BAB II LANDASAN TEORI - Pengaruh Kepercayaan Kepada Pemimpin Terhadap Work Engagement

BAB II LANDASAN TEORI A. Work Engagement Saat ini, engagement merupakan salah satu topik yang hangat di antara

  perusahan konsultan dan media-media bisnis terkenal (Saks, 2006). Work

  

engagement menjadi istilah yang meluas dan populer (Robinson, Perryman &

  Hayday, 2004) dan beberapa menyebutkan engagement dengan istilah “anggur tua dalam botol yang baru” (Saks, 2004). Hasil survey dari 665 kepala eksekutif karyawan di Amerika, Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya menyebutkan bahwa engagement merupakan salah satu dari lima tantangan teratas bagi manajemen (Wah, 1999; Sakovska, 2012).

  Penelitian-penelitian yang dilakukan menemukan banyak manfaat dan keuntungan dari adanya work engagement. Para peneliti yakin bahwa organisasi dengan level engagement yang tinggi memberikan hasil yang positif bagi organisasi (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Kahn (1990) menyatakan bahwa level engagement yang tinggi membawa kepada hasil yang positif bagi individu (kualitas dari pekerjaan orang-orang dan pengalaman mereka dalam melakukan pekerjaan) dan juga level organisasi (pertumbuhan dan produktivitas organisasi). Work engagement memungkinkan individu untuk menanamkan diri sepenuhnya terhadap pekerjaan dengan meningkatkan self-

  

efficacy dan berdampak positif pada kesehatan karyawan yang akan meningkatkan

dukungan karyawan terhadap organisasi (Robertson & Markwick, 2009).

1. Definisi Work Engagement

  Telah banyak studi yang dilakukan mengenai engagement, tetapi sampai begitu juga dalam hal operasionalisasi dan pengukurannya yang masih dalam cara yang berbeda-beda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Oleh karena itu penggunaan istilah engagement yang dikemukakan oleh berbagai peneliti masih berbeda-beda, ada yang menyebut dengan istilah employee engagement seperti Saks (2006) dan istilah work engagement, seperti Schaufeli, Salanova, Gonzalez- Roma, & Bakker (2002).

  Murnianita (2012) menyatakan bahwa istilah employee engagement dengan work engagement seringkali digunakan bergantian, tetapi work

  

engagement dianggap lebih spesifik. Work engagement mengacu pada hubungan

  antara karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee engagement terkait hubungan antara karyawan dengan organisasi (Schaufeli & Bakker, 2010).

  Konsep engagement pertama sekali diperkenalkan oleh Kahn. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan, dimana mereka akan mengikat diri dengan pekerjaannya, kemudian akan bekerja dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama memerankan performanya. Aspek kognitif mengacu pada keyakinan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi pekerjaan. Aspek emosional mengacu pada bagaimana perasaan pekerja apakah positif atau negatif terhadap organisasi dan pemimpinnya. Sedangkan aspek fisik mengenai energi fisik yang dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya. secara psikologis maupun fisik saat menunjukkan peran organisasi. Menurut Kahn, level-level ini secara signifikan dipengaruhi oleh tiga domain psikologis, yaitu kebermaknaan, keamanan dan ketersediaan. Domain inilah yang akan mempengaruhi bagaimana karyawan menerima dan melaksanakan peran mereka di tempat kerja. Namun demikian, meskipun Kahn memberikan model teoritis yang kompherensif dari kehadiran psikologis, ia tidak mengusulkan operasionalisasi dari konstruk engagement ini. Selain itu, model engagement Kahn ini, belum teruji secara empiris di konteks yang berbeda dan diantara kelompok – kelompok pekerjaan lainnya dan inilah yang menjadi salah satu kelemahannya (Chugtai, 2010).

  Pendekatan kedua mengenai konsep engagement berasal dari literatur mengenai burnout (Maslach, Schaufeli, & Leiter (2001). Maslach dkk. (2001) mendefinisikan work engagement sebagai lawan dari burnout, dimana

  engagement sebagai keadaan emosional yang menetap (persisten),

  dikarakteristikkan dengan adanya level yang tinggi dalam aktivasi dan kesenangan. Maslach & Leiter (1997; Schaufeli & Bakker, 2003) berasumsi bahwa engagement dan burnout membentuk kutub-kutub yang berlawanan dalam suatu kontinum kerja yang berkaitan dengan kesejahteraan, dimana burnout sebagai kutub negatif dan engagement sebagai kutub positif. Namun demikian, meskipun penelitian burnout memberikan perkembangan terhadap operasionalisasi definisi engagement, asumsi mengenai burnout dan engagement merupakan kutub-kutub yang saling berlawanan belum begitu diterima dan membuktikan konsep tersebut masih dipertanyakan dalam penelitian lain (Lee, 2012).

  Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, & Bakker (2002) menyediakan pendekatan ketiga bagi engagement dengan memberikan perspektif yang berbeda mengenai teori kontinum engagement-burnout. Mereka mendefinisikan work

  

engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi

kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption.

  

Vigor mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang

  bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedication mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggan dan tantangan. Absorption dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

  Schaufeli dkk. (2002) membedakan engagement dari konstruk-konstruk peran pekerjaan lainnya, dimana daripada keadaan sesaat dan spesifik,

  

engagement mengacu pada keadaan afektif-kognitif yang lebih menetap

  (persisten) dan menyeluruh, yang tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu.

  Definisi work engagement oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) ini, merupakan definisi yang lebih luas dan lebih sering digunakan dalam studi penelitian (Lee, 2012). Selain itu, model work engagement Schaufeli dkk. (2002) memiliki dasar teori yang kuat dibandingkan teori engagement lain Berdasarkan uraian di atas, mengacu pada pendapat Schaufeli dkk. (2002), maka definisi work engagement dalam penelitian ini adalah keadaan motivasional yang positif dan adanya pemenuhan diri dalam pekerjaan yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor (kekuatan), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi).

2. Aspek- Aspek Work Engagement

  Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan

  

work engagement sebagai keadaan motivasional positif, pemenuhan, pandangan

  terhadap kondisi kerja yang dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Berdasarkan definisi ini, Schaufeli dan Bakker (2003) mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari engagement, sebagai berikut : a.

   Vigor (kekuatan) Vigor mengacu pada level energi yang tinggi dan resiliensi, kemauan

  untuk berusaha, tidak mudah lelah dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Biasanya orang-orang yang memiliki skor vigor yang tinggi memiliki energi, gelora semangat, dan stamina yang tinggi ketika bekerja, sementara yang memiliki skor yang rendah pada vigor memiliki energi, semangat dan stamina yang rendah selama bekerja. b.

  Dedication (dedikasi)

  Dedication mengacu pada perasaan penuh makna, antusias dan bangga

  orang yang memiliki skor dedication yang tinggi secara kuat mengidentifikasi pekerjaan mereka karena menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Disamping itu, mereka biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka. Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi diri dengan pekerjaan karena mereka tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi atau menantang, terlebih lagi mereka merasa tidak antusias dan bangga terhadap pekerjaan mereka.

  c.

  Absorption (absorpsi)

  Absorption mengacu pada berkonsentrasi secara penuh dan mendalam,

  tenggelam dalam pekerjaan dimana waktu berlalu terasa cepat dan kesulitan memisahkan diri dari pekerjaan, sehingga melupakan segala sesuatu disekitarnya. Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada

  

absorption biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan,

  merasa tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Akibatnya, apapun disekelilingnya terlupakan dan waktu terasa berlalu cepat. Sebaliknya orang dengan skor

  

absorption yang rendah tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam

  pekerjaan, tidak memiliki kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan mereka tidak lupa segala sesuatu disekeliling mereka, termasuk waktu.

3. Konsep-Konsep yang Berkaitan Dengan Work Engagement

  Dalam literatur akademik, terdapat beberapa konsep yang dihubungkan

  engagement (Saks, 2006), diantaranya : a.

  Flow

  Flow merupakan sensasi menyeluruh yang dirasakan seseorang ketika

  mereka bertindak dengan penuh keterlibatan (Csikszentmihalyi, 1975; May, Gilson, & Harter, 2008). Ketika seseorang berada dalam keadaan

  flow dibutuhkan sedikit kontrol kesadaran untuk tindakan mereka. Individu

  membatasi perhatian mereka kepada stimulus khusus. Mereka kehilangan kesadaran mengenai diri mereka sendiri karena sudah terlarut dengan aktivitas itu sendiri. Individu yang mengalami flow tidak membutuhkan

  reward eksternal atau tujuan untuk memotivasi mereka selama aktivitas

  tersebut menghadirkan tantangan-tantangan yang konstan. Jika konsep

  flow semata dinilai sebagai keterlibatan kognitif dengan suatu aktivitas dan

  menghadirkan pengalaman puncak yang unik dari keterlarutan kognitif menyeluruh (May dkk., 2004), engagement lebih digambarkan sebagai keadaan afektif-kognitif yang menetap dan tidak fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli dkk., 2002).

  b.

  Workaholism Pekerja yang engaged bekerja keras karena pekerjaannya menantang dan menyenangkan, bukan karena mereka didorong oleh desakan kuat dari dalam diri yang tidak dapat dilawan (Schaufeli & Bakker, 2010). c.

  Organizational Commitment

  Work engagement juga sering didefinisikan sebagai komitmen emosional

  Menurut Maslach dkk. (2001) komitmen organisasi merupakan sikap seseorang dan kedekatan terhadap organisasi mereka, sedangkan work

  engagement bukanlah sikap, melainkan derajat dimana individu berminat

  dan terserap dalam kinerja peran mereka. Disamping itu, komitmen fokus pada organisasi, sedangkan work engagement fokus pada tugas-tugas.

  d.

  Organizational Citizen Behavior Saks (2006) menyatakan bahwa OCB melibatkan kesadaran dan perilaku informal yang dapat menolong rekan kerja dan organisasi, sedangkan fokus engagement adalah kinerja peran formal seseorang dibandingkan peran ekstra dan perilaku sadar. Selain itu, OCB fokus pada karakteristik dan perilaku individu, dibandingkan organisasi.

  e.

  Job Involvement

  Work engagement juga berbeda pula dengan job involvement, dimana job involvement merupakan hasil dari penilaian kognitif mengenai kebutuhan

  pemuasan kemampuan dari pekerjaan dan mengikat gambaran diri seseorang, sedangkan work engagement melibatkan penggunaan secara aktif emosi dan perilaku disamping kognisi (May, Gilson, & Harter, 2004; Saks, 2006).

4. Faktor- Faktor yang Mendorong Work Engagement

  Berbagai penelitian telah meneliti faktor-faktor yang menjadi pendorong penelitian, diantaranya sebagai berikut : a.

  Job Characteristic Kahn (1990) mengungkapkan bahwa kebermaknaan psikologis dapat dicapai dari karakteristik tugas yang menyediakan pekerjaan menantang, bervariasi, membutuhkan berbagai keterampilan, kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi yang penting. Hal ini sesuai dengan karakteristik pekerjaan dari Hackman dan Oldham, yaitu skill variety, task identity, task significance, autonomy, dan

  feedback . Menurut Kahn, pekerja akan lebih engaged apabila disediakan pekerjaan yang memiliki kelima karakteristik tersebut.

  b.

  Perceived Organizational and Supervisor Support Variabel yang penting dalam dukungan sosial adalah peresepsi terhadap dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan supervisor. POS mengacu pada keyakinan umum bahwa organisasi menghargai kontribusi mereka dan peduli akan kesejahteraan mereka. Dasar dari penelitian dukungan organisasi adalah social exchange theory (SET). SET merupakan norma timbal balik antara karyawan dengan perusahaan, dimana ketika karyawan menerima sumber-sumber yang penting dari organisasi, maka karyawan akan merasa berkewajiban untuk membayar ataupun meresponnya dengan kinerjanya terhadap organisasi. POS menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya dan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya. POS dapat membawa pada hasil yang postitif yaitu melalui engagement. Dengan kata lain, karyawan yang memiliki POS yang tinggi, menjadi lebih engaged terhadap pekerjaan dan organisasi mereka sebagai bagian dari norma timbal balik dari SET sehingga membantu organisasi untuk mencapai tujuannya (Saks, 2006).

  c.

  Reward and Recognition Kahn (dalam Saks, 2006) mengungkapkan bahwa individu bervariasi dalam engagement mereka sesuai dengan bagaimana fungsi mereka mempersepsikan keuntungan yang diterima dari perannya. Pekerja akan lebih mungkin untuk engaged dalam pekerjaan sejauh mana mereka mempersepsikan jumlah yang lebih besar dari rewards dan rekognisi bagi kinerja peran mereka d.

  Distributive Justice-Procedural Justice

  

Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah

  keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan sumber daya yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang tinggi terhadap keadilan organisasi, mereka akan lebih mungkin untuk merasa wajib adil untuk berperforma dalam peran mereka dengan memberikan diri mereka sendiri melalui tingkat engagement yang lebih besar (Saks, 2006).

  Keterlibatan dalam pembuatan keputusan, sejauh mana karyawan merasa mampu menyuarakan ide mereka, manajer mendengar pandangan karyawannya dan menghargai kontribusi dari karyawan, kesempatan karyawan untuk mengembangkan pekerjaan mereka, dan sejauh mana organisasi perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan akan meningkatkan engagement (Robinson, 2004).

  f.

  Komunikasi Perusahan harus mengikuti kebijakan pintu terbuka. Harus ada komunikasi ke atas dan ke bawah dengan jalur komunikasi yang tepat dalam organisasi. Jika karyawan diizinkan dalam memberikan pembuatan keputusan dan benar-benar di dengar oleh pemimpinnya, maka level

  engagement akan tinggi (Vazirani, 2007).

  g.

  Kepemimpinan Organisasi yang sukses menghargai setiap kualitas dan kontribusi karyawan tanpa menghiraukan level pekerjaan mereka (Vazirani, 2007).

  Pemimpin yang efektif mampu mempengaruhi pengikutnya untuk dapat mencapai tujuan organisasi. Pemimpin memiliki peran penting dalam mengembangkan engagement dengan menunjukkan karakteristik yang mendorong engagement, seperti mau berbagi visi organisasi dan menjadi

  supportive (Taran, Shuck, Gutierrez, & Baralt, 2009). h.

  Health and Safety Penelitian telah mengindikasikan bahwa level engagement rendah jika seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007). i.

  Job Satisfaction Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged.

  Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana hal tersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007). j.

  Kepercayaan dan Integritas Seorang manajer harus mengkomunikasikan dengan baik dan memegang perkataannya (The Conference Board dalam Siddhanta & Roy, 2010).

  Karyawan yang mempercayai pemimpin-pemimpin di organisasi karena pemimpin yang mengatur irama dari kebudayaan organisasi dan menginspirasi kinerja dan komitmen yang tinggi akan mendorong

  

engagement . Kepercayaan yang tinggi pada manajer dan pemimpin-

  pemimpin senior berhubungan dengan skor engagement yang tinggi (Blessing White, 2010).

B. Kepercayaan kepada Pemimpin

  Kepercayaan merupakan topik yang telah banyak dipeljari dan telah organisasi (Burke, Sims, Lazzara & Salas, 2007). Gambetta (1988) mendefinisikan kepercayaan organisasi sebagai evaluasi terhadap rasa percaya pada organisasi yang dipersepsikan oleh karyawan, dimana karyawan memiliki kepercayaan diri bahwa organisasi akan menunjukkan tindakan yang menguntungkan dan tidak merugikan karyawannya. Costigan (2006) membagi kepercayaan organisasi menjadi dua jenis, yaitu kepercayaan horizontal dan kepercayaan vertikal. Kepercayaan horizontal merupakan kepercayaan diantara sesama rekan kerja, sedangkan kepercayaan vertikal merupakan kepercayaan antara atasan-bawahan ataupun pemimpin dengan bawahannya.

  Beberapa dekade terakhir, kepercayaan kepada pemimpin menjadi konsep yang penting dalam banyak disipilin ilmu, seperti psikologi organisasi manajemen, administrasi publik, komunikasi organisasi dan sebagainya. Dalam penelitian literatur perilaku organisasi, misalnya, kepercayaan diidentifikasi sebagai bagian yang penting dalam teori kepemimpinan (Dirks & Sarlicki, 2000).

  Tan & Tan (2000) menyatakan bahwa kepercayaan kepada pemimpin dan organisasi merupakan variabel yang saling berhubungan. Pekerja bisa membuat penilaian terhadap kepercayaan organisasi dengan membuat kesimpulan dari interaksi dengan pemimpinnya. Ketika bawahan mempercayai pemimpin, mereka dapat menyamaratakan kepercayaan tersebut ke keseluruhan organisasi karena mereka menerima pemimpin sebagai representasi dari organisasi (Konovsky & Pugh, 1994; Tan, 2000). Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya kepercayaan kepada pemimpin, akan lebih mudah bagi karyawan untuk Laine (2008) menyebutkan ada dua alasan utama mengapa kepercayaan dalam hubungan antara pemimpin atau atasan dengan bawahan itu penting. Alasan pertama dihubungkan dengan cara berhubungan di tempat kerja, karena bagi kebanyakan orang hubungan sosial di tempat kerja menjadi pusat dari interaksi kehidupan mereka setiap hari. Kepercayaan dalam hubungan antara atasan dengan bawahan berhubungan secara sosial karena atasan akan mempengaruhi kesejahteraan karyawannya di tempat kerja. Alasan kedua karena sejauh ini masih sedikit penelitian empiris mengenai kepercayaan dalam konteks kepemimpinan.

  Padahal pemimpin memiliki peran penting dalam menentukan efektivitas organisasi pada semua level (individu, tim, unit) yang ada dalam organisasi (Burke, Sims, Lazzara, & Salas, 2007).

  Dirks dan Ferrin (2001) menemukan dari hasil metanalisisnya bahwa kepercayaan kepada pemimpin memiliki hubungan yang signifikan dengan dengan outcome individu, seperti kinerja pekerjaan, OCB, turnover intentions, komitmen organisasi dan komitmen terhadap keputusan pemimpin. Studi-studi sebelumnya juga telah menyoroti pentingnya kepercayaan bagi kesejahteraan individu dalam lingkungan bisnis. Kepercayaan merupakan fondasi dari hubungan yang bermanfaat dan sukses diantara individu maupun organisasi (Mayer, Davis, & Schoorman, 1995).

1. Definisi Kepercayaan kepada Pemimpin

  Definisi kepercayaan yang dikutip secara luas berasal dari definisi yang mendefinisikan kepercayaan sebagai kemauan seseorang untuk menjadi rentan (vulnerable) terhadap tindakan pihak lain dengan mengharapkan hal yang positif dari tindakan pihak lain tersebut. Dua hal penting dari definisi ini adalah adanya harapan positif dan kemauan untuk menjadi rentan, dalam arti, dimana rentan merupakan resiko yang harus diambil dalam menghadapi ketidakpastian. Model kepercayaan Mayer dkk. (1995) ketika diaplikasikan dalam hubungan antara pemimpin dan pengikutnya, memperkirakan bahwa kepercayaan pada pemimpin akan berfungsi khususnya pada ability, benevolence, dan integrity yang ada pada pemimpin. Ability merupakan sekelompok keterampilan, kompetensi dan karakteristik yang memungkinkan suatu pihak memiliki pengaruh dalam domain yang spesifik. Benevolence merupakan sejauh mana satu pihak (trustee) yakin untuk melakukan hal yang baik terhadap pihak lain yang dipercaya (trustor).

  

Integrity melibatkan persepsi trustor yang dilekati oleh trustee terhadap

  seperangkat prinsip bahwa trustor menemukan penerimaan. Kelemahan konsep ini adalah belum mengungkapkan bagaimana harapan positif itu dapat dihasilkan (Chugtai, 2010).

  Kelemahan konsep kepercayaan dari Mayer dkk. (1995) diatasi oleh konsep multidimensional kepercayaan yang dikemukakan oleh Mishra (1996).

  Mishra (1996) mendefinisikan kepercayaan sebagai kemauan untuk menjadi rentan terhadap pihak lain berdasarkan keyakinan bahwa pihak lain tersebut competen, reliable, openness, dan concern.

  Mishra (1996) dengan mengemukakan definisi yang sama, namun dimensi peduli (concern) berubah menjadi compassion, meskipun kedua konstruk tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama. Konsep Mishra dan Mishra (2008) dikenal dengan istilah ROCC trust (reliability, openness, competence dan compassion). ROCC trust menjadi kunci elemen yang mempengaruhi seseorang untuk dapat mempercayai pemimpinnya (Mishra & Mishra, 2008). Melalui studi- studi penelitian selama hampir dua dekade, Mishra dan Mishra mengidentifikasi empat fondasi kuat bagi individu untuk dapat mempercayai pemimpinnya ataupun orang lain, yaitu didasarkan pada ROCC trust.

  Definisi kepercayaan lainnya diungkapkan oleh McAllister (1997). McAllister mengemukakan kepercayaan interpersonal sebagai keyakinan individu dan kemauan untuk bertindak berdasarkan kata-kata, tindakan dan keputusan yang lain. Perspektif ini menunjukkan bahwa kepercayaan melibatkan keintiman dengan kepercayaan diri terhadap yang lain, yang dibawa oleh individu ke dalam situasi ketergantungan yang beresiko. McAllister membagi kepercayaan menjadi dua, yaitu cognition-based trust dan affect-based trust. Cognition based trust berdasarkan keyakinan individu terhadap reliabilitas dan dependability. Affected- based trust berdasarkan saling peduli dan perhatian dalam suatu hubungan.

  Kepercayaan terhadap pemimpin menurut Tan & Tan (2000) merupakan kemauan dari bawahan untuk menjadi rentan terhadap tindakan supervisornya yang perilaku dan tindakan tersebut tidak dapat dikontrolnya dan yang bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan kepada mereka tujuan dan kepercayaan ini didasarkan pada karakter yang dimiliki oleh pemimpin.

  Dirks & Ferrin (2002) menyatakan bahwa kepercayaan merupakan fitur penting dalam hubungan yang dimiliki pemimpin dengan bawahan mereka dan melalui kepercayaan bawahan dan respek dari pimpinan mereka, bawahan akan termotivasi untuk berperforma melebihi dari yang diharapkan.

  Dirks and Skarlicki (2004) menyatakan bahwa kepercayaan dengan memperhatikan karakter pemimpin adalah penting karena pemimpin memiliki otoritas untuk membuat keputusan yang signifikan yang berdampak terhadap pengikutnya dan kemampuan pengikutnya untuk mencapai tujuan (seperti promosi, bayaran, tugas pekerjaan, pemberhentian sementara).

  Berdasarkan pendapat yang tersebar diantara peneliti dan para ahli bahwa konsep kepercayaan Mishra memiliki kelebihan daripada konsep kepercayaan lain, sehingga lebih sering digunakan (Chugtai, 2010). Karakteristik kepercayaan dari Mishra paling sering muncul dalam berbagai literatur penelitian dan selangkah lebih maju daripada konsep Mayer dkk (1995) karena Mishra secara eksplisit menetapkan empat karakteristik dari trustee yang mana dapat menimbulkan harapan positif dan mendorong trustor untuk mau mengambil resiko dengan meletakkan kesejahteraannya sendiri di tangan trustee.

  Berdasarkan uraian di atas, definisi kepercayaan kepada pemimpin merupakan kemauan karyawan untuk menjadi rentan terhadap pihak lain (dalam hal ini adalah pemimpin) bedasarkan keyakinan bahwa pihak tersebut kompeten, terbuka, peduli (compassion) dan reliabel.

2. Aspek- Aspek Kepercayaan

  Mishra & Mishra (2008) mengkonseptualisasikan aspek-aspek dari kepercayaan sebagai berikut : a.

  Reliability Seseorang dikatakan reliable ketika berperilaku dalam cara yang seimbang dan konsisten. Bertanggung jawab melakukan apa yang dikatakan untuk dilakukannya. Melakukan sesuatu ketika memiliki kemauan dan akan menunjukkannya ketika ada keinginan dan juga dapat diandalkan.

  Mengingat hal-hal yang penting bagi orang lain dan menjadi sumber kenyamanan dan keseimbangan dalam kehidupan orang tersebut.

  Kepercayaan tanpa aspek ini membuat orang lain tidak akan memberikan kesempatan kedua. Reliability memerlukan kata-kata dan tindakan.

  Adanya ketidakkonsistenan antara kata-kata dan tindakan menurunkan kepercayaan yang juga menyiratkan penjagaan komitmen seseorang.

  Orang-orang akan lebih mungkin untuk mempercayai pemimpin yang

  reliable karena itu dapat mengurangi ketidakpastian akan perilaku pemimpin.

  b.

  Openness Keterbukaan merupakan kemauan untuk jujur dan terbuka dalam berhubungan dengan orang lain. Individu akan lebih mau mempercayai perkataan seseorang apabila mereka yakin bahwa orang tersebut berkata jujur. Adanya keterbukaan dari diri sendiri juga akan mendorong orang lain untuk lebih terbuka. Jika seseorang itu jujur dengan tetangga, rekan terbuka kepadanya. Menjadi terbuka juga termasuk berlaku wajar dan mau berbagi informasi atau pandangan. Pemimpin menunjukkan openness dengan berbagi informasi dan jujur terhadap satu sama lain. Minimalnya, menjadi terbuka berarti tidak berbohong kepada pihak lain. Sedangkan dalam level terbesarnya, openness berarti penuh penyingkapan (disclosure). Sifat kepercayaan dalam istilah openness membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dikembangkan dibandingkan dengan kepercayaan berdasarkan reliability karena tidak hanya melibatkan perkataan akan kebenaran saja, tetapi juga pernyataan informasi mengenai maksud dan harapan seseorang, dan bagi pemimpin hal ini dapat melibatkan informasi sensitif yang tinggi. Komunikasi yang jujur dan terbuka dapat mengurangi ketidakpastian dan ambiguitas karena membuat tujuan, agenda dan sasaran lebih transparan. Openness sebagai konstruk dari kepercayaan merupakan pertumbuhan informasi. Informasi dibagikan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan atau bersifat pribadi diantara trustee dan trustor.

  c.

  Competence Individu tidak ingin mempercayai orang lain sampai orang tersebut dapat melakukan pekerjaan tersebut bahkan ketika sebelumnya orang tersebut digambarkan sebagai seseorang yang reliable dan jujur. Pengalaman langsung dengan orang lain merupakan cara yang lebih meyakinkan untuk memperlihatkan kompetensi yang dimiliki. Pemimpin menunjukkan memberikan hasil yang mendukung tujuan dan sasaran strategi organisasi. Pengikut ingin tahu apakah mereka dapat bergantung pada pemimpin mereka untuk menjadi kompeten dalam menyelesaikan masalah dan mengarahkan mereka kepada solusi. Pengikut akan lebih mungkin untuk merespon usaha yang dikembangkan oleh pemimpin apabila mereka percaya bahwa pemimpin memiliki pengetahuan dan kemampuan yang penting untuk mengasah bakat dan kekuatan mereka.

  

Competene mengacu pada kapabilitas dan keahlian individu untuk dapat

  tampil dalam tugas-tugas yang spesifik. Perasaan mampu atau kompeten merupakan pusat dari kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan pengikutnya karena pengikut tidak akan mungkin mengembangkan kepercayaan terhadap pemimpin, kecuali jika mereka percaya bahwa pemimpin mampu melaksanakan peran kepimimpinan (Whitener, Korsgaard & Werner, 1998). Pemimpin juga dikarakteristikkan dengan bagaimana pengikutnya mempercayai mereka untuk membuat keputusan yang kompeten.

  d.

  Compassion Memiliki compassion terhadap orang lain berarti harus mau mengesampingkan kepentingan priadi untuk bisa menjadi benar-benar empati terhadap orang lain. Yang juga berarti harus meletakkan kepentingan orang lain sama atau di atas kepentingan sendiri. Compassion memerlukan waktu yang lama untuk dapat ditunjukkan karena kepentingan orang lain. Compassion dari pemimpin juga dapat membangun hubungan positif dengan karyawannya. Pemimpin yang menunjukkan compassion lebih mungkin untuk meningkatkan hubungan yang membantu perkembangan individu dan pertumbuhan bersama.

  Seorang individu yang memiliki compassion terhadap orang lain berarti ia harus memiliki kemauan untuk mengatur kepedulian diri sehingga bisa benar-benar berempati terhadap orang lain. Percaya dalam hal concern berarti bahwa kepentingan diri tersebut seimbang dengan minat dalam kesejahteraan orang lain (Mishra, 1996). Aspek-aspek kepercayaan dari Mishra & Mishra (2008) merupakan aspek- aspek yang akan digunakan sebagai pengukuran dalam penelitian ini. Review dari literatur-literatur menyingkap bahwa aitem pada skala yang dikembangkan oleh Mishra menyediakan penilaian yang reliabel dan valid dari komponen-komponen kepercayaan yang diidentifikasi oleh Mishra. Selain itu juga karena pendapat yang tersebar di antara peneliti dan ilmuwan menyetujui bahwa keempat faktor kepercayaan dari Mishra (1996) sebelumnya, paling sering muncul pada literatur- literatur penelitian dan menjelaskan bagian lebih besar dari sifat yang dapat dipercaya (Ellis & Zalabak, 2001). Beberapa ilmuwan menganggap dimensi kepercayaan Mishra tersebut sebagai faktor krusial dari kepercayaan (Chugtai, 2010).

  Kekuatan lainnya dari model Mishra adalah konseptualisasi kepercayaan sebagai konstruk yang multidimensional. Manfaat utama dari pandangan multi kompleksitas hubungan kerja (Chugtai, 2010).

  C.

  

Hubungan antara Kepercayaan kepada Pemimpin dengan Work

Engagement

  Kepercayaan diantara pemimpin dan bawahan memampukan kedua bagian untuk dapat tampil dalam level yang tinggi dan bahkan mencapai tugas-tugas dan tujuan mereka (Kaskivirta, 2011).

  Untuk dapat dipercaya, sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Mishra & Mishra (2008), seorang pemimpin harus memiliki karakteristik reliability,

  

openness, competence, dan compassion. Ketika karyawan yakin bahwa pemimpin

  memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan tanggung jawab pekerjaannya secara professional dan efisien, maka mereka lebih mungkin untuk merasa nyaman dan lebih mau untuk memberikan energi mereka dan berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya. Level energi dan usaha ini dapat memuncak dalam work

  engagement yang lebih besar.

  Pekerja yang merasa bahwa pemimpin mereka tidak sukses dalam memenuhi janji seperti dalam hal insentif, maka level kepercayaannya akan berkurang dan mereka bisa mempersepsikannya sebagai pelanggaran kontrak psikologis (Robinson, 1996). Dalam lingkup ini, pekerja dapat menjadi kurang menunjukkan energi, antusias dan keterlibatan dalam pekerjaan mereka dan lebih mungkin untuk mengurangi level energi, antusias dan keterlibatan mereka bahkan dapat beralih kepada disengagement pada pekerjaan (Schaufeli & Salanova, Apabila pekerja merasa bahwa pemimpin mengkomunikasikan isu-isu organisasi secara terus terang, terbuka dan jujur, maka ketidakamanan dan keraguan-keraguan akan rendah (Mishra & Sprietzer, 1998). Dalam keadaan seperti ini, pekerja akan cenderung untuk tetap fokus menyelesaikan tujuan pekerjaan mereka dibandingkan selalu sibuk memikirkan perasaan ketidakpercayaan dan keragu-raguaan. Keterlibatan psikologis secara penuh dalam pekerjaan dapat meningkatkan engagement dalam bekerja (Kahn, 1990).

  Apabila pekerja merasa bahwa mereka tidak dapat mengandalkan pemimpin mereka untuk memberikan penghargaan secara adil bagi usaha mereka, maka kemungkinan mereka akan merasa tidak puas dan akibatnnya dapat menunjukkan berkurangnya antusias, keterikatan dalam pekerjaan mereka.

  Sebaliknya, ketika karyawan yakin bahwa pemimpinnya memperlakukan mereka secara adil, maka motivasi dan komitmen akan lebih mungkin untuk meningkat.

  Dalam keadaan seperti ini, karyawan akan lebih mungkin untuk memberikan jumlah yang lebih besar dari sumber mental dan fisik mereka terhadap performa peran, yang selanjutnya akan menghasilkan work engagement yang lebih tinggi (May, Gilson & Harter, 2004; Chugtai 2010).

  Pekerja yang memiliki keyakinan bahwa pemimpinnya mampu dan terampil (kompeten), mereka lebih mungkin untuk merasa lebih pasti bahwa mereka dapat mengandalkan pemimpinnya untuk menyediakan bantuan dan memandu mereka ketika mereka sedang berada dalam masalah yang berkaitan dengan pekerjaan (Tan & Tan, 2000). Hal ini dapat meningkatkan rasa percaya Pekerja yang yakin bahwa pemimpinnya peduli (compassion) terhadap kesejahteraan mereka, memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan memperlakukan bawahannya dengan hormat, mereka lebih mungkin untuk mengeluarkan energi yang lebih besar, pengabdian dan minat terhadap pekerjaannya (Saks, 2006).

  Vazirani (2007) mengatakan bahwa kepemimpinan dan komunikasi merupakan beberapa faktor yang mendorong munculnya engagement. Di dalam kepemimpinan dan komunikasi itu sendiri, kepercayaan merupakan unsur yang penting. Krot & Lewicka (2012) mengungkapkan bahwa kepercayaan merupakan elemen kunci bagi komunikasi yang efektif dan kerjasama tim antara rekan kerja, antara manajer dan karyawannya, dan antara karyawan dengan manajernya.

  Dengan kata lain, komunikasi dan kepemimpinan yang dibangun dengan adanya unsur kepercayaan akan dapat menimbulkan work engagement karyawan dalam organisasi.

  Dari studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa meningkatnya kepercayaan menghasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung perilaku dan sikap yang positif di tempat kerja seperti komitmen organisasi dan engagement (Dirks & Ferrin, 2002). Dalam suatu hubungan, kepercayaan merupakan keadaan penting yang menjaga komitmen dan

  engagement tetap kuat (Dicke, Holwerda, & Kontakos, 2007). Idealnya, pemimpin dan manajemen berbagi semua informasi yang tersedia dalam cara yang jujur dan terus terang (Axelrod, 2000; Dicke dkk., 2007). Dalam hal ini dengan adanya kepercayaan kepada pemimpin, akan dapat mendorong karyawan untuk menjadi engaged dengan pekerjaannya.

D. Hipotesis Penelitian

  Hipotesis yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini, yaitu: Kepercayaan kepada pemimpin berpengaruh positif terhadap work

  

engagement. Kepercayaan karyawan kepada pemimpin akan meningkatkan work

engagement.