).

Salah satu alkaloid penting yang terdapat dalam buah mengkudu adalah xeronine. Xeronine dihasilkan juga oleh tubuh manusia dalam jumlah terbatas yang berfungsi untuk mengaktifkan enzim-enzim dan mengatur fungsi protein di dalam sel. Walaupun buah mengkudu hanya mengandung sedikit xeronine, tetapi mengandung bahan-bahan pembentuk (prekursor) xeronine, yaitu proxeronine dalam jumlah besar. Proxeronine adalah sejenis asam koloid yang tidak mengandung gula, asam amino atau asam nukleat seperti koloid-koloid lainnya dengan bobot molekul relatif besar, lebih dari 16.000 (Waha, 2000). Apabila manusia mengkonsumsi proxeronine maka kadar xeronine di dalam tubuh akan meningkat. Di dalam tubuh manusia (usus) enzim proxeronase dan zat-zat lain akan mengubah proxeronine menjadi xeronine. Fungsi utama

commit to user

protein spesifik yang terdapat di dalam sel. Hal ini penting mengingat bila protein-protein tersebut berfungsi abnormal maka tubuh manusia akan mengalami gangguan (Waha, 2000). Xeronine memiliki aktivitas biologi yang luas. Saat protein seperti enzim, reseptor, sinyal tranduser tidak terbentuk dengan baik, maka tidak akan bekerja seperti seharusnya. Xeronine akan berinteraksi dengan protein tadi dan akan memperbaiki pembentukannya. Hasilnya adalah protein dapat bekerja seperti seharusnya. Kapanpun masalah timbul pada sel karena masalah struktur protein, kehadiran xeronine akan bermanfaat. Alkaloid ini sangat penting sebagai koregulator metabolik (Ying et al., 2002). Alkaloid xeronine bekerja di dalam sel tubuh untuk memerangi peradangan, mempercepat pertumbuhan dan mengatur pertumbuhan sel normal. Infeksi dan stres membuat kebutuhan akan xeronine meningkat. Alkaloid juga dapat menyebabkan rasa pahit pada buah mengkudu (Peter, 2007).

Alkaloid mungkin berperan pada sistem saraf pusat serta menyebabkan paralisis pada cacing. Efek tersebut mungkin juga disebabkan oleh adanya oligoglikosid-steroid alkaloid yang dapat menghambat transfer sukrosa ke usus halus, sehingga persediaan glukosa untuk cacing menurun dan akibatnya cacing kelaparan. Selain itu, senyawa tersebut pada bersamaan juga dapat berfungsi sebagai antioksidan yang berfungsi mengurangi radikal bebas berupa

commit to user

anthelmintik (Salhan et al, 2010).

Alkaloid dan antrakuinon merupakan senyawa aktif yang memiliki aktivitas anthelmintik tertinggi. Hal ini dibuktikan melalui ekstraksi dengan menggunakan pelarut kloroform (Murdiati et al., 2000). Adanya antrakuinon dan alkaloid dalam buah mengkudu ini juga dibuktikan oleh Nayak (2010) tentang penapisan senyawa fitokimia dalam buah mengkudu.

f. Ekstrak Buah Mengkudu

Ekstraksi adalah metode pemisahan di mana komponen- komponen terlarut suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak larut dalam pelarut (Hui, 1992). Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan (Bernasconi et al., 1995). Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur, kandungan air bahan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Umumnya untuk merusak jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis (Harborne, 1996).

Hal utama yang harus diperhatikan dalam melarutkan suatu komponen bahan adalah pemilihan jenis pelarut yang mempunyai polaritas hampir sama dengan bahan yang dilarutkan (Pomeran dan Meloan, 1994). Selain itu, faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah jangka waktu dimana simplisia atau bahan tetap kontak

commit to user

antara simplisia atau bahan terhadap cairan pengekstraksi (jumlah bahan pengekstraksi) (Voight, 1995). Disebutkan juga oleh Susanto (1999) bahwa ekstraksi yang baik dilakukan pada kisaran suhu 30- 50ºC.

Salah satu senyawa pengekstrak adalah etanol. Etanol mudah menguap walau pada suhu rendah dan mendidih pada suhu 78 ºC. Etanol biasanya digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa aktif yang bersifat antioksidan dan antibakteri pada suatu bahan (Voight, 1995). Etanol (70 %) sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal (Voight, 1995). 1 gram vitamin C dapat larut dalam 30 ml etanol 95 % dan dalam 50 ml etanol 70 %. Vitamin C mempunyai gugus karbonil (C=O) dan gugus hidroksil (OH). Dengan adanya gugus hidroksil, sehingga vitamin C dapat larut pada pelarut polar (Arslantas et al., 2004).

Ratna dalam Widawati (2010), dalam penelitiannya menyebutkan, aktivitas antioksidan tertinggi yaitu pada ekstrak dengan menggunakan metanol dan etanol serta yang terendah pada ekstrak dengan menggunakan air. Hal ini dikarenakan metanol dan etanol kepolarannya mendekati tingkat kepolaran antioksidan. Sedangkan penggunaan aquades sebagai bahan pengekstrak terlalu polar sehingga senyawa lain seperti karbohidrat juga ikut terekstrak. Tensiska et al. (2003) mengungkapkan bahwa penggunaan metanol

commit to user

bersifat toksik, sedangkan etanol relatif lebih aman.

Murdiati et al. (2000), dalam penelitiannya mengenai penelusuran senyawa anthelmintik Morinda citrifolia pada Haemonchus contortus , mengemukakan bahwa fraksi kloroform yang mengandung senyawa antrakuinon dan alkaloid paling banyak memiliki aktivitas anthelmintik. Senyawa antrakuinon berhasil diekstraksi dengan menggunakan metanol sedangkan senyawa alkaloid juga berhasil diekstraksi dengan menggunakan pelarut metanol-kloroform pada penelitian yang dilakukan oleh Nayak (2010). Namun, pada percobaan kali ini kloroform tidak digunakan karena memiliki efek anastetik, karsinogenik, iritatif pada saluran nafas, kulit, dan mata (Departemen Kesehatan RI, 1985; Putra, 2003 ; WHO, 1994).

Etanol dapat menyari zat yang tidak tersari oleh air yaitu lemak, terpenoid, antrakuinon, kumarin, flavonoid polimetil, resin, klorofil, isoflavon, alkaloid bebas, kurkumin dan fenol lain. Etanol tidak menyebabkan pembengkakaan membran sel, sehingga memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Dalam bentuk sediaan ekstrak etanol, selain dapat disimpan lebih lama, ekstrak juga dapat dipakai berulang (Voigt, 1994). Sehingga pada penelitian kali ini digunakan etanol 70% sebagai pelarut.

commit to user

perkolasi. Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Secara umum dapat dinyatakan sebagai proses di mana obat atau bahan mentah yang sudah halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan ekstraksi yang dimasukkan secara kontinyu dari atas mengalir lambat melintasi jamu yang umumnya berupa serbuk kasar. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi dan kaya ekstrak. Dengan demikian keuntungan perkolasi adalah pemanfaatan jamu secara optimal serta memerlukan waktu yang singkat (Ansel, 1989; Voight, 1994).

4. Piperazin

Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali terhadap A. lumbricoides dan E. vermicularis (Syarif dan Elysabeth, 2007).

Piperazin terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga didapat sebagai garam sitrat, fosfat, adipat, dan tartrat. Garam-garam ini bersifat stabil nonhigroskopik, berupa kristal putih yang sangat larut dalam air, larutannya bersifat sedikit asam (Syarif dan Elysabeth, 2007).

commit to user

Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk itu (Syarif dan Elysabeth, 2007). Piperazin bekerja sebagai agonis GABA pada otot cacing. Cara kerja piperazin pada otot cacing askaris dengan mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis (Syarif dan Elysabeth, 2007).

b. Farmakokinetik

Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Kadar puncak plasma dicapai dalam 2-4 jam. Ekskresi melalui urin, selama dicapai dalam 2-4 jam. Ekskresi melalui urin, selama 2-6 jam sebagian besar obat diekskresi dalam bentuk utuh. Tidak ada perbedaan yang berarti antara garam sitrat, fosfat, dan adipat dalam kecepatan ekskresinya melalui urin. Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antarvariasi yang besar pada kecepatan ekskresi antarindividu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dalam bentuk utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung 24 jam (Syarif dan Elysabeth, 2007).

commit to user

Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali kadang- kadang nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian IV menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal menyebabkan konvulsi dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh diberikan pada penderita epilepsi dan gangguan hati dan ginjal. Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia berat, perlu mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-benar perlu atau kalau tak tersedia obat alternatif (Syarif dan Elysabeth, 2007).

d. Sediaan dan posologi

Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak 75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa dan anak adalah 65 mg/kg BB (maksimum 2,5 g)

commit to user

minggu atau diberikan selama 4 hari berturut-turut (Syarif dan Elysabeth, 2007).

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 2. 5. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:

: mengakibatkan : mengandung

PARALISIS

Ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia)

KEMATIAN CACING

Piperazin Senyawa Fenol (antrakuinon, tannin)

Depresi SSP pada cacing

Alkaloid (alkaloid steroid,

xeronine, proxeronine )

Hambatan

transfer sukrosa

protein tubuh

cacing

Uncoupling

fosforilasi oksidatif cacing

Ikatan pada glikoprotein

kutikula cacing

Pembentukan

energi turun

Kutikula

rusak

Gangguan hemostasis &

metabolisme

me

commit to user

Ekstrak buah mengkudu (Morinda citrifolia) memiliki pengaruh terhadap waktu kematian cacing Ascaris suum,Goeze In Vitro.

commit to user

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian posttest only controlled group design.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di LPPT UGM untuk melakukan ekstraksi buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dan Laboratorium Parasitologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta sebagai tempat penelitian.

C. Subyek Penelitian

1. Populasi sumber

Subyek penelitian atau hewan uji adalah Ascaris suum, Goeze yang diperoleh dari usus halus babi di tempat penyembelihan “Radjakaja” Kotamadya Surakarta.

2. Pengambilan Sampel

Usus dari babi yang baru disembelih dipotong membujur untuk mengambil cacing. Kemudian isinya ditampung dalam ember. Mukosa usus dikerok untuk melepas cacing yang mungkin masih menempel pada mukosa usus. Isi usus kemudian disaring dan satu persatu cacing mulai diambil kemudian dimasukkan ke dalam toples.

commit to user

direndam dalam larutan NaCl 0,9%. Larutan NaCl digunakan karena pada percobaan yang dilakukan Mahmudah (2010), cacing Ascaris suum mampu bertahan selama 112 jam pada larutan NaCl 0,9%. Larutan NaCl 0,9 % merupakan larutan isotonis sehingga tidak merusak membran sel.

Cacing Ascaris suum diambil dari penyembelihan dengan kurun waktu kurang lebih satu jam setelah penyembelihan babi. Selanjutnya cacing dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% dan dibawa ke Laboratorium Parasitologi untuk pemberian perlakuan. Waktu yang dibutuhkan cacing dari mulai babi disembelih sampai cacing dimasukkan ke dalam inkubator membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam.

3. Besar sampel

Besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 108 ekor cacing Ascaris suum, Goeze. Penentuan besar sampel dihitung dengan rumus Federer:

Keterangan: n = besar sampel t = jumlah kelompok perlakuan (Hanafiah, 2001)

Pada penelitian ini digunakan 9 kelompok perlakuan, maka:

(n-1) (t-1) ≥ 15 (n-1) (9-1) ≥ 15

(n-1) (t-1) ≥ 15

commit to user

≥ 2,875

Masing-masing kelompok akan memiliki besar sampel sebanyak 3 ekor cacing menurut hasil perhitungan. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan digunakan sampel sebanyak 4 ekor cacing. Penelitian dilakuan 3 kali ulangan.

4. Kriteria inklusi dan eksklusi

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah Ascaris suum dewasa yang masih aktif bergerak, ukuran 10-49 cm, tidak terlihat cacat secara anatomis dan didapatkan dari usus halus babi.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah selain kriteria yang tercantum pada kriteria inklusi.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling karena populasi sampel homogen.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent Variable)

Konsentrasi ekstrak buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dan piperazin.

2. Variabel Terikat (Dependent Variable)

Waktu kematian semua cacing dalam tiap rendaman setelah

commit to user

a. Variabel Perancu (Confounding Variable)

1) Variabel Perancu yang Terkendali

a) Besar dan jenis cacing

dipilih cacing gelang yang ukurannya sekitar 10-49 cm dan hidup di usus halus babi.

b) Suhu percobaan

dipilih suhu

percobaan 37ºC dengan inkubator

2) Variabel Perancu yang Tidak Terkendali

a) Variasi kepekaan cacing terhadap larutan uji

b) Ketahanan dan lama hidup cacing di luar tubuh babi

c) Umur cacing

F. Definisi operasional variabel penelitian

1. Ekstrak buah mengkudu

Proses ekstraksi buah mengkudu (Morinda citrifolia) didahului dengan pembuatan serbuk. Serbuk buah mengkudu adalah serbuk yang dihasilkan dari buah yang sudah masak, kemudian dikeringkan dalam oven

dengan suhu 40 0 C. Hasil yang diperoleh kemudian diblender dan diayak dengan pengayak nomor 40. Ekstrak buah mengkudu adalah ekstrak yang dihasilkan dengan metode perkolasi, menggunakan pengekstraksi etanol 70 %. Konsentrasi ekstrak buah mengkudu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 % g/ml, 2 % g/ml, 4 % g/ml, 6 % g/ml, 8 % g/ml, 10 % g/ml dan 12 % g/ml.

commit to user

Konsentrasi ekstrak buah mengkudu 12% g/ml dianggap sebagai konsentrasi tertinggi atau konsentrasi 100% dalam penelitian. Dari konsentrasi 12% g/ml, nanti akan diencerkan sehingga dapat diperoleh konsentrasi-konsentrasi lain yang diinginkan.

Uji pendahuluan dilakukan untuk menguji efektifitas dosis dari ekstrak mengkudu.

2. Piperazin

Piperazin dalam penelitian kali ini berfungsi sebagai kontrol positif, yaitu obat standar yang digunakan sebagai pembanding. Piperazin dipilih karena sebagai obat untuk askariasis piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Selain itu juga merupakan terapi utama yang sangat efektif (drug of choice) untuk askariasis menurut Pohan (2006), Syarif dan Eysabeth (2007).

Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada anak

75 mg/kg BB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Dosis piperazin yang digunakan untuk penelitian kali ini merujuk pada penelitian yang dilakukan Rabiah (2006). Pada penelitian tersebut

LC 50 piperazin untuk Ascaridia galii adalah 0,4 % g/ml.