Etika Media Baru dalam Alam Demokrasi di
Etika Media Baru dalam Alam Demokrasi di Indonesia
(Etika dan Estetika Komunikasi)
NAMA
BANGKIT MAHENDRA
PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI
STIKOM INTERSTUDI
JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintah yang demokrasi.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara
dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan,
pengembangan dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kesadaran masyarakat akan demokrasi nampaknya terus terbuka semenjak era orde
baru runtuh. Dan ini membuat siapapun berhak untuk mengeluarkan pendapatnya. Namun,
ada hal yang dilupakan yaitu etika. Berbicara etika artinya membicarakan mana yang benar
dan mana yang tidak. Berbicara etika artinya berbicara juga mengenai estetika dan itu bisa
dibentuk ketika norma-norma etika digunakan.
Secara metologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suau ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia., etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik
dan buruk perbuatan manusia. (K. Bertens, 2000:24)
Berkembangnya jaman dengan temuan-temuan yang semakin mutakhir membuat tren
pun menjadi berkembang. Sekarang menjalin hubungan sosial melalui dunia tanpa batas
ruang dan waktu yang disebut sosial media makin merambah. Tidak hanya melakukan
kegiatan sosial lewat media ini, banyak kegiatan yang dilakukan dalam media ini selain
berhubungan sosial seperti menuangkan aspirasi, pendapat bahkan menyampaikan kritik
kepada seseorang, lembaga, institusi dan lain sebagainya.
Pada kenyataannya, sosial media sekarang terlalu liar untuk dikontrol. sudah terjadi
banyak kasus penipuan, pencemaran nama baik, pelecehan dan lain sebagainya di sosial
media. Memang tidak hanya hal-hal yang negatif saja, banyak juga hal-hal yang positif yang
dapat dilakukan dalam melakukan kegiatan di sosial media seperti berjualan, menjalin
hubungan dengan orang baru, sampai ke tahap mempersuasi orang banyak. Tidak sedikit pula
orang yang popularitasnya meningkat karena sosial media. Hal ini membuat sosial media kini
sangat digemari hampir di semua kalangan masyarakat Indonesia.
Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan beberapa keputusan pemerintah yang
akan mengadakan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan oleh DPR. Hal ini cukup
mencengangkan masyarakat Indonesia karena selama ini pemilihan dilakukan dengan cara
yang demokrasi yaitu dipilih langsung oleh rakyat. Partai Demokrat yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia menjadi bulan-bulanan kekecewaan yang dilontarkan kepada
masyarakat. Pada rapat paripurna, Partai Demokrat yang merupakan partai dengan fraksi
terbanyak harusnya dapat memperjuangkan pilkada secara langsung. Entah unsur politik
seperti apa yang telah direncanakan, akhirnya Partai Demokrat walk out dan keputusan
berakhir pada pilkada dipilih oleh DPR.
Pimpinan tertinggi Partai Demokrat yang merupakan orang nomer satu di Indonesia
pada saat itu memang sedang berada di luar negri. Hal ini membuat banyak sekali
masyarakat yang murka. Akibatnya, terjadi pembully-an yang dilakukan di akun twitter milik
orang nomer satu di Indonesia itu.
Tulisan ini mencoba untuk mebahas bagaimana etika di sosial media mengenai
penindasan atau pembullyan yang dilakukan pada akun twitter milik SBY. Terlepas negara ini
adalah negara yang bebas dalam berpendapat, tulisan ini akan membahasnya melalui
perspektif peneliti jika dilihat dari segi etika.
1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini ditujukan untuk memenuhi syarat Ujian Akhir Semester mata
kuliah Etika dan Estetika Komunikasi. Selain itu tujuan pembuatan makalah ini diharapkan
dapat menjadi rujukan kepada seluruh masyarakat untuk membuka pandangan mengenai
etika dalam menggunakan media baru di alam demokrasi Indonesia pada beberapa perspektif.
BAB II
PEMBAHASAN
Rapat paripurna beberapa waktu lalu membuat heboh dunia sosial media. Hal ini
berdampak pada kekesalan masyarakat yang dituangkan dalam akun sosial media pribadi
mereka. Bagi mereka, masa depan rakyat yang harusnya dipilih dengan cara demokrasi
menjadi punah karena pemerintah yang memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah akan
ditentukan oleh suara DPR yang sebelumnya dilakukan pemilihan secara langsung oleh
rakyat.
Terdapat dua koalisi yang tergabung menjadi koalisi yang setuju dengan pemilihan kepala
daerah secara langsung (Indonesia Hebat) dan koalisi yang tidak setuju dengan pemilihan
kepala daerah secara langsung (Merah Putih). Secara matematis, sebenarnya pemilihan
kepala daerah secara langsung dapat terwujud jika Partai Demokrat yang berkomitmen
menjadi partai yang mengusung demokrasi masuk pada koalisi Indonesia Hebat. Tetapi hal
itu sirna ketika partai yang diketuai oleh orang nomer satu di Indonesia itu memutuskan walk
out dari sidang paripurna yang artinya suara dari fraksi mereka tidak dapat lagi digunakan
dalam sidang tersebut. Dampaknya adalah "diserang"nya dewan tertinggi dari partai tersebut
yang pada saat itu sedang berada di luar negeri lewat sosial media.
Sosial media yang merupakan wadah untuk menjalin hubungan sosial di dunia maya agar
tak terbatas oleh ruang dan waktu memang telah berkembang secara fungsi. Pada jaman
sekarang ini, sosial media menjadi wadah untuk menuangkan aspirasi, pendapat dan
peluapan keluh kesah. Hal ini memang sudah kental dirasakan oleh masyarakat.
Seiring dengan fenomena keputusan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung,
sontak akun twitter milik SBY menjadi bulan-bulanan masyarakat yang tidak setuju akan
keputusan yang telah diambil. Jika kita lihat dari segi demokrasi, hal ini akan menjadi hal
yang biasa saja. Semua orang mungkin dapat berdalih dengan kata-kata demokrasi, yang
artinya semua orang berhak mengeluarkan pendapatnya.
Fenomena ini telah dikenal dengan sebutan cyberbully. Cyberbully merupakan aksi di
mana pelaku bertindak di luar batas kepada orang lain dengan cara mengirim atau
memposting materi yang dapat merusak kredibilitas, menghina atau melakukan serangan
sosial dalam berbagai bentuk, dengan memanfaatkan internet atau teknologi digital lainnya
sebagai medianya. Medianya bisa berupa SMS, e-mail, posting di Facebook, Twitter,
chatroom dan sebagainya, baik yang melalui komputer ataupun ponsel (ICT Watch). Jika
dilihat dari pengertian cyberbully diatas, artinya hal ini telah dilakukan masyarakat Indonesia
terhadap SBY. Sebagai manusia seharusnya SBY juga mendapatkan hak yang sama untuk
menjalani aktifitas sosialnya di dunia maya. Hal yang memang tidak bisa dipungkiri bahwa
beliau adalah seorang public figure apalagi menjabat sebagai orang nomer satu di Indonesia.
Penulisan makalah ini memang tidak menyinggung mengenai politik, pada tulisan ini
penulis mencoba untuk menganalisa etika dalam dunia media baru yang sudah terlalu liar.
Cyberbully yang telah terjadi pada SBY dalam perspektif penulis sudah terlalu menyimpang.
Penyampaian aspirasi maupun pendapat adalah hal yang sah, tetapi dengan bahasa yang
seperti apa atau dengan cara seperti apa akan menjadi pembahasan utama dalam makalah ini.
Robert W. McChesney (2000), mengatakan bahwa sistem media pada dasarnya merupakan
kekuatan antidemokrasi (an antidemocration force).
Seperti apa yang sudah disampaikan penulis di atas mengenai cyberbully terhadap SBY,
jika dilihat dari perspektif bahwa negara ini adalah negara demokrasi yang bebas dalam
mengungkapkan aspirasinya memang hal ini menjadi sesuatu yang wajar. Tetapi, kadang
banyak orang tidak mengetahui batasan-batasan yang digunakan dengan media canggih ini.
Etika seakan-akan tidak berlaku dalam media yang tidak memiliki batas dan ruang ini. Untuk
memperjelas lihat contoh gambar dibawah ini.
Gambar 1
Melihat gambar di atas, merupakan salah satu contoh lepasnya kontrol penggunaan sosial
media di Indonesia. Hal ini bisa saja menjadi salah satu budaya dimana sosial media
merupakan salah satu wadah untuk mengejek satu sama lain dan hal ini akan menimbulkan
perpecahan di antara pengguna dunia maya dalam dunia yang sesungguhnya. Karena
sesungguhnya, secara tidak langsung ini telah menjadi budaya sendiri yang disebut dengan
cyberculture. Cyberculture telah didefinisikan sebagai alternatif untuk budaya sosial dan
spasial yang sebenarnya dan identitas online telah digambarkan sebagai menawarkan
kebebasan individu tidak dinyatakan tersedia di ruang nyata (Turkle 1997). Tapi dari
perspektif praktek media baru, cyberstudies adalah, yang terbaik, sebuah proyek penelitian
diperpanjang diperlukan, menggambar atas sejumlah bentuk berbasis empiris dan teoritis dari
analisis, mencoba untuk memahami dan menentukan apa yang kita lakukan ketika kita
sedang online, atau terlibat dalam interaksi tertentu dengan program komputer dan layar
(aaaaaa).
Budaya dunia cyber yang berkembang apalagi disertai dengan diunggahnya gambargambar yang bersifat mengejek suatu objek semakin mewabah. Susilo Bambang Yudhoyono
yang merupakan presiden Republik Indonesia pun menjadi salah satu bahan ejekan di sosial
media. Terlepas beliau adalah seorang presiden, menurut pandangan penulis hal ini tidak etis.
Sebagai seorang kepala di negara, presiden harusnya adalah simbol resmi dari sebuah negara
yang artinya simbol itu harus dijaga karena berhubungan dengan martabat bangsa.
Gambar 2
Seperti halnya gambar di atas, bagaimana seorang presiden digambarkan sebagai seorang
badut yang tidak sepatutnya direpresentasikan kepada seorang presiden. Hal ini tidak bisa
dilihat baik dalam segi etika maupun estetika yang berlaku. Bagi sebagian orang, tentu hal ini
merupakan salah satu penolakan secara simbolik. Apapun alasannya baik unsur politik,
ketidaksukaan, manajemen konflik tetap saja hal ini menjadi sesuatu yang sangat tidak etis.
Kebebasan berpendapat dalam media sosial berarti telah memasuki sebuah ruang publik.
Konsep tentang ruang publik menggarisbawahi tiga poin penting tentang ruang publik yang
ideal dan ini adalah partisipasi, non diskriminasi, otonomi dan wacana kritis rasional.
1. Partisipasi dan non diskriminasi:
Ini berarti bahwa ruang publik harus menjadi sebuah forum terbuka untuk semua. Jika
ada, ruang publik harus berkembang dari pluralitas dan keragaman pendapat sehingga
menciptakan suatu pasar ide.
2. Otonomi:
Lingkup publik harus otonom karena otonom lingkungan kondusif untuk debat kritis dan
rasional, di mana orang dapat mempekerjakan penuh penggunaan kemampuan mental
mereka tanpa rasa takut dan nikmat.
3. Rasional atau analitis debat:
Ini adalah inti dan esensi dari masyarakat sphere. Menurut Habermas, orang-orang di
rumah-rumah kopi dan salon memiliki setia kepada 'otoritas argumen yang lebih baik
terhadap hirarki' (Habermas 1989: 36). Ketakutan dan mendukung dipandang sebagai
penghinaan terhadap rasionalitas dan analisis yang merupakan urat dari ruang publik
fungsional.
Relevansi konsep di atas dengan makalah ini ialah dimana perlakuan masyarakat di media
sosial mengenai cyberbully di ruang publik tidak sesuai.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Media baru di alam demokrasi di Indonesia telah menjadi sarana untuk
mengaspirasikan pendapat, aspirasi ataupun kritikan terhadap suatu sistem. Ironisnya,
pada kasus ini masyarakat tidak mengindahkan etika dalam menggunakan media sosial.
Terlepas negara ini adalah negara demokrasi, bukan berarti dalam penyampaian aspirasi
dapat dilakukan dengan segala cara. Artinya, tetap ada etika yang dijunjung tinggi dalam
menggunakan media sosial. Seperti yang dikutip dalam artikel yang dimuat dalam
kompasiana.com, bagi pengguna media sosial ada yang dinamakan dengan netiket atau
etika dalam menggunakan internet yang diantaranya terdapat poin jangan melecehkan,
hargai privasi dan pertimbangkan dahulu sebelum memposting.
3.2 Saran
Saran yang disampaikan oleh penulis adalah agar masyarakat lebih saling menghargai
dan lebih dewasa dalam menggunakan sosial media. Karena hal ini bisa saja menjadi
salah satu pemicu perpecahan. Kembangkanlah citra negara kita dengan penggunaan
sosial media secara baik dan dewasa, akan lebih baik jika Indonesia dapat menciptakan
sebuah prestasi dalam media baru ini.
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
McChesney, Robert W. 2000. Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in
Dubious Times. New York: the New Press.
Andrew Dewdney and Peter Ride. 2006. The New Media Handbook. Routledge.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry Into a
Category of Bourgeois Society. MIT Press.
Glen Creeber and Royston Martin. Digital Cultures “Understanding New Media”. Open
University Press
www.kompasiana.com
www.wikipedia.com
(Etika dan Estetika Komunikasi)
NAMA
BANGKIT MAHENDRA
PASCA SARJANA ILMU KOMUNIKASI
STIKOM INTERSTUDI
JAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang menganut sistem pemerintah yang demokrasi.
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara
dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan
warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan,
pengembangan dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kesadaran masyarakat akan demokrasi nampaknya terus terbuka semenjak era orde
baru runtuh. Dan ini membuat siapapun berhak untuk mengeluarkan pendapatnya. Namun,
ada hal yang dilupakan yaitu etika. Berbicara etika artinya membicarakan mana yang benar
dan mana yang tidak. Berbicara etika artinya berbicara juga mengenai estetika dan itu bisa
dibentuk ketika norma-norma etika digunakan.
Secara metologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena
itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suau ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia., etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik
dan buruk perbuatan manusia. (K. Bertens, 2000:24)
Berkembangnya jaman dengan temuan-temuan yang semakin mutakhir membuat tren
pun menjadi berkembang. Sekarang menjalin hubungan sosial melalui dunia tanpa batas
ruang dan waktu yang disebut sosial media makin merambah. Tidak hanya melakukan
kegiatan sosial lewat media ini, banyak kegiatan yang dilakukan dalam media ini selain
berhubungan sosial seperti menuangkan aspirasi, pendapat bahkan menyampaikan kritik
kepada seseorang, lembaga, institusi dan lain sebagainya.
Pada kenyataannya, sosial media sekarang terlalu liar untuk dikontrol. sudah terjadi
banyak kasus penipuan, pencemaran nama baik, pelecehan dan lain sebagainya di sosial
media. Memang tidak hanya hal-hal yang negatif saja, banyak juga hal-hal yang positif yang
dapat dilakukan dalam melakukan kegiatan di sosial media seperti berjualan, menjalin
hubungan dengan orang baru, sampai ke tahap mempersuasi orang banyak. Tidak sedikit pula
orang yang popularitasnya meningkat karena sosial media. Hal ini membuat sosial media kini
sangat digemari hampir di semua kalangan masyarakat Indonesia.
Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan beberapa keputusan pemerintah yang
akan mengadakan pemilihan kepala daerah melalui pemilihan oleh DPR. Hal ini cukup
mencengangkan masyarakat Indonesia karena selama ini pemilihan dilakukan dengan cara
yang demokrasi yaitu dipilih langsung oleh rakyat. Partai Demokrat yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia menjadi bulan-bulanan kekecewaan yang dilontarkan kepada
masyarakat. Pada rapat paripurna, Partai Demokrat yang merupakan partai dengan fraksi
terbanyak harusnya dapat memperjuangkan pilkada secara langsung. Entah unsur politik
seperti apa yang telah direncanakan, akhirnya Partai Demokrat walk out dan keputusan
berakhir pada pilkada dipilih oleh DPR.
Pimpinan tertinggi Partai Demokrat yang merupakan orang nomer satu di Indonesia
pada saat itu memang sedang berada di luar negri. Hal ini membuat banyak sekali
masyarakat yang murka. Akibatnya, terjadi pembully-an yang dilakukan di akun twitter milik
orang nomer satu di Indonesia itu.
Tulisan ini mencoba untuk mebahas bagaimana etika di sosial media mengenai
penindasan atau pembullyan yang dilakukan pada akun twitter milik SBY. Terlepas negara ini
adalah negara yang bebas dalam berpendapat, tulisan ini akan membahasnya melalui
perspektif peneliti jika dilihat dari segi etika.
1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini ditujukan untuk memenuhi syarat Ujian Akhir Semester mata
kuliah Etika dan Estetika Komunikasi. Selain itu tujuan pembuatan makalah ini diharapkan
dapat menjadi rujukan kepada seluruh masyarakat untuk membuka pandangan mengenai
etika dalam menggunakan media baru di alam demokrasi Indonesia pada beberapa perspektif.
BAB II
PEMBAHASAN
Rapat paripurna beberapa waktu lalu membuat heboh dunia sosial media. Hal ini
berdampak pada kekesalan masyarakat yang dituangkan dalam akun sosial media pribadi
mereka. Bagi mereka, masa depan rakyat yang harusnya dipilih dengan cara demokrasi
menjadi punah karena pemerintah yang memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah akan
ditentukan oleh suara DPR yang sebelumnya dilakukan pemilihan secara langsung oleh
rakyat.
Terdapat dua koalisi yang tergabung menjadi koalisi yang setuju dengan pemilihan kepala
daerah secara langsung (Indonesia Hebat) dan koalisi yang tidak setuju dengan pemilihan
kepala daerah secara langsung (Merah Putih). Secara matematis, sebenarnya pemilihan
kepala daerah secara langsung dapat terwujud jika Partai Demokrat yang berkomitmen
menjadi partai yang mengusung demokrasi masuk pada koalisi Indonesia Hebat. Tetapi hal
itu sirna ketika partai yang diketuai oleh orang nomer satu di Indonesia itu memutuskan walk
out dari sidang paripurna yang artinya suara dari fraksi mereka tidak dapat lagi digunakan
dalam sidang tersebut. Dampaknya adalah "diserang"nya dewan tertinggi dari partai tersebut
yang pada saat itu sedang berada di luar negeri lewat sosial media.
Sosial media yang merupakan wadah untuk menjalin hubungan sosial di dunia maya agar
tak terbatas oleh ruang dan waktu memang telah berkembang secara fungsi. Pada jaman
sekarang ini, sosial media menjadi wadah untuk menuangkan aspirasi, pendapat dan
peluapan keluh kesah. Hal ini memang sudah kental dirasakan oleh masyarakat.
Seiring dengan fenomena keputusan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung,
sontak akun twitter milik SBY menjadi bulan-bulanan masyarakat yang tidak setuju akan
keputusan yang telah diambil. Jika kita lihat dari segi demokrasi, hal ini akan menjadi hal
yang biasa saja. Semua orang mungkin dapat berdalih dengan kata-kata demokrasi, yang
artinya semua orang berhak mengeluarkan pendapatnya.
Fenomena ini telah dikenal dengan sebutan cyberbully. Cyberbully merupakan aksi di
mana pelaku bertindak di luar batas kepada orang lain dengan cara mengirim atau
memposting materi yang dapat merusak kredibilitas, menghina atau melakukan serangan
sosial dalam berbagai bentuk, dengan memanfaatkan internet atau teknologi digital lainnya
sebagai medianya. Medianya bisa berupa SMS, e-mail, posting di Facebook, Twitter,
chatroom dan sebagainya, baik yang melalui komputer ataupun ponsel (ICT Watch). Jika
dilihat dari pengertian cyberbully diatas, artinya hal ini telah dilakukan masyarakat Indonesia
terhadap SBY. Sebagai manusia seharusnya SBY juga mendapatkan hak yang sama untuk
menjalani aktifitas sosialnya di dunia maya. Hal yang memang tidak bisa dipungkiri bahwa
beliau adalah seorang public figure apalagi menjabat sebagai orang nomer satu di Indonesia.
Penulisan makalah ini memang tidak menyinggung mengenai politik, pada tulisan ini
penulis mencoba untuk menganalisa etika dalam dunia media baru yang sudah terlalu liar.
Cyberbully yang telah terjadi pada SBY dalam perspektif penulis sudah terlalu menyimpang.
Penyampaian aspirasi maupun pendapat adalah hal yang sah, tetapi dengan bahasa yang
seperti apa atau dengan cara seperti apa akan menjadi pembahasan utama dalam makalah ini.
Robert W. McChesney (2000), mengatakan bahwa sistem media pada dasarnya merupakan
kekuatan antidemokrasi (an antidemocration force).
Seperti apa yang sudah disampaikan penulis di atas mengenai cyberbully terhadap SBY,
jika dilihat dari perspektif bahwa negara ini adalah negara demokrasi yang bebas dalam
mengungkapkan aspirasinya memang hal ini menjadi sesuatu yang wajar. Tetapi, kadang
banyak orang tidak mengetahui batasan-batasan yang digunakan dengan media canggih ini.
Etika seakan-akan tidak berlaku dalam media yang tidak memiliki batas dan ruang ini. Untuk
memperjelas lihat contoh gambar dibawah ini.
Gambar 1
Melihat gambar di atas, merupakan salah satu contoh lepasnya kontrol penggunaan sosial
media di Indonesia. Hal ini bisa saja menjadi salah satu budaya dimana sosial media
merupakan salah satu wadah untuk mengejek satu sama lain dan hal ini akan menimbulkan
perpecahan di antara pengguna dunia maya dalam dunia yang sesungguhnya. Karena
sesungguhnya, secara tidak langsung ini telah menjadi budaya sendiri yang disebut dengan
cyberculture. Cyberculture telah didefinisikan sebagai alternatif untuk budaya sosial dan
spasial yang sebenarnya dan identitas online telah digambarkan sebagai menawarkan
kebebasan individu tidak dinyatakan tersedia di ruang nyata (Turkle 1997). Tapi dari
perspektif praktek media baru, cyberstudies adalah, yang terbaik, sebuah proyek penelitian
diperpanjang diperlukan, menggambar atas sejumlah bentuk berbasis empiris dan teoritis dari
analisis, mencoba untuk memahami dan menentukan apa yang kita lakukan ketika kita
sedang online, atau terlibat dalam interaksi tertentu dengan program komputer dan layar
(aaaaaa).
Budaya dunia cyber yang berkembang apalagi disertai dengan diunggahnya gambargambar yang bersifat mengejek suatu objek semakin mewabah. Susilo Bambang Yudhoyono
yang merupakan presiden Republik Indonesia pun menjadi salah satu bahan ejekan di sosial
media. Terlepas beliau adalah seorang presiden, menurut pandangan penulis hal ini tidak etis.
Sebagai seorang kepala di negara, presiden harusnya adalah simbol resmi dari sebuah negara
yang artinya simbol itu harus dijaga karena berhubungan dengan martabat bangsa.
Gambar 2
Seperti halnya gambar di atas, bagaimana seorang presiden digambarkan sebagai seorang
badut yang tidak sepatutnya direpresentasikan kepada seorang presiden. Hal ini tidak bisa
dilihat baik dalam segi etika maupun estetika yang berlaku. Bagi sebagian orang, tentu hal ini
merupakan salah satu penolakan secara simbolik. Apapun alasannya baik unsur politik,
ketidaksukaan, manajemen konflik tetap saja hal ini menjadi sesuatu yang sangat tidak etis.
Kebebasan berpendapat dalam media sosial berarti telah memasuki sebuah ruang publik.
Konsep tentang ruang publik menggarisbawahi tiga poin penting tentang ruang publik yang
ideal dan ini adalah partisipasi, non diskriminasi, otonomi dan wacana kritis rasional.
1. Partisipasi dan non diskriminasi:
Ini berarti bahwa ruang publik harus menjadi sebuah forum terbuka untuk semua. Jika
ada, ruang publik harus berkembang dari pluralitas dan keragaman pendapat sehingga
menciptakan suatu pasar ide.
2. Otonomi:
Lingkup publik harus otonom karena otonom lingkungan kondusif untuk debat kritis dan
rasional, di mana orang dapat mempekerjakan penuh penggunaan kemampuan mental
mereka tanpa rasa takut dan nikmat.
3. Rasional atau analitis debat:
Ini adalah inti dan esensi dari masyarakat sphere. Menurut Habermas, orang-orang di
rumah-rumah kopi dan salon memiliki setia kepada 'otoritas argumen yang lebih baik
terhadap hirarki' (Habermas 1989: 36). Ketakutan dan mendukung dipandang sebagai
penghinaan terhadap rasionalitas dan analisis yang merupakan urat dari ruang publik
fungsional.
Relevansi konsep di atas dengan makalah ini ialah dimana perlakuan masyarakat di media
sosial mengenai cyberbully di ruang publik tidak sesuai.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Media baru di alam demokrasi di Indonesia telah menjadi sarana untuk
mengaspirasikan pendapat, aspirasi ataupun kritikan terhadap suatu sistem. Ironisnya,
pada kasus ini masyarakat tidak mengindahkan etika dalam menggunakan media sosial.
Terlepas negara ini adalah negara demokrasi, bukan berarti dalam penyampaian aspirasi
dapat dilakukan dengan segala cara. Artinya, tetap ada etika yang dijunjung tinggi dalam
menggunakan media sosial. Seperti yang dikutip dalam artikel yang dimuat dalam
kompasiana.com, bagi pengguna media sosial ada yang dinamakan dengan netiket atau
etika dalam menggunakan internet yang diantaranya terdapat poin jangan melecehkan,
hargai privasi dan pertimbangkan dahulu sebelum memposting.
3.2 Saran
Saran yang disampaikan oleh penulis adalah agar masyarakat lebih saling menghargai
dan lebih dewasa dalam menggunakan sosial media. Karena hal ini bisa saja menjadi
salah satu pemicu perpecahan. Kembangkanlah citra negara kita dengan penggunaan
sosial media secara baik dan dewasa, akan lebih baik jika Indonesia dapat menciptakan
sebuah prestasi dalam media baru ini.
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
McChesney, Robert W. 2000. Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in
Dubious Times. New York: the New Press.
Andrew Dewdney and Peter Ride. 2006. The New Media Handbook. Routledge.
Habermas, Jurgen. 1989. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry Into a
Category of Bourgeois Society. MIT Press.
Glen Creeber and Royston Martin. Digital Cultures “Understanding New Media”. Open
University Press
www.kompasiana.com
www.wikipedia.com