Sekilas Tentang side scan Perfeksionisme

Pendahuluan
Chan (2010) menemukan 75% siswa berbakat dikategorikan sebagai perfeksionis.
Perfeksionisme memiliki dua dampak bagi perkembangan siswa berbakat yaitu positif dan
negatif. Sebagai dampak positif, Wang, Chu-Chun, dan Rice (2011) mengatakan
perfeksionisme yang disertai dengan mastery learning goal dapat meningkatkan self-efficacy
akademik pada siswa SMP dan SMA. Di sisi lain, dampak negatif dari perfeksionisme adalah
munculnya sikap prokastinasi (Rice, 2012), tidak mau mencoba (Randles et al, 2010), atau
ketakutan akan kegagalan yang pada akhirnya membuat siswa berbakat ini tidak berhasil
menunjukkan potensi secara aktual. Dampak ekstrim dari perfeksionisme siswa berbakat
dapat menjadi siswa yang underachiever atau bahkan putus sekolah (Davis, Rimm & Siegle,
2011). Perlu dikritisi lebih lanjut mengenai perfeksionisme untuk melihat perannya dalam
keberbakatan.
Definisi dan Sejarah Perfeksionisme
Perfeksionisme didefinisikan sebagai kombinasi dari cara berpikir dan tingkah laku yang
berkaitan dengan penetapan standar nilai yang berlebihan atau harapan yang berlebihan
terhadap keberhasilan performa yang dihasilkan oleh seseorang (Davis, Rimm, & Siegle,
2011; Miller, Lambert & Speirs Neumeister, 2012). Pada Gambar 1. tahun 1960an studi
mengenai perfeksionisme lebih difokuskan pada sesuatu yang negatif atau bahkan dipandang
dalam perspektif patologis. Kemunculan perfeksionisme berakar dari pengamatan klinis dan
studi yang berkaitan dengan psychologycal disorder seperti anxiety dan depresi (Wang &
Chun-Cu,2012; Lozano, Valor-Segura, & Lozano, 2014; Eum & Rice, 2011). Lebih spesifik,

perfeksionisme dikaitkan dengan upaya mencapai standar dan tujuan yang tidak realistik
yang pada akhirnya bisa berdampak desktruktif pada diri (Chan, 2010) serta munculnya
obsesif-kompulsif (Ye, Rice & Storch, 2008).
1960an
Perfeksionisme
unidimensional
yaitu negatif/
psikopatologis

1978
Hamacheck
Multidimensional
yaitu
Normal vs neurotik
Perfeksionisme

2000
Greenspon
Perfeksionisme tetap
unidimensional,

tidak ada
perfeksionisme yang
sehat/positif

1980an - sekarang
Berbagai tokoh
mengatakan
perfeksionisme
merupakan
multidimensional

Gambar 1. Sejarah Konstruk Perfeksionisme
1

Selama beberapa tahun, perfeksionisme dalam perspektif negatif tidak mendapatkan
pembantahan apapun. Beberapa penelitian kontemporer kemudian muncul dan mengatakan
bahwa perfeksionisme dapat juga dipandang dalam perspekstif positif. Pemikiran positif
perfeksionisme dimulai pada tahun 1978 yang disampaikan oleh Hamachek (Hanchon, 2010)
bahwa perfeksionisme terbagi menjadi normal dan neurotik. Pendapat Hamachek mengenai
normal perfeksionisme adalah perjuangan mengerjakan suatu tugas yang sulit dengan

sempurna dan ketika berhasil memunculkan rasa puas pada pencapaian dirinya (Hanchon,
2010). Lebih jauh, normal perfeksionisme akan mampu beradaptasi pada situasi kegagalan
karena normal perfeksionisme bukan patologi melainkan keinginan atau hasrat sebagai
bentuk dari pencapaian dan aktualisasi diri (Parker, 2000). Sementara neurotik
perfeksionisme sama seperti normal perfeksionisme sebagai bentuk perjuangan untuk
mengerjakan suatu tugas dengan sempurna, namun tidak mendatangkan rasa puas, karena
neurotik perfeksionisme selalu merasa tidak cukup baik (Hanchon, 2010). Neurotik
perfeksionisme tidak memberi kesempatan pada individu untuk merasa puas dengan dirinya
(Parker, 2000).
Lebih jauh, pemikiran neurotik perfeksionisme dari Hamacheck didasari oleh pemikiran
dari Horney pada tahun 1950 yang percaya bahwa rasa cemas (anxiety) akan menghasilkan
self-image yang ideal. Proses pembentukan self-image ideal mengarah pada terbentuknya
kecenderungan untuk perfeksionisme yang disebutnya dengan “search for glory” (Parker,
2000). Kecenderungan ini merupakan reaksi neurotik dari ketidakmampuan untuk menerima
ketidaksempurnaan dari actual self. Sementara pemikiran normal perfeksionisme dari
Hamachek didasari oleh pemikiran dari Adler pada tahun 1951 yang menyatakan bahwa
keinginan akan sesuatu yang tanpanya hidup menjadi tidak terbayangkan. Adler menekankan
bahwa upaya untuk sempurna menjadi sehat ketika ditujukan untuk memaksimalkan potensi
diri dan melibatkan kepedulian terhadap lingkungannya. Perfeksionisme menjadi tidak sehat
ketika melibatkan keinginan untuk mendominasi orang lain (Parker, 2000; Portešová &

Urbánek, 2013).
Pendapat mengenai perfeksionisme yang sehat atau positif mendapat sanggahan dari
Greenspon (2000) yang mengatakan Healthy perfectionism as an Oxymoron. Ia berpendapat
bahwa Hamachek salah dengan mengatakan terdapat perfeksionisme yang normal.
Menurutnya perfeksionisme dilandasi oleh kecemasan dan karenanya perfeksionisme
merupakan luka psikis yang tidak mungkin sehat. Meski demikian dalam perkembangannya
perfeksionisme lebih dipandang sebagai multidimensional healthy dan unhealthy.
2

Konstruk perfeksionisme sering disamakan dengan striving for excellence, Greenspon
(2000) menjelaskan terdapat pembatasan antara kedua konstruk. Perfeksionisme didefinisikan
sebagai upaya untuk mencapai kesempurnaan yang diikuti dengan standar dan harapan yang
berlebihan. Sementara striving for excellence lebih merupakan usaha untuk mencapai
kesempurnaan, yang merupakan bagian dari perfeksionisme. Greenspon (2000) juga
menjelaskan konstruk healthy perfeksionisme yang dijelaskan oleh Hamacheck dan
pengikutnya sebenarnya merupakan konstruk conscientiousness. Meskipun Greespon
berpendapat demikian, jika dilihat dari makna conscientiousness adalah sifat hati-hati,
keteraturan, terorganisir yang justru merupakan salah satu dimensi dari healthy perfectionism
(Parker, 2000).


1970
Jackson
Positif vs negatif
perfeksionisme

1990
Frost
Healthy perfeksionism,
unhealthyy perfeksionism,
dan nonperfectionist

1991
Hewitt dan Flett
Self-Oriented
Perfectionism(SOP)
dan Socially Prescribed
Perfectionism (SPP)

1996
Slaney

Adaptive perfectionism,
Maladaptive perfectionism
dan nonperfectionist

Gambar 2. Konstruk-konstruk dalam Perfeksionisme
Pada perkembangannya lebih banyak yang memandang perfeksionisme sebagai
multidimensional dengan bentuk konstruknya masing-masing seperti tampak pada Gambar 2.
Konstruk perfeksionisme yang pertama adalah positif dan negatif perfeksionisme (Chan,
2007). Positif perfeksionisme menjelaskan tentang upaya menuju kesempurnaan yang
realistis dari siswa, sementara negatif perfeksionisme merupakan keyakinan yang rigid akan
kesempurnaan yang diikuti dengan upaya untuk menghindari kesalahan (Chan, 2007). Alat
ukur yang dikembangkan untuk positif dan negatif perfeksionisme adalah Positive and
Negative Perfectionism Scale (PNPS) yang dikembangkan oleh Jackson pada
tahun 1970 (Chan, 2007).
Konstruk yang kedua pada gambar 2 dijelaskan dalam Chan (2010) dengan berdasarkan
pada pandangan Hamachek bahwa perfeksionisme merupakan multidimensional yang terbagi
dalam normal dan neurotik. Dalam penelitian Chan (2010), normal diistilahkan dengan
healthy perfeksionisme dan neurotik sebagai unhealthy perfeksionisme, serta terdapat pula
non-perfectionism. Fletcher, Shim, dan Wang (2012) dalam penelitiannya juga menggunakan
pembagian perfeksionisme dalam healthy perfeksionisme, unhealthy perfeksionisme dan

3

nonperfectionist.

Frost

pada

tahun

1990

mengembangkan

alat

ukurnya

Frost


Multidimensional Perfectionisim Scale (FMPS) untuk mengukur healthy perfectionism,
unhealthy perfectionism dan nonperfectionist (Fletcher, Shim, & Wang, 2012).
Stoeber, Haskew, dan Scott (2014), konstruk multidimensional perfeksionisme ketiga
mengacu pada disposisi kepribadian Hewitt dan Flett pada tahun 1991. Perfeksionisme
dipandang memiliki aspek personal dan sosial yang kemudian diturunkan pada dimensi selforiented perfectionism (SOP) and socially prescribed perfectionism (SPP). Self-oriented
perfectionism merupakan motivasi internal yang memunculkan belief untuk usaha yang keras
menuju kesempurnaan dan menjadi sempurna adalah penting. Sementara socially prescribed
perfectionism adalah motivasi eksternal yang memunculkan keyakinan (belief) bahwa usaha
keras menuju kesempurnaan dan menjadi sempurna adalah penting untuk orang lain. VernerFilion dan Gaudreau (2010) menjelaskan lebih lanjut mengenai model perfeksionisme Hewitt
dan Flett’s, socially prescribed perfectionism memiliki hubungan dengan beberapa indikator
distress emosional seperti depresi dan berkurangnya kepuasan hidup. Penelitian oleh Flett dan
Hewitt (Verner-Filion & Gaudreau, 2010) menemukan socially prescribed perfectionism
berhubungan negatif dengan indikator subjektif dan objektif dari achievement dalam tidak
hanya pada bidang akademik, namun juga untuk mencapai tujuan pribadi (Verner-Filion &
Gaudreau

2010).

Sementara


self-oriented

perfectionism

dalam

berbagai

literatur

diindikasikan memfasilitasi munculnya pencapaian yang optimal dan juga mendukung
psychological adjustment (Verner-Filion & Gaudreau 2010). Alat ukur yang dikembangkan
Multidimentional Perfectionism Scale (MPS) atau HMPS agar dapat dibedakan dengan
FMPS (Verner-Filion & Gaudreau 2010).
Konstruk yang keempat pada gambar 2. dijelaskan dalam Wang et al (2012) yang
menggunakan alat ukur Almost Perfect Scale (APS) sebagai pengembangan konstruk
perfeksionisme oleh Slaney (1996). Pada konstruk ini perfeksionisme merupakan format
multiple menggunakan analisis kluster (Wang et al, 2012). Perfeksionisme dibagi menjadi
tipologi dengan dua kluster yaitu perfeksionis adaptif (Adaptive perfectionist) dan
perfeksionis maladaptive (Maladaptive perfectionists) yang kemudian muncul kluster ketiga

yaitu ‘‘non-perfectionist”. Perfeksionis adaptif ditandai dengan penetapan standar diri yang
tinggi dan kecenderungan untuk mengorganisir tugas-tugasnya, namun hal ini disertai dengan
tidak munculnya rasa kesal jika standar yang telah ditetapkan tidak tercapai. Perfeksionis
maladaptif juga ditandai dengan penetapan standar diri yang tinggi, namun disertai dengan
kekhawatiran akan terjadinya kesalahan dan keraguan akan kemampuan mereka untuk
4

mencapai standar yang ditetapkan sendiri. Profil perfeksionis adaptif secara konsisten
menunjukkan hasil yang menguntungkan termasuk dalamnya psychological adjustment yang
lebih sehat (Parker, 1997) dan meningkatkan self-confidence pada aspek akademik (Hanchon,
2010). Profil perfeksionis maladaptif umumnya memunculkan hasil yang kurang baik,
termasuk dalamnya mood disturbance, kecemasan, (Hanchon, 2010). Ketiga kluster ini
merupakan pengembangan perfeksionisme dengan pemikiran multidimensional yang
mengarah pada positif atau fungsi adaptasi dari sifat perfeksionisme.
Perkembangan konstruk perfeksionisme pada dasarnya dapat dirangkum sebagai berikut.
Perfeksionisme merupakan multidimensional yang dapat dilihat dari aspek intrapersonal dan
aspek interpersonal. Berdasarkan pendekatan intrapersonal perfeksionisme membagi tipe
perfeksionis dalam adaptive/ healthy/ positive perfectionists, maladaptive/ unhealthy/
negative perfectionists, dan nonperfectionists. Dimensi dalam perfeksionisme intrapersonal
terdiri atas parental expectation dan critism, standard, concern over mistake, doubt about

action, dan organization. Seseorang dikategorikan sebagai maladaptive/ unhealthy/ negative
perfectionists ketika seluruh dimensi dominan dalam diri seseorang, sementara dikatakan
sebagai nonperfectionists ketika semua dimensi rendah dalam diri seseorang. Dikatakan
sebagai adaptive/ healthy/ positive oerfectionists ketika memiliki standard dan organization
yang tinggi dengan parental expectation dan critism, concern over mistake, dan doubt about
action yang rendah. (Chan, 2007; Chan, 2010; Hanchon, 2010; Wang et al, 2011; Rice et al,
2012).
Dimensi perfeksionisme dari aspek intrapersonal dijelaskan lebih lanjut dalam Mofield &
Chakraborti-Ghosh (2010). Dimensi parental expectation dijelaskan sebagai keyakinan
(belief) yang dimiliki anak bahwa orangtua mereka menetapkan tuntutan yang tinggi atas
pencapaian anak. Parental critisim adalah kumpulan respon berupa kritik dari orangtua yang
berlebihan. Sementara standard merupakan kecenderungan untuk standar, tujuan, dan
harapan keberhasilan yang tinggi. Concern over mistake dijelaskan sebagai respon negatif
yang berlebihan terhadap kesalahan. Dimensi doubt about action merupakan tingkat
ketidakyakinan anak akan kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dengan efektif.
Dimensi organization adalah pentingnya untuk keteraturan, menempatkan benda pada
tempatnya dan kerapian.

5

Faktor-faktor yang mempengaruhi Perfectionism
Perfeksionisme merupakan cara pikir dan tingkah laku yang dipengaruhi oleh aspek
intrapersonal, interpersonal dan situasi. Dari aspek intrapersonal, kepribadian yang dimiliki
oleh individu menjadi penentu tipe perfeksionis yang akan muncul. Sementara dari aspek
interpersonal terdapat orangtua yang memiliki pengaruh paling besar dan terdapat pula
pengaruh dari guru dan teman sebaya. Aspek situasi dalam hal ini merupakan hal yang terjadi
dalam kaitan pembelajaran, yaitu tantangan yang diterima seseorang pada masa awal
sekolahnya dan keberhasilan dini pada siswa.
1. Aspek Intrapersonal
Neurotik merupakan aspek interpersonal yang paling mempengaruhi munculnya
perfeksionisme negatif (Smith, Saklofske, & Nordstokke, 2013). Lebih lanjut Smith et al
(2013) meneliti mengenai kaitan perfeksionisme dengan kecerdasan emosional, ditemukan
bahwa seseorang yang neurotik dengan kecerdasan emosional yang rendah akan lebih rentan
akan perfeksionisme negatif. Ye, et al (2008) menjelaskan kaitan antara perfeksionisme dan
Obsessive Compulsive Disorder (OCD), ditemukan bahwa OCD memiliki hubungan dengan
sensitivitas terhadap melakukan kesalahan. Kemudian sensitivitas ini membuat seseorang
melakukan pengaturan terhadap tugas dan benda-benda disekitarnya secara berlebihan.
Perilaku sensitif terhadap kesalahan dan pengaturan yang kemudian dapat mempengaruhi
sifat perfeksionisme seseorang. Terdapat juga penelitian lainnya yang mengaitkan
perfeksionisme dengan Big Five Personality (Ulu & Tezer, 2010).
Goal orientation diduga menjadi faktor yang mempengaruhi terbentuknya perfeksionisme
dari aspek intrapersonal. Chan (2009) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa learning
merupakan tipe goal orientation yang merupakan prediktor positif akan positif
perfeksionisme, demikian pula ketika tipe sosial yang terdapat tipe learning akan menjadi
prediktor yang positif untuk positif perfeksionisme. Sementara tipe performance menjadi
prediktor positif untuk negatif perfectionism. Dapat dijelaskan bahwa untuk memiliki
perfeksionisme yang positif seseorang perlu mengembangkan orientasi belajar untuk
memahami materi atau untuk kepentingan sosial yang berkaitan dengan memahami.
Sementara tujuan untuk tampil atau dinilai baik erat kaitannya dengan negatif perfeksionisme
(Chan, 2009).

6

2. Aspek Interpersonal
Miller, Lambert, dan Speirs Neumeister (2012) menjelaskan perfeksionis merupakan hasil
dari interaksi orangtua dan anak, oleh karenanya cukup banyak penelitian yang mencoba
menjelaskan mengenai gaya pengasuhan orangtua sebagai faktor interpersonal yang
mempengaruhi perfeksionis. Miller et al (2012) menemukan bahwa gaya pengasuhan
authoritharian memiliki pengaruh positif pada socially prescribed perfectionism anak.
Penelitian menjelaskan bahwa tuntutan yang tinggi disertai dengan responsivitas orangtua
yang rendah terhadap anak dapat menyebabkan anak menjadi tidak pernah merasa puas
dengan hasil karyanya. Anak merasa tidak pernah cukup baik untuk mendapatkan respon
yang diharapkannya muncul dari orangtuanya (Speirs Neumeister, 2004).
Hasil yang serupa juga muncul dari penelitian Fletcher et al (2012) mengenai pengaruh
psychologically controlling dari orangtua terhadap perfeksionisme. Pada penelitian ini yang
dimaksud dengan kontrol secara psikologis adalah pemunculan rasa bersalah, penghilangan
kasih sayang (love withdrawal) dan penegakan otoritas. Hasil menunjukkan sikap orangtua
yang terlalu mengontrol anaknya secara psikologis dengan cara yang diuraikan di atas
menyebabkan anak memiliki sensivitas yang tinggi terhadap kesalahan dan keraguan untuk
melakukan suatu tindakan yang merupakan prediktor dari pembentukan negatif
perfeksionisme. Sebaliknya ditemukan bahwa kontrol orangtua secara psikologis tidak
memiliki pengaruh pada prediktor pembentuk positif perfeksionisme yaitu sikap terorganisir
dan penetapan standar yang realistis.
Faktor interpersonal lainnya yang dapat mempengaruhi perfeksionisme adalah pihakpihak lain di sekitar anak yaitu guru, teman, teman sebaya dan budaya. Perera dan Chang
(2014) dalam penelitianya menemukan bahwa guru dan teman juga memiliki pengaruh pada
terbentuknya tipe perfeksionis socially prescribed perfectionism (SPP) selain dari orangtua.
Penelitian ini membandingkan antara dua etnik yaitu Asia Amerika dan Eropa Amerika,
ditemukan bahwa setiap etnik memiliki sumber interpersonalnya masing-masing. Selain itu
besar pengaruh sumber interpersonal pun berbeda besarannya tergantung pada etniknya. Pada
Asia Amerika sumber dari teman lebih berpengaruh dibandingkan guru, sementara pada
Eropa Amerika sumber guru lebih berpengaruh dari teman.
3. Aspek Situasi
Aspek situasi yang berkaitan dengan pembelajaran yang mempengaruhi perfeksionisme
ditemukan oleh Speirs Neumeister, Williams, dan Cross (2009). Penelitian ini sebenarnya
dilakukan untuk melihat pandangan siswa berbakat mengenai model keluarga sebagai faktor
7

penentu utama pembentukan perfeksionisme, namun ditemukan pula aspek situasi lainnya
yang mempengaruhi. Pengalaman siswa yang selalu berhasil sejak awal pendidikan dan
mendapatkan pujian yang ambigu akan mengidentifikasikan dirinya dengan keberhasilan,
sehingga muncul sifat perfeksionis. Demikian pula dengan kurangnya tantangan, siswa tanpa
berusaha akan berhasil. Akibatnya pada saat terdapat tantangan mereka menjadi tidak yakin
akan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tantangan. Sementara mereka memiliki
predikat kesempurnaan yang perlu dipertahankan, sehingga dapat muncul sifat perfeksionis
yang negatif.
Kesimpulan
Dalam penelitian mengenai perfeksionisme, masih terdapat penjelasan yang kurang
terkait dengan aspek interpersonal selain orangtua dan aspek situasi sebagai faktor yang
mempengaruhi perfeksionisme. Faktor intrapersonal seringkali menjadi fokus dari penelitian
mengingat perfeksionisme merupakan sifat (trait). Pada faktor interpersonal, orangtua
sebagai sumber utama penyebab perfeksionisme cukup banyak dibahas (Speirs Neumeister
K. L., 2004; Speirs Neumeister, Williams, & Cross, 2009; Fletcher, Shim, & Wang, 2012;
Miller, Lambert, & Speirs Neumeister, 2012; Perera & Chang, 2014). Sementara faktor
interpersonal lainnya seperti peranan guru dan teman sebaya masih terbatas diteliti (Perera &
Chang, 2014). Demikian juga faktor situasi yang terjadi di sekolah, masih kurang jelas
dinamika yang terjadi apakah akan memperkuat positif perfeksionisme atau memperkuat
negatif perfeksionisme yang dimiliki siswa (Speirs Neumeister, Williams, & Cross, 2009).
Daftar Pustaka
Chan, D. C. (2009). Perfectionism and Goal Orientations among chinese gifted students in
Hong Kong. Roeper Review 31 (9) , 9-17.
Chan, D. W. (2010). Healthy and Unhealthy Perfectionists among Academically Gifted
Chinese Students in Hong Kong: Do Different Classification Schemes Make a
Diiference? Roeper Review 32, 88-97.
Chan, D. W. (2007). Positive and Negative Perfetionism among Chinese Students in Hong
Kong: Their Relationship to General Self-Efficacy and Subjective Well Being. Journal
for the Education of the Gifted 31 (1), 77-102.
8

Davis, G. A., Rimm, S. B., & Siegle, D. (2011). Education of the gifted and talented sixth ed.
New Jersey: Pearson.
Eum, K., & Rice, K. G. (2011). Test anxiety, perfectionism, goal orientation, and academic
performance. Anxiety, Stress, & Coping 24 (2) , 167-178.
Fletcher, K. L., Shim, S. S., & Wang, C. (2012). Perfectionistic concerns mediate the
relationship between psychologically controlling parenting and achievement goal
orientations. Personality and Individual Differences 52 , 876-881.
Greenspon, T. S. (2000). 'Healthy perfectionism' is an oxymoron! Reflections on the
psychology of perfectionism and the sociology of science. Journal of Secondary Gifted
Education 4.
Hanchon, T. A. (2010). The relations between perfectionism and achievement goals.
Personality and Individual Differences 49 , 885-890.
Lozano, L. M., Valor-Segura, I., & Lozano, L. (2014). Could a perfectionism context produce
unhappy children? Personality and Individual Differences 80 , 12–17.
Miller, A. L., Lambert, A. D., & Speirs Neumeister, K. L. (2012). Parenting Style,
Perfectionism, and Creativity in High Ability and High Achieving Young Adults.
Journal for the Education of the Gifted 35 (4) . , 344-365.
Mofield, E. L., & Chakraborti-Ghosh, S. (2010). Addressing Multidimensional Perfectionism
in Gifted Adolescents With Affective Curriculum. Journal for the Education of the
Gifted 33 (4) , 479–513.
Parker, W. D. (1997). An Empirical Typology of Perfectionism in Academically Talented
Children. American Educational Research Journal 34 (3) , 545-562.
Parker, W. D. (2000). Healthy perfectionism in the gifted. Journal of Secondary Gifted
Education 11 (4) .
Perera, M. J., & Chang, E. C. (2014). Ethnic variations between Asian and European
Americans in interpersonal sources of Socially Prescribed Perfectionism: It's not just
about parent! . Asian American Journal of Psychology . Advance online publication.
http://dx.doi.org/10.1037/a0036175
Portešová, Š., & Urbánek, T. (2013). Typology of Perfectionism in a Group of
Mathematically Gifted Czech Adolescents Over One Decade. Journal of Early
Adolescence 33(8) , 1116–1144.

9

Randles, D., Flett, G. L., Nash, K. A., McGregor, I. D., & Hewitt, P. L. (2010). Dimensions of
perfectionism, behavioral inhibition, and rumination. Personality and Individual
Differences 49 , 83–87.
Rice, K. G., Fu, C.-C., & Wang, K. T. (2012). Perfectionism in gifted student: Moderating
effects of goal orientation and contingen self-worth. School Psychology Quarterly 27
(2) , 96-108.
Rice, K. G., Richardson, C. M., & Clark, D. (2012). Perfectionism, Procrastination, and
Psychological Distress. Journal of Counseling Psychology 59 (2) , 288–302.
Smith, M. M., Saklofske, D. H., & Nordstokke, D. W. (2013). The link between neuroticism
and perfectionistic concerns:The mediating effect of trait emotional intelligence.
Personality and Individual Differences 61-62 , 97–100.
Speirs Neumeister, K. L. (2004). Factors Influencing the Development of Perfectionism in
Gifted College Students. Gifted Child Quarterly 48 (4) , 259-274.
Speirs Neumeister, K. L., Williams, K. K., & Cross, T. L. (2009). Gifted High-School
Students’ Perspectives on the Development of Perfectionism. Roeper Review 31 , 198–
206.
Stoeber, J., Haskew, A. E., & Scott, C. (2014). Perfectionism and exam performance: The
mediating effect of task-approach goals. Personality and Individual Difference 74 , 171176.
Ulu, I. P., & Tezer, E. (2010). Adaptive and Maladaptive Perfectionism, Adult Attachment,
and Big Five Personality Traits. The Journal of Psychology 144 (4) , 327–340.
Verner-Filion, J., & Gaudreau, P. (2010). From perfectiosionism to academic adjustment: The
mediating role of achievement goals. Personality and Individual Differences 49 , 181186.
Wang, K. T., Chu-Chun, F., & Rice, K. G. (2011). Perfectionism in gifted students:
moderating effects of goal orientation and contingent self-worth. School Psychology
Quarterly 27, 96-108.
Ye, H. J., Rice, K. G., & Storch, E. A. (2008). Perfectionism and Peer Relations Among
Children with Obsessive-compulsive Disorder. Child Psychiatry Human Development
39 , 415–426.

10

Dokumen yang terkait

Strategi Pemenangan Pilkada Langsung di Kota Batu Periode 2012-2017 (Studi Tentang Strategi Pemenangan Pilkada Langsung Pasangan Calon Edi Rumpoko Dan Punjul Santoso)

2 49 40

MANAJEMEN SIARAN PADA VOICE OF AMERICA (VOA) INDONESIA (Studi Tentang Pengolahan dan Penyebaran Program Acara Radio dan Televisi Oleh VOA Indonesia)

3 48 23

PEMAKNAAN MAHASISWA PENGGUNA AKUN TWITTER TENTANG CYBERBULLY (Studi Resepsi Pada Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang angkatan 2010 Atas Kasus Pernyataan Pengacara Farhat Abbas Tentang Pemerintahan Jokowi - Ahok)

2 85 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2

Dari Penangkapan Ke Budidaya Rumput Laut: Studi Tentang Model Pengembangan Matapencaharian Alternatif Pada Masyarakat Nelayan Di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur

2 37 2

Pandangan Islam Tentang politik pendidikan

0 29 69

Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi (Studi Deskriptif Tentang Eksistensi Diri Penari Jaipong di Kota Sukabumi)

4 40 1

Konstruksi Makna Gaya Blusukan (studi Fenomenologi Tentang Konstruksi Makna Gaya Blusukan Gubenur Joko Widodo Bagi Masyarakat Jakarta Pusat)

1 65 112

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Jalanan Atas Eksploitasi Dan Tindak Kekerasan Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

1 15 79