BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement - Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

  Robertson dan Cooper (2010) mengatakan bahwa masih terdapat ketidakjelasan definisi dan pengukuran engagement. Robinson et al (2004) mengatakan bahwa engagement didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara dan seringkali disamakan dengan konsep organizational commitment dan

  organizational citizenship behavior . May, Gilson, dan Harter (2004) mengatakan

  bahwa engagement juga sering diasosiasikan dengan konsep job involvement dan flow .

  Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penelitian tentang

  engagement adalah tidak adanya definisi yang universal tentang employee engagement (Kular, Gatenby, Rees, Soane & Truss, 2008). Kahn sebagai tokoh

  pertama yang mengemukakan engagement, mengatakan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan; dalam

  engagement , karyawan memperkerjakan diri mereka sendiri dan

  mengekspresikannya secara fisik, kognitif, dan emosional (Kahn, 1990). Dengan kata lain, karyawan yang engaged memiliki keterhubungan secara fisik, kognitif, dan emosional dengan peran mereka dalam pekerjaan (Albrecht, 2010). Kahn mengatakan (1990) engagement adalah kehadiran psikologis ketika menduduki atau menjalankan sebuah peran dalam organisasi. Meskipun Kahn mengembangkan model teoritis yang komprehensif, bahwa engagement merupakan sebuah kehadiran psikologis saat bekerja, ia tidak membuat definisi operasional terhadap engagement (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker, 2002).

  Rothbard (2001) memperluas definisi Kahn dengan mendefinisikan

  engagement sebagai sebuah kehadiran psikologis yang terdiri dari dua dimensi

  yakni atensi dan absorpsi. Atensi mengacu pada ketersediaan kognitif dan sejumlah waktu yang dihabiskan untuk memikirkan sebuah peran. Sedangkan absorpsi bermakna menjadi tertarik pada sebuah peran dan mengacu pada intensitas fokus seseorang pada sebuah peran.

  Konrad (2006) mengatakan bahwa engagement memiliki tiga komponen yang berhubungan yakni aspek kognitif, emosional, dan perilaku. Aspek kognitif meliputi keyakinan pekerja tentang organisasi, pemimpin, dan kondisi kerja. Aspek emosional fokus pada bagaiman perasaan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi kerjanya serta sejauh mana sikap mereka (positif atau negatif) terhadap organisasi dan pemimpin mereka. Aspek perilaku adalah komponen nilai tambah bagi organisasi dengan adanya discretionary effort yang membuat mereka memberikan waktu ekstra, kekuatan otak dan energi yang dikhususkan untuk tugas dan perusahaan.

  Definisi engagement yang lebih luas dan lebih sering dipakai dalam riset

  

engagement dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker

  (Albrecht, 2010; Lee, 2012). Schaufeli et al (2002) medefinisikan engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi kerja yang dikarakteristikkan dengan kekuatan, dedikasi, dan absorpsi. Mereka juga membedakan engagement dari konstruk-konstruk yang berhubungan dimana mereka mengatakan bahwa engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan yang lebih persisten dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli et al, 2002).

  Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

  Berdasarkan uraian di atas maka definisi engagement adalah keadaan motivasional yang postitif dan memunculkan pemenuhan diri yang dikarakteristikkan dengan kekuatan , dedikasi dan absorpsi.

2. Aspek-Aspek Engagement

  Aspek-aspek yang membangun dimensi engagement menurut Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) adalah: a.

  Kekuatan Dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi, semangat yang bergelora ketika bekerja sedangkan yang memiliki skor rendah pada aspek kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2003).

  b.

  Dedikasi Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek dedikasi secara kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena adanya pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka selalu antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka sedangkan individu dengan skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka tidak antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003).

  c.

  Absorpsi Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam dalam pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat sedangkan individu dengan skor rendah pada aspek absorpsi tidak tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan waktu (Schaufeli dan Bakker, 2003).

3. Teori yang Mendasari Engagement

  Albrecht (2010) mengatakan ada beberapa teori yang dapat menjelaskan engagement, diantaranya adalah: a. Job demand-resource theory (JD-R)

  Asumsi dasar dari model JD-R adalah bahwa setiap pekerjaan mempunyai faktor resiko tersendiri yang biasanya berhubungan dengan stres dan faktor ini diklasifikasikan dalam 2 kategori yakni tuntutan pekerjaan (job demand) dan sumber daya kerja (job resource). Tuntutan pekerjaan merujuk pada aspek fisik, sosial maupun psikologis dari pekerjaan yang membutuhkan usaha fisik, psikologis maupun keterampilan tertentu. Sumber daya kerja merujuk pada semua aspek fisik, psikologis maupun sosial dalam organisasi yang dapat mendukung penyelesaian tugas, mereduksi tuntutan pekerjaan,dan menstimulasi adanya pembelajaran dan pengembangan personal. Sumber daya kerja dapat mendorong munculnya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik karena tersedianya sumber yang mendukung untuk penyelesaian tugas (Bakker & Demerouti, 2007).

  Asumsi kedua adalah ada dua proses yang bertolak belakang yang mendasarinya yakni health impairement process dan motivational process. Dalam

  health impairement process , tuntutan tugas yang kronis menguras mental dan fisik

  karyawan yang dapat mebgarah pada penurunan energi. Oleh sebab itu, tuntutan pekerjaan dapat mengarah pada kelelahan, burnout dan masalah kesehatan. Dalam motivational process, sumber daya kerja berkaitan dengan motivasi termasuk komitmen dan engagement (Bakker & Demerouti, 2007).

  Asumsi ketiga adalah kekurangan sumber daya kerja, misalnya kurangnya dukungan sosial dan sedikitnya kontrol, berhunbungan dengan kelelahan dan

  burnout yang mengarah pada penurunan tingkat engagement (Bakker & Demerouti, 2007).

  b. Social exchange theory (SET) Menurut Saks (2006) dasar teoritis yang paling rasional dalam menjelaskan engagement adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory).

  Saks (2006) mengatakan bahwa bedasarkan teori pertukaran sosial, kewajiban dihasilkan oleh serangkaian interaksi timbal balik antara pihak-pihak yang berkaitan. Prinsip dasar dari teori pertukaran sosial ini adalah sebuah hubungan akan berkembang dengan adanya saling percaya, kesetian dan komitmen sepanjang pihak yang terlibat mematuhi aturan pertukaran yang sudah dibuat. Aturan yang dibuat biasanya melibatkan pembayaran timbal balik misalnya, ketika karyawan menerima sumber ekonomi dari organisasi maka mereka akan berkewajiban untuk membalas organisasi misalnya dengan lebih engaged terhadap pekerjaan mereka.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Engagement

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi engagement antara lain: a.

  Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic) Salah satu faktor yang mempengaruhi engagement adalah karakteristik pekerjaan (Saks, 2006). Menurut Kahn (1990) psychological

  meaningfulness dapat dicapai melalui karakter tugas yang menyediakan

  pekerjaan yang menantang, bervariasi, membutuhkan berbagai keterampilan, kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi yang penting.

  b.

  Perceived Organizational Support (POS) dan Perceived Supervisor

  Support (PSS)

  Salah satu aspek penting yang mempengaruhi rasa psychological safety karyawan adalah sejauh mana dukungan dan kepedulian yang dirasakan oleh karyawan yang diberikan baik oleh organisasi maupun atasannya (Saks, 2006). POS mengacu pada keyakinan umum karyawan bahwa organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan akan membuat karyawan merasa bernilai. Robinson et al. (2004) mengatakan bahwa faktor pendorong yang paling kuat munculnya engagement adalah perasaan bernilai dan dilibatkan. Berdasarkan teori pertukaran sosial, POS menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya (Rhoades, Eisenberg & Armeli, 2001). PSS juga merupakan prediktor penting munculnya engagement. Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) mengatakan kurangnya dukungan atasan menjadi faktor penting munculnya burnout.

  c. Reward and Recognition Kahn (1990) mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan bervariasi sejauhmana persepsi mereka terhadap keuntungan yang mereka peroleh dari sebuah peran yang mereka jalani. Saks (2006) mengatakan bahwa ketika karyawan menerima reward dan penghargaan dari organisasinya, mereka akan merasa berkewajiban untuk meresponnya dengan meningkatkan tingkat engagement mereka, sesuai dengan teori pertukaran sosial.

  d. Distributive dan Procedural Justice

  Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah

  keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan

  

resource yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif

  terhadap keadilan dalam organisasi mereka, mereka akan lebih merasa wajib untuk juga berlaku adil dengan lebih engaged terhadap organisasi mereka (Saks, 2006).

  e. Image Tingginya tingkat engagement karyawan tidak lepas dari tingginya tingkat

  

engagement konsumen terhadap perusahaan. Dengan kata lain, image

  perusahaan di mata konsumen mempengaruhi tingkat engagement karyawan (Vazirani, 2007).

  f. Pay dan Benefits Perusahaan sebaiknya memiliki sistem penggajian sehingga karyawan termotivasi dalam bekerja. Dalam rangka mendorong engagement karyawan juga seharusnya menyediakan kompensasi dan beberapa keuntungan tertentu bagi karyawan (Vazirani, 2007). g. Health and Safety Penelitian telah mengindikasikan bahwa tingkat engagement rendah jika karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).

  h. Job Satisfaction Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged.

  Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana hal yersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007). i. Job Resource

  

Job resource seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan

  balik, variasi keterampilan, otonomi dan learning opportunities secara positif berhubungan dengan engagement (Bakker dan Demerouti, 2008) . j. Personal Resource Bakker dan Demerouti (2008) mengatakan bahwa karyawan yang engaged pada umumnya memiliki karakteristik seperti optimisme, efikasi diri, resiliensi dan active coping style yang membantu mereka untuk mengontrol lingkungannya dan dampaknya dengan baik. k. Usia, jabatan, status pekerja dan masa kerjaloiol Berdasarkan hasil survei tahun 2008 (Blessing White, 2011) ditemukan bahwa ada korelasi kuat antara usia karyawan dengan tingkat engagement dimana karyawan dengan usia yang lebih tua cenderung lebih engaged. Hasil survei juga menemukan bahwa jabatan juga berkorelasi positif dengan tingkat engagement dimana karyawan dengan jabatan yang lebih tinggi dan kekuasan yang besar cenderung lebih engaged. Menurut Robinson et al (2004) status karyawan mempengaruhi tingkat engagement karyawan dimana karyawan dengan status sebagai karyawan tetap akan cenderung lebih engaged. Robinson et al (2004) juga mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya masa kerja.

B. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

1. Pengertian Persepsi

  Robbins (1998) mengatakan persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna pada lingkungan. Lebih lanjut, Robbins (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah cara individu atau kelompok dalam memandang sesuatu. Persepsi seseorang terhadap suatu realitas akan mendasari perilaku seseorang. McShane & Glinow (2003) mengatakan persepsi adalah proses memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi dalam rangka memberi makna terhadap lingkungan

  Walgito (2002) mengatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera tersebut. Individu karena memiliki perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi terhadap stimulus atau objek yang sama.

  Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi makna pada lingkungan yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.

  2. Aspek - Aspek Persepsi

Aspek-aspek persepsi menurut Mc Dowwell & Newel (1996) adalah:

a.

  Kognisi : cara berpikir, mengenali, memaknai dan memberi arti suatu rangsang yaitu pandangan individu berdasarkan informasi yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan seharihari.

  b.

  Afeksi : cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap rangsang berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian mempengaruh persepsinya.

  3. Pengertian Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

  Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang menyatak an bahwa “Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan moral agama”. Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam pengertian pembinaan norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan, penerapan, dan pengawasan norma itu sendiri (Santoso, 2004).

  Berdasarkan ketentuan tersebut maka dikeluarkanlah Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai pengganti peraturan perundangan di bidang keselamatan kerja yang telah ada sebelumnya yaitu Veilegheids Reglement Stbl. No. 406 tahun 1910, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Walaupun namanya Undang-Undang tentang keselamatan kerja, namun cakupan materinya termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, jika keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun akan tercapai (Husni, 2001).

  Menurut UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23 Kesehatan Kerja adalah suatu upaya penyesuaian antara kapasitas kerja dan lingkungan kerja,agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat sekelilingnya sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.

  Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian (Argama, 2006).

  Husni (2001) menyatakan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja (perusahaan).

  Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik pengertian bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah program yang penerapannya berguna untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan fisik.

  4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

  Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai pemberian arti stimulus yang berbeda dan mempunyai arti yang menimbulkan kesadaran, arti yang diberikan individu terhadap suatu stimulus berdasarkan cara orang tersebut mempolakannya. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai proses organisasi dan interpretasi informasi yang diterima dari dunia luar.

  Persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah pandangan karyawan terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan supaya karyawan terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya sebagai bentuk komitmen organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Persepsi disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada stimulus persuasif, dan kedua bagaimana pikiran serta proses kognitif yang berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh mana perubahan itu terjadi .

  5. Aspek – Aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja

  Miner (1992) mengemukakan beberapa aspek kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu: a.

  Pelatihan Keselamatan Kerja Salah satu pendekatan yang paling penting untuk pencegahan kecelakaan kerja adalah melalui pelatihan. Program pelatihan untuk karyawan baru dan tidak terbiasa melakukan hal-hal yang termasuk dalam isi program keselamatan yang dipertimbangkan. Teknik yang dapat digunakan untuk pelatihan keselamatan misalnya ceramah, peragaan, film dan simulasi kecelakaan.

  b. Kontes, Insentif dan Publisitas Keselamatan Publisitas keselamatan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum digunakan adalah poster, buklet, nota khusus, dan artikel terbitan perusahaan. Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa untuk mendukung pelatihan K3 dibutuhkan komunikasi yang terus menerus untuk mengembangkan kesadaran keselamatan. Selain itu, juga dapat dilakukan kontes untuk membantu perkembangan keselamatan.

  Misalnya dengan melakukan pertandingan antar departemen yang memiliki potensi kecelakaan yang sama. Mathis dan Jackson (2003) mengatakan selain dengan kontes, untuk dapat memotivasi karyawan agar menunujukkan perilaku kerja yang aman, dapat dengan memberikan insentif bagi karyawan yang menununjukkan perilaku kerja yang aman.

  c. Pengontrolan Lingkungan Kerja

  Perancangan tempat kerja dan peralatan yang digunakan merupakan pendekatan utama untuk mencegah kecelakaan dan yang paling efektif.

  Peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective

  Equipment (PPE) yang wajib disediakan oleh perusahaan kontraktor untuk

  semua karyawan : pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup telinga, sarung tangan, helm, masker, jas hujan, sabuk pengaman, tangga, dan P3K. Selain itu, hal lainyang perlu diperhatikan dalam pekerjaan konstruksi, yaitu lokasi pekerjaan dan merokok saat bekerja. Kebersihan tempat bekerja di kantor maupun di lokasi pekerjaan ikut menentukan hasil kerja bagi pekerja konstruksi. Perilaku merokok di lokasi pekerjaan beresiko mengakibatkan terjadinya kebakaran dan juga merugikan kesehatan.

  d. Inspeksi dan Disiplin Inspeksi dapat dilakukan oleh komite keselamatan atau oleh seseorang koordinator keselamatan, Inspeksi harus dilakukan secara teratur. Mathis dan Jackson (2003) mengatakan tahap-tahap investigasi tempat kecelakaan kerja antara lain, meninjau lokasi kecelakaan, mewawancarai pekerja dan saksi-saksi kejadian, membuat laporan dan membuat rekomendasi mengenai perubahan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindai kecelakaan serupa.

  e. Program Kesehatan Usaha-usaha peningkatan kesehatan dapat dimulai dengan pemberian informasi dan peningkatan kesadaran karyawan mengenai persoalan kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan ini biasanya juga dibarengi dengan program promosi kesehatan dan program kesejahteraan karyawan yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan karyawan sebelum muncul masalah, misalnya pemeriksaan kesehatan berkala. Program kesehatan juga dilakukan dengan pemberian jaminan terhadap pengobatan karyawan khususnya akibat kecelakaan kerja.

  Aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan tempat pengambilan data penelitian ini adalah: a. Identifikasi sumber bahaya & pengendalian resiko

  b. Pemantauan lingkungan kerja dan pengendalian ceceran air dan debu di tempat kerja c. Indentifikasi pemeriksaaan kesehatan karyawan

  d. Inspeksi lingkungan kerja (umum, khusus, dan tidak teratur)

  e. Pelatihan/simulasi tanggap darurat, peledakan, dan bencana

  f. Pemeriksaan peralatan tanggap darurat

  g. penyuluhan/ceramah K3 dan sosialisasi kebijakan K3

  h. Pembuatan/pembersihan rambu-rambu K3 i. Alat perlindungan diri (APD)

6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

  Menurut Suma’mur (1989) tujuan kesehatan dan keselamatan kerja adalah sebagai berikut : a.

  Melindungi karyawan atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

  b.

  Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja c. Pemeliharaan sumber produksi dan mempergunakannya secara aman dan efisien.

C. Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Kesela- matan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

  Siagian (1995) mengatakan bahwa dalam persepsi, apa yang dilihat seseorang belum tentu sama dengan fakta yang ada karena adanya motif atau keinginan yang berbeda pada setiap individu. Motif atau keinginan tersebut yang membuat dua individu dapat memandang suatu hal secara berbeda.

  Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi. Srivastava (2008) mengatakan bahwa karyawan yang menyadari dan merasakan bahwa lingkungan kerjanya cukup aman dan menyenangkan akan mengembangkan sikap positif terhadap berbagai komponen pekerjaan yang kemudian menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi.

  Persepsi karyawan yang dibentuk oleh kondisi lingkungan kerja yang kemudian dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Karyawan yang merasa bahwa lingkungan kerjanya lebih sehat mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi (Lowe, Schellenberg & Shannon, 2003). Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor pendorong munculnya engagement karyawan adalah kepuasan kerja. Dengan kata lain, persepsi positif karyawan terhadap lingkungan kerjanya yang aman dapat mendorong munculnya engagement karyawan dengan kepuasan kerja sebagai faktor penghubungnya.

  Model Job Demand-Job Resource (JDR) menunjukkan bahwa tuntutan pekerjaan yakni kondisi fisik, psikologis, dan sosial lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres bagi karyawan. Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi engagement karyawan adalah rasa aman dalam melakukan pekerjaan. Salah satu tujuan program K3 adalah untuk memberikan jaminan terhadap keselamatan karyawan (S uma’mur, 1989). Dengan adanya jaminan tersebut, karyawan akan lebih merasa aman ketika sedang bekerja sehingga dapat mendorong munculnya engagement karyawan.

  Robinson et al (2004) mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat karyawan engaged adalah dengan menunjukkan bahwa organisasi peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka dengan demikian akan muncul persepsi positif terhadap organisasi. Lebih jauh, Robinson et al (2004) mengatakan bahwa pengalaman saat bekerja seperti cidera dan kecelakaan kerja mempunyai efek signifikan terhadap tingkat engagement karyawan.

  Menurut Husni (2001) tujuan dari program K3 meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial serta mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan sehingga memunculkan persepsi positif terhadap organisasi dan mendorong munculnya karyawan.

  engagement

  Berdasarkan teori perceived organizational support (POS), engagement karyawan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi melalui pemberian dukungan dan kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan (Saks, 2006). Lebih jauh, Saks (2006) mengatakan ketika karyawan meyakini bahwa organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged dan program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

  Montero dan Araque (2009) mengatakan Corporate Social Responsibility (CSR) adalah tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tindakan sukarela untuk mengintegrasikan kepedulian sosial serta lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di organisasi dan salah satu fokus CSR ini adalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

  Survei yang dilakukan oleh Sirota Survey Intelligence menunjukkan bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi mereka terhadap CSR mempunyai tingkat engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif terhadap integritas dan ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka (Robertson, Smith dan Marcwick, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap CSR (Grobs, 2011) menunjukkan bahwa karyawan memberikan penilaian positif terhadap organisasi yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap CSR. CSR yang dilaksanakan oleh organisasi menjadi suatu kebanggaan bagi pekerja dan ini tidak lepas dari pandangan positif masyarakat terhadap organisasi itu sendiri .

  Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong munculnya engagement karyawan adalah image organisasi. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan melalui manajemen K3 yang baik akan membentuk

  

image yang baik bagi organisasi. Dengan kata lain, program K3 dapat

  mempengaruhi persepsi positif karyawan terhadap organisasi dimana karyawan menunjukkan kebanggaannya terhadap organisasinya. Semakin baik program K3 maka semakin baik image organisasi di mata masyarakat dan semakin tinggi pula tingkat engagement karyawannya.

D. Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara.

  Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu : ada hubungan positif antara persepsi terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan employee

  engagement , yaitu bila karyawan memiliki persepsi positif terhadap program

  kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maka tingkat engagement juga akan tinggi, demikian sebaliknya, bila karyawan memiliki persepsi negatif terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maka tingkat engagement akan rendah.