STRATEGI PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN MELALUI ANALISIS DAN PEMETAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

(1)

STRATEGI PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN MELALUI

ANALISIS DAN PEMETAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Oleh Hilmiyati

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) tingkat ketahanan pangan rumah tangga, (2) sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan, (3) faktor penentu utama penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan, dan (4) merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari data BPS, Susenas, Podes, PPLS, BKP Lampung Selatan, BP4K Lampung Selatan dan Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Tujuan pertama dianalisis berdasarkan klasifikasi silang dua indikator yaitu kecukupan energi yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran pangan. Tujuan kedua dan ketiga menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) dan analisis gerombol (Cluster Analysis). Tujuan keempat menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan pada kurun waktu 2008 sampai dengan 2012 berfluktuasi. Rata-rata rumah tangga tahan pangan 21,03 persen dan cenderung menurun, rumah tangga rentan pangan relatif tetap 35,64 persen, sedangkan rumah tangga kurang pangan 17,85 persen dan rawan pangan 25,48 persen dan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan pemetaan tingkat ketahanan pangan diperoleh desa/kelurahan yang rentan terhadap kerawanan pangan (prioritas 1, prioritas 2 dan prioritas 3) berjumlah 130 desa/kelurahan atau 51,79 persen yang meliputi 16 kecamatan, sedangkan yang relatif tahan pangan (prioritas 4, prioritas 5 dan prioritas 6) berjumlah 121 desa/kelurahan atau 48,21persen tersebar pada 17 kecamatan. Faktor penentu utama penyebab kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan adalah jumlah toko/warung, jumlah penduduk miskin, akses jalan, sarana kesehatan, jumlah penderita gizi buruk dan sarana pendidikan. Rumusan strategi pembangunan ketahanan pangan terdiri dari aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek pendidikan dan aspek teknologi.


(2)

STRATEGY OF FOOD SECURITY DEVELOPMENT

THROUGH ANALYSIS AND FOOD SECURITY MAPPING

IN SOUTH LAMPUNG REGENCY

Oleh Hilmiyati

Abstract

The research aims to analyze: (1) the level of household food security, (2) the distribution of villages that food secure and vulnerable to food insecurity, (3) a major determining factor causes of vulnerability to food insecurity, and (4) formulating of food security development strategies. The data used are secondary data obtained from BPS, Susenas, Podes, PPLS, BKP South Lampung, BP4K South Lampung and Economic Section of South Lampung district Secretariat. The first goal was analyzed by cross-classification of two indicators are energy consumed adequacy and the amount of the food expenditure share. The second and third destination using principal component analysis and clusters analysis. The fourth goal using SWOT analysis. The results showed that the level of household food security in South Lampung Regency in the period 2008 to 2012 fluctuated. The average household of food security 21.03 percent, food vulnerable 35.64 percent, less food 17.85 percent and food insecurity 25.48 percent. Based on the mapping of food security level obtained by rural/urban are vulnerable to food insecurity (priority 1, priority 2 and priority 3) amounted to 130 villages or 51.79 percent which covers 16 sub districts, while relatively food security (priority 4, priority 5 and priority 6) amounted to 121 villages or 48,21persen scattered in 17 sub districts. The main determining factors causing food insecurity in South Lampung is the number of shops/food store, poverty, infrastructure (roads access), health facilities, the number of malnourished and educational facilities. Formulation of food security development strategy consists of economic, social and cultural, education and technology aspects.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Penulis dilahirkan di Nagari Pandam Gadang Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat) pada tanggal 23 Oktober 1974, dari pasangan Bapak Abdul Gaffar (Alm) dan Ibu Yan Hasni. Penulis adalah anak ketiga dari empat perempuan bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres 12/79 Pandam Gadang pada tahun 1987. Setelah lulus SD penulis meneruskan pendidikan ke SMP Negeri 2 Suliki Gunung Mas, lulus pada tahun 1990 kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Dangung-Dangung dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1993 tersebut melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya (EPS) Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2012 penulis mengikuti pendidikan Pasca Sarjana pada Program Magister Agribisnis Universitas Lampung.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 1999 pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan RI dan ditempatkan di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Lampung dipekerjakan (dpk) pada Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT) Kabupaten Lampung Selatan. Sejak berlakunya otonomi daerah pada tahun 2001, penulis menjadi pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan dan Dinas PKT berubah menjadi Dinas Kehutanan


(8)

2014 hingga saat ini, penulis mengabdi pada Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Selatan sebagai Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan.


(9)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas nikmat kesehatan dan semangat, sehingga penulis mampu menyelesaikan kuliah hingga penelitian dengan judul tesis Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan melalui Analisis dan Pemetaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan. Tesis merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan pascasarjana (S2) dan memperoleh gelar Magister Sains Program Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung.

Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Hanung Ismono, M.P. dan ibu Dr. Ir. Yaktiworo Indriani, M.Sc. selaku Pembimbing Utama dan Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, pengetahuan dan meluangkan waktu yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Ibu Dr. Ir. Wuryaningsih Dwi Sayekti, M.S. selaku Penguji. Atas masukan, kritik serta saran yang disampaikan, penulis ucapkan terimakasih, karena sangat berguna bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Ibrahim Hasyim, M.S. selaku pengajar dan Ketua Program Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Ir. Zainal Abidin., M.Si. selaku pengajar dan pembimbing akademik atas bantuan dan pengarahannya selama penulis menempuh pendidikan Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung.


(10)

banyak menginspirasi untuk senantiasa mencintai ilmu, karena “bodoh” adalah pilihan.

6. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada segenap bapak/ibu pengajar Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung Dr. Dwi

Haryono, Dr. M. Irfan Affandi, Dr. FE Prasmatiwi, Dr. Dyah Aring HL, Ir. Adia Nugraha, M.S., Ir. Eka Kasymir, M.Si., Ir. Suriaty Situmorang, M.Si dan Ir. Hurip Santoso, M.S.

7. Mbak Ai dan timnya atas bantuan dan perhatiannya selama penulis mengikuti pendidikan di Universitas Lampung.

8. Bapak Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan sekaligus ketua alumni IPB Provinsi Lampung Ir. Sutono., M.M serta bapak/ibu kepala SKPD lingkup pertanian Kabupaten Lampung Selatan Ir. Elly Malelawati, Ir. Afruddin, Ir. Noviar Akmal, Ir. Irmanto Indrowijoyo, M.Si., Ir. Firman Burhansyah dan Ir. Rini Ariasih, M.M. yang telah memberikan kesempatan dan dukungan bagi penulis untuk menempuh pendidikan Pascasarjana di Universitas Lampung sejak tahun 2012 hingga penyelesaian tesis tahun 2015.

9. Bapak/ibu/sahabat seperjuangan dalam suka dan duka pada Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung angkatan 2012, Ir. Suarno Sadar, Ir. Desmon, Dina Prihatini, S.P., Lidyasari Mas Indah, S.P., Ine Indriastuti, S.P., Siska Yunita, S.P., Maryanti, S.P., Sri Ermalia, S.P., Tri Ariyanti, S.P., , Murti Rahayu, S.P., Dian Megasari, S.P., Dyah Rianita S.P., Erfanno Agustian, S.P., Sundari Ekawanti, S.P., Rio Valentino S.P., dan Fadlina Sosiawati, S.P.,


(11)

10. Kedua orangtua yang sangat penulis cintai dan muliakan, Bapak Abdul Gaffar (Alm), Ibu Yan Hasni serta Pangulu Suku Koto Dt. Kayo Drs. Muharni Lainin yang senantiasa memberi semangat agar menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi agama, keluarga dan masyarakat.

11. Secara khusus untuk suami tercinta sebagai mitra diskusi Jupri, S.Ag., M.Si. dan anak-anak umi tersayang Syadza Khaleela Rahma, Feiza Aaqila Rahma dan Muhammad Faaza Tsuraya atas do’a, kesabaran, pengertian dan

keikhlasannya selama mendampingi penulis bekerja dan menempuh pendidikan. Tesis ini umi persembahkan untuk anak-anak umi, semoga menjadi inspirasi untuk selalu bersemangat menempuh pendidikan hingga kelak bermanfaat bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu tetapi namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, kiranya Allah SWT memberi balasan yang tak terhingga. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan daerah, khususnya Kabupaten Lampung Selatan

Kalianda, Januari, 2014 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN ... 13

2.1 Tinjauan Pustaka ... 13

2.1.1 Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan ... 13

2.1.2 Ketersediaan, Akses dan Pemanfaatan Pangan ... 17

2.1.3 Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 20

2.1.4 Pemetaan Ketahanan Pangan ... 23

2.1.5 Perencanaan Strategis ... 25

2.2 Penelitian Terdahulu ... 26

2.3 Kerangka Penelitian ... 30

III. METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Defenisi Operasional ... 33

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 38

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

3.4 Analisis Data ……. ... 41

3.4.1 Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 42

3.4.2 Analisis Pemetaan Ketahanan Pangan ... 44

3.4.3 Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan ... 50

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 57

4.1 Geografi …………. ... 57

4.2 Penduduk …… ... 58

4.3 Pertanian …………. ... 63


(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

5.1 Kondisi Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan …… .. 68

5.1.1 Ketersediaan Pangan ... 68

5.1.2 Akses Pangan ... 75

5.1.3 Pemanfaatan Pangan ... 81

5.2 Pola Konsumsi Rumah Tangga ... 87

5.3 Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 95

5.4 Analisis Pemetaan Ketahanan Pangan ... 97

5.4.1 Analisis Komponen Utama (PCA) ... 98

5.4.2 Analisis Gerombol (CA) ... 100

5.4.3 Menentukan Prioritas ... 102

5.5 Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan ... 110

5.5.1 Analisis Faktor Lingkungan Strategis ... 111

5.5.2 Hasil Evaluasi Faktor Lingkungan Strategis ... 122

5.5.3 Alternatif Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan ... 128

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

6.1 Kesimpulan ... 135

6.2 Saran ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1. Persentase angka rawan pangan di Indonesia tahun 2008-2011 ... 2

2. Ketersediaan dan konsumsi beras di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 – 2012 ... 5

3. Ketersediaan energi, protein dan lemak (NBM) di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012 ... 6

4. Jumlah penduduk, rumah tangga dan RTS-PM Raskin di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2011 ... 8

5. Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Lampung tahun 2007-2012 . ….. 9

6. Variabel yang digunakan dalam pemetaan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 31

7. Populasi dan sampel penelitian ... 41

8. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga ... 42

9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ... 51

10. Matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 53

11. Matriks analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) ... 55

12. Jumlah desa/kelurahan dan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 59

13. Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan, 2000-2012 ... 60

14 Penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama di Kabupaten Lampung Selatan, 2010 – 2012 ... 61

15. Penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 62

16. Garis kemiskinan dan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 62


(15)

17. Luas panen dan produksi tanaman pangan di Kabupaten Lampung

Selatan, 2012 ... 63

18. Populasi ternak menurut kecamatan dan jenis ternak di Kabupaten Lampung Selatan (Ekor), 2012 ... 64

19. Produksi ikan dan produk olahan hasil perikanan di Kabupaten Lampung Selatan (Ton), 2012 ... 65

20. Jumlah Gapoktan, Kelompok Tani, Posluhdes dan Lumbung Pangan di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 66

21. Produksi serelia dan umbi-umbian (Ton) tahun 2002 – 2011 di Kabupaten Lampung Selatan ... 69

22. Jumlah penduduk dan jumlah warung/ toko di Kabupaten Lampung Selatan 71 23. Persentase penduduk miskin per kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, 2011 ... 77

24. Jumlah sarana kesehatan per kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan ... 82

25. Pangsa pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi dan protein di Kabupaten Lampung Selatan ... 88

26. Persentase jenis komoditi pangan yang dikonsumsi masyarakat perkotaan dan pedesaan di Kabupaten Lampung Selatan ... 91

27. Persentase konsumsi padi-padian di Kabupaten Lampung Selatan ... 92

28. Persentase penduduk defisit energi di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 94

29. Persentase rumah tangga menurut tingkat ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 95

30. Komponen utama (PC), nilai akar ciri dan keragaman ... 99

31. Variabel dominan penyusun komponen utama ... 100

32. Hasil Analisis Gerombol (Cluster Analysis ... 101

33. Variabel dominan yang berpengaruh terhadap kerawanan pangan pada setiap cluster ... 103

34 Jumlah desa pada setiap kecamatan yang masuk ke dalam Prioritas 1 – 6 ... 105

35. Hasil Evaluasi Faktor Internal (IFE) ... 124

36. Hasil Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) ... 126

37. Hasil analisis matriks SWOT dalam perumusan alternatif strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 131


(16)

38. Cara penghitungan pangsa pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi

energi dan protein di Kabupaten Lampung Selatan ... 143

39. Cara penghitungan jenis komoditi pangan yang dikonsumsi masyarakat perkotaan dan pedesaan di Kabupaten Lampung Selatan ... 145

40. Cara penghitungan konsumsi padi-padian di Kabupaten Lampung Selatan ... 146

41. Cara penghitungan jumlah penduduk defisit energi di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 147

42. Cara penghitungan analisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 148

43. Data analisi pemetaan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011 ... 149

44. Data analisis pemetaan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2011yang sudah disamakan persepsinya. ... 154

45. Daftar desa per kecamatan menurut prioritas pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 168

46. Kuisioner SWOT penilaian rating faktor internal pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 173

47. Kuisioner SWOT skor dan pembobotan faktor internal strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung ... 173

48. Kuisioner SWOT penilaian rating faktor eksternal pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 174

49. Kuisioner SWOT skor dan pembobotan faktor eksternal strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung ... 174

50. Hasil evaluasi faktor internal analisis SWOT ... 175

51. Hasil evaluasi faktor eksternal analisis SWOT ... 176

52. Rekapitulasi penilaian peringkat EFI dan EFE hasil analisis SWOT ... 177


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka konsep ketahanan pangan dan gizi ... 3

2. Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia 2009 ... 4

3. Grafik jumlah penderita gizi buruk per kecamatan ... 7

4. Ketahanan Pangan dan Gizi ... 15

5. Hubungan trilogi ketahanan pangan yang merupakan komponen ketersediaan, akses dan pemanfatan pangan ... 19

6. Kerangka Penelitian ... 32

7. Grafik luas lahan sawah per kecamatan ... 70

8. Grafik jumlah lumbung pangan per kecamatan ... 73

9. Grafik jumlah RTS-PM Raskin per kecamatan ... 74

10. Grafik persentase penduduk miskin per kecamatan ... 78

11. Grafik persentase rumah tangga tanpa akses listrik per kecamatan ... 80

12. Grafik jumlah penderita gizi buruk per kecamatan ... 84

13. Grafik jumlah kematian balita dan ibu saat melahirkan per kecamatan ... 85

14. Grafik jumlah sarana pendidikan per kecamatan ... 87

15. Grafik perbandingan pangsa pengeluaran pangan masyarakat pedesaan dan perkotaan di Kabupaten Lampung Selatan ... 89


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup, sehingga usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraan-nya dijamin oleh negara. Setiap negara wajib memenuhi kebutuhan pangan

penduduknya termasuk negara Indonesia yang dilaksanakan secara berjenjang, baik oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap penyelenggaraan urusan pangan diatur dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996, yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan

kemandirian pangan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menjelaskan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan


(19)

dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui pelaksanaan program dan kegiatan untuk mewujudkan ketahanan pangan, tetapi jumlah penduduk rawan pangan atau rawan konsumsi energi masih relatif tinggi. Penduduk rawan konsumsi pangan (energi) diukur dari Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) yang merupakan

persentase angka kecukupan gizi (%AKG), dimana kurang dari 70% AKG adalah sangat rawan pangan, 70% - 89,9% AKG adalah kerawanan ringan sampai sedang. Pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 (Tabel 1), % AKG penduduk Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk, hal ini terlihat dari peningkatan persentase jumlah penduduk rawan pangan setiap tahunnya. Pada tahun 2011 terdapat 42,08 juta penduduk atau 17,41 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan pangan dan apabila dibiarkan terjadi selama dua bulan berturut-turut akan menjadi rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan.

Tabel 1. Persentase angka rawan pangan di Indonesia tahun 2008-2011

Tahun < 70% AKG 70%-89,9% AKG >= 90% AKG

N (x1 juta) % N (x1 juta) % N (x1 juta) %

2008 25,11 11,07 62,38 27,50 139,34 61,43 2009 33,29 14,47 72,72 31,62 123,96 53,90 2010 35,71 15,34 72.44 31,12 124,61 53,53 2011 42,08 17,41 78,48 32,48 121,01 50,10 Keterangan: N = Jumlah penduduk Indonesia


(20)

Untuk lebih fokus dalam menangani masalah pangan secara menyeluruh dan memprioritaskan penggunaan sumberdaya, maka pemerintah dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan bekerjasama dengan World Food Programme (WFP) menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 (A Food Security and Vulnerability Atlas / FSVA of Indonesia 2009). Penyusunan peta tersebut bertujuan menyediakan sarana bagi pemerintah untuk memahami akar permasalahan sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pengurangan penduduk rawan pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan yang dapat dilihat pada Gambar 1 digunakan untuk menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 dengan menggunakan tiga pilar ketahananan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan. Tiga pilar ketahananan pangan tersebut dihubungkan dengan aspek kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi.


(21)

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 pada Gambar 2, dibuat dengan menggunakan gradasi warna merah dan hijau. Gradasi warna merah menunjukkan variasi tingkat kerawanan pangan dan gradasi warna hijau

menggambarkan kondisi yang lebih baik. Warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam hal ketahanan dan kerawanan pangan. Berdasarkan peta tersebut, Kabupaten Lampung Selatan termasuk ke dalam kelompok prioritas 5 (gradasi hijau), artinya termasuk kabupaten tahan pangan atau bukan kabupaten prioritas dalam peningkatan ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan pangan.

Gambar 2. Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia 2009 (DKP, 2009)

Kabupaten Lampung Selatan sebagai kabupaten tahan pangan yang digambarkan pada peta tersebut juga didukung ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh


(22)

pangan suatu daerah, karena beras merupakan makanan pokok mayoritas penduduk dan memberikan peran hingga sekitar 45 persen dari total food-intake atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia (Arifin, 2012). Selama enam tahun terakhir yaitu dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, Kabupaten Lampung Selatan selalu surplus beras. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Ketersediaan dan konsumsi beras di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 – 2012

Tahun Produksi Benih/pakan/ Keterse -diaan

Jumlah

Konsumsi/ Kapita)*

Total

Konsumsi Surplus

Tercecer Penduduk

(Ton) % (Ton) (Ton) (Jiwa) (Kg/kap/th) (Ton) (Ton)

2007 204.332 3,3 6.743 197.589 923.002 100,05 92.346 105.243 2008 187.771 3,3 6.196 181.575 929.702 104,89 97.516 84.058 2009 241.011 3,3 7.953 233.058 943.885 102,21 96.474 136.583 2010 253.026 3,3 8.350 244.676 912.490 100,75 91.933 152.743 2011 264.324 3,3 8.723 255.601 922.397 102,86 94.878 160.724 2012 251.315 3,3 8.293 243.022 932.552 97,65 91.064 151.958 Sumber : BPS Lampung Selatan (2008-2013)

)* Susenas 2007-2012, diolah

Hasil penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM) yang disusun oleh Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Lampung Selatan, menunjukkan bahwa total ketersediaan energi dan protein untuk dikonsumsi penduduk Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012 melebihi Angka Kecukupan Energi dan Protein di tingkat ketersediaan, sesuai hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004. Total ketersediaan energi mencapai 2.532 Kalori/kapita/hari atau 115,10 persen dari Angka Kecukupan Energi di tingkat ketersediaan sebesar 2.200 Kalori dan total


(23)

ketersediaan protein adalah sebesar 64,81 gram/kapita/hari atau lebih besar 113,70 persen dari angka yang dianjurkan yakni 57 gram/kapita/hari, sedangkan

ketersediaan lemak sebesar 36,25 gram/kapita/hari (Tabel 3).

Tabel 3. Ketersediaan energi, protein dan lemak (NBM) di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012

Sumber Pangan Kalori/hari/kap Protein/hari/kap Lemak/hari/kap

Nabati 2.436,00 53,48 31,06

Hewani 96,14 11,33 5,19

Jumlah 2.532,14 64,81 36,25

Sumber : BKP Kabupaten Lampung Selatan (2013)

Kondisi surplus pangan (beras) atau total ketersediaan energi dan protein melebihi Angka Kecukupan Energi dan Protein di tingkat ketersediaan menjadi ironi, karena masih ditemukan kasus balita gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Lampung Selatan. Status gizi adalah muara akhir dari semua subsistem dalam sistem ketahanan pangan dan merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan. Kelompok masyarakat yang sangat sensitif terhadap masalah ketahanan pangan adalah balita.

Penelitian yang dilakukan Ariningsih dan Rahman (2008) menemukan bahwa kasus gizi buruk yang muncul di wilayah yang selama ini dikenal sebagai daerah lumbung beras menunjukkan bahwa ketahanan pangan tingkat wilayah tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Data Podes 2011 menunjukkan bahwa jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2009-2011 sebanyak 136 balita yang tersebar pada 15 (lima belas) kecamatan dengan jumlah yang bervariasi. Jumlah penderita gizi buruk paling tinggi ditemukan di Kecamatan


(24)

Natar (27 balita), Penengahan (26 balita) dan Ketapang (15 Balita), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik jumlah penderita gizi buruk per kecamatan (Podes, 2011/ tidak dipublikasikan)

Jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Lampung Selatan yang memperoleh program pelindungan sosial berupa pangan atau beras bersubsidi dari pemerintah relatif tinggi. Pangan bersubsidi bertujuan untuk melindungi rumah tangga rawan pangan dari ancaman kurang gizi (malnutrion), terutama energi dan protein. Jumlah Rumah Tangga Sasaran - Penerima Manfaat (RTS-PM) Program Beras Miskin (Raskin) mencapai 29,15 persen dari total rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan (Tabel 4), artinya meskipun Kabupaten Lampung Selatan surplus beras, ternyata masih banyak rumah tangga yang membutuhkan bantuan pangan dari pemerintah.


(25)

Tabel 4. Jumlah penduduk, rumah tangga dan RTS-PM Raskin di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2011

Kecamatan

Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan RTS-PM Raskin

% Penduduk Rumah

Tangga

RTS-PM Raskin 1. Natar

2. Jati Agung 3. Tjg. Bintang 4. Tanjung Sari 5. Katibung 6. M. Mataram 7. Way Sulan 8. Sidomulyo 9. Candipuro 10. Way Panji 11. Kalianda 12. Rajabasa 13. Palas 14. Sragi 15. Penengahan 16. Ketapang 17. Bakauheni 172.849 104.158 69.316 27.401 62.089 47.150 21.495 57.885 50.801 16.518 82.008 20.995 54.072 31.997 36.059 46.617 20.987 40.959 26.217 20.337 8.869 16.896 12.960 5.853 16.660 15.026 4.712 21.730 6.038 16.077 9.448 10.188 12.439 5.361 10.094 6.544 4.035 3.599 7.322 3.912 2.630 4.469 4.482 1.060 5.882 1.748 5.364 3.229 2.968 3.764 1.696 24,64 24,96 19,84 40,58 43,34 30,19 44,93 26,82 29,83 22,50 27,07 28,95 33,36 34,18 29,13 30,26 31,64

Rata-rata 922.397 249.770 72.798 29,15

Sumber : BPS (2013) dan Bagian Perekonomian Setdakab. Lampung Selatan (2013)

Kualitas pangan dan gizi yang dikonsumsi secara langsung berpengaruh terhadap Angka Harapan Hidup rata-rata penduduk. Webb dan Rogers dalamMerdy (2012) menyatakan bahwa peningkatan harapan hidup merupakan outcome dari ketahanan pangan, sehingga hasil dari pembangunan ketahanan pangan akan sesuai dengan tujuan pembangunan. Angka Harapan Hidup merupakan salah satu komponen dasar kualitas hidup penyusun nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Nilai IPM penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2012 yaitu sebesar 70,95 masih di bawah rata-rata nilai IPM Provinsi Lampung (72,45) dan nilai IPM Indonesia (73,29). Kabupaten Lampung Selatan merupakan salah satu kabupaten tertua di Provinsi Lampung, meskipun demikian nilai IPMnya menduduki peringkat ke-9 dari


(26)

empat belas kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Nilai IPM kabupaten/kota yang dipublikasikan BPS Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Lampung tahun 2007 – 2012

Kabupaten/ Kota Indeks Pembangunan Manusia Lampung 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Metro 75,31 75,71 75,98 76,25 76,95 77,30

Bandar Lampung 74,29 74,86 75,35 75,70 76,29 76,83

Pringsewu - - 71,74 71,97 72,37 72,80

Tanggamus 69,62 70,19 70,84 71,31 71,83 72,32 Lampung Tengah 69,40 69,93 70,38 70,74 71,29 71,81 Lampung Timur 69,23 69,68 70,20 70,73 71,26 71,64 Tulang Bawang 68,63 69,14 69,63 70,34 70,96 71,60 Lampung Utara 68,97 69,40 69,85 70,36 70,81 71,28 Lampung Selatan 68,39 68,79 69,51 70,06 70,53 70,95

Pesawaran - 68,73 69,43 69,77 70,30 70,90

Way Kanan 68,46 68,98 69,46 69,92 70,43 70,84 Lampung Barat 67,74 68,21 68,83 69,28 69,72 70,17

Tuba Barat - - 68,53 68,98 69,32 69,82

Mesuji - - 67,06 67,49 67,98 68,30

Sumber : BPS (2013)

1.2. Perumusan masalah

Ketahanan pangan di tingkat Kabupaten Lampung Selatan tidak menjamin

ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan individu penduduknya. Ketahanan pangan kabupaten merupakan syarat keharusan namun tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan seluruh desa dan rumah tangga di kabupaten tersebut. Ketahanan pangan keluarga merupakan syarat keharusan namun tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan seluruh individu anggotanya. Ketahanan pangan seluruh individu merupakan syarat keharusan dan kecukupan bagi terjaminnya ketahanan pangan suatu kabupaten, provinsi bahkan negara.


(27)

Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Ketahanan pangan yang bertujuan untuk perbaikan gizi penduduk, merupakan investasi dalam peningkatan kualitas SDM. Tiga alasan suatu negara perlu melakukan investasi tersebut, yaitu (1) memiliki ‘economic returns’ yang

tinggi; (2) terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi; dan (3), membantu

menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit dan pengurangan biaya pengobatan (Bank Dunia dalam Hanani, 2009).

Upaya percepatan peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan, memerlukan strategi yang menyeluruh melalui analisis ketahanan pangan rumah tangga dan analisis yang memetakan desa-desa yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan. Hasil analisis dan pemetaan dapat dijadikan sarana bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal penentuan sasaran dan memberikan rekomendasi pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan sekaligus peningkatan kualitas SDM. Penelitian mengenai Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan melalui Analisis dan Pemetaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan mendesak untuk dilakukan.

Berdasarkan pemikiran dan permasalahan yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan ?

2. Bagaimana sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ?


(28)

3. Apa faktor penentu utama penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan?

4. Bagaimana strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan.

2. Mengetahui sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

3. Mengetahui faktor penentu utama penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

4. Merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Untuk peneliti, kegiatan penelitian ini merupakan langkah awal dari penerapan

dan pengamalan ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.


(29)

2. Untuk Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, hasil penelitian dapat dijadikan informasi dalam merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan di

Kabupaten Lampung Selatan.

3. Untuk masyarakat dan aparatur pemerintahan desa/kelurahan, dapat djadikan informasi untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan wilayahnya.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan

Pengertian tentang ketahanan pangan berubah dari waktu ke waktu. Periode 1970an, ketahanan pangan lebih ditekankan pada unsur ketersediaan pangan di tingkat

nasional dan global. Periode tahun 1980an, ketahanan pangan beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Periode 1990an ketahanan pangan menjadi lebih komplek, yaitu ketersediaan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas, terjangkau oleh masyarakat miskin serta tidak merusak lingkungan (Saliem dkk., 2001)

Ketahanan pangan sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Pangan Nomor 18 tahun 2012 merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Berdasarkan definisi tersebut, maka ketahanan pangan dapat terwujud apabila pada tataran makro setiap saat tersedia pangan yang cukup baik jumlah, mutu, aman, merata dan terjangkau, sedangkan pada tataran mikro apabila setiap rumah tangga setiap saat mampu mengkonsumsi


(31)

pangan yang cukup, aman, bergizi dan sesuai pilihannya untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif.

Pokok pemikiran terkait paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm), antara lain : (1) indikator akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu yang diukur pada dimensi agregat terkecil atau dengan kata lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah ketahanan pangan individu

(individual foodsecutiry; (2) ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu; dan (3) ketahanan pangan haruslah dipandang sebagai suatu sistem hierarkis: ketahanan pangan nasional, provinsi, kabupaten, lokal, rumah tangga dan individual. Ketahanan pangan nasional merupakan syarat keharusan namun tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan seluruh provinsi, seluruh kabupaten, desa, rumah tangga dan individu di provinsi tersebut. Ketahanan pangan seluruh individu merupakan syarat keharusan dan kecukupan bagi terjaminnya ketahanan pangan suatu negara (Alamgir and Arora, 1991 dalam Simatupang, 2007).

Menurut Escamilla dan Correa (2008), ketahanan pangan dapat ditentukan melalui ketahanan gizi yang dianalisis melalui berbagai tingkatan yaitu global, nasional, regional, lokal, rumah tangga dan individu yang dapat dilihat pada Gambar 4. Ketahanan pangan global ditentukan oleh ketersediaan pangan dunia, ketahanan pangan nasional dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di tingkat nasional yang diperoleh dari jumlah produksi dalam negeri dan atau impor. Ketahanan pangan rumah tangga dan individu ditentukan oleh kemampuan rumah tangga untuk mengakses pangan yang dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dan pendapatan rumah tangga, selanjutnya akan mempengaruhi akses hidup sehat dan kemampuan


(32)

untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya yang digambarkan oleh ketahanan gizi individu untuk hidup sehat dan aktif.

Gambar 4. Ketahanan pangan dan gizi

(Modifikasi dari Smith, 1995 dalam Escamilla and Correa, 2008)

Ketersediaan pangan yang cukup, perlu diikuti usaha peningkatan akses pangan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan keluarga. Pembangunan ketahanan pangan keluarga harus dilakukan agar tidak terjadi masalah kerawanan pangan yang menjadi pemicu kerawanan sosial, politik dan keamanan.

Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (BKP Kementan

Ketersediaan Pangan Global

Impor Pangan Produksi

dalam Negeri Ketersediaan Pangan

Tk. Nasional

Akses Pangan Rumah Tangga

Pendapatan Rumah Tangga

Ketahanan Pangan Akses Untuk Hidup Sehat

dan Pemenuhan Kebutuhan Dasar lainnya

Ketahanan Gizi

Global

Nasional

Rumah Tangga dan

Individu


(33)

RI, 2013). Angka rawan pangan merupakan gambaran situasi tingkat aksesibilitas pangan masyarakat yang dicerminkan dari tingkat kecukupan gizi masyarakat.

Menurut BKP Kementan RI (2013) kerawanan pangan terdiri dari Kerawanan Pangan Kronis dan Kerawanan Pangan Transien. Kerawanan Pangan Kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode yang lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, aset produktif dan kekurangan pendapatan. Kerawanan Pangan Transien adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara, yang

disebabkan oleh perbuatan manusia (penebangan liar yang menyebabkan banjir atau karena konflik sosial), maupun karena alam berupa berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang, tsunami). Kerawanan Pangan Transien digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu Transien Berat apabila dampak bencana berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi lebih dari 30 persen penduduk suatu wilayah dan Transien Ringan apabila dampak bencana berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi kurang dari 10-30 persen penduduk suatu wilayah.

Pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, terjadi peningkatan persentase jumlah penduduk rawan pangan setiap tahunnya. Pada tahun 2011 terdapat 42,08 juta penduduk atau 17,41 persen dari seluruh penduduk di Indonesia mengalami kondisi sangat rawan pangan dan apabila dibiarkan terjadi selama dua bulan berturut-turut akan menjadi rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan. Menurut Hanani (2012), cukup tingginya proporsi penduduk rawan konsumsi pangan, menunjukkan bahwa pencapaian kondisi ketahanan pangan pada tingkat nasional atau wilayah belum secara langsung menjamin tercapainya tingkat ketahanan pangan rumah tangga dan individu. Masalah akses pangan umumnya disebabkan tingginya tingkat


(34)

kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi, yang berpengaruh terhadap konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan pangan antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, pemerintahan yang efektif, pengawasan terhadap korupsi serta ada atau tidaknya krisis yang terjadi pada tahun tersebut.

2.1.2 Ketersediaan, Akses dan Pemanfaatan Pangan

Pada World Food Summit 1996, ketahanan pangan didefenisikan sebagai suatu kondisi apabila semua orang secara terus-menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses terhadap pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Hal tersebut menjelaskan bahwa ketahanan pangan

menyangkut orang banyak dan harus dipenuhi secara berkelanjutan. Ketahanan pangan ditentukan oleh tiga pilar yaitu : (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan (DKP, 2009).

Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang

ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun swasta. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

Aspek ketersediaan pangan pada suatu negara, dipandang tidak tepat untuk dijadikan sebagai landasan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan keluarga dan individu. Indikator akhir ketahanan pangan bukanlah kecukupan pangan secara agregat nasional (ketahanan pangan nasional), tetapi akses pangan yang cukup bagi


(35)

seluruh individu. Wacana ini disebut sebagai paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) yang dirumuskan dan dipopulerkan oleh Sen, penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000 (Simatupang, 2007).

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi di antara kelimanya. Ketersediaan pangan pada suatu daerah mungkin mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut (DKP, 2009).

Ketahanan pangan berdasarkan perolehan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access).

Ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan, sedangkan akses pangan merupakan syarat kecukupan ketahanan pangan pada setiap hierarki pengukuran. Ketersediaan pangan secara nasional dan regional melimpah (lebih dari cukup), tetapi jika rumah tangga tidak memperoleh akses terhadap sediaan pangan tersebut, maka rumah tangga tersebut akan menderita kerawanan pangan.

Hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa akses pangan yang cukup tidak menjamin asupan zat gizi yang cukup atau dengan kata lain, ketahanan pangan tidak cukup untuk menjamin ketahanan nutrisi (nutritional security). Keluarga atau individu yang menderita rawan pangan akan menderita rawan gizi. Ketahanan pangan merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin ketahanan nutrisi (Simatupang, 2007). Menurut Chung et al. (1997), ketahanan pangan ditopang oleh "trilogi" (triadconcepts) ketahanan pangan yaitu: (1) ketersediaan bahan pangan (food availability); (2) akses bahan pangan (food access) dan (3)


(36)

pemanfaatan bahan pangan (food utilization), sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan trilogi ketahanan pangan yang merupakan komponen ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan (Simatupang, 2007)

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higienis, budaya atau kebiasaan pemberian makanan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dan lain-lain) dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga (DKP, 2009).

Ketiga elemen menjadi determinan fundamental ketahanan pangan. Ketersediaan pangan mengacu pada ketersediaan bahan pangan secara fisik di lingkungan tempat tinggal penduduk dalam jumlah yang cukup dan yang mungkin dijangkau oleh semua penduduk. Akses pangan mengacu pada kemampuan untuk memperoleh bahan pangan yang telah tersedia tersebut baik melalui media pertukaran (pasar) maupun melalui transfer (institusional). Pemanfaatan pangan mengacu pada proses alokasi dan pengolahan bahan pangan yang telah diperoleh (diakses) sehingga setiap

Ketersediaan

Pangan Akses Pangan

Pemanfaatan Pangan

Ketahanan Pangan


(37)

individu memperoleh asupan pangan yang cukup. Ketiga elemen dasar ini berkaitan secara hierarkis (Simatupang, 2007).

Menurut Awasthi dan Singh (2010), ketahanan pangan adalah integrasi yang rumit dari tiga pilar tersebut yaitu, ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan pada dasarnya adalah suatu sistem yang terintegrasi dari produksi dan distribusi, sedangkan akses pangan adalah tentang keterjangkauan, alokasi dan preferensi yang terkait dengan pangan. Pemanfaatan pangan adalah sistem jalinan nilai gizi, nilai sosial dan keamanan pangan. Sistem ketahanan pangan ini kemudian saling terkait dengan kesejahteraan sosial dan subsistem ekologi. Ketersediaan pangan yang berlimpah tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga atau individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk India dengan jumlah yang signifikan mengalami rawan pangan, meskipun ketersediaan pangannya berlimpah. Untuk menjaga ketahanan pangan nasional, perlu bekerja pada tingkat sub sistem ketahanan pangan secara bersamaan yaitu sub sistem ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan serta dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan. Masyarakat harus memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, di mana aksesibilitas fisik tergantung pada

ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pasar dan lain-lain, sedangkan akses ekonomi tergantung pada daya beli.

2.1.3 Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Pada tingkat nasional dan regional ketahanan pangan merupakan fungsi dari produksi, persediaan (stok) dan perdagangan (ekspor-impor), sedangkan ketahanan pangan rumah tangga, dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, dan akses pangan.


(38)

Penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Purwantini dkk., 2004). Ilham dan Sinaga (2006), menyatakan bahwa ketahanan pangan individu tidak hanya ditentukan oleh akses fisik dan ekonomi seseorang, tetapi juga oleh akses informasi yang direfleksikan oleh tingkat pendidikan, kesadaran hidup sehat, pengetahuan tentang gizi, pola asuh dalam keluarga dan gaya hidup.

Elemen dan indikator dalam penentuan ketahanan pangan dimulai dari level nasional yang memperkuat ketersediaan pangan (food availability), stabilitas (stability) dan akses untuk pangan (access to food). Faktor-faktor tersebut dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan makanan yang terlihat dari kondisi kesehatan masyarakat. Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi, gizi buruk dan angka kematian bayi (Nurlatifah, 2011).

Malassis dan Ghersi dalamIrawan (2002) menyatakan bahwa energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak. Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut.


(39)

antara ketercukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan serta mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain. Jonsson dan Toole dalamMaxwell et al. (2000) mengklasifikasikan ketahanan pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa pengeluaran. Kedua indikator tersebut dinilai cukup sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan.

Hukum Engle menyatakan jika selera tidak berbeda, maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995;2002) sedangkan Deaton dan Muellbauer (1980) menyatakan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara maka pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya. Daerah dengan pangsa pengeluaran pangan yang masih besar akan selalu dijumpai permasalahan kekurangan pangan sehingga harus memerlukan perhatian yang lebih banyak.

Rumah tangga memegang peranan penting dalam pembangunan manusia, di mana pengeluaran rumah tangga memiliki kontribusi langsung terhadap pembangunan manusia, seperti makanan, kesehatan dan pendidikan. Rumah tangga miskin tidak memiliki kemampuan/kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak jika hanya mengandalkan pendapatannya. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat merupakan deskripsi sederhana dari ketahanan pangan.


(40)

2.1.4 Pemetaan Ketahanan Pangan

Pengelolaan program ketahanan pangan yang efektif, memerlukan informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi. Salah satu upaya untuk memenuhi ketersediaan informasi mengenai situasi ketahanan pangan, dilaksanakan monitoring situasi ketahanan pangan wilayah melalui penyusunan dan pengembang-an peta situasi ketahpengembang-anpengembang-an ppengembang-angpengembang-an ypengembang-ang dapat memfasilitasi kebutuhpengembang-an informasi lokasi wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan (BKP Kementan RI, 2012). Peta memiliki kekuatan dalam menyampaikan informasi suatu wilayah, baik yang dibuat lembaga resmi seperti pemerintah maupun peta yang dibuat oleh masyarakat melalui pemetaan partisipatif. Peta ketahanan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan tergolong peta tematik karena menunjukkan tema tertentu.

Analisis untuk kebutuhan penyusunan peta ketahanan pangan terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/ PCA) dan tahap ke dua Analisis Gerombol (Cluster Analysis/CA). Analisis Komponen Utama merupakan bagian dari analisis multivariat yang tergolong ke dalam kelompok interdependensi (interdependency). Model interdependensi menganalisis komponen utama berbagai tipe/jenis hubungan, tidak terdapat variabel tak bebas atau variabel hasil/ prediktor. Semua variabel dan hubungannya dianggap terjadi secara simultan (Supranto, 2010)

Analisis PCA bertujuan untuk mereduksi p indikator yang saling berkorelasi menjadi q komponen PCA yang saling bebas. Keunggulannya dapat menghasilkan variabel baru yang disebut komponen PCA yang lebih sedikit namun memberikan


(41)

informasi yang hampir sama besar dengan indikator asal. Variabel baru tidak saling berkorelasi yang diperlukan pada tahap penggerombolan.

Analisis gerombol/CA bertujuan untuk mengelompokkan n objek (desa/kelurahan) ke dalam k kelompok (prioritas) dengan k < n bedasarkan q komponen yang

diperoleh dalam PCA. Unit-unit objek dalam satu kelompok mempunyai sifat-sifat yang lebih mirip dibandingkan dengan unit objek lain yang terdapat dalam

kelompok yang berbeda. Pengelompokan pada umumnya didasarkan pada ukuran jarak sebagai ukuran kemiripan antar unit pengamatan. Cluster yang baik adalah yang mempunyai homogenitas (kesamaan) yang tinggi antar anggota dalam satu cluster dan mempunyai heterogenitas (perbedaan) yang tinggi antar cluster yang satu dengan cluster lainnya (Santoso, 2005).

Penyusunan Peta Ketahanan Pangan kabupaten dengan cakupan wilayah analisis sampaidengan tingkat desa dilakukan dengan pertimbangan : (1) untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja, (2) untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu sendiri, dan (3) menyediakan sarana bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dapat mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, di mana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat (BKP Kementan RI, 2012)


(42)

2.1.5 Perencanaan Strategis

Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan (organisasi) dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya. Proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi disebut perencanaan strategis. Tujuan utama perencanaan strategis adalah agar organisasi dapat melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal (Rangkuti, 2014)

Perencanaan pangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah

kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Perencanaan pangan harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Penguatan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif dan berkesinambungan. Peran pemerintah daerah sangat penting dalam menurunkan proporsi rumah tangga rawan pangan dan prevalensi gizi buruk. Perwujudan ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan penguatan ketahanan pangan daerah.

Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis melalui identifikasi berbagai faktor-faktor internal dan eksternal yang bersifat favorable dan unfavorable secara sistematis dalam mencapai tujuan. Rangkuti (2014) menyatakan bahwa analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan


(43)

(weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan organisasi, sehingga perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini. Hal ini disebut Analisis Situasi dengan model yang paling popular untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT.

2.2. Penelitian Terdahulu

Mun’im (2012) meneliti pengaruh faktor ketersediaan, akses dan penyerapan pangan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ketersediaan pangan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Faktor akses serta penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Ketersediaan pangan yang berlebih di kabupaten surplus pangan, jika tidak diiringi dengan akses pangan yang memadai dan penyerapan pangan yang maksimal maka ditemukan kasus rawan pangan.

Tanziha dan Herdiana (2009) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Hasil yang diperoleh menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan Kepala Rumah Tangga (KRT), pendidikan Ibu Rumah Tangga (IRT), pengetahuan gizi ibu dan dukungan sosial terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Jumlah anggota rumah tangga dan pengeluaran per kapita berpengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga.


(44)

Menurut Khomsan, 1999 dalam Fathonah dan Prasodjo (2011) semakin tinggi pendidikan ayah dan ibu maka pendapatan rumah tangga juga akan semakin tinggi sehingga mereka memiliki daya beli pangan yang lebih besar. Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada rumah tangga rawan pangan terkait erat dengan

kemiskinan. Kondisi kemiskinan tersebut, menyebabkan rumah tangga menghadapi keterbatasan pendapatan, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan primer

(pangan), akibatnya pendidikan tidak menjadi prioritas.

Rosyadi dan Purnomo (2012) meneliti tingkat ketahanan pangan rumah tangga di desa tertinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi (share) pengeluaran rumah tangga di desa tertinggal untuk kebutuhan pangan jauh lebih tinggi dari pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan bahan bukan pangan. Berdasarkan komponen keterjangkauan pangan, masyarakat (rumah tangga) di daerah penelitian, masuk dalam kategori rentan terhadap pangan.

Cook et al. (2007) menganalisis hubungan antara kerawanan pangan terhadap kemiskinan dan hubungan kerawanan pangan terhadap kesehatan dan perkembangan anak di Amerika Serikat. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan atau pengaruh kerawanan pangan terhadap kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan (perilaku dan kemampuan kognitif) pada anak dan dewasa. Bayi dan balita paling beresiko terhadap kerawanan pangan, selain itu usia, etnis, jenis kelamin kepala rumah tangga dapat dijadikan variabel penelitian, karena faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap kerawanan pangan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kemiskinan dan kerawanan pangan adalah dua hal yang berbeda, karena tidak semua orang miskin menderita rawan pangan, bahkan resiko kerawanan pangan meluas pada rumah tangga yang tidak tergolong miskin. Akses terhadap pangan merupakan


(45)

kebutuhan esensial bagi individu atau rumah tangga untuk dapat hidup sehat atau terhindar dari resiko rawan pangan.

Escamilla dan Correa (2008) mengkaji ukuran dan indikator kerawanan pangan. Penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat berbagai tingkatan atau hirarki untuk menentukan ketahanan pangan, yaitu global, nasional, rumah tangga dan individu. Terdapat lima metode yang umum digunakan untuk menilai tingkat kerawanan pangan. Metode-metode tersebut antara lain : (1) metode FAO menggunakan indikator Neraca Bahan Makanan (NBM), variasi koefisien asupan energi, single cut-off point untuk mengukur populasi yang beresiko; (2) survai pengeluaran rumah tangga; (3) asupan makanan dengan indikator rekam makanan, FFQ selama 24 jam, tabel komposisi makanan, pengetahuan tentang gizi anjuran, periode waktu

referensi; (4) antropometri (berat, tinggi dan ukuran tubuh lainnya) dan; (5) ukuran fundamental, skala kerawanan pangan berdasarkan pengalaman. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan atau dapat dijadikan pelengkap satu sama lain, tidak ada yang dianggap superior.

Kekurangan gizi merupakan kendala utama bagi pertumbuhan ekonomi, sosial dan perkembangan politik suatu negara. Hasil penelitian yang dilakukan Gallegos (2005), diperoleh indikator baru terkait ketahanan pangan yang merupakan turunan dari status gizi yaitu energy dimension (persentase karbohidrat, protein dan lemak), diversity dimension (keragaman pangan terhadap total pasokan energi dan kontribusi dari kelompok pangan utama) dan sanitary dimension (akses terhadap air bersih dan sanitasi).

Ecker dan Breisinger (2012) mengkaji alternatif kerangka kerja inovatif untuk membantu mengidentifikasi dan merancang strategi dalam peningkatan ketahanan


(46)

pangan dan gizi, dengan menghubungkan interaksi kompleks dari faktor makro dan faktor mikro. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa pada tingkat makro, penyebab kerawanan pangan dan kekurangan gizi adalah ketidakstabilan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi yang lambat, tidak cukup alokasi atau inefisien anggaran untuk mencegah dan mengatasi kekurangan gizi, serta kegagalan institusi internasional dan nasional untuk memberikan perhatian yang lebih besar dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Pada tingkat mikro, status gizi anggota rumah tangga terkait akses ekonomi dan fisik rumah tangga yang mempengaruhi kondisi kesehatan individu seperti kemiskinan, kekurangan gizi dan penyakit.

Pada tingkat makro, kekurangan gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memperdalam kemiskinan melalui tiga jalur, yaitu : (1) kerugian langsung dalam produktivitas kerja karena kondisi fisik dan mental yang buruk atau menyebabkan kematian angkatan kerja; (2) kerugian tidak langsung dari pengurangan kerja dan kapasitas kognitif penduduk yang bekerja saat ini dan di masa depan; dan (3) kerugian sumber daya karena meningkatnya biaya perawatan kesehatan (World Bank, 2006). Biaya ekonomi dari kekurangan gizi yang substansial, menyebabkan kerugian produktivitas individu diperkirakan mencapai lebih dari 10 persen dari pendapatan seumur hidup dan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kehilangan rata-rata 2 sampai 3 persen (Horton, 1999 and Bank Dunia, 2006 dalam Ecker and Breisinger (2012). Kerugian besar dalam pendapatan dan PDB adalah karena kemampuan kognitif terganggu (Hoddinott et al. 2008; Horton dan Ross 2003; Selowsky dan Taylor 1973 dalam Ecker and Breisinger (2012).


(47)

2.3. Kerangka Penelitian

Terdapat empat tahapan yang akan akan dilakukan dalam penelitian ini, antara lain : (1) mengukur tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan klasifikasi silang antara ketercukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan; (2) menganalisis sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan pada 251 desa/kelurahan yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan; (3) menentukan faktor penentu utama penyebab terjadinya kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan; dan (4) merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga menggunakan klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi. Data yang digunakan berupa data sekunder yang bersumber dari data KOR dan Modul

Konsumsi Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2008, 2011 dan 2012. Berdasarkan hasil analisis, diketahui persentase rumah tangga yang tergolong rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan tahan pangan.

Pada tahap berikutnya dilakukan analisis pemetaan ketahanan pangan sampai tingkat desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan. Data yang digunakan terdiri dari 11 (sebelas) variabel atau indikator yang meliputi aspek ketersediaan pangan 4 (empat) indikator, aspek akses pangan 3 (tiga) indikator dan aspek pemanfaatan pangan 4 (empat) indikator yang dapat dilihat pada Tabel 6. Teknik analisis menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis). Untuk menentukan faktor-faktor penentu utama penyebab terjadinya kerentanan terhadap kerawanan pangan, hasil analisis PCA dilanjutkan dengan Analisis Gerombol (Cluster Analysis).


(48)

Tabel 6. Variabel yang digunakan dalam Pemetaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan

No Indikator Simbol Sumber Data Tahun

A. 1. 2. 3. 4. Ketersediaan Pangan

Jumlah warung/toko kelontong Jumlah penerima Raskin Luas lahan pertanian sawah Jumlah lumbung pangan

X1 X2 X3 X4 Podes, BPS Bag.Perekonomian BP4K BKP LS 2011 2011 2011 2011 B. 1. 2. 3. Akses Pangan

% Penduduk hidup dibawah garis kemiskinan

% RT tanpa akses listrik

Jalan utama desa yang dapat dilalui kendaraan roda 4 atau lebih

X5 X6 X7

PPLS,TNP2K SP 2010, BPS Podes, BPS Podes, BPS 2011 2011 2011 C. 1. 2. 3. 4. Pemanfaatan Pangan Jumlah sarana kesehatan Jumlah penderita gizi buruk Jumlah kematian balita dan ibu melahirkan

Jumlah sarana pendidikan

X8 X9 X10 X11 Podes, BPS Podes, BPS Podes, BPS Podes, BPS 2011 2011 2011 2011

Penyusunan strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan menggunakan analisis SWOT. Rumusan strategi ditentukan berdasarkan hasil evaluasi faktor internal dan faktor eksternal dengan memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), tetapi secara bersamaan dapat

meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Bagan kerangka penelitian dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.


(49)

Kabupaten Lampung Selatan Daerah Surplus Beras

Ketahanan Pangan Rumah Tangga

- Kecukupan energi yang dikonsumsi

- Pangsa pengeluaran makanan

Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan Pemetaan Ketahanan Pangan Pada 251 Desa/ Kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan a. Ketersediaan pangan : jumlah penerima Raskin, jumlah warung/toko, luas sawah, jumlah lumbung pangan.

b. Akses pangan: persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, akses penghubung yang memadai, persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

c. Pemanfaatan pangan: jumlah sarana/fasilitas kesehatan, jumlah penderita gizi buruk, jumlah kematian balita dan ibu melahirkan, jumlah sarana/fasilitas pendidikan.

Gambar 6. Kerangka Penelitian Tingkat Ketahanan Pangan

Rumah Tangga - % RT Tahan Pangan - % RT Kurang Pangan - % RT Rentan Pangan - % RT Rawan Pangan

Faktor Penentu Rumah Tangga dan Desa/Kelurahan Tahan Pangan dan

Rentan terhadap Kerawanan Pangan

Jumlah desa/kelurahan

- Prioritas 1 (sangat rentan rawan pangan) - Prioritas 2 (rentan rawan pangan)

- Prioritas 3 (agak rentan rawan pangan) - Prioritas 4 (cukup tahan pangan) - Prioritas 5 (tahan pangan) - Prioritas 6 (sangat tahan pangan)


(50)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional

Definisi operasional peubah-peubah dan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ketersediaan energi tingkat konsumsi adalah jumlah ketersediaan energi tingkat konsumsi seluruh kelompok makanan di Kabupaten Lampung Selatan

2. Neraca Bahan Makanan merupakan tabel yang memberikan gambaran tentang situasi ketersediaan pangan untuk dikonsumsi penduduk Kabupaten Lampung Selatan dalam suatu kurun waktu tertentu.

3. Rumah tangga (RT) adalah seorang atau sekelompok orang di Kabupaten Lampung Selatan yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Makan dari satu dapur mempunyai makna bahwa mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu.

4. Ketahanan pangan rumah tangga adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi dan aman untuk dapat hidup sehat, produktif dan berkelanjutan.

5. Pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan terhadap pengeluaran total penduduk selama satu bulan.


(51)

6. Kecukupan energi adalah tingkat kecukupan energi yang dikonsumsi penduduk sesuai anjuran yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2012.

7. Pengeluaran konsumsi rumah tangga sebulan adalah total nilai makanan dan bukan makanan (barang/jasa) yang diperoleh, dipakai atau dibayarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk untuk keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak/orang lain. Untuk konsumsi makanan, yang termasuk konsumsi rumah tangga adalah yang benar-benar telah dikonsumsi selama referensi waktu survai (consumption approach), sedangkan untuk konsumsi bukan makanan konsep yang dipakai pada umumnya adalah konsep penyerahan (delivery approach), yaitu dibeli/diperoleh dari pihak lain, asalkan tujuannya untuk kebutuhan rumah tangga. Data ini diperoleh dari data Susenas BPS Pusat.

8. Pendapatan per kapita diproksi dari pengeluaran per kapita di mana total pengeluaran rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga dalam ribuan rupiah. Data pendapatan per kapita diperoleh dari data Susenas BPS Pusat. 9. Rumah tangga tahan pangan merupakan rumah tangga di Kabupaten Lampung

Selatan dengan kecukupan energi >80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan < 60 persen.

10.Rumah tangga rentan pangan merupakan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan dengan kecukupan energi > 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen.

11.Rumah tangga kurang pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan energi < 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan < 60 persen.


(52)

12.Rumah tangga rawan pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan energi < 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen.

13.Penduduk defisit energi adalah penduduk dengan tingkat konsumsi energi per kapita < 70% AKE.

14.Penduduk cukup energi adalah penduduk dengan tingkat konsumsi energi per kapita 70% - 89,99% AKE.

15.Penduduk baik energi adalah penduduk dengan tingkat konsumsi energi per kapita ≥ λ0% AKE.

16.Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di Kabupaten Lampung Selatan dari segala sumber, baik produksi pangan domestik (netto), perdagangan pangan, cadangan pangan maupun bantuan pangan.

17.Jumlah warung atau toko kelontong (X1) adalah jumlah warung/toko kelontong tempat usaha untuk menjual barang keperluan sehari-hari secara eceran yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.

18.Jumlah penerima Raskin (X2) adalah jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) bantuan beras miskin dari pemerintah pada setiap desa/ kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.

19.Lahan Sawah (X3) adalah lahan atau tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.

20.Lumbung pangan (X4) adalah tempat penyimpanan cadangan pangan

(gabah/beras) masyarakat baik yang dibangun oleh pemerintah maupun secara swadaya yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.


(53)

21.Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan.

22.Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (X5) adalah data PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2011 di bawah koordinasi TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dengan menggunakan data SP (Sensus Penduduk) 2010 yang merupakan program pendataan 40 % rumah tangga golongan menengah ke bawah (secara nasional) yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan dan diambil 10 % terendah (desil 1) yang

digunakan sebagai indikator pemetaan ketahanan pangan kabupaten.

23.Persentase rumah tangga tanpa akses listrik (X6) adalah persentase rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator.

24.Akses Penghubung yang memadai (X7) adalah jalan utama desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4 atau lebih:

- Sepanjang tahun

- Sepanjang tahun kecuali saat tertentu (ketika turun hujan, longsor, pasang, dll)

- Sepanjang tahun kecuali sepanjang musim hujan

- Tidak dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4 atau lebih sepanjang tahun 25.Pemanfaatan pangan adalah kemampuan individu untuk menyerap zat gizi atau

pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh.

26.Jumlah sarana kesehatan (X8) adalah jumlah sarana kesehatan yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan antara lain rumah


(54)

sakit, rumah bersalin, poliklinik/balai pengobatan, puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktek dokter, tempat praktek bidan, Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Posyandu, apotek. 27.Penderita gizi buruk (X9) adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada bayi

dan balita di Kabupaten Lampung Selatan dengan tanda-tanda berat dan tinggi badan sangat kurang dan tidak sesuai umur, harus dinyatakan oleh tenaga medis. 28.Jumlah kematian balita dan ibu melahirkan (X10) adalah jumlah kematian warga di Kabupaten Lampung Selatan selama setahun terakhir, balita (usia dibawah 5 tahun) dan ibu pada masa kehamilan, persalinan atau nifas (40 hari) setelah persalinan.

29.Jumlah sarana pendidikan (X11) adalah jumlah lembaga pendidikan yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan baik negeri maupun swasta antara lain TK/sederajat, SD/sederajat, SMP/sederajat,

SMU/sederajat, SMK/sederajat, Akademi/PT, SLB, Ponpes, MD, Seminari/sejenis.

30.Peta ketahanan pangan adalah gambaran konsep ketahanan pangan pada tingkat desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan tiga dimensi

ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) yang

mengambarkan daerah rentan rawan pangan (gradasi warna merah) dan daerah tahan pangan (gradasi warna hijau).

31.SWOT adalah suatu metode analisis perencanaan strategis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang

(opportunities) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).


(55)

32.Kekuatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah potensi sumberdaya alam dan kewenangan pemerintah daerah yang dapat digunakan secara efektif untuk mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

33.Kelemahan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah kualitas aparatur pemerintah, peran kelembagaan pemerintah, infrastruktur dan rendahnya penggunaan teknologi yang dapat menghambat perwujudan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

34.Peluang Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah situasi yang mendukung dan menguntungkan dalam mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan antara lain letak geografis yang strategis, peran kelembagaan masyarakat dan kebijakan/perhatian dari pemerintah pusat. 35.Ancaman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah situasi

yang tidak mendukung (hambatan, kendala atau berbagai unsur eksternal lainnya) yang potensial merusak strategi peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan seperti tingkat kemiskinan, gizi buruk, perubahan iklim, ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan terhadap kapasitas produksi pangan dan alih fungsi lahan.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari data BPS, Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional), Podes (Potensi Desa) Tahun 2011 dan data PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) Tahun 2011 di bawah koordinasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).


(56)

Data lainnya diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan, antara lain dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Lampung Selatan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Lampung Selatan dan Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

Susenas merupakan survai yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan yang relatif sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain

menyangkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan, sosial ekonomi lainnya, kegiatan sosial budaya, konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga, perjalanan dan pendapat masyarakat mengenai kesejahteraan rumah tangganya. Data tentang pengeluaran konsumsi makanan mencakup total

pengeluaran konsumsi selama seminggu terakhir baik yang berasal dari pembelian (tunai/bon) dan juga yang berasal dari produksi sendiri, pemberian dan sebagainya. Rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dari hasil tanaman di pekarangan rumahnya atau yang dikenal dengan subsistem agriculture telah tercakup disini.

Pendataan Potesi Desa (Podes) yang dilaksanakan oleh BPS memuat ketersediaan informasi sampai wilayah terkecil yang lengkap, akurat dan terkini untuk membuat formulasi kebijakan pembangunan yang tepat. Informasi yang disediakan dari data Podes dapat digunakan untuk memantau dan mengevaluasi kegiatan pembangunan di tingkat desa.

Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) dilakukan untuk menentukan persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan di Kabupaten Lampung Selatan yang dilaksanakan di bawah koordinasi Tim Nasional Percepatan


(1)

c. Aspek pendidikan

- Pemberian muatan materi pangan, gizi dan jajanan sehat di sekolah. - Pembinaan terhadap petani dan nelayan menghadapi perubahan iklim. - Meningkatkan kualitas aparatur pemerintah dan sistem promosi yang jelas

(pengukuran kinerja, pemberian reward & punishment).

- Meningkatkan kompetensi aparatur pemerintahan melalui pembinaan, pendidikan dan pelatihan sesuai bidangnya.

d. Aspek teknologi

- Inventarisasi lahan pertanian dan perikanan pada setiap kecamatan. - Pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pedesaan (pasar, jalan desa,

irigasi, fasilitas air bersih, dll).

- Percepatan informasi iklim dan teknologi pertanian melalui pendampingan dan penyuluhan.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis, disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Peningkatan pemahaman dan pengetahuan keluarga terhadap pentingnya konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman dengan memanfaatkan sumber pangan lokal, mengingat relatif tingginya persentase rumah tangga yang tergolong rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan. Peningkatan pengetahuan tersebut dapat dilakukan melalui penyuluhan dengan melibatkan kelompok perempuan antara lain Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TPPKK), Kelompok Wanita Tani (KWT), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan lain-lain, serta memberikan muatan materi


(2)

138

pangan, gizi serta jajanan sehat di sekolah-sekolah. Tambahan materi pelajaran tersebut disisipkan pada materi muatan lokal yang legalitasnya diatur melalui peraturan daerah atau peraturan kepala daerah. Tujuannya adalah agar pegetahuan dasar tentang pangan, gizi berimbang serta jajanan sehat dan aman dikonsumsi dipahami oleh anak-anak sejak usia dini.

2. Pembangunan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan agar diprioritaskan pada 130 desa/kelurahan yang terindikasi rentan terhadap kerawanan pangan (prioritas 1, 2 dan 3), dengan memperhatikan faktor-faktor penentu utama penyebab terjadinya kerentanan terhadap kerawanan pangan. Desa/kelurahan yang menjadi prioritas sasaran pembangunan tersebar pada 16 kecamatan (nama desa/kelurahan terlampir). Kecamatan Way Panji sebagai kecamatan yang paling tahan pangan dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan.

3. Penyusunan program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan yang menjadi tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) anggota Dewan Ketahanan Pangan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan agar mempertimbangkan rumusan strategi yang meliputi aspek ekonomi, sosial dan budaya, pendidikan serta teknologi hasil analisis SWOT. Rumusan strategi pembangunan ketahanan pangan tersebut melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, swasta dan masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M. 2010. Penguatan Ketahanan Pangan Daerah Untuk Mendukung

Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Arifin, Bustanul. 2012. Kebijakan Perdagangan Pangan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Ariningsih dan Rahman, 2008. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Awasthi, M.K. and Singh, S. 2010. System Analysis Of Food Security Situation In India. Journal of Food Security. Volume 1. No.1. January – June. 2010. Institute of Food Security Food Corporation of India. India.

[BKP] Badan Ketahanan Pangan Kementan RI. 2013. Petunjuk Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi . BKP Kementan RI. Jakarta. --- Lampung Selatan. 2013. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Lampung

Selatan 2012. Kalianda.

--- Kementan RI. 2012. Pedoman Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Kabupaten. BKP Kementan RI. Jakarta.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Lampung Selatan Dalam Angka 2003. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2004. Lampung Selatan Dalam Angka 2004. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2005. Lampung Selatan Dalam Angka 2005. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2006. Lampung Selatan Dalam Angka 2006. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2007. Lampung Selatan Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2008. Lampung Selatan Dalam Angka 2008. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.


(4)

140

--- 2009. Lampung Selatan Dalam Angka 2009. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2010. Lampung Selatan Dalam Angka 2010. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2011. Lampung Selatan Dalam Angka 2011. BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2012. Lampung Selatan Dalam Angka 2012. Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2013. Lampung Selatan Dalam Angka 2013. Kerjasama Bappeda dan BPS Kabupaten Lampung Selatan. Kalianda.

--- 2013. Lampung Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Lampung. Bandar Lampung.

Chung, K. L. Haddad. J. Ramakhislina dan F. Riely. 1997. Identifying the Food Insecure : The Application of Mixed Method Approaches in India. IFPRI. Washington, D. C.

Cook, John T., Frank, Deborah A., 2007, Food Security, Poverty, and Human Development in the United States. Department of Pediatrics, Boston University School of Medicine, at Boston University Medical Center, Boston, Massachusetts.

Deaton A, Muellbauer J.1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70(3) : 312-326.

DKP (Dewan Ketahanan Pangan)., WFP (Worl Food Program). 2009. Peta

Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009. DKP dan WFP. Jakarta. Ecker, O. and Breisinger, C. 2012. The Food Security System. A New Conseptual

Framework. Development Strategy and Governance Division. International Food Policy Research Institute. The United States.

Escamilla, P.R. and Correa, A.M.S. 2008. Food Insecurity, Measurement and Indicators. Universidade Estadual de Campinas. Departemento de Medicina Preventiva e Social. Brazil.

Fathonah, T. Y., dan Prasodjo, N.W. 2011. Tingkat Ketahanan Pangan Pada Rumah Tangga Yang Dikepalai Pria dan Rumah Tangga Yang Dikepalai Wanita. Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi manusia. Hal 197-216. Bogor.

Gallegos, A.A. 2005. The Impact of Food Security on Development Analysis and Synthesis of Indicators. Executive Summary of a Doctoral Thesis.


(5)

Hanani, Nuhfil. 2009. Ketahanan Pangandan Kualitas Sumber Daya Manusia. Warta Nuhfil e-book, diakses dari : http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/ 2009/03/1ketahanan-pangan-dam-ham-1.pdf (30/09/2013).

---. 2012. Strategi Pencapaian Ketahanan Pangan Keluarga. E-Journal

Ekonomi Pertanian. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI). Bogor.

Hardinsyah. 2013. Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Karbohidrat.

Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB. Departemen Dizi FK UI. Jakarta. Hubeis, M dan Najib, M. 2014. Manajemen Strategik Dalam Pengembangan Daya

Saing Organisasi. Gramedia. Jakarta.

Ilham, N., Sinaga, B.M. 2006. Penggunaan Pangsa Pengeluaran Pangan Sebagai Indikator Komposit Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Penelitian. PSEKP-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian dan FEM IPB. Bogor.

Indriani, Y. 2014. Gizi dan Pangan (Buku Ajar). Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Irawan B. 2002. Elastisitas Konsumsi Kalori dan Protein di Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 20 No. 1 Hal 25-47.

Maxwell, D. C. Levin, M. A. Klemeseau, M. Rull, S. Morris and C. Aliadeke. 2000. Urban Livelihoods and Food Nutrition Security in Greater Accra, Ghana. IFPRI in Collaborative with Noguchi Memorial for Medical Research and World Health Organization. Research Report No. 112. Washington D. C. Merdy, M. 2012. Pengaruh Indikator Ketahanan Pangan terhadap Pembangunan

Manusia di Provinsi Lampung (Tesis). Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.

Morrison, D. F. 1990. Multivariate Statistical Methods. McGraw Hill. San Fransisko.

Mun’im, A. 2012. Analisis Pengaruh Faktor Ketersediaan, Akses dan Penyerapan Pangan Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Surplus Pangan :

Pendekatan Partial Least Square Path Modeling. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 30 No. 1 Hal 41-58. Direktorat Neraca Produksi, Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Nicholson, Walter. 1992. Microeconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Dryden Press. Orlando.

Nurlatifah. 2011. Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di Provinsi Jawa Timur (Tesis). Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.


(6)

142

Prasetiyani, I. dan Widiyanto, D. 2013. Strategi Menghadapi Ketahanan pangan (Dilihat dari Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan) Penduduk Indonesia di Masa Mendatang (Tahun 2015 -2040), diakses dari : lib.geo.ugm.ac.ad> …>prasetiyani 2013 (05/09/2014).

Purwantini,T. B., Rachman, H. P. S. dan Marisa, Y. 2004. Analisis Ketahanan Pangan Regional dan Tingkat Rumah Tangga (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Rosyadi, I., Purnomo, D. 2012.Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Tertinggal. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.13 No. 2 Hal 303 -315. Rangkuti, F. 2014. Analisis SWOT. Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia.

Jakarta.

Saliem, H. P., Lokollo, E. M., Purwantini, T. B., Ariani, M., dan Marisa, Y. 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbangtan Departemen Pertanian. Bogor.

Santoso, S. 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Multivariat. Elex Media Komputindo. Jakarta

Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.

Sumarno. 2012. Ketahanan Pangan (Food Security). Kompendium Kajian Lingkungan dan Pembangunan. PPSUB Malang.

Supranto, J. 2010. Analisis Multivariat. Arti dan Interpretasi. Rineka Cipta. Jakarta.

Tanziha, I., Herdiana, E. 2009. Analisis Jalur Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Jurnal Gizi dan Pangan. Juli 2009 4 (2). Hal 106-115. Bogor.

Wicaksono. 2005. Optimalisasi Kepemimpinan Nasional Dalam Melaksanakan Kebijakan Distribusi Pangan Dapat Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Simposium Nasional Ketahanan Pangan dan Keamanan Pangan Pada Era Otonomi dan Globalisasi. Faperta IPB. Bogor.