Hubungan Obesitas dengan Peningkatan Tekanan Intraokuli pada Pasien di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

  Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi bilik mata depan dan belakang (Salmon, 2012). Aqueous humor diproduksi oleh corpus ciliare.

  Setelah memasuki bilik mata belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan (Riordan-Eva, 2007).

  Corpus ciliare , yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan

  melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Corpus ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2mm), dan zona posterior yang datar, pars plana (4mm). Processus ciliares berasal dari pars plicata (Riordan-eva, 2007).

  Processus ciliares terdiri dari dua lapis epitelium yaitu lapisan luar

  berpigmen dan lapisan dalam tidak berpigmen, yang mana kedua permukaan apikalnya dihubungkan oleh tight junctions. Lapisan dalam epitel yang tidak berpigmen, yang menonjol ke bilik mata belakang, mengandung banyak mitokondria dan mikrovilli; sel ini diduga berfungsi sebagai tempat produksi

  aqueous humor (Simmons et al., 2007-2008).

  Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan pangkal iris. Ciri-ciri anatomis utama sudut ini adalah garis Schwalbe, trabecular

  

meshwork (yang terletak di atas kanal Schlemm) dan sclera spur (Riordan-Eva,

2007).

  Trabecular meshwork disusun atas tiga bagian, yaitu uveal meshwork,

corneoscleral meshwork , dan juxtacanalicular meshwork. Uveal meshwork

  membentuk batas lateral dari bilik mata depan, memanjang dari iris root dan corpus ciliare ke kornea perifer. Corneosclera meshwork memanjang dari scleral

  spur sampai ke dinding anterior sulkus sclera dan merupakan lapisan trabecular meshwork yang paling luas. Corneosclera meshwork terdiri atas lapisan – lapisan berpori yang semakin mengecil ketika mendekati kanal Schlemm (Goel et al., 2010). Juxtacanalicular meshwork berdekatan dengan kanal Schlemm dan membentuk bagian dalam kanal Schelmm (Simmons et al., 2007-2008).

Gambar 2.1. Struktur trabecular meshwork

  Sumber : Simmons et al., 2007-2008 Kanal Schlemm dilapisi oleh endotelium. Dinding bagian dalamnya mengandung giant vacuoles yang berhubungan langsung dengan intertrabecular

  

spaces . Dinding bagian luarnya merupakan selapis sel endotel yang tidak berpori

(Simmons et al., 2007-2008).

2.2. Fisiologi

  Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi dan membantu

  membentuk bilik mata depan dan belakang. Aqueous humor sebagai pengganti darah, menyediakan nutrisi bagi lensa dan cornea, membuang zat sisa metabolisme, mengangkut neurotransmitters, menjaga kestabilan dan regulasi homeostasis struktur mata (Goel et al., 2010).

  Volume aqueous humor adalah sekitar 250 , dan kecepatan pembentukkannya, yang memiliki variasi diurnal, adalah 2,5

  L/menit (Salmon, 2007). Komposisi utama dari aqueous humor adalah ion-ion organik dan inorganik, karbohidrat, glutation, urea, asam amino dan protein, oksigen, karbon dioksida dan air (Goel et al., 2010). Komposisi aqueous humor serupa dengan plasma, kecuali bahwa cairan ini memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan laktat yang lebih tinggi; protein, urea, dan glukosa yang lebih rendah. Tekanan osmotiknya sedikit lebih tinggi dibandingkan plasma (Salmon, 2007).

  Aqueous humor dibentuk melalui tiga mekanisme yaitu difusi, ultrafiltrasi

  dan transport aktif (Goel et al., 2010). Transport aktif di sel epitel yang tidak berpigmen memegang peranan penting dalam produksi aqueous humor dan

  melibatkan Na /K -ATPase. Proses ultrafiltrasi adalah proses perpindahan air dan zat larut air ke dalam membran sel akibat perbedaan tekanan osmotik. Proses ini berkaitan dengan pembentukan gradien tekanan di prosesus siliaris. Sedangkan proses difusi adalah proses yang menyebabkan pertukaran ion melewati membran melalui perbedaan gradien elektron (Simmons et al., 2007- 2008).

  Aqueous humor dari bilik anterior akan didrainase dengan dua rute yaitu

  aliran trabekular/konvensional dan aliran uveoskleral/nonkonvensional. Aliran trabekular merupakan jalur utama keluar aqueous humor dari bilik anterior, sekitar 90% dari total. Aliran aqueous dari anyaman trabekular masuk ke dalam kanal Schlemm yang menyebabkan resistensi aliran keluar. Teori vakuolisasi merupakan mekanisme transport aqueous humor melewati dinding dalam dari kanal Schlemm. Teori ini menyatakan bahwa jarak transelular yang ada di sel endotel membentuk dinding dalam kanal Schlemm sehingga berbentuk seperti vakuola dan pori- pori yang respon terhadap tekanan dan mentransport aqueous

  

humor melalui jaringan ikat jukstakanalikular ke kanal Schlemm. Dari kanal

  Schlemm, aqueous ditransport melalui 25- 35 kanal - kanal pengumpul ke vena episklera melalui jalur direk maupun indirek. [(Khurana, 2007) dalam Ongko 2012 ]

  Aliran uveoskleral merupakan sistem pengaliran yang kedua dan berkisar sekitar 10% dari total. Aqueous melewati badan siliaris dan masuk ke rongga suprakoroidal dan kemudian didrainase oleh sirkulasi vena di badan siliar, koroid dan sklera.

Gambar 2.2 Trabecular Outflow (kiri) dan Uveoscleral Outflow (kanan)

  Sumber : Goel et al., 2010 Aliran aqueous humor lebih tinggi pada pagi hari dibanding saat malam hari. Aliran aqueous humor normal adalah sekitar 3.0

  L/menit pada pagi hari, 2.4 L/menit saat sore hari, dan turun menjadi 1.5 L/menit saat malam hari (Goel et al ., 2010).

2.3. Tekanan Intraokular

  Tekanan intraokular merupakan tekanan yang dihasilkan oleh isi bola mata terhadap dinding bola mata (Tanjung, 2003). Tekanan intraokular secara fisiologis ditentukan oleh kecepatan pembentukan aqueous humor, tahanan aliran keluar melalui jalur konvensional dan jalur nonkonvensional, dan tekanan vena episklera (Rhee, 2003).

  Rentang tekanan intraokular normal adalah 10 – 21 mmHg (Salmon, 2008). Pengumpulan data dari studi epidemiologi yang luas menunjukkan bahwa rata- rata tekanan intraokular adalah sekitar 16 mmHg, dengan standar deviasi 3 mmHg (Simmons et al., 2007-2008).

  Tekanan intraokular dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk diantaranya :

  • Waktu dalam sehari
  • Denyut jantung
  • Respirasi • Latihan • Asupan cairan
  • Pengobatan sistemik
  • Obat-obatan topikal

  (Simmons et al., 2007-2008) Menurut Beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan intraokular adalah umur, genetik, jenis kelamin, kesalahan refraksi, ras, variasi diurnal, dan posisi tubuh. (Solomon, 2002).

  Tekanan intraokular lebih tinggi pada waktu pasien berbaring daripada waktu berdiri ( Simmons et al., 2007-2008).

2.4. Indeks Massa Tubuh

  Tubuh manusia dibagi menjadi 2 bagian yang saling berhubungan, yaitu bahan yang diperlukan untuk energi (lemak dan glikogen) dan air. Sebenarnya komposisi tubuh manusia jauh lebih kompleks dan terdiri dari 4 macam komposisi :

  • Komposisi atomik. Dari sudut pandang komposisi atomik, berat badan merupakan akumulasi dari 6 elemen utama, yaitu: oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen, kalsium, dan fosfor.
  • Komposisi molekular. Elemen terbagi dalam komponen molekular yang dapat dikelompokkan dalam 5 kategori besar, yaitu: lemak, protein, glikogen, air, dan mineral. Tingkat molekular ini secara praktis seringkali dibagi atas: lemak dan massa bebas lemak.
  • Komposisi selular. Komposisi selular terdiri dari 3 komponen: sel, cairan ekstrasel, dan bagian padat ekstrasel.
  • Komposisi jaringan dan organ. Sel akan membentuk jaringan dan organ tubuh, seperti jaringan adiposa, otot skelet, tulang, kulit, jantung, dan organ viseral lainnya (Sugondo, 2009).

  Antropometri adalah pengukuran tubuh manusia yang mencakup body

  

weight dan body dimension/build. Ada beberapa teknik yang lazim digunakan:

  tinggi badan/berat badan, lingkar, dan tebal lipatan kulit. Berbagai teknik pengukuran antropometri dilakukan pada berbagai lokasi pengukuran yang berbeda dengan instrumen yang berbeda-beda pula. Beberapa teknik (seperti penilaian tebal lipatan kulit) adalah untuk mengestimasi komposisi tubuh atau lemak tubuh, sementara teknik lain (seperti IMT) adalah penilaian untuk body build (Thang et al., 2006).

  Indeks massa tubuh (IMT) merupakan kalkulasi angka dari berat dan tinggi badan seseorang. Nilai IMT didapatkan dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi dalam meter (kg/m2). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak bergantung pada umur maupun jenis kelamin. Tetapi, IMT mungkin tidak berkorespondensi untuk derajat kegemukan pada populasi yang berbeda, dikarenakan perbedaan proporsi tubuh pada mereka (WHO, 2013).

  Menurut WHO (2000) dalam Sugondo (2009) berat badan dan Obesitas dapat diklasifikasikan berdasarkan IMT, yaitu :

Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh Menurut Kriteria Asia Pasifik

  Klasifikasi obesitas Klasifikasi

  IMT

  Berat badan kurang <18,5 Kisaran normal 18,5-22,9 Berat badan lebih >23,0 Beresiko 23,0-24,9 Obese I 25,0-29,9 Obese II >30,0

  Penggunaan IMT sebagai parameter dalam menentukan total lemak tubuh seseorang memiliki beberapa keuntungan dan kekurangan dibanding cara yang lain. Pengukuran IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh dengan perhitungan yang sederhana, cepat, dan murah dalam populasi tertentu. Pengukuran IMT rutin dilakukan dan sering digunakan dalam studi-studi epidemiologi. Namun kelemahannya, IMT tidak dapat menjelaskan tentang distribusi lemak dalam tubuh seperti pada obesitas sentral maupu n obesitas abdominal maupun menggambarkan jaringan lemak viseral. Nilai IMT berbeda dalam ras/etnis tertentu dan tidak membedakan antara laki-laki maupun perempuan. Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi dapat juga karena jaringan otot (Thang et al., 2006).

2.5. Obesitas

  2.5.1. Definisi

  Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologis dan spesifik. Secara fisiologis, obesitas didefinisikan sebagai suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan (Sugondo, 2009).

  2.5.2. Etiologi

  Berat badan bergantung pada keseimbangan antara asupan kalori dan pemakaiannya. Obesitas terjadi jika asupan kalori melebihi pemakaiannya (Ganong, 2008). Obesitas merupakan suatu penyakit multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Obesitas terjadi bila besar dan jumlah sel lemak bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak (Sugondo, 2009).

  Hal lain yang berperan dalam meningkatkan kejadian obesitas adalah :

  2.5.2.1 Faktor Genetik

  Obesitas cenderung berlaku dalam keluarga. Ini disebabkan oleh faktor genetik, pola makan keluarga, dan kebiasaan gaya hidup. Walaupun begitu, mempunyai anggota keluarga yang obesitas tidak menjamin sesorang itu juga akan mengalami obesitas (Galletta, 2012).

  2.5.2.2 Faktor emosional

  Sebagian masyarakat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak karena depresi, putus asa, marah, bosan, dan banyak alasan lain yang tidak ada hubungannya dengan rasa lapar. Ini tidak berarti bahwa penderita obesitas mengalami lebih banyak masalah emosional daripada orang normal yang lain. Tetapi hanya berarti bahwa perasaan seseorang mempengaruhi kebiasaan makan dan membuat seseorang makan terlalu banyak (Galletta, 2012).

  2.5.2.3 Faktor Lingkungan

  Faktor lingkungan yang paling memainkan peranan adalah gaya hidup seseorang. Kebiasaan makan dan aktivitas seseorang dipengaruhi oleh masyarakat sekitarnya. Makan terlalu banyak dan aktivitas yang pasif (tidak aktif) merupakan faktor resiko utama terjadinya obesitas (Galletta, 2012).

  2.5.2.4 Faktor Jenis Kelamin

  Secara rata-rata, lelaki mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita. Lelaki menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat karena otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipe-tipe jaringan yang lain. Dengan demikian, perempuan lebih mudah bertambah berat badan berbanding lelaki dengan asupan kalori yang sama (Galletta, 2012).

  2.5.2.5 Faktor Usia

  Semakin bertambah usia seseorang, mereka cenderung kehilangan massa otot dan mudah terjadi akumulasi lemak tubuh. Kadar metabolisme juga akan menurun menyebabkan kebutuhan kalori yang diperlukan lebih rendah (Galletta, 2012).

  2.5.2.6 Faktor Kehamilan

  Pada wanita, berat badannya cenderung bertambah 4 – 6 kilogram setelah kehamilan dibandingkan dengan berat sebelum kehamilan. Hal ini bisa terjadi setiap dari kehamilan dan kenaikan berat badan ini mungkin akan menyebabkan obesitas pada wanita (Galletta, 2012).

  2.5.3. Prevalensi dan Epidemiologi

  Saat ini kita hidup pada masa dimana berat badan lebih dan obesitas sudah menjadi suatu epidemi, dengan dugaan bahwa peningkatan prevalensi obesitas akan mencapai 50% pada tahun 2025 bagi negara – negara maju (Sugondo, 2009).

  Prevalensi obesitas di Indonesia sebesar 15,4% dengan prevalensi terendah di provinsi Nusa tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi Utara (24,0%). Prevalensi obesitas penduduk laki-laki dewasa (>18 tahun) sebanyak 19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Prevalensi terendah di Nusa Tenggara Timur (9,8%) dan tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (34,7%). Prevalensi obesitas perempuan dewasa (>18 tahun) 32,9%, naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5% dari tahun 2010 (15,5%). Prevalensi terendah di Nusa Tenggara Timur (5,6%), dan tertinggi di provinsi Sulawesi Utara (19,5%). (RISKESDAS, 2013)

  Di dunia ada diperkirakan sekitar 35% orang dewasa di atas 20 tahun mengalami overweight (= 25 kg/m), sedang sekitar 10% laki-laki dan 14% perempuan di dunia menderita obesitas (= 30 kg/m) pada tahun 2008 (WHO, 2013)

  Prevalensi obesitas berhubungan dengan urbanisasi dan mudahnya mendapatkan makanan serta banyaknya jumlah makanan yang tersedia. Urbanisasi dan perubahan status ekonomi yang terjadi di negara – negara yang sedang berkembang berdampak pada peningkatan prevalensi obesitas pada populasi di negara – negara ini, termasuk di Indonesia (Sugondo, 2009).

  2.5.4. Manajemen Berat Badan

  Penurunan berat badan mempunyai efek yang menguntungkan terhadap komorbid obesitas. Bahkan, penurunan berat badan sebesar 5 sampai 10 persen dari berat badan awal dapat mengakibatkan perbaikan kesehatan secara signifikan (Sugondo, 2009).

  Walaupun belum ada penelitian retrospektif yang menunjukkan perubahan pada angka kematian dengan penurunan berat badan pada pasien obese, dengan penurunan berat badan, pengurangan pada faktor risiko ini dianggap akan menurunkan perkembangan diabetes tipe 2 serta kardiovaskular (Sugondo, 2009).

  Tidak ada terapi tunggal yang efektif untuk orang dengan kelebihan berat badan dan obesitas, dan masalah cenderung muncul setelah penurunan berat badan. Harapan penurunan berat badan dari seseorang seringkali melebihi kemampuan dari program yang ada sehingga untuk mencapai keberhasilan semakin sulit (Sugondo, 2009).

  Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet rendah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.

  Terapi diet. Pada program manajemen berat badan, terapi diet

  direncanakan berdasarkan individu. Terapi diet ini harus dimasukkan kedalam status pasien overwight. Hal ini bertujuan untuk membuat defisit 500 hingga 1000kcal/hari menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun. Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 100 kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Disamping itu pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori (Sugondo, 2009).

  Aktivitas fisik. Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting

  dari program penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan risiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan pengurangan berat badan tanpa aktivitas fisik saja. Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap.

  Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dalm jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatintensitasnya selama 45 menit dalam jangka 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapt dicapai (Sugondo, 2009).

  Terapi perilaku. Terapi perilaku kognitif telah dipakai untuk membantu

  perubahan dan menyokong terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi terapi antara lain pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, mengontrol stimulus (contohnya : makan dengan menggunakan piring yang kecil, tidak makan di depan televisi), pemecahan masalah, contigency

  management,cognitive restructuring dan dukungan sosial (Flier dan Maratos- Flier, 2008).

  Farmakoterapi : Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif

  menurunkan berat badan dan mempartahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.

  Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan

  pemberian orlitas, dubutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul (Sugondo, 2009).

  Terapi bedah. Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk

  menurunkan berat badan. Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥40 atau ≥35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrim (Sugondo, 2009).

  Terapi bedah ini terdiri dari dua kategori: restriksi dan restriksi- malabsorpsi. Terapi bedah restriksi membatasi jumlah makanan yang dapat ditampung lambung dan menurunkan kecepatan waktu pengosongan lambung. Salah satu contohnya adalah vertical banded gastroplasty (VBG), tetapi metode ini menunjukkan efektivitas yang rendah pada long-term trials. Saat ini VBG telah digantikan oleh laparoscopic adjustable silicone gastric banding (LASGB) (Flier dan Maratos-Flier, 2008).

  Ketiga prosedur restriksi-malabsorpsi bypass menggabungkan elemen dari restriksi gastrik dan malabsorpsi selektif. Prosedur itu antara lain Roux-en-Y

  gastric bypass (RYGB), biliopancreatic diversion (BPD), dan biliopancreatic

diversion with duodenal switch (BPDDS). RYGB merupakan pilihan terapi yang

  paling sering dilakukan (Flier dan Maratos-Flier, 2008).

2.6. Hubungan Obesitas dengan Peningkatan Tekanan Intraokuli

  The Beaver Dam Eye Study melaporkan hubungan positif yang signifikan antara tekanan intraokuli dengan beberapa faktor termasuk indeks massa tubuh.

  Hal ini sesuai dengan penemuan dari studi sebuah hospital-based yang menyatakan bahwa risiko terjadinya hipertensi okuli secara signifikan lebih besar pada orang dengan indeks massa tubuh 30 atau lebih, dan tidak tergantung umur dan jenis kelamin (Cheung et al., 2009).

  Pemaparan yang jelas tentang patofisiologi untuk hubungan obesitas dengan tekanan intraokuli saat ini masih kurang. Kedua teori etiologi ‘mekanik’ dan ‘vaskular’ dari glaukoma dapat berhubungan dengan obesitas. Berdasarkan teori mekanik, obesitas telah dikatakan memberi pengaruh terhadap peningkatan tekanan intraokuli dengan menyebabkan peningkatan jaringan adiposa intraorbital, meningkatkan viskositas darah, meningkatkan tekanan vena episklera (Cheung et al., 2009). Penimbunan lemak pada obesitas menyebabkan penurunan fasilitas aliran keluar aqueous humor (Pedro-Egbe et al., 2013).

  Obesitas meningkatkan viskositas darah dengan meningkatkan jumlah sel darah merah, haemoglobin, dan hematokrit, sehingga meningkatkan tahanan aliran keluar vena episklera. Lebih jauh, obesitas juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya hipertensi. Peningkatan tekanan darah dapat meningkatkan tekanan intraokuli dengan meningkatkan tekanan arteri siliaris dan ultrafiltrasi dari aqueous humor (Mori et al., 2000).

  Pada sisi lain, teori vaskular menyatakan bahwa mata, dengan suplai vaskular yang buruk ke nervus optik akan lebih rentan mengalami kerusakan dengan tekanan intraokuli yang meningkat ataupun yang normal. Perubahan fungsi autonom dan endotelial dapat mengkibatkan aliran darah ke mata yang abnormal dan perfusi yang tidak stabil sehingga mengganggu suplai vaskular. Obesitas dikatakan sebagai penyebab dari disfungsi endotel vaskular dan disfungsi autonom, terutama pada pasien diabetes (Cheung et al., 2009).

  Beberapa faktor seperti tonus simpatis, hormon, atau perubahan sklera mungkin juga mempengaruhi hubungan antara obesitas dengan tekanan intraokuli (Lee et al., 2002).

  Tetapi bagi beberapa penulis, obesitas dapat meningkatkan tekanan intraokuli hanya apabila hal itu berhubungan dengan resistensi insulin. Disfungsi autonom dan osmotic gradient yang diinduksi oleh hiperglikemia sehingga menyebabkan perpindahan cairan ke ruang intraokuli telah dikatakan sebagai penyebab hubungan antara tekanan intraokuli dan resistensi insulin (Albuquerque et al ., 2013).

  Pengaruh yang kuat dari penurunan berat badan terhadap tekanan intraokuli dan perkembangan menjadi glaukoma belum pernah diteliti (Cheung et

  al ., 2009).