MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN islam makalah

MAKALAH
SEJARAH PEMIKIRAN DAN PENDIDIKAN ISLAM
( Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dalam Sejarah )
Dosen Pengampuh:
Dr. Muhammad Idris Tunru, S.Ag.M.Ag

Disusun Oleh :
Titi. Rukmana. Parimalang
15.2.3.043

Jurusan :
Pendidikan Agama Islam (PAI 2)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO
1439 H/2017 M

1

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadiran-Nya, yang telah
melimpahkan

rahmat,

hidayah-Nya

kepada

saya,

sehingga

saya

dapat

menyelesaikan makalah ini. Yang berjudul tentang SEJARAH PEMIKIRAN DAN
PENDIDIKAN ISLAM ( PEMIKIRAN PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA
DALAM SEJARAH ).

Makalah ilmiah ini telah saya susun dan harapan saya semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Karena
keterbatasan pengetahuan, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah
ini. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manado, 14 Muharram 1439 H

Titi Rukmana Parimalang

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
Bab I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................2


Bab II PEMBAHASAN...................................................................................3
A. Biografi Ki Hajar Dewantara............................................................3
B. Pendidikan........................................................................................5
C. Pemikiran tentang Pendidikan..........................................................8
D. Tiga Fatwa Pendidikan....................................................................10
E. Asas-asas Pendidikan......................................................................12
F. Semboyan Dan Metode...................................................................17
G. Karya-Karya....................................................................................19

Bab III ANALISIS..........................................................................................20

Bab IV PENUTUP...........................................................................................23
1.

Kesimpulan.....................................................................................23

2.

Saran...............................................................................................24


DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................25

3

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Sejak zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, para pejuang serta perintis

kemerdekaan telah menyadari bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat
vital dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta membebaskannya
dari belenggu penjajahan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa disamping
melalui organisasi politik, perjuangan ke arah kemerdekaan perlu dilakukan
melalui jalur pendidikan.
Mengingat bahwa sistem pendidikan pemerintah kolonial pada masa itu
tidak demokratis karena bersifat elit, diskriminatif dan diorientasikan pada
kepentingan pemerintah penjajahan, maka sistem pendidikan rakyat yang sudah

ada perlu dibina dan dikembangkan untuk menjangkau kepentingan rakyat secara
lebih luas. Disamping mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan rakyat
tradisional yang pada umumnya berorientasi keagamaan, maka pada masa itu
muncul seorang tokoh muda Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau yang
dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ia bersama rekan-rekannya
mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan
meraih kemerdekaan.
Di Indonesia, pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan telah
menjadi citra tersendiri bagi sejarah pendidikan Indonesia. Ia adalah embrio
model pendidikan klasik Indonesia yang dulu dipandang cocok dan ideal untuk
mengembangkan dan mengaktualkan potensi-potensi generasi muda Indonesia
(kognitif, afektif, psikomotorik, konatif) dan aspek-aspek personal lainnya seperti
dimensi sosialitas dan spiritualitasnya. Refleksi dan evaluasi atas perkembangan
pendidikan Indonesia,dengan segudang persoalannya dewasa ini,mestinya
berangkat dari sana. Upaya demikian memang tidak mudah, sebab munculnya
persoalan-persoalan pendidikan dewasa ini tidak terlepas dari kerangka upaya

4

menanggapi tantangan zaman seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara

tempo dulu. Tuntutan dunia pendidikan di Indonesia zaman sekarang juga lebih
bervariasi daripada masa di mana Ki Hadjar Dewantara menggagas konsep
pendidikannya yang boleh jadi memang sangat dibutuhkan pada zamannya kala
itu.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas pemakalah merumuskan masalah yaitu:
1.

Bagaimana konsep Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara ?

2.

Apa saja karya-karya yang dihasilkan oleh Ki Hajar Dewantara ?

5

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Biografi Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara lahir pada hari Kamis Legi tanggal 2 Puasa 1818 atau

2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia adalah seorang pelopor Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda. Ibunya bernama R.A. Sandiah dan Ayahnya bernama
Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat,1 putra Kanjeng Gusti Pangeran Hadipati
Hardjo Surjosasraningrat yang bergelar Sri Paku Alam III.2 Sri Paku Alam III
sendiri menikahi Permaisurinya yang berasal dari kerabat Keraton Yogyakarta.
Dengan demikian, Raden Mas Soewardi Surjaningrat (yang kelak berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara) tergolong berasal dari lingkungan kerabat kraton
Yogyakarta juga. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, ia
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Sejak itu, ia tidak menggunakan
gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. 3
Ki Hadjar Dewantara menikah dengan R.A. Sutartinah, putri G.P.H.
Sasraningrat, adik G.P.H. Surjaningrat (ayah Ki Hadjar). Dengan demikian, Ki

Hadjar dan Nyi Hadjar adalah saudara sepupu.4 Baik Ki Hadjar maupun Nyi
Hadjar, keduanya dianugerahi saudara yang banyak jumlahnya.

1

S. Rahardjo, Ki Hadjar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959, ( Yogyakarta: Garasi

2009 )
2

Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1985 ), h. 2.
3

B.S. Dewantara, Ki Hajar Dewantara Ayahku, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1989 )

4

Ki Hadjar dan Nyi Hadjar dianugerahi enam orang putra-putri. Dua di antaranya lahir di
tanah pengasingan, negeri Belanda. Nama yang diberikan kepada kedua anaknya adalah Asti

Wandansari dan Subroto Ario Mataram (nama yang terakhir ini adalah pemberian Douwes
Dekker). Empat orang lainnya, diantaranya terdapat seorang putri, adalah kelahiran Indonesia.
Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1985 ), h. 49., 116

6

Kanjeng Gusti Hadipati Harjo Surjosasraningrat atau Sri Paku Alam III
mempunyai tujuh orang putra, yakni:
1. K.P.H. Purwoseputro
2. B.R.M.H. Surjohudojo
3. K.P.H. Surjaningrat (ayah Ki Hadjar Dewantara)
4. B.R.M.H. Surjokusumo
5. B.R.Ayu Nototaruno
6. G.P.H. Sasraningrat(ayah Nyi Hadjar Dewantara)
7. G.B.R. Ayu Hadipati Paku Alam VI
Kanjeng Pangeran Harjo Surjaningrat mempunyai sembilan orang anak, yakni:
1. R.M. Surjopranoto
2. R.M. Surjosisworo
3. R. Ayu Suwartijah Bintang

4. R. Ayu Suwardinah Surjopratiknjo
5. R.M. Suwardi (Ki Hadjar Dewantara)
6. R.M. Djoko Suwarto (K.R.T. Surjaningrat)
7. R.M. Suwarman Surjaningrat
8. R.M. Surtiman Surjodiputro
9. R.M. Harun Al Rasid
Gusti Pangeran Harjo Sasraningrat mempunyai 12 orang anak, yakni:
1. R.M. Prawiraningrat
2. R.M. Nataningrat Sutjipto
3. R.M. Suprapto
4. R. Ayu Martodirjo
5. R.M. Surojo Sasraningrat
6. R. Aj. Sutartinah (Nyi Hadjar Dewantara)
7. R. Aj. Sukapsilah
8. R.M. Sujatmo
9. R.M. Sudarto Sasraningrat

7

10. R. Aj. Sulastri – Sujadi Darmoseputro

11. R.M. Sancojo Sasraningrat
12. R. Aj. Sukirim Hardjodiningrat.5

B.

Pendidikan
Sejak kecil Ki Hadjar Dewantara sudah dididik dalam suasana religius dan

dilatih untuk mendalami soal-soal kesasteraan dan kesenian Jawa. Sejak kecil pula
dia dilatih untuk hidup sederhana. Keterbatasan materil yang dialami keluarganya,
tidak menyurutkan semangat belajarnya. Meskipun ia hanya masuk ke Sekolah
Dasar Belanda III (ELS), ia tetap bersemangat menuntut ilmu.6 Setelah Tamat
Sekolah Dasar III Belanda pada tahun 1904, Ki Hadjar mengalami kebingungan
untuk meneruskan sekolahnya. Ia tidak hanya bingung karena masalah siapa yang
membiayai sekolahnya, tapi juga kemana ia harus meneruskan sekolahnya.
Maklum, keluarganya tidak cukup berada dibandingkan kerabat Pakualaman yang
lain. Selain itu, ayah Ki Hadjar yang cacat netra sejak lahir juga merupakan suatu
alasan tersendiri bagi masalah pendidikannya. Ki Hadjar memang sempat masuk
sekolah guru di Yogyakarta, tapi tidak sampai tamat. Semasanya menempuh
sekolah guru, datanglah tawaran sekolah (beasiswa) untuk menjadi dokter jawa
dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Kala itu dokter Wahidin sengaja bertandang
ke Pakualaman. Ia menanyakan siapa diantara putra-putra yang mau masuk
sekolah dokter jawa. Kesempatan itu dengan segera diterima Ki Hadjar.
Ki Hadjar menempuh sekolah dokter jawa (STOVIA) selama kurang lebih
lima tahun (1905-1910). Namun, ia tidak berhasil menamatkan sekolahnya
lantaran sakit selama empat bulan. Selama sakit Ki Hadjar tentu tidak dapat
belajar dengan baik sehingga ia tidak naik kelas. Akibatnya, beasiswanya dicabut.
5

Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1985 ), h.3
6

Keluarga Paku Alam termasuk maju dalam pendidikan. Seluruh putra-putra dalam
lingkungan Pakualaman dikirim ke Sekolah Dasar Belanda I, kecuali Ki Hadja Dewantara. Ia
dikirmim ke Sekolah Dasar Belanda III. Hal itu bisa jadi berkaitan dengan kondisi ekonomi
keluarganya yang memang kurang dibandingkan dengan keturunan Pakualaman yang lain
mengingat kondisi hidup orang tuanya menderita sejak masa kecilnya. Darsiti Soeratman, Ki
Hadjar Dewantara, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1985 ), h. 11.

8

Ia

meninggalkan

sekolahnya

dengan

terpaksa

lantaran

tidak

mampu

membiayainya. Kepandaiannya dalam bahasa Belanda mendorong Direktur
Sekolahnya mengeluarkan surat istimewa yang menjelaskan bakatnya itu.7
Aktivitas Ki Hadjar setelah keluar dari sekolah Dokter Jawa, antara lain,
terpancar dalam bidang jurnalisik, politik dan pendidikan. Dalam bidang
jurnalistik, ia bergabung dengan wartawan di beberapa surat kabar antara lain
Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisantulisannya

sangat

komunikatif,

tajam

dan

patriotik

sehingga

mampu

membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai
seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu
itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11
Maret 1913. Karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda. Ia melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan
berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan
7

Darsiti Soeratman, Ki Hadjar Dewantara, ( Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan 1985 ), h. 11

9

Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat
kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya yang menghina
itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan
hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi
seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka
bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka
diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan
hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan
dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil
memperoleh Europeesche Akte.Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918.8
Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian
dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Ia mendirikan sebuah perguruan yang
bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman siswa (Perguruan
Nasional Taman siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan
pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa
dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Di tengah
keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman siswa, ia
juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah
ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar
Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan
pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
8

B.S. Dewantara, Ki Hajar Dewantara Ayahku, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1989 )

10

Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh
pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar
sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi
museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data
surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan
dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas
bantuan Badan Arsip Nasional.

C.

Pemikiran Tentang Pendidikan
Pendidikan adalah upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin,

karakter, pikiran (intelek), dan jasmani anak didik.9 Dalam berbagai sumber
tulisan tentang pendidikan Ki Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari
persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut
Ki Hadjar Dewantara mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses
memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf
insani. Di dalam mendidik ada pembelajaran yang merupakan komunikasi
eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan
dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini
membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir
aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).10

9

Mansur Muslich. Pendidikan Karakter: MenjawabTantangan Krisis Multidimensional,
( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2015 ). h. 38
10

Nursid Sumaatmadja, Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, ( Bandung:
ALFABETA, 2002 )

11

Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri”
sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan
diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang
mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya,
mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh
sikap yang mandiri dan dewasa. Manusia yang bermental dewasa mampu untuk
konsisten menjadi pengabdi pada apa yang ia yakini benar dan adil.
Bagi Ki Hajar Dewantara, manusia yang bermental dewasa adalah manusia
yang merdeka lahir dan batin, yaitu manusia yang mampu membina kehidupan
pribadi yang selamat dan bahagia dan turut membina kehidupan masyarakat yang
tertib dan damai. Gagasan ini kemudian dirumuskan dalam Panca Dharma, yang
dijadikan dasar pendidikan Taman Siswa.11
Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2 hal yang harus
dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis
satu sama lain. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup
lahiriah

(kemiskinan

dan

kebodohan).

Sedangkan

pendidikan

lebih

memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk generasi bangsa ini dan
mengingat pentingnya guru yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan
spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan mendidik, meneladani dan
pendidikan generasi bangsa ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai
Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar dewantara. Perubahan nama
tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin menunjukkan perubahan sikap
ningratnya menjadi pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu
dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria,
yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan Negara
ini.

11

H. Abdullah Jalaludin, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h.162.

12

Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang
bermutu dalam kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian menyediakan diri
untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi
pembela nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah fungsinya sebagai
model keteladanan dan sebagai fasilitator kelas. Nama Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang
keagamaan dan keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi perantara antara Tuhan dan manusia,
mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang merupakan
perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu
mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.12 Dalam
pemikiran ki hajar dewantara, metode yang sesuai dengan sistem pendidikan ini
adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi „kepala,
hati dan panca indera‟ (educate the head, the heart, and the hand).13
D.

Tiga Fatwa Pendidikan
Pendidikan nasional menurut paham Ki Hadjar Dewantara, seperti yang

diterapkannya dalam Taman Siswa, ialah pendidikan yang beralaskan garis-hidup
dari bangsa (kultur nasional) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang
bisa mengangkat derajat negara dan rakyat. Orientasi globalnya adalah agar rakyat
Indonesia dapat bekerja bersama-sama dengan bangsa-bangsa yang lain untuk
kemuliaan manusia di seluruh dunia.

12

Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003)
13

M. Peranginangin, dkk, Buku Pintar Pahlawan Nasional, ( Batam: Scientific Press, 2007)

13

Dalam rangka itu, Ki Hadjar Dewantara mengedepankan tiga ajaran tentang
pendidikan (tiga fatwa),

14

yakni tetep, atep dan mantep, ngandel, kandel, kendel

dan bandel, Neng, ning, nung dan nang.
Pertama, tetep, antep, bahwa pendidikan itu harus membentuk ketetapan
pikiran dan batin, menjamin keyakinan diri dan membentuk kemantapan dalam
prinsip hidup. Istilah tetep di sini dapat dimaknai dalam kerangka yang prinsipil,
yakni memiliki ketetapan pikiran (untuk berkomitmen) yang selaras dengan nilainilai sosial. Pendidikan membentuk seseorang untuk mampu berpikir kritis dan
memiliki ketetapan pikiran dalam khasanah nilai-nilai. Artinya, pikirannya tidak
gampang terombang-ambingkan oleh tawaran-tawaran hidup yang tidak selaras
dengan nilai-nilai. Istilah antep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar
seseorang untuk memiliki “kepercayaan diri” dan keuletan diri untuk maju terus
dalam mengatasi segala tantangan kehidupan secara kstria (bersahaja). Dalam
praksis kehidupan, orang yang antep adalah yang memiliki keteguhan hati ke arah
kualitas dirisebagai manusia personal dan anggota komunitas sosial. Sementara
istilah mantep menunjukkan bahwa pendidikan menghantar seseorang untuk
berkanjang dalam kemajuan diri, memiliki orientasi yang jelas untuk menuju
tujuan yang pasti, yakni kemerdekaan diri sebagai pribadi, anggota masyarakat
dan warga dunia.Jadi, landasan operasinalpendidikan adalah upaya membentuk
kualitas pribadi peserta didik sampai pada tingkat yang maksimal. Kira-kira
begitulah makna interpretatif dari fatwa pertama Ki Hadjar tentang pendidikan
(Tetep, antep dan mantep).
Kedua, ngandel, kandel, kendel dan bandel. Ngandel adalah istilah dalam
bahasa Jawa yang artinya “berpendirian tegak”. Pendidikan itu harus menghantar
orang pada kondisi diri yang ngandel(berpendirian tegak/teguh). Orang yang
berpendirian tegak adalah yang berprinsip dalam hidup. Kendel adalah istilah
yang menunjukkan keberanian. Pendidikan membentuk seseorang untuk menjadi
pribadi yang berani, berwibawa dan ksatria. Orang yang berpendidikan adalah
14

Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan
(Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa 1962 ) h. 14

14

orang yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan, matang dan dewasa
dalam menghadapi segala cobaan. Sementara istilah bandelmenunjukkan bahwa
orang yang terdidik adalah yang “tahan uji”. Segala cobaan hidup dan dalam
segala situasi hidup dihadapinya dengan sikap tawakal, tidak lekas ketakutan dan
hilang nyali.
Ketiga, neng, ning, nung dan nang. Artinya bahwa pendidikan pada tataran
terdalam bercorak religius. Pendidikan itu menciptakan kesenangan perasaan
(neng), keheningan (ning), ketenangan(nang), dan renungan (nung). Dalam dan
melalui pindidikan, seseorang bisa mengalami kesucian pikiran dan ketenangan
batin. Menurut Ki Hadjar, kekuasaan akan datang manakala seseorang sudah
mengalami kesucian pikiran, ketenangan batin dan hati.
Ketiga fatwa pendidikan Ki Hadjar di atas tetap penting sebab ia memiliki
kandungan makna yang berkualitas kemanusiawian, suatu kualitas yang
merupakan bagian mendasar dari idealisme pendidikan sejak masa Yunani klasik.
Bila ketiga fatwa itu dikritis, ia tampak tetap memiliki relevansi untuk konteks
pendidikan Indonesia kini terutama manakala penerapannya dimaksudkan untuk
membangun jiwa kepemimpinan dalam diri anak-anak diIndonesia. Harapan ke
depan mereka kelak mampu menjadi pemimpin Indonesia yang benar-benar
“meng-Indonesia”. Artinya, menjadi pemimpin yang memiliki ketetapan pikiran
dan batin, memiliki kepercayaan diri dan pendirian yang teguh, memiliki pikiran
yang suci, batin yang tenang dan hati yang senang. Kondisi demikian menjadi
jaminan ke arah terciptanya kepemimpinan yang memerdekakan kemanusiaan
setiap pribadi di Indonesia secara utuh dan penuh.

E.

Asas-asas Pendidikan
Tujuan ketiga ajaran (fatwa) pendidikan Ki Hadjar di atas berkaitan erat

dengan upaya membentuk pribadi peserta didik menjadi manusia yang manusiawi.
Citra manusia manusiawi dalam konteks dan perspektif pendidikan Ki Hadjar
Dewantara adalah kedewasaan, kearifan, dan kesehatan secara jasmani dan rohani.

15

Pendidikan terlaksana secara koheren dalam ranah kognitif, afektif, spiritual,
sosial dan psikologis. Kedewasaan peserta didik dalam ranah-ranah tersebut
merupakan jaminan bagi aspek psikomotoriknya, menjadi modal bagi peserta
didik untuk siap menjalani kehidupan bermasyarakat secara bertanggungjawab.
Terkait dengan upaya mengimplementasikan ketiga fatwa tentang pendidikan itu,
Ki Hadjar Dewantara mengajukan lima asas pendidikan yang dikenal dengan
sebutan pancadharma (kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan
kemanusiaan).
Ajaran-ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan dapatlah kita
pandang sebagai terapan operatif dari kelima asas tersebut. Berikut adalah
penalaran atas kelima asas tersebut.
Pertama, asas kodrat alam. Asas ini mengandung arti bahwa hakikat manusia
adalah bagian dari alam semesta. Asas ini juga menegaskan bahwa setiap pribadi
peserta didik di satu sisi tunduk pada hukum alam, tapi di sisi lain dikaruniai akal
budi yang potensial baginya untuk mengelola kehidupannya.
Berdasarkan konsep asas kodrat alam ini, Ki Hadjar Dewantara menegaskan
bahwa

pelaksanaan

pendidikan

berasaskan

akal-pikiran

manusia

yang

berkembang dan dapat dikembangkan. Secara kodrati, akal-pikiran manusia itu
dapat berkembang. Namun, sesuai dengan kodrat alam juga akal pikiran manusia
itu dapat dikembangkan melalui perencanaan yang disengaja sedemikian rupa
sistematik. Pengembangan kemampuan berpikir manusia secara disengaja itulah
yang dipahami dan dimengerti sebagai “pendidikan”. Sesuai dengan kodrat alam,
pendidikan adalah tindakan yang disengaja dan direncanakan dalam rangka
mengembangkan potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir.
Kedua, asas kemerdekaan. Asas ini mengandung arti bahwa kehidupan
hendaknya sarat dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam khasanah pemikiran
Ki Hadjar Dewantara asas kemerdekaan berkaitan dengan upaya membentuk
peserta didik menjadi pribadi yang memiliki kebebasan yang bertanggungjawab
sehingga menciptakan keselarasan dengan masyarakat. Asas ini bersandar pada
keyakinan bahwa setiap manusia memiliki potensi sebagai andalan dasar untuk
menggapai kebebasan yang mengarah kepada “kemerdekaan”. Pencapaian ke arah

16

pribadi yang mredeka itu ditempuh melalui proses panjang yang disebut belajar.
Proses ini berjenjang dari tingkat yang paling dasar sampai pada tingkat yang
tertinggi. Namun, perhatian kita hendaknya jangan difokuskan pada tingkatan
tingatannya semata, tapi

juga pada proses kegiatan pendidikan

yang

memerdekakan peserta didik. Dalam pengertian itu, pendidikan berarti
memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi
potensi yang dimilikinya menjadi kemampuan dan keahlian profesional
(wengaktus atau mewujud) yang diemban dan dihayatinya dengan penuh
tanggungjawab. Oleh karena itu, praksis pendidikan harus “luas dan luwes”. Luas
berarti memberikan kesempatan yang selebar-lebarnya kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi-potensi dirinya seoptimal mungkin, sementara luwes
berarti tidak kaku dalam pelaksanaan metode dan strategi pendidikan.
Ketiga, asas kebudayaan.15 Asas ini bersandar pada keyakinan kodrati
bahwa manusia adalah makhluk berbudaya. Artinya, manusia mengalami
dinamika evolutif dalam khasanah pembentukan diri menjadi pribadi yang
berbudi pekerti. Dalam konteks itu pula, pendidikan perlu dilaksanakan
berdasarkan nilai-nilai budaya sebab kebudayaan merupakan ciri khas manusia.
Kebudayaan berasal dari bahasa latin Culture yang berarti “mengusahakan”,
mengusahakan untuk mendapatkan kemajuan kehidupan.

16

Inti dari kebudayaan

adalah manusia. Dengan kata lain kebudayaan adalah khas insani. Hanya manusia
yang berbudaya dan membudaya.17 Pendidikan dan Kebudayaan terdapat
hubungan yang saling berkaitan. Tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan, begitu
juga praksis pendidikan tidaklah stagnan, melainkan selalu berkembang dengan

15

K.H. Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan, Cet.ke-2, (
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa 1994) h. 23
16

Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan , Cet ke2, (Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1994), h. 23

17

H.A.R. Tilaar, Pendididkan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung:
Remaja Rosdakarya 2002), h. 37

17

lingkup kebudayaan. Apabila kita ingin membangun kembali masyarakat
Indonesia dari krisis globalisasi maka tugas tersebut menjadi tugas pembangunan
kebudayaan kita.18
Bagi Ki Hadjar, kemanusiaan bukanlah suatu pemikiran yang statis.
Kemanusiaan merupakan suatu konsep yang dinamis, evolutif, organis. Dalam
kaitan ini, Ki Hadjar Dewantara memahami kebudayaan selain sebagai buah budi
manusia, juga sebagai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia. Namun
selaras dengan keyakinan atas manusia sebagai makhluk dinamis, kebudayaan
juga demikian. Kebudayaan selalu berkembang seirama dengan perkembangan
dan kemajuan hidup manusia. Maka, menurut Ki Hadjar Dewantara, kebudayaan
itu tidak pernah mempunyai bentuk yang abadi, tetapi terus-menerus bergantiganti wujudnya; ini disebabkan karena berganti-gantinya alam dan zaman.
Kebudayaan yang dalam zaman lampau menggampangkan dan menguntungkan
hidup, boleh jadi dalam zaman sekarang menyukarkan dan merugikan hidup kita.
Itulah sebabnya kita harus senantiasa menyesuaikan kebudayaan kita dengan
tuntutan alam dan zaman baru. Ditopang oleh pemikiran mengenai kebudayaan
sebagai perkembangan kemanusiaan itu, maka Ki Hadjar Dewantara melihat
secara jernih posisinya kebudayaan bangsa Indonesia di tengah-tengah
kebudayaan bangsa bangsa lain di dunia ini, yakni sebagai penunjuk arah dan
pedoman untuk mencapai keharmonisan sosial di Indonesia. Pemikiran Ki Hadjar
mengenai kebudayaan ini kemudian secara konstitusional dimaktubkan dalam
Pasal 32 UUD 1945. Dalam konteks itu pula, asas ini menekankan perlunya
memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional.19
Keempat, asas kebangsaan. Asas kebangsaan merupakan ajaran Ki Hadjar
Dewantara yang amat fundamental sebagai bagian dari wawasan kemanusiaan.

18

H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.16

19

Ki Hajar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan, Cet.ke-2
,(Yogyakarta: Majelis Luhur Taman Siswa, 1994), h. 78

18

Asas ini hendak menegaskan bahwa seseorang harus merasa satu dengan
bangsanya dan di dalam rasa kesatuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
rasa kemanusiaan. Dalam konteks itu pula, asas ini diperjuangkan Ki Hadjar
Dewantara untuk mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi yang dapat
tumbuh dan terjadi berdasarkan daerah, suku, keturunan atau pun keagamaan.
Bagi Ki Hadjar kebangsaan tidaklah mempunyai konotasi, rasial biologis, status
sosial ataupun keagamaan. Rasa kebangsaan adalah sebagaian dari rasa kebatinan
kita manusia, yang hidup dalam jiwa kita dengan disengaja. Asal mulanya rasa
kebangsaan itu timbul dari Rasa Diri, yang terbawa dari keadaan perikehidupan
kita, lalu menjalar menjadi Rasa Keluarga; Rasa ini terus jadi Rasa Hidup
bersama (rasa sosial). Wujudnya rasa kebangsaan itu umumnya ialah dalam
mempersatukan kepentingan bangsa dengan kepentingan diri sendiri; kehormatan
bangsa ialah kehormatan diri, demikianlah seterusnya.
Kelima, asas kemanusiaan. Asas ini hendak menegaskan pentingnya
persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Dalam konteks Ki Hadjar sebagai tokoh
di Indonesia, asas ini hendak menegaskan bahwa manusia di Indonesia tidak boleh
bermusuhan dengan bangsa-bangsa lain. Manusia di Indonesia hendaknya
menampilkan diri sebagai makhluk bermartabat luhur dan berdasarkan kesadaran
itu pula ia berani menjalin dan memperlakukan sesama manusia dari bangsa mana
pun dalam rasa cinta kasih yang mendalam. Maka asas ini boleh dipandang
sebagai asas yang radikal, dalam arti konsep kemanusiaan itu merupakan akar
yang menjadi titik temu asasi yang mendamaikan hidup, kehidupan maupun
penghidupan umat manusia yang telah menjadi kompleks, multiplikatif, dan sarat
dengan permasalahan. Manusia merupakan suatu sifat dasar, kodrat alam, yang
diciptakan oleh Tuhan, dan berevolusi disepanjang keadaan alam dan zaman, yang
terungkap di dalam sifat, bentuk, isi dan irama yang berubah-ubah. Dari manusia
inilah tumbuh dan berkembang kebudayaan, terutama karena manusia itu adalah
makhluk yang istimewa, yaitu makhluk yang memiliki akal budi. Apa yang
dinamakan adab kemanusiaan di dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara
merupakan acuan yang amat mendasar, dalam pengertian bahwa apa pun yang

19

dikembangkan oleh manusia dalam bidang apa pun juga harus selalu sesuai
dengan kodrat kemanusiaannya.

F.

Semboyan Dan Metode
Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia

tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat
dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan
ketertiban yang bersifat paksaan. Pendidikan model ini, menurut Ki Hadjar
Dewantara, merupakan upaya sistematik dalam perkosaan terhadap kehidupan
batin anak-anak. Hal itu jelas berbahaya bagi perkembangan budi pekerti anakanak sebab pendidikan demikian tidak membangun budi pekerti anak-anak,
melainkan merusaknya. Menurut Ki Hadjar, cara mendidik semacam itu tidak
akan bisa membentuk seseorang hingga memiliki “kepribadian”. Paksaan dan
hukuman dalam proses pendidikan yang kadangkala tidak setimpal dengan
kesalahan anak didik bukannya memperkuat mentalitas anak-anak, melainkan
memperlemahnya di kemudian hari. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri,
tidak memiliki inisiatif, tidak kreatif. Dalam kehidupan nyata ia tidak dapat
bekerja kalau tidak dipaksa dan diperintah. Jadi, produk pendidikan barat, di
hadapan Ki Hadjar Dewantara, adalah manusia-manusia pasif yang dangkal
kesadarannya untuk berkreasi secara mandiri.
Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode pendidikan yang cocok dengan
karakter dan budaya orang Indonesia tidak memakai syarat paksaan. Orang
Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa timur. Bangsa yang hidup dalam
khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan rasa, hidup dalam kasih sayang,
cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan sopan dalam tutur kata dan
tindakan.

20

Nilai-nilai itu disemai dalam dan melalui pendidikan sejak usia dini

anak. Dalam praksis penyemaian nilai-nilai itu, pendidik menempatkan peserta
didik sebagai subyek, bukan obyek pendidikan. Artinya, peserta didik diberi ruang
yang seluasnya untuk melakukan eksplorasi potensi-potensi dirinya dankemudian
20

Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, ( Yogyakarta: Andi Offset,

1988)

20

berekspresi secara kreatif, mandiri dan bertanggungjawab. Berangkat dari
keyakinan akan nilai-nilai tradisional itu, Ki Hadjar Dewantara yakin pendidikan
yang khas Indonesia haruslah berdasarkan citra nilai Indonesia juga. Maka ia
menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia,
yakni :
Pertama, Ing Ngarsa Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang
harus memberi teladan. Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan
perbuatannya. Kedua, Ing Madya Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah
pendidik yang selalu berada di tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus
membangun semangat dan ide-idemereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri
Handayani, artinya seorang guru adalah pendidik yang terus-menerus menuntun,
menopang dan menunjuk arahyang benar bagi hidup dan karya anak-anak
didiknya.
Senada dengan semboyan pendidikan di atas adalah metode pendidikan
yang dikembangkan, yang sepadan dengan makna “paedagogik”, yakni Momong,
Among dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh.
Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Praksis pendidikan
dalam perspektif ini memang mementingkan ketertiban, tapi pelaksanaannya
bertolak dari upaya membangun kesadaran, bukan berdasarkan paksaan yang
bersifat “hukuman”. Maka, pembagian usia 0-7, 7-14, dan 14-21 dalam proses
pendidikan yang digagas Ki HadjarDewantara bukan tanpa landasanpedagogik.
Pembagian demikian berdasarkan fase-fasedimana masing-masing menuntut
peran pendidikdengan isi dan nilai yang berbeda-beda.Metode Ngemong,
Momong, Among dan semboyan Ing ngarso sung tulodho, Ing Madya mangun
karsa, dan Tut wuri handayani bukan berasal dari sebuah pemikiran Ki Hadjar
Dewantara yang terpisah. Pendidikan bukan hanya masalah bagaimana
membangun isi(kognisi)namun juga pekerti (afeksi) anak-anak Indonesia, yang
tentunnya diharapkan “meng-Indonesia”agar mereka kelak mampu menjadi
pemimpin-pemimpin bangsa

yang “meng-Indonesia” (memiliki kekhasan

Indonesia).

21

G.

Karya-karya
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang

menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap
eksis sampai hari ini.
Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan
dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan oleh Majelis
Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian I
Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian II: Kebudayaan
(1967). Kepiawaian dalam menulis karena beliau sejak muda menjadi penulis dan
wartawan.
Ketiga, Buku Bagian I Pendidikan terbagi dalam 8 bab: pendidikan
nasional, politik pendidikan, pendidikan kanak-kanak, pendidikan kesenian,
pendidikan keluarga, ilmu jiwa, ilmu adab, dan bahasa. Tulisan tertua dalam buku
ini yakni ‟‟Pendidikan dan Pengajaran Nasional‟‟ yang disampaikan sebagai
prasaran dalam Kongres Permufakatan Pergerakan Kebangsaan Indonesia
(PPPKI) pada 31 Agustus 1928. Ki Hadjar Dewantara dalam tulisan itu
mengatakan bahwa kemerdekaan dalam dunia pendidikan memiliki tiga sifat:
berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dapat mengatur diri sendiri. Buku
Bagian II Kebudayaan terbagai dalam 5 bab: kebudayaan umum, kebudayaan dan
pendidikan/kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat,
hubungan dan penghargaan kita. Dua buku itu adalah representasi pemikiran dan
pembuktian dalam praktik pendidikan dan pengajaran dari Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan dan kebudayaan adalah basis kehidupan yang menentukan kualitas
manusia dan bangsa.21

21

K.H. Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan, cet .ke-3, (
Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa 2004 ) h. 20

22

BAB III
ANALISIS

Manusia Indonesia yang berbudi pekerti adalah yang memiliki kekuatan
batin dan berkarakter. Artinya, pendidikan diarahkan untuk meningkatkan citra
manusia di Indonesia menjadi berpendirian teguh untuk berpihak pada nilai-nilai
kebenaran. Dalam tataran praksis kehidupan, manusia di Indonesia menyadari
tanggung jawabnya untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran.
Ekspersi kebenaran itu terpancarkan secara indah dalam dan melalui tutur kata,
sikap, dan perbuatannya terhadap lingkungan alam, dirinya sendiri dan sesamanya
manusia. Jadi, budi pekerti adalah istilah yang memayungi perkataan, sikap dan
tindakan yang selaras dengan kebenaran ajaran agama, adat-istiadat, hukum
positif, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Maksud
dari kontek diatas yang hendak ditekankan Ki Hadjar Dewantara adalah bahwa
aktivitas pengajaran itu berupa tindakan informatif tetapi sekaligus formatif. Pada
tataran informatif pengajaran adalah aktivitas membangun otonomi intelektual
secara disengaja, yang dampaknya adalah mencerdaskan kognisi seseorang
sehingga ia terbebaskan dari belenggu “kebodohan” kognisi. Sementara pada
tataran formatif, ia membangun otonomi eksistensial dalam arti membangun
kesadaran akan hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat luhur.
Kita dapat menangkap pemikiran Ki Hadjar Dewantara mengenai
pendidikan, yakni upaya konkret untuk memerdekakan manusia secara utuh dan
penuh. Baginya, pendidikan adalah pintu masuk menuju kemerdekaan lahiriah
dan batiniah manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai anggota
masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian, pendidikan menjadi wadah untuk
membangun otonomi intelektual, otonomi eksistensial, dan otonomi sosial.
Pendidikan adalah cara untuk sampai pada kesadaran akan pentingnya memiliki
ketiga otonomi diri di atas. Dengan demikian, kemerdekaan badaniah dan batiniah
yang dimaksudkan Ki Hadjar Dewantara adalah keadaan dimana manusia di
Indonesia mampu menegaskan secara serentak otonomi eksistensi dirinya sebagai
warga Indonesia dan warga dunia. Pendidikan menghantar seseorang memiliki

23

otonomi diri secara utuh dan penuh dalam wilayah kognisi, afeksi, spiritual, social
sehingga eksistensinya mampu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain,
dan dapat mengatur dirinya sendiri.
Meskipun Ki Hadjar Dewantara belajar ilmu kependidikan di barat, dia
tidak mau menerapkan sistem pendidikan barat di Indonesia. Sistem barat
dipandangnya tidak cocok karena dasar-dasarnya adalah perintah, hukuman dan
ketertiban yang bersifat paksaan. Menurut Ki Hadjar Dewantara, metode
pendidikan yang cocok dengan karakter dan budaya orang Indonesia tidak
memakai syarat paksaan. Orang Indonesia adalah termasuk ke dalam bangsa
timur. Bangsa yang hidup dalam khasanah nilai-nilai tradisional berupa kehalusan
rasa, hidup dalam kasih sayang, cinta akan kedamaian, ketertiban, kejujuran dan
sopan dalam tutur kata dan tindakan. Maka ia menerapkan tiga semboyan
pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni : Pertama, Ing Ngarsa
Sung Tuladha, artinya seorang guru adalah pendidik yang harus memberi teladan.
Ia pantas digugu dan ditiru dalam perkataan dan perbuatannya. Kedua, Ing Madya
Mangun Karsa, artinya seorang guru adalah pendidik yang selalu berada di
tengah-tengah para muridnya dan terus-menerus membangun semangat dan ideide mereka untuk berkarya. Ketiga, Tut Wuri Handayani, artinya seorang guru
adalah pendidik yang terus-menerus menuntun, menopang dan menunjuk arah
yang benar bagi hidup dan karya anak-anak didiknya.
Senada dengan semboyan pendidikan maka metode pendidikan yang
dikembangkan, yang sepadan dengan makna “paedagogik”, yakni Momong,
Among dan Ngemong, yang berarti bahwa pendidikan itu bersifat mengasuh.
Mendidik adalah mengasuh anak dalam dunia nilai-nilai. Ki Hadjar Dewantara
bukan tanpa landasan. Berikut Pembagian demikian berdasarkan fasefase di mana
masing-masing menuntut peran pendidik dengan isi dan nilai yang berbeda-beda.
Metode Ngemong, Momong, Among dan semboyan Ing ngarso sung tulodho, Ing
Madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani.
Pendidikan berdasarkan metode Ki Hadjar Dewantara menempatkan guru
sebagai pengasuh yang matang dalam penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai
kultural yang khas Indonesia. Maka pendidikan pada dasarnya adalah proses

24

mengasuh anak-anak untuk bertumbuh dan berkembang dalam potensi-potensi
diri. Dalam rangka itu, guru tidak menggunakan metode paksaan, tapi memberi
pemahaman sehingga anak mengerti dan memahami yang terbaik bagi dirinya dan
lingkungan sosialnya. Guru boleh terlibat langsung dalam kehidupan anak tatkala
anak itu dipandang berada pada jalan yang salah. Tapi pada prinsipnya tidak
bersifat paksaan. Keterlibatan pada kehidupan anak tetap dalam konteks
penyadaran dan asas kepercayaan bahwa anak itu pribadi yang tetap harus
dihormati hak-haknya untuk dapat bertumbuh menurut kodratnya.
Melalui konsep, asas-asas, fatwa, semboyan dan metode pendidikan yang
kontennya adalah “meng-Indonesia” di atas, Ki Hadjar Dewantara yakin bahwa
rakyat yang merdeka dalam arti yang sebenar-benarnya akan menjadi kenyataan
di Indonesia. Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah ketika seorang anak
manusia hidup dalam kesadaran bahwa dirinya sebagai pribadi hidup mandiri,
memiliki kebebasan dan hak-hak dasar yang patut dihargai. Artinya, lahirnya tiada
diperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena
kekuatan sendiri.

25

BAB IV
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir dan praktisi pendidikan,

tidaklah berlebihan kalau Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai pejuang
kemanusiaan diIndonesia. Ia berupaya membangun dan menyelenggarakan
pendidikan untuk manusia di Indonesia dengan konsep, landasan, semboyan dan
metode yang menampilkan kekhasan kultural Indonesia. Semuanya itu
dilakukannya demi mewujudkan idealisme terdalamnya, yakni membangun
kesadaran manusia di Indonesia akan hak-haknya. Bangsa ini perlu mewarisi buah
pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan,
status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilainilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya
yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing
madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing
ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Pengaruh pemikiran pertama dalam pendidikan adalah dasar kemerdekaan
bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Bila diterapkan kepada
pelaksanaan pengajaran maka hal itu merupakan upaya di dalam mendidik muridmurid supaya dapat berperasaan, berpikiran dan bekerja merdeka demi pencapaian
tujuannya dan perlunya kemajuan sejati untuk diperoleh dalam perkembangan
kodrati.
Karya Warisan Pertama Ki Hajar Dewantara adalah Taman Siswa yang
menjadi representasi institusi pendidikan pribumi pada masa kolonial dan tetap
eksis sampai hari ini. Kedua adalah tulisan-tulisan Ki Hajar Dewantara dalam
bidang pendidikan dan kebudayaan. Tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan
diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa dalam buku Karya Ki

26

Hadjar Dewantara Bagian I Pendidikan (1962) dan Karya Ki Hadjar Dewantara
Bagian II: Kebudayaan (1967).

B.

Saran
Dalam sistem pendidikan di Indonesia masih banyak yang harus di perbaiki

termasuk pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Salah satunya yakni pendidikan di
Indonesia sudah mulai melenceng dari kebudayaan dan karakter bangsa Indonesia.
Sistem pendidikan Indonesia harus kembali ke sistem pendidikan pada masa Ki
Hadjar Dewantara. Dimana tujuannya untuk membentuk pemimpin yang “mengindonesia”.

27

DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. 1988. Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Yogyakarta:
Andi Offset.
Dewantara, K.H. 2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama:
Pendidikan, Cet .ke-3, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Dewantara, K.H. 1994. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Kedua: Kebudayaan,
Cet.ke-2, Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
Dewantara, K.H. 1962. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama:
Pendidikan, Yogyakarta: Percetakan Taman Siswa
Jalaludin, H. Abdullah. 2012.

Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan

Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Muslich Mansur. 2015. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Nata, Abuddin. 2003. Tokoh-tokoh Pembaruan Islam di Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Rahardjo, S. 2009. Ki Hadjar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959,
Yogyakarta: Garasi
Sumaatmadja, Nursid. 2002. Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi,
Bandung: ALFABETA.
Peranginangin, M dkk. 2007. Buku Pintar Pahlawan Nasional, Batam: Scientific
Press.
Soeratman, Darsiti. 1985. Ki Hadjar Dewantara. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

28

Tilaar, H.A.R. 2002. Pendididkan Kebudayaan dan Masyarakat Madani
Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka
Cipta.

.

29