LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI PERIKANAN. doc

LAPORAN PRAKTIKUM
BIOTEKNOLOGI PERIKANAN

Oleh
Kelompok 1
Samaidi
Fandhy Okka P.
Dina Septalia L.
Soefina Napitupulu
Dena Voninda
Christon Maruli

B0A012001
B0A012002
B0A012003
B0A012004
B0A012006
B0A012035

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN
DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2014

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Poliploidisasi

adalah

suatu

metode

manipulasi


kromosom

untuk

menghasilkan ikan dengan jumlah kromosom yang lebih banyak dari jumlah
kromosom normal atau diploid (2n), yaitu triploid (3n), tetraploid (4n), pentaploid
(5n) dan seterusnya (Purdom, 1983 dalam Kadi, 2007dalam Fitria,et al , 2013).
Poliploidisasi secara alami umumnya banyak terjadi pada tumbuhan, sedangkan
pada hewan poliploidi sangat jarang terjadi kecuali pada ikan dan katak (Kadi,
2007 dalam Fitria,et al , 2013).
Rottman et al. (1991) dalam Fitria,et al ,(2013) menyatakan bahwa
poliploidisasi secara alami terjadi akibat pencemaran perairan, radisasi sinar
ultraviolet ataupun akibat pengaruh hormon berlebihan, sehingga menyebabkan
kasus nondisjungsi pada kromosom. Nondisjungsi adalah kondisi dimana
pasangan kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana
mestinya pada waktu fase pembelahan meiosis I atau dimana sister chromatid
gagal berpisah selama fase meiosis II (Campbell et al., 2000 dalam Fitria,et al ,
2013).
Thorgaard (1983) dalam Fitria,et al , (2013), menyatakan poliploidisasi

secara buatan dapat dilakukan dengan memberi perlakuan kejut temperatur,
pemberian bahan kimiamaupun pemberian tekanan hidrostatik sesaat setelah
fertilisasi telur guna mencegah peloncatan polar body II saat meiosis II
(triploidisasi) ataupun pembelahan sel pertama (mitosis I) pada telur terfertilisasi
(tetraploidisasi). Keunggulan poliploidisasi adalah dapat digunakan sebagai salah
satu cara untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas genetik ikan guna
menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai kemampuan pertumbuhan cepat,
toleransi tinggi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit (Purdom,
1983 dalam Mukti et al., 2001 dalam Fitria,et al , 2013).
Sel-sel somatik pada suatu ikan biasanya bersifat diploid (2n) dimana
masing-masing memiliki genom dan jumlah kromosom yang tertentu. Dengan
demikian sel-sel somatik tiap spesies ikan itu sudah memiliki jumlah kromosom
tertentu (Allard, 1966). Ada makhluk yang mempunyai kromosom banyak sekali
ada juga yang memiliki sedikit. Makin dekat hubungan kekebaratan (kedudukan

sistematik) makhluk, makin dekat persamaan jumlah kromosomnya. Namun tidak
ada hubungan linear antara hubungan sistematik dengan banyaknya kromosom.
Meski jumlah kromosom mungkin sama pada dua organisme yang berbeda
spesies, tapi tentunya tidak mungkin sama bentuk kromosomnya (Yatim, 1972).
Perubahan jumlah kromosom menyediakan sumber tambahan keragaman

genetik. Perubahan jumlah ini terjadi dengan penambahan atau pengurangan
kromosom-kromosomnya, baik utuh atau satu set kromosom lengkap (genom).
Perbedaan-perbedaan ini bisa dilihat dalam ragam fenotipnya (Crowder, 1993).
Poliploidisasi secara alami dapat disebabkan oleh faktor lingkungan seperti
suhu, tekanan, ketinggian tempat dan sebagainya. Menurut Ayala, dkk (1984
dalam Corebima 2000) menyatakan bahwa poliploidisasi secara alami di alam
ditemukan pada tumbuhan dan jarang ditemukan pada hewan. Hewan bertulang
belakang (vertebrata) bereaksi negatif terhadap poliploidi. Poliploidi pada
mamalia biasanya yang terjadi adalah berakhir dengan kematian pralahir.
Organisme poliploid terbentuk melalui proses yang disebut induksi poliploidisasi.
Pada umummnya hampir semua spesies pada setiap individunya mempunyai dua
perangkat kromosom (diploid) dan sebagian ada yang mengalami perubahan
jumlah perangkat kromosomnya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
1.
2.
3.
4.
5.


Melakukan poliploidisasi pada Ikan Nilem
Melakukan pengamatan keberhasilan fertilisasi Ikan Nilem
Melakukan pengamatan perkembangan embrionya telur Ikan Nilem
Melakukan pengamatan pertumbuhan Ikan Nilem
Membuat preparat apus darah dan mengukur ertitrosit pada Ikan Nilem

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Polipliodisasi adalah Proses pergantian kromosom dimana individu yang
dihasilkan mempunyai lebih dari dua set kromosom. Poliploidisasi adalah usaha,

proses atau kejadian yang menyebabkan individu berkromosom lebih dari satu set
(Rieger et al., 1976). Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi
kromosom untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna
menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan, antara lain:
pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit.
Poliploidi adalah organisme yang mengalami perubahan jumlah perangkat

kromosom menjadi lebih dari dua perangkat kromosom, sedangkan organisme
yang mengalami perubahan perangkat kromosom menjadi satu perangkat
kromosom saja disebut dengan monoploid atau haploid (Firdaus, 2002). Menurut
Ayala dkk., (1984) dalam Firdaus (2002) organisme poliploidi adalah suatu
organisme yang memiliki tiga atau lebih perangkat kromosom.
Polyploidi adalah organisme yang mempunyai lebih dari dua set kromosom
atau genom dalam sel stomatisnya. Untuk organisme yang mempunyai jumlah
kromosom dari kelipatan jumlah kromosom dasar (n) disebut haploid. Bila jumlah
kromosom individu bukan merupakan kelipatan n disebut aneuploid, misalnya
2n+1 atau 2n-1. Jumlah yang lebih kecil daripada kelipatan n disebut hyperploid,
sedang yang lebih besar disebut hypoploid ( Poespodarsono, 1998 ).
Poliploidi adalah kondisi pada suatu organisme yang memiliki set
kromosom (genom) lebih dari sepasang. Organisme yang memiliki keadaan
demikian disebut sebagai organisme poliploid. Usaha-usaha yang dilakukan orang
untuk menghasilkan organisme poliploid disebut sebagai poliploidisasi.
Organisme hidup pada umumnya memiliki sepasang set kromosom pada sebagian
besar tahap hidupnya. Organisme ini disebut diploid (disingkat 2n). Tipe poliploid
dinamakan tergantung banyaknya set kromosom. Jadi, triploid (3n), tetraploid
(4n), pentaploid (5n), heksaploid (6n), oktoploid, dan seterusnya. Dalam
kenyataan, organisme dengan satu set kromosom (haploid, n) juga ditemukan

hidup normal di alam. Autopoliploid terjadi apabila suatu spesies, karena salah
satu sebab di atas, menggandakan set kromosomnya dan kemudian saling kawin
dengan autopoliploid lain. Pola pembelahan sel autopoliploid rumit karena
melibatkan perpasangan empat, enam, atau delapan set kromosom. Triploid
karena autopoliploid dapat bersifat fertil.

Allopoliploid terjadi karena persilangan antarspesies dengan genom yang
berbeda tanpa diikuti reduksi jumlah sel dalam meiosis. Amfidiploid adalah
allotetraploid yang perilaku pembelahan selnya serupa dengan diploid.
Allopoliploidi segmental terjadi apabila sebagian kromosom berasal dari genom
yang berbeda (tidak semuanya berasal dari set kromosom yang lengkap). Suatu
spesies dapat bersifat diploid, meskipun dalam sejarah perkembangan evolusinya
berasal dari poliploid. Spesies demikian dikenal sebagai paleopoliploid.
Manipulasi

poliploidi

dilakukan

untuk


mendapatkan

jenis

yang

mempunyai lebihdari 2 set kromosom (2n), berdasarkan pertimbangan pemuliaan
terhadap floradan fauna untuk memperbaiki mutu yang lebih baik dari jenis atau
organismesebelumnya. Individu normal di alam pada umumnya memiliki 2 set
kromosomyang biasa disebut diploid (2n). Individu diploid yang menghasilkan
mutan gamethaploid (n), biasanya berumur pendek. Apabila telur dari organisme
diploiddirangsang untuk menjalani embriogenesis tanpa fertilisasi oleh sperma,
lebihdahulu

akan

menghasilkan

individu


haploid

yang

menyimpang

(Adisoemarto, 1988).
Manipulasi poliploidi menghasilkan individu triploid,tetraploid dan ploid
yanglebih tinggi. Poliploid ini dapat tumbuh lebih pesatdibandingkan individu
diploid dan haploid. Individu triploid memiliki sifat sterildan individu tetraploid
bersifat fertil (Sistina, 2000).
Poliploidi terbentuk dalam dua kelompok, yaitu : Kelompok pertama
autopoliploidi yaitu penggandaan ploidi melalui penggabungan genom-genom
yang sama. Ploid yang dihasilkan dari proses ini adalah aneuploid (kromosom
abnormal) yakni dalam bentuk triploid, tetraploid dan pentaploid. Kelompok
kedua alopoliploidi adalah penggandaan kromosom yang terjadi melalui penggabungan genom-genom yang berbeda. Manipulasi ini banyak dilakukan pada
tanaman, dari dua jenis tanaman berbeda digabungkan, keduanya menghasilkan
organisme alopoliploid dengan jumlah kromosom 2 x + 2 y (Jusup, 1988).
Perkembangan embrio merupakan suatu kelanjutan hasil fertilisasi dari

hasil sel telur dan sel sperma yang kemudian setelah dibuahi akan mengalami
proses pembentukan pola-pola pembelahan telur yang disebut cleavage. Sel telur
membelah secara berturut-turut hingga mencapai fase diferensiasi menjadi bentuk

dewasa pada tahap organogenesis. Pertumbuhan menjadi sistem organ yang
kompleks dan saling tergantung merupakan suatu hal yang terinci dalam sistem
biologis yang semuanya akan termodifikasi secara sempurna (Harvey, 1979).
Perkembangan embrio pada Ikan Nilem (Osteochillus hassselti) betina
dimulai setelah telur dibuahi oleh inti spermatozoon yang semua haploid, menjadi
inti zigot yang diploid. Zigot inilah yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan pembelahan segmentasi melalui proses mitosis yang cepat. Zigot yang
tersegmen-segmen menjadi bagian yang kecil (cleavage), bermula dari satu sel
kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut
fase morula (Djuhanda,1981).
Apusan darah merupakan salah satu cara mengamati materi-materi yang
ada dalam darah baik materi padat materi cairnya. Materi padat terdiri dari sel
darah merah sel darah putih, keeping-keping darah. Setelah diamati menggunakan
mikroskop tampak butiran-butiran dari eritrosit seperti gambar

pada hasil


pengamatan.
Pemeriksaan mikroskopik terhadap apusan darah yang diwarnai oleh
giemsa merupakan metode pilihan untuk mengidentifikasi pasien dengan infeksi
parasite darah, termasuk malaria, babesiosis, tripanosomiasis, dan filariasis. Pada
keadaan- keadaan tertentu, pemeriksaan apusan yang diwarnai oleh giemsa dapat
substitunsi. Harus disiapkan apusan tipis maupun tebal dari darah segar atau telah
mendapatkan antikoagulan EDTA. Sebelum diwarnai, apusan tebal tidak difiksasi
dan apusaan tipis difiksasi dengan metanol. Apusan tebal harus diwarnai dengan
reagen giemsa, karena reagen pewarnaan wright mengandung suatu fiksatif
alkohol yang mencegah lisis eritrosit (Sacher, 2002).

III.
3.1 Materi

MATERI DAN METODE

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah objek glass, gunting, tisu,
spuit, mikroskop, slide mikroskop berlekuk (cavity slide), saringan , mangkok
inkubasi, stopwatch, piring kecil, water bath dan pipet.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah Ikan Nilem
(Osteochillus hassselti) matang gonad, ovaprim, larutan NaCl fisiologis, cairan
metanol, pewarna gymza, alkohol 70 %.
3.2 Metode
A. Metode Kejut Panas
1. Induk Ikan Nilem yang matang gonad di induksi dengan menggunakan
ovaprim 0,5 ml/ kg berat badan.
2. Ikan distripping untuk mendapatkan oosit dan milt.
3. Oosit dan spermatozoa di fertilisasi, bila ada kelebian milt dibilas
dengan penyaringan.
4. Untuk kelompok kejut panas pada menit ke 1 , ke-3 atau ke-5 oosit
diberi kejut panas40oC selama 90 detik dalam water bath dan
diinkubasi, Pada kontrol setelah disaring oosit dimasukan kedalam
mangkok inkubasi.
5. Pada menit ke-20 ambil sebagian oosit (10 butir) untuk mengamati
keberhasilan fertilisasi.
Hitung FR = Σ Oosit terfertilisasi x 100%
Σ Seluruh oosit
6. Pada menit ke-40 dan menit ke-60 diambil sebagian oosit untuk
diamati perkembangan embrionya.
7. Keesokan pagi harinya diamati perkembangan embrionya ,dan pada
sore hari di amati dan dihitung Σ embrio yang hidup.
Hitung HR = Σ Embrio menetas x 100%
Σ oosit terfertilisasi
8. Morfologi ikan diamati dan dihitung proporsi larva yang abnormal.
B. Metode Apus Darah
1. Ikan dipotong pada bagian pangkal ekor dengan gunting.
2. Gelas objek yang akan digunakan dibersihkan dengan alkohol 70%
(untuk membuang lemak yang menempel) selanjutnya dikeringkan
dalam suhu kamar.
3. Darah diteteskan pada ujung gelas objek 1, kemudian diambil gelas
objek ke II, disentuhkan di ujung tetesan darah membentuk sudut 45,
lalu dihapuskan ke arah depan.

4. Preparat darah didiamkan sampai kering pada suhu kamar, difiksasi
dengan metanol absolut 5 menit dengan cara memasukan gelas objek
ke dalam beker gelas yang telah diisi dengan metanol absolut sampai
semua apusan darah terendam dalam metanol.
5. Preparat dikeringkan dalam suhu kamar. Setelah kering preparat
diwarnai dengan larutan gimza selama 5 menit.
6. Preparat dicuci dengan air mengalir dan diibilas dengan air secara
pelan – pelan dan dikeringkan dalam suhu kamar.
7. Amati dibawah mikroskop dan ukur diameternya dengan perbesaran
400 x.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Volume milt = 0,5 ml dan 0,38 ml
Pengenceran I = 0,1 ml milt + 0,9 ml NaCl Fisiologis = 10 ml
Pengenceran II = 0,1 ml milt hasil pengenceran I + 0,9 ml NaCl Fisiologis
= 10 ml
Tabel 4.1 Perkembangan Embrio pada perlakuan menit ke-1
Hasil pengamatan menggunakan mikroskop

Waktu
Menit ke-20

Menit ke-40

Menit ke-60

-

ukuran 400 x
Pembelahan 2 sel ada 4 butir
Pembelahan 4 sel ada 2 butir
Yang belum membelah 4 butir
Pembelahan 2 sel ada 2 butir
Pembelahan 4 sel ada 5 butir
Pembelahan 8 sel ada 1 butir
Pembelahan 16 sel ada 2 butir
Pembelahan tidak sempurna ada 1 butir
Pembelahan 16 sel ada 1 butir
Pembelahan 32 sel da 6 butir
Pembelahan 64 sel ada 2 butir

Tabel 4.2 Perkembangan Embrio pada control perlakuan I
Waktu

Menit ke-20

Menit ke-40

Menit ke-60

Hasil pengamatan menggunakan mikroskop
ukuran400 x
- Pembelahan 2 sel ada 3 butir
- Pembelahan 4 sel ada 6 butir
- Pembelahan 1 sel ada 1 butir
- Rusak 1 butir
- Pembelahan 32 sel ada 1 butir
- Pembelahan tidak sempurna ada 2 butir
- Pembelahan 8 sel ada 1 butir
- Pembelahan 16 sel ada 6 butir
- Pembelahan tidak sempurna ada 1 butir
- Pembelahan 16 sel ada 1 butir
- Pembelahan 32 sel da 6 butir
- Pembelahn 64 sel ada 2 butir

Tabel 4.3 Perkembangan Embrio pada control perlakuan II
Waktu

Menit ke-20

Hasil pengamatan menggunakan mikroskop
ukuran400 x
- Pembelahan 2 sel ada 2butir
- Pembelahan 1 sel ada 3 butir
- Belum berkembang 5 butir
- Pembelahan 2 sel ada 1 butir
- Pembelahan tidak sempurna/ tidak normal

Menit ke-40

Menit ke-60

-

ada 1 butir
Pembelahan 8 sel ada 3 butir
Pembelahan 16 sel ada 5 butir
Pembelahn 2 sel ada 1 butir
Pembelahan 1 sel ada 2 butir
Pembelahan 32 sel da 7 butir

Tabel 4.4 Hasil pengamatan larva ikan nilem perlakuan 1 menit
No
1

Hari
Hari ke-1

2

Hari ke-2

3

Hari ke-3

4
5

Hari ke- 4
Hari ke- 5

Hasil Pengamatan
Telur belum menetas
4 ekor yang sudah menetas yang
lain belum menetas
30 ekor yang sudah menetas yang
lain tidak menetas
15 ekor yang hidup yang lain mati
11 ekor yang hidup yang lain mati

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Hari ke- 6
Hari ke- 7
Hari ke- 8
Hari ke- 9
Hari ke- 10
Hari ke- 11
Hari ke- 12
Hari ke- 13
Hari ke- 14
Hari ke- 15
Hari ke- 16
Hari ke- 17
Hari ke- 18
Hari ke- 19
Hari ke- 20
Hari ke- 21
Hari ke- 22

8 ekor yang hidup yang lain mati
8 ekor yang hidup yang lain mati
8 ekor yang hidup yang lain mati
8 ekor yang hidup yang lain mati
8 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati
7 ekor yang hidup yang lain mati

Tabel 4.5 Hasil kelompok 1 dengan kejut panas selama 1 menit
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
rata - rata
∑ rata-rata

panjang
5
7
5
8
7
7
8
5
9
7
6,8
6,65

ikan 1
lebar
2
3
2
3
3
3
3
3
4
3
2,9

rasio (l/p) panjang
0,4
7
0,428571
6
0,4
6
0,375
7
0,428571
6
0,428571
6
0,375
6
0,6
7
0,444444
7
0,428571
7
0,430873
6,5

ikan 2
Lebar
3
2
3
2
3
3
3
3
3
3
2,8
2,85

rasio (l/p)
0,428571
0,333333
0,5
0,285714
0,5
0,5
0,5
0,428571
0,428571
0,428571
0,433333
0,4321

Tabel 4.6 Hasil pengamatan eritrosit dengan kejut panas semua
kelompok
Rasio Ǿ

No

Perlakuan

Ulangan

ǾL

ǾP

1
2
3
4
5
6

Kejut menit ke 1
Kejut menit ke 3
Kejut menit ke 3
Kejut menit ke 3
Kejut menit ke 5
Kejut menit ke 5

1
1
2
3
1
2

2,85
5,95

6,65
3,3

L/P
0,432103
0,478095

2,9
2,65

5,75
5,3

0,50786
0,733569

SD

Rata- rata

4.2 Pembahasan
Poliploidisasi

adalah

suatu

metode

manipulasi

kromosom

untuk

menghasilkan ikan dengan jumlah kromosom yang lebih banyak dari jumlah
kromosom normal atau diploid (2n), yaitu triploid (3n), tetraploid (4n), pentaploid
(5n) dan seterusnya (Purdom, 1983 dalam Kadi, 2007 dalam Fitria,et al , 2013).
Poliploidisasi secara alami umumnya banyak terjadi pada tumbuhan, sedangkan
pada hewan poliploidi sangat jarang terjadi kecuali pada ikan dan katak (Kadi,
2007 dalam Fitria,et al , 2013).
Rottman et al. (1991) dalam Fitria,et al ,(2013) menyatakan bahwa
poliploidisasi secara alami terjadi akibat pencemaran perairan, radisasi sinar
ultraviolet ataupun akibat pengaruh hormon berlebihan, sehingga menyebabkan
kasus nondisjungsi pada kromosom. Nondisjungsi adalah kondisi dimana
pasangan kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana
mestinya pada waktu fase pembelahan meiosis I atau dimana sister chromatid
gagal berpisah selama fase meiosis II (Campbell et al., 2000dalamFitria,et al ,
2013).
Thorgaard (1983) dalam Fitria,et al , (2013), menyatakan poliploidisasi
secara buatan dapat dilakukan dengan memberi perlakuan kejut temperatur,
pemberian bahan kimiamaupun pemberian tekanan hidrostatik sesaat setelah

fertilisasi telur guna mencegah peloncatan polar body II saat meiosis II
(triploidisasi) ataupun pembelahan sel pertama (mitosis I) pada telur terfertilisasi
(tetraploidisasi).
Keunggulan poliploidisasi adalah dapat digunakan sebagai salah satu cara
untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas genetik ikan guna menghasilkan
benih-benih ikan yang mempunyai kemampuan pertumbuhan cepat, toleransi
tinggi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit (Purdom, 1983 dalam
Mukti et al., 2001 dalam Fitria,et al , 2013).
Perkembangan embrio merupakan suatu kelanjutan hasil fertilisasi dari
hasil sel telur dan sel sperma yang kemudian setelah dibuahi akan mengalami
proses pembentukan pola-pola pembelahan telur yang disebut cleavage. Sel telur
membelah secara berturut-turut hingga mencapai fase diferensiasi menjadi bentuk
dewasa pada tahap organogenesis. Pertumbuhan menjadi sistem organ yang
kompleks dan saling tergantung merupakan suatu hal yang terinci dalam sistem
biologis yang semuanya akan termodifikasi secara sempurna (Harvey, 1979).
Perkembangan embrio pada Ikan Nilem (Osteochillus hassselti) betina
dimulai setelah telur dibuahi oleh inti spermatozoon yang semua haploid, menjadi
inti zigot yang diploid. Zigot inilah yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan pembelahan segmentasi melalui proses mitosis yang cepat. Zigot yang
tersegmen-segmen menjadi bagian yang kecil (cleavage), bermula dari satu sel
kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut
fase morula (Djuhanda,1981).
Berdasarkan hasil praktikum diatas menunjukan bahwa pada sel telur
perubahan selnya sangat cepat dalam waktu 60 menit. jAda juga telur yang tidak
terbuahi hal ini disebabkan pencampuran antara sel telur dan milt yang tidak
merata. Untuk hasil penetasan telur sendiri banyak yang menetas namun yang
bertahan hingga larva hanya sedikit hal ini disebabkan oleh faktor kualitas air
serta karena daya tahan tubuh larva ikan sangat lemah hingga mengalami
kematian karena perlakuan kejut panas dengan perlakuan waktu 1 menit, berneda
dengan perlakuan yang lain semakin lama perlakuan semakin banyak tingkat
kelangsungan hidup ikan sedangkan semakin kecil waktunya perlakuan yang
dilakukan semakin sedikit ikan yang hidup.

Pembuatan sediaan apus darah biasanya digunakan dua buah kaca sediaan
yang sangat bersih terutama harus bebas lemak. Satu buah kaca sediaan bertindak
sebagai tempat tetes darah yang hendak diperiksa dan ynag lain bertindak sebagai
alat untuk meratakan tetes darah agar didapatkan lapisan tipis darah (kaca perata).
Darah dapat diperoleh dari tusukan jarum pada ujung jari. Sebaiknya tetesan darah
pertama dibersihkan agar diperoleh hasil yang memuaskan. Tetesan yang kedua
diletakan pada daerah ujung kaca sediaan yang bersih. Salah satu ujung sisi
pendek kaca perata diletakan miring dengan sudut kira- kira 45o tepat didepan
tetes darah menyebar sepanjang sisi pendek kaca perata, maka dengan
mempertahankan sudutnya, kaca perata digerakan secara cepat sehingga
terbentuklah selapis tipis darah diatas kaca sediaan. Setelah sediaan darah
dikeringkan pada suhu kamar barulah dilakukan pewarnaan sesudah difiksasi
menurut metode yang dipilih, yaitu metode Giemsa dan Wright yang merupakan
modifikasi metode Romanosky (Maskoeri, 2008). Pembuatan sediaan apus darah
ini digunakan untuk mengukur eritrosit ikan yang telah dilakukan kejut panas.
Zat warna yang digunakan dalam metode Romanovsky adalah Giemsa
yang sebelumnya telah diencerkan dengan aquades. Sediaan apus yang telah
dikeringkan diudara, difixir dulu dengan methyl alkohol selama 3-5 menit.
Semakin lama pewarnaan yang dilakukan maka intensitasnya menjadi semakin
tua. Preparat apus yang yang telah selesai dibuat kemudian diamati dibawah
mikroskop dengan perbesaran 100x. Gambar yang didapat dalam hasil
menunjukan sel-sel butir darah baik eritrosit, leukosit, trombosit, atau yang lain
(Maskoeri, 2008).
Fungsi dari larutan-larutan pada pembuatan preparat apus darah ikan dan
manusia adalah metanol untuk proses fiksasi yaitu untuk membunuh sel-sel pada
sediaan tersebut tanpa mengubah posisi (struktur) organel yang ada di dalamnya
yang dilakukan selama 2 menit, pewarna Giemsa 10% sebagai pewarna yang
umum digunakan agar sediaan terlihat lebih jelas. Pewarnaan ini sering disebut
juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini banyak dipakai untuk
mempelajari morfologi darah, sel-sel sumsum dan juga untuk identifikasi parasitparasit darah misalnya dari jenis protozoa. Zat ini tersedia dalam bentuk serbuk
atau larutan yang disimpan di dalam botol yang gelap. Di dalam laboratorium-

laboratorium banyak dipakai larutan Giemsa 3% yang dibuat dari larutan baku
Giemsa yang berupa cairan (larutan) (Sundoro, 1983).
Eritrosit yang diamati berbentuk butiran-butiran kecil berwarna sedikit
transparan dengan

jumlah yang banyak dan pada bagian tengahnya seperti

terdapat lekukan. Selain itu, terdapat pula sel darah puti yang memiliki inti sel
berwarna keunguan dengan bentuk yang beragam dan ukurannya lebih besar dari
sel darah merah, namun jumlahnya sedikit.
Eritrosit normal berbentuk bulat atau agak oval dengan diameter 7 – 8
mikron (normosit). Dilihat dari samping, eritrositnampak seperti cakram atau
bikonkaf dengan sentral akromia kira-kira ⅓ - ½ diameter sel. Dalam
mengevaluasi morfologi sel darah merah pada sediaan apus, ada 4 hal yang harus
diperlihatkan bentuknya (shape), 2. ukurannya (size), warnanya (staining), dan
struktur intraselluler (structure). (Patologi klinik, 2006 dalam Warni, 2009).
Berdasarkan hasil praktikum untuk mengukur ertrosit ikan dengan apus
darah digunakan 2 ekor ikan yang dianggap sebagai ulangan. Masing-masing ikan
diambil darahnya dan dilakukan metode apus darah , hingga data yang didapat
bahwa

panjang setiap butir ertrosit tidak jauh berbeda dengan ertrosit lain

berkisar 5-8 dengan rata-rata panjang 6,65 begitu pula dengan lebar eritrositnya
berkisar anatara 2-4 dengan rata-rata lebar 2,85 untuk perlakuan yang 1 menit
dengan Rasio Ǿ L/P 0,432103. Untuk bentuk ertrosit sendiri ada yang bulat dan
oval. Perlakuan pada kejut menit ke 3 perlakuan 1 Ǿ L = 5,95 , Ǿ P = 3,3, Rasio Ǿ
L/P = 0,478095. Perlakuan 3 Ǿ L = 2,9, Ǿ P = 5,75, Rasio Ǿ L/P = 0,50786.
Perlakuan pada kejut menit ke 5 perlakuan 1 Ǿ L = 2,65, Ǿ P = 5,3, Rasio Ǿ L/P =
0,733569. Hal ini menunjukan bahwa semakin lama perlakuan yang diberikan
maka rasio Ǿ L/P semakin besar.

V.

KESIMPULAN

Kesimpulan dari praktikum ini adalah :
1. Pengamatan

perkembangan

embrio

telur

Ikan

Nilem,

fase-fase

perkembangan embrio bermula dari satu sel kemudian membelah menjadi
2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut fase morula,
selanjutnya blastula, gastrula, dan embryogenesis.
2. Pengamatan keberhasilan fertilisasi Ikan Nilem sangat sedikit pada kejut
menit ke-1.
3. Pengamatan pertumbuhan Ikan Nilem sangat lambat dan banyak larva
yang mati di akibat kan ikan tidak mampu bertahan pada kondisi tersebut.
4. Preparat apus darah dan mengukur ertitrosit pada Ikan Nilem memiliki
ukuran eritosit yang bervariasi baik dari panjang dan lebarnya.
5. Hasil apus darah bahwa rata-rata ukuran sel darah merah sseluruh
kelompok adalah

DAFTAR REFERENSI
Adisoemarto, S. 1988. Genetika. Jilid 1. Penerbit Erlangga, Jakarta: 186 hal.
Arsianingtyas. H. 2009. Pengaruh Suhu Panas dan Lama Waktu Setelah
Pembuahan Terhadap Daya Tetas dan Abnormlitas Larva Ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas
Airlangga. Surabaya
Djuhanda, T. 1981. Embriologi Perbandingan. Armico, Bandung.
Fitria, S , Yulia Sistina, Isdy Sulistyo .2013.
Poliploidisasi Ikan
Nilem(Osteochilus Hasselti Valenciennes, 1842) Dengan Kejut Dingin40C
polyploidization On Shark Minnow.Seminar Nasional XPendidikan Biologi
FKIP UNS.
Gratiana, E.W., P. Susatyo dan Sugiharto.1998. Perkembangan Awal Ikan Nilem
Sampai Larva. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto.
Harvey, B. J. 1979. The Theory and Passino. Ichtiology. John Willy and Sons.
New York
Jasin, Maskoeri. 2008. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Rajawali Pers.
Jusup, M. 1988. Genetika I; Struktur dan ekspresi gen. Institut Pertanian Bogor:
205 hal.
Kadi, A. 2007. Manipulasi Poliploidi Untuk Memperoleh Jenis Baru Yang
Unggul.Oseana, Volume XXXII, Nomor 4, Tahun 2007 : 1 – 11 hal
Mukti. A. T. dkk. 2001. Poliploidisasi Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). BIOSAIN,
Vol. 1 No. 1. Universitas Brawijaya. Malang.
Sacher, R.A., dan Mcpherson R.A., 2002. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Sistina, Y. 2000. Biologi reproduksi, Fak. Biologi Unsoed, Pasca - Sarjana,
Purwokerto : 66 hal.
Sundoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologis dan Histokimia). Penerbit
Bhrataro Karya Aksara. Jakarta.

LAMPIRAN

Gambar 1 metode apus darah

Gambar 3 Penetasan pada kontrol 1

Gambar 2 eritrosit larva ikan nilem

Gambar 4 Penetasan pada kontrol 2