MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI

  Juara 2 Lomba Menulis Esai Perum BULOG dalam Rangka HUT Kemerdekaan RI ke-63

MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA

DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM

DISTRIBUSI

  

Wiwid Ardhianto

Divisi Pengadaan Perum BULOG

  “When all people at all times have both physical and

  

economic access to sufficient food to meet their dietary

needs for a productive and healthy life”.

  ( USAID definition for food security)

I. Pendahuluan

  Pangan adalah sebuah isu yang menarik untuk dibahas karena isu ini sangat luas dan saling terkait untuk dianalisa dari berbagai sudut pandang, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial budaya. Masalah pangan menjadi semakin strategis ketika dalam satu dekade terakhir terjadi kenaikan harga secara global untuk komoditi biji-bijian yang memaksa banyak negara harus mereformulasikan kebijakan pangan yang sudah mereka terapkan dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduknya. Kondisi yang sulit ini membawa konsekuensi logis bagi semua pihak untuk mengagendakan ketahanan pangan sebagai sebuah agenda utama untuk jangka menengah dan jangka panjang pembangunan, atau minimal menyadarkan bahwa ketahanan pangan adalah sebuah agenda yang harus ditransformasikan secepatnya melalui langkah-langkah nyata.

  Seperti diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dalam konteks sebagai penduduk sebuah negara dan harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakatnya secara sinergis. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan disyaratkan adanya interdependensi dari sisi pemerintah dan dari sisi masyarakat secara seimbang. Secara eksplisit ditegaskan dalam Undang-Undang tersebut bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan. Masyarakat berperan sebagai pihak yang bertugas menyelenggarakan proses produksi, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang memiliki hak untuk mengakses pangan yang cukup dalam hal jumlah, mutu dan harga yang terjangkau oleh daya beli mereka.

II. Konsep Ketahanan Pangan

  Ketahanan pangan adalah sebuah bangunan sistem yang terdiri dari tiga subsistem yang saling interpenden dan tidak bisa dibahas secara parsial. Hal ini sangat penting karena memahami konsep ketahanan pangan adalah memahami sebuah proses yang saling memiliki keterkaitan dari awal sampai akhir dimulai dari produksi, distribusi sampai kepada aktivitas konsumsi. Sinergisitas dari ketiga subsistem ini akan menciptakan sebuah kondisi ketahanan pangan yang tercermin dari terjaga dan stabilnya tingkat pasokan, kemudian diikuti dengan mudahnya masyarakat dalam mengakses pangan baik dalam aspek ketersediaan maupun aspek keterjangkauan harga yang pada akhirnya akan tercapai sebuah tingkat gizi yang baik secara umum di masyarakat. Penjelasan mengenai masing-masing subsistem dapat dijelaskan sebagai berikut :

  Subsistem ketersediaan

  Subsistem pertama adalah subsistem ketersediaan yang menitikberatkan pada produksi, subsistem ini memiliki tugas untuk memastikan ketersediaan pasokan pangan dalam rangka memenuhi keragaman dan mutunya. Ada tiga alternatif yang dapat dilakukan sebuah negara untuk menjamin pasokan dalam membangun subsistem produksi, yaitu : (1) meningkatkan produksi dalam negeri, (2) Pengelolaan cadangan pangan, (3) impor pangan sebagai

  contingency planning ketika produksi dalam negeri diperkirakan tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.

  Jumlah penduduk Indonesia yang sudah melebihi angka 200 juta jiwa beserta potensi sumber daya alam yang sifatnya given dan melimpah adalah modal awal untuk menguatkan ketahanan pangan pada subsistem ketersediaan. Hal tersebut dapat dicapai melalui penguatan sektor pertanian sebagai sebuah sektor strategis yang menjamin “kelangsungan hidup” manusia melalui kemampuannya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu pangan.

  Selain sebagai penyedia bahan pangan, kontribusi sektor pertanian juga cukup besar sebagai penyedia lapangan kerja, penyedia bahan baku bagi industri, sumber devisa dan penyeimbang dalam usaha pelestarian lingkungan. Sebagai contoh, pada tahun 2003 sektor pertanian telah tercatat dapat menyerap 46,3% tenaga kerja dari total angkatan kerja, menyumbang 6,9% dari total ekspor Non-Migas dan memberikan 15% dari PDB nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian apabila dikelola dengan baik dapat memiliki nilai kontribusi yang besar pada perekonomian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di masa-masa yang akan datang.

  Pengelolaan cadangan pangan yang tepat juga dapat mengisi gap apabila sewaktu-waktu terjadi kesenjangan antara produksi dengan kebutuhan dalam negeri ataupun kebutuhan antar daerah. Cadangan pangan sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu cadangan masyarakat dan cadangan pemerintah. Cadangan pangan pemerintah adalah cadangan yang diperuntukkan bagi komoditi pangan pokok, contohnya adalah Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikelola oleh BULOG. Cadangan pangan masyarakat adalah cadangan pangan yang berada mulai dari entitas rumah tangga, pedagang maupun industri. Melalui manajemen yang tepat, kedua jenis cadangan pangan ini secara sinergis dapat menjaga stabilitas pasokan untuk kebutuhan nasional. memenuhi kebutuhan dalam negeri, oleh karena itu harus dibangun sebuah pemahaman bahwa impor adalah contingency planning dan hanya akan dilakukan untuk menghadapi skenario terburuk. Pemahaman ini sangat penting untuk menghindarkan bangsa kita dari kerentanan dan ketergantungan pangan dari negara lain yang dikhawatirkan akan berujung pada terbukanya peluang bagi campur tangan asing dalam menentukan kebijakan ekonomi dan politik di negeri ini.

  Subsistem distribusi

  Penguatan di subsistem produksi/ ketersediaan pasokan tidak akan memberi nilai tambah bagi masyarakat apabila tidak didukung dengan berjalannya subsistem distribusi. Melihat kondisi Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki variasi kemampuan produksi antar wilayah dan antar musim, manajemen distribusi yang baik dan berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat sangat mutlak diperlukan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan sepanjang waktu. Hal ini membawa konsekuensi bagi pemerintah untuk menciptakan perundangan dan sebuah lembaga yang mampu memastikan terciptanya kondisi dimana seluruh masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses pangan secara mudah dengan harga yang rasional dan terjangkau sepanjang waktu.

  Kebijakan menyerahkan kelancaran subsistem distribusi komoditi pangan pokok kepada mekanisme pasar merupakan sebuah hal yang dapat memicu kerawanan sosial karena sangat berpotensi untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dalam rangka mencari keuntungan tanpa memikirkan kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan nasional. Hal ini kaitannya dengan fluktuasi harga dan pasokan pada komoditi pangan pokok yang dampaknya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Oleh sebab itu hampir semua negara baik negara maju maupun negara berkembang di dunia memiliki perangkat hukum dan kelembagaan untuk melakukan intervensi kebijakan dalam rangka menjaga stabilitas harga dan pasokan untuk komoditi pangan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang masanya diakui dapat menjamin bekerjanya subsistem distribusi secara optimal, akan tetapi transformasi kelembagaan, pembatasan kewenangan berkaitan dengan kegiatan operasional dan pengelolaan komoditi (hanya beras) sebagai akibat dari tekanan dari IMF dan World Bank pada era reformasi telah mereduksi peran BULOG secara signifikan dalam menunjang keberhasilan subsistem ini.

  Subsistem konsumsi

  Subsistem terakhir adalah subsistem konsumsi yang berfungsi untuk membawa masyarakat menuju pola food utilization yang optimal dan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan kandungan gizi serta tingkat kehigienisannya. Kinerja subsistem ini memiliki indikator yang tercermin dalam pola konsumsi makanan sehat di entitas yang paling dasar yaitu rumah tangga.

III. Kondisi pangan terkini di Indonesia dan permasalahannya

  Seperti dilansir kompas pada awal 2007, harga jagung diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi dalam 11 tahun terakhir, kedelai dalam 35 tahun terakhir, dan gandum akan mengalami kenaikan harga tertinggi sepanjang sejarah. Ramalan ini sedikit banyak terbukti di awal tahun 2008, ketika Indonesia digemparkan dengan mahal dan langkanya kedelai di pasaran sehingga menyulitkan banyak perajin tahu tempe yang nota bene adalah rakyat kecil pada saat itu. Langkanya minyak goreng dan kenaikan harga beras di era 2007-2008 memberikan gambaran yang jelas bahwa ada yang salah di dalam sistem ketahanan pangan nasional bangsa kita. Kelangkaan yang diikuti dengan kenaikan harga secara signifikan menandakan bahwa subsistem produksi dan subsistem distribusi tidak berjalan dengan semestinya.

  Fakta menunjukkan bahwa sejak krisis ekonomi hingga saat ini, kemampuan produksi nasional dalam menghasilkan komoditi pangan pokok terus mengalami trend yang menurun. Hal ini ditunjukkan dengan volume impor yang terus naik untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang sudah melewati angka 200 juta jiwa. Sebagai contoh, dari periode 1997-2003 BPS mencatat Indonesia harus mengimpor beras jagung sebanyak 1 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih cenderung untuk menyelesaikan masalah pemenuhan kekurangan ini dengan by-pass approach melalui pembukaan kran impor yang memiliki kerawanan terhadap fluktuasi harga pasar internasional untuk komoditas yang tergolong strategis.

  Di lingkup yang lebih spesifik, Indonesia juga memiliki masalah yang mendasar dalam menentukan kebijakan pertanian terkait dengan perberasan dalam hal pengelolaan keseimbangan antara tingkat produksi dengan tingkat konsumsi nasional. Sumber permasalahan ini terletak pada tingkat akurasi data statistik yang disajikan oleh BPS dan berbagai instansi terkait lainnya dalam memperkirakan jumlah konsumsi dan jumlah produksi, yang menjadi dasar dalam memformulasikan kebijakan perberasan. Selama ini Indonesia memiliki kecenderungan

  

over estimate di sisi produksi dan under estimate di sisi konsumsi

  dikarenakan data acuan yang kurang tepat, akibatnya Pemerintah tidak pernah tahu tingkat supply dan demand di dalam negeri dan berapa ton yang harus dicukupi melalui impor bila supply lebih kecil daripada demand.

  Disfungsi di subsistem produksi yang ditandainya dengan semakin tingginya kecenderungan untuk melakukan impor ternyata diikuti dengan keadaan yang kurang lebih sama di subsistem selanjutnya, yaitu subsistem distribusi.

  S ejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997

  

timbul tekanan yang sangat kuat agar intervensi pemerintah dipangkas

secara drastis sehingga semua kepentingan nasional termasuk pangan

harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Tekanan

tersebut terutama mucul dari negara-negara maju pemberi pinjaman

khususnya AS dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan

World Bank. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tekanan barat

  dalam kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia agar lebih ‘bersahabat’ dengan mekanisme pasar membawa banyak konsekuensi secara struktural dan kelembagaan. Salah satu perubahan kelembagaan di bidang pangan adalah beralihnya status kelembagaan BULOG dari Umum. Perubahan status kelembagaan ini membawa konsekuensi bagi BULOG untuk kehilangan berbagai otoritas dalam kemampuannya melaksanakan stabilisasi harga dan pengelolaan berbagai komoditi yang dianggap strategis oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa BULOG juga harus kehilangan fasilitas Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sebagai sumber pendanaan kegiatan operasionalnya.

  Transformasi kelembagaan BULOG harus disadari meninggalkan

  

“pekerjaan rumah” yang berkaitan dengan manajemen dan kebijakan

pangan. Apabila kita mengaitkan pembahasan ini dengan ketahanan

pangan di Indonesia, maka perubahan kelembagaan ini berpengaruh

terhadap kinerja subsistem distribusi dalam sistem ketahanan pangan

kita. Pembatasan komoditas yang dikelola BULOG hanya pada beras

saja menjadikan tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk

pangan yang wajar dari pemerintah bagi seluruh lapisan masyarakat

untuk komoditi strategis non beras. Hal ini sudah terbukti dengan

kenaikan harga yang tidak wajar pada komoditi strategis non beras

seperti kedelai dan minyak goreng serta komoditi biji-bijian secara umum.

  Pembatasan fungsi dan peran BULOG tersebut juga memiliki implikasi pada aspek teknis distribusi pangan terutama belum adanya lembaga lain seperti BULOG yang memiliki infrastruktur, prasarana distribusi darat laut dan antar pulau yang mampu menjangkau seluruh wilayah konsumen. Hal ini menciptakan sebuah kondisi tidak merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan, penyimpanan dan pendistribusian yang berorientasi bagi kepentingan publik untuk komoditi strategis non beras. Lemahnya subsistem distribusi ini membawa konsekuensi pada fluktuasi harga beberapa komoditi strategis yang mengikuti mekanisme pasar dan kemudian seringkali diikuti kelangkaan komoditi pada waktu-waktu tertentu sehingga menyulitkan sebagian besar masyarakat kita. Apabila kita kembalikan lagi pada konsep awal bahwa ketahanan pangan adalah keadaan dimana seluruh penduduk memiliki akses yang mudah terhadap ketersediaan pangan dengan tingkat harga yang terjangkau sepanjang waktu, maka kita telah sepakat bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem ketahanan pangan kita. Lalu upaya apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki keadaan ini?

IV. Solusi

  Untuk memperbaiki ketahanan pangan pada subsistem ketersediaan, sudah saatnya kita harus benar-benar kembali kepada jati diri bangsa kita yang sebenarnya melalui revitalisasi pertanian. Revitalisasi pertanian memiliki pengertian bahwa kita harus mulai untuk menempatkan sektor pertanian menjadi sektor andalan dalam melaksanakan pembangunan. Selama ini pertanian adalah sebuah sektor yang selalu diinferiorkan dalam kebijakan pembangunan, indikatornya sangat jelas yaitu sangat rendahnya tingkat pendapatan petani yang notabene adalah aktor utamanya.

  Revitalisasi pertanian harus bersifat komprehensif di semua lini dimulai dari hulu produksi pangan yang meliputi ketersediaan kredit modal, lahan, air untuk irigasi, benih, pupuk, pestisida dan sarana produksi lainnya. Revitalisasi juga harus dilakukan di Industri pasca panen dan pengolahan hasil pertanian. Departemen pertanian sebagai garda depan dalam pembangunan pertanian diharapkan menjadi motor penggerak keberhasilan program ini.

  Pada subsistem distribusi, perlu digarisbawahi bahwa perubahan BULOG dari LPND menjadi Perum tidak akan efektif tanpa adanya langkah-langkah yang komprehensif dan konsisten dari pemerintah untuk menjabarkan strategi dan kebijakan ketahanan pangan yang dapat dijadikan acuan sekaligus mensinergikan seluruh komponen penunjang ketahanan pangan. Untuk itu, perlu dikaji ulang untuk mereposisikan kembali BULOG sebagai sebuah lembaga yang bertanggung jawab dan berperan penuh atas bekerjanya subsistem distribusi untuk seluruh komoditi pangan yang strategis bagi seluruh lapisan masyarakat, tentu saja dalam kerangka kelembagaan yang sesuai dengan perkembangan jaman.

  Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan dengan sinergisitas antara subsistem ketersediaan yang mencakup produksi, pasca panen dan pengolahan, subsistem distribusi dan subsistem konsumsi yang saling berinteraksi secara berkesinambungan dengan didukung sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi dan manajemen dalam hal kelembagaan.