Take Home Exam Pengantar Perencanaan W

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

TAKE HOME EXAM

PL 5105
PERENCANAAN WILAYAH
DAN KOTA

Dosen:
Prof. B. Kombaitan
Prof. Roos Akbar

Oleh :

REZZA MUNAWIR
NIM. 25414047

MAGISTER PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


1

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Soal 1.
Uraikan bagaimana langkah-langkah dari Proses Teknis Perencanaan yang berbasis bottom-up
(perencanaan dari bawah) itu dilaksanakan. Ilustrasi pada setiap langkah dapat menggunakan
contoh kasus penyusunan RTR atau produk perencanaan sejenis yang berbeda.

Jawab:
Contoh: Penyusunan Rencana Tata Ruang
Penataan ruang pada dasarnya mengatur kegiatan masyarakat dalam ruang. Masyarakat tidak
hanya merupakan pihak yang mendapatkan manfaat dari penatan ruang, namun juga merupakan
pihak yang memiliki andil terhadap penataan ruang wilayahnya. Sejalan dengan hal tersebut,
masyarakat juga memiliki peran dari proses perencanaan dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan kualitas ruang yang ditinggalinya.
Peran masyarakat dalam kegiatan penataan ruang ini juga telah diamanatkan dalam Undang –

Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Bab VIII Pasal 651:
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran
masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara
lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Merujuk kepada ayat (3) di atas, selanjutnya peran serta masyarakat diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan
Ruang. Peraturan Pemerintah ini mengatur bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan
ruang pada tahap perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.2 Masyarakat sebagaimana dimaksud pada
peraturan ini adalah yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang, yang memiliki
keahlian di bidang penataan ruang, dan/atau yang kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.3
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 65
2. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 Pasal 3
3. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (2)


2

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam kegiatan penataan ruang sifatnya kontekstual,
tergantung pada tingkat dan proses kegiatan penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang). Pelibatan masyarakat dalam kegaitan penataan ruang setidaknya
memperhatikan hal berikut4:
a) Masyarakat yang terlibat dan dilibatkan harus mewakili semua kelompok kepentingan dengan
komposisi yang proporsional termasuk juga kepentingan kelompok yang terpinggirkan;
b) Penentuan masyarakat yang terlibat dan dilibatkan silakukan secara acak dengan melakukan
analisis stakeholder berdasarkan kriteria sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Langkah-langkah dari proses teknis perencanaan yang berbasis bottom-up (pelibatan
masyarakat) secara umum dirangkum dalam diagram bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfataan pengendalian di bawah ini.5
PERENCANAAN TATA
RUANG

Bentuk
Peran
Masyarakat

a. masukan mengenai:
1.persiapan penyusunan
rencana tata ruang;
2.penentuan arah
pengembangan wilayah
atau kawasan;
3.pengidentifikasian
potensi dan masalah
pembangunan wilayah
atau kawasan;
4.perumusan konsepsi
rencana tata ruang;
dan/atau
5.penetapan rencana tata
ruang.
b. kerja sama dengan

Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau sesama
unsur masyarakat dalam
perencanaan tata ruang.

PEMANFAATAN TATA
RUANG
a. masukan mengenai kebijakan
pemanfaatan ruang;
b. kerja sama dengan
Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau sesama
unsur masyarakat dalam
pemanfaatan ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang
yang sesuai dengan kearifan
lokal dan rencana tata ruang
yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi,
efektivitas, dan keserasian

dalam pemanfaatan ruang
darat, ruang laut, ruang udara,
dan ruang di dalam bumi
dengan memperhatikan
kearifan lokal serta sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. kegiatan menjaga
kepentingan pertahanan dan
keamanan serta memelihara
dan meningkatkan kelestarian
fungsi lingkungan hidup dan
sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam
pemanfaatan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

PENGENDALIAN
TATA RUANG

a. masukan terkait arahan
dan/atau peraturan
zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan
disinsentif serta
pengenaan sanksi;
b. keikutsertaan dalam
memantau dan
mengawasi pelaksanaan
rencana tata ruang yang
telah ditetapkan;
c. pelaporan kepada
instansi dan/atau pejabat
yang berwenang dalam
hal menemukan dugaan
penyimpangan atau
pelanggaran kegiatan
pemanfaatan ruang yang
melanggar rencana tata
ruang yang telah

ditetapkan; dan
d. pengajuan keberatan
terhadap keputusan
pejabat yang berwenang
terhadap
e. pembangunan yang
dianggap tidak sesuai
dengan rencana tata
ruang.

Diagram 1. Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfataan pengendalian
(Sumber: Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 Pasal 6-9, disarikan)

4. http://bandung.go.id/images/Materi_Teknis_RTRW_2011-2031/Bab_9_Peran_Masyarakat.pdf [20.12.2014]
5. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 Pasal 6-14, disarikan

3

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam

PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Tata Cara
Peran
Masyarakat

PERENCANAAN TATA
RUANG

PEMANFAATAN TATA
RUANG

PENGENDALIAN
TATA RUANG

a. menyampaikan
masukan mengenai arah
pengembangan, potensi
dan masalah, rumusan
konsepsi/rancangan

rencana tata ruang
melalui media
komunikasi dan/atau
forum pertemuan; dan
b. kerja sama dalam
perencanaan tata ruang
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan.

a. menyampaikan masukan
mengenai kebijakan
pemanfaatan ruang melalui
media komunikasi dan/atau
forum pertemuan;
b. kerja sama dalam
pemanfaatan ruang sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
c. pemanfaatan ruang sesuai
dengan rencana tata ruang

yang telah ditetapkan; dan
d. penaatan terhadap izin
pemanfaatan ruang.

a. menyampaikan
masukan terkait arahan
dan/atau peraturan
zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan
disinsentif serta
pengenaan sanksi
kepada pejabat yang
berwenang;
b. memantau dan
mengawasi pelaksanaan
rencana tata ruang;
c. melaporkan kepada
instansi dan/atau pejabat
yang berwenang dalam
hal menemukan dugaan
penyimpangan atau
pelanggaran kegiatan
pemanfaatan ruang yang
melanggar rencana tata
ruang yang telah
ditetapkan; dan
d. mengajukan keberatan
terhadap keputusan
pejabat yang berwenang
terhadap pembangunan
yang tidak sesuai
dengan rencana tata
ruang.

Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara peran
masyarakat dalam
perencanaan tata ruang di
daerah sebagaimana
dimaksud dalam butir diatur
dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri

Diagram 2. Tata cara peran masyarakat dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfataan pengendalian
(Sumber: Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2010 Pasal 9-14, disarikan)

Secara lebih rinci, proses teknis perencanaan penataan ruang dengan melibatkan masyarakat
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Peran
Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah. Masukan mengenai perencanaan tata ruang
dalam Peraturan Menteri ini (pasal 4 ayat (2)), disampaikan dalam 5 (lima) tahapan:
1) persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2) pengumpulan dan analisis data yang meliputi:
a. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan; dan
b. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah/kawasan.
3) perumusan konsepsi rencana tata ruang;
4) penyusunan rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang; dan
5) penetapan rencana tata ruang.
4

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Kelima tahapan penyusunan rencana tata ruang daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) tersebut
secara umum dapat digambarkan seperti Diagram 3 dibawah ini. Pada proses penyusunan rencana
tata ruang (tahap 1-4), dalam hal ini Pemerintah diwakili oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda), sedangkan pada tahap penetapan rencana tata ruang (tahap 5) dilakukan oleh
Kepala Daerah. Selanjutnya, yang dimaksud dengan masyarakat adalah orang perseorangan,
kelompok orang yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang, memiliki keahlian di
bidang penataan ruang, dan/atau kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.

Diagram 3. Alur Proses Perencanaan Tata Ruang
(Sumber: Dr. Sjofjan Bakar, M.Sc, Kemendagri, 2010)

Output dari kelima tahapan proses perencanaan tata ruang adalah Rencana Tata Ruang
Provinsi/Kabupaten/Kota, dengan rincian sebagai berikut:
 Rencana tata ruang provinsi, terdiri dari:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP); dan
b. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi (RTRKSP).
 Rencana tata ruang kabupaten/kota sebagaimana, terdiri dari:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK/K);
b. Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota (RTRKSK/K); dan
c. Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota (RDTRK/K).

1. Persiapan Penyusunan Rencana Tata Ruang
Dalam tahapan ini dibagi menjadi 2 (dua) pihak yaitu Pemerintah dan Masyarakat. Langkahlangkah yang dilakukan oleh Pemerintah dalam tahapan ini yaitu Bappeda melaksanakan
kegiatan persiapan penyusunan rencana tata ruang daerah yang kemudian dipublikasikan melalui
5

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

media komunikasi kepada masyarakat, dengan paling sedikit memuat: gambaran umum wilayah
perencanaan; kesesuaian produk rencana tata ruang daerah sebelumnya dengan kondisi dan
kebijakan saat ini; hasil kajian awal berupa kebijakan terkait wilayah perencanaan, isu strategis,
potensi dan permasalahan awal wilayah perencanaan, serta gagasan awal pengembangan wilayah
perencanaan; metodologi pendekatan pelaksanaan pekerjaan yang akan digunakan; dan rencana
kerja pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang daerah. Selanjutnya, masyarakat dapat
memberikan masukan terhadap hasil pelaksanaan kegiatan persiapan penyusunan rencana tata ruang
daerah yang telah dipublikasikan oleh Bappeda paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal dipublikasikan, penyampaian masukan masyarakat dilakukan melalui media komunikasi
atau dialog. Kemudian, Bappeda menyempurnakan materi atau substansi yang tertuang dalam hasil
pelaksanaan kegiatan persiapan penyusunan rencana tata ruang daerah tersebut, dengan
mempertimbangkan masukan dari masyarakat.
2. Pengumpulan dan Analisis Data
Dalam tahapan ini dibagi menjadi 2 (dua) tahap yaitu pengumpulan data dan analisis data.
Langkah-langkah pengumpulan data dapat dilakukan melalui temu wicara, wawancara, kunjungan
lapangan, penyebaran angket atau kajian pustaka. Penyebaran angket dapat dilakukan secara
langsung kepada masyarakat dan/atau melalui media komunikasi, kemudian masyarakat
menyampaikan kembali isian angket yang telah disebarkan secara langsung dan/atau melalui media
komunikasi kepada Bappeda paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal disebarkannya
angket.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan hasil penyempurnaan materi atau substansi dari
tahap pertama dan data yang didapat dari proses pengumpulan data. Analisis tersebut menghasilkan
draft rumusan hasil analisis rencana tata ruang daerah yang selanjutnya menjadi bahan untuk
dibahas dalam forum pertemuan. Draft rumusan hasil analisis tersebut, untuk RTRWP, RTRKSP,
RTRWK/K, dan RTRKSK/K, memuat: karakteristik wilayah/kawasan perencanaan, kebijakan
terkait wilayah/kawasan perencanaan, isu strategis, potensi dan permasalahan wilayah/kawasan
perencanaan; dan gagasan pengembangan wilayah/kawasan perencanaan. Sedangkan draft rumusan
hasil analisis untuk RDTRK/K, memuat: potensi dan masalah pengembangan di Bagian Wilayah
Perkotaan, peluang dan tantangan pengembangan, kecenderungan perkembangan, perkiraan
kebutuhan pengembangan di Bagian Wilayah Perkotaan, intensitas pemanfaatan ruang sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung (termasuk prasarana/infrastruktur dan utilitas), dan
identifikasi indikasi arahan penanganan kawasan dan lingkungan.
Setelah proses analisis selesai dilakukan, selanjutnya Bappeda melaksanakan forum pertemuan.
Rencana pelaksanaan forum pertemuan dan draft rumusan hasil analisis dipublikasikan kepada
6

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

masyarakat melalui media komunikasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum
pelaksanaan. Setelah itu, Bappeda mengundang masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari kerja
sebelum pelaksanaan forum pertemuan. Forum pertemuan diselenggarakan untuk menyepakati draft
rumusan hasil analisis yang telah disusun. Kesepakatan forum pertemuan dituangkan ke dalam
Berita Acara yang ditandatangani oleh wakil setiap unsur pemangku kepentingan yang menghadiri
forum pertemuan. Kesepakatan forum pertemuan tersebut menjadi bahan untuk perumusan konsepsi
rencana tata ruang.

3. Perumusan Konsepsi Rencana Tata Ruang
Pada tahapan ini, dimulai dengan Bappeda menyusun konsep rencana tata ruang daerah.
Hasil rumusan konsepsi tersebut dipublikasikan kepada masyarakat melalui media
komunikasi. Publikasi konsepsi RTRWP, RTRWK/K, RTRKSP RTRKSK/K, dan RDTRK/K
memuat beberapa alternatif konsepsi pengembangan wilayah. Selanjutnya, masyarakat dapat
memberikan masukan terhadap hasil publikasi konsepsi rencana tata ruang daerah tersebut.
Masukan dari masyarakat menjadi bahan pertimbangan untuk pemilihan alternatif konsepsi
pengembangan wilayah. Penyampaian masukan masyarakat dilakukan melalui forum
pertemuan yang diselenggarakan oleh Bappeda atau melalui media komunikasi. Selanjutnya,
Bappeda melaksanakan forum pertemuan. Rencana pelaksanaan forum pertemuan tersebut
dipublikasikan kepada masyarakat melalui media komunikasi paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sebelum pelaksanaan. Bappeda mengundang masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sebelum pelaksanaan forum pertemuan. Forum pertemuan tersebut diselenggarakan
untuk memilih dan menyepakati alternatif terbaik dari beberapa alternatif konsepsi
pengembangan wilayah. Jumlah forum pertemuan disesuaikan dengan kebutuhan sampai
dengan disepakatinya konsepsi rencana tata ruang daerah. Kesepakatan forum pertemuan
dituangkan ke dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh wakil setiap unsur pemangku
kepentingan yang menghadiri forum pertemuan.

4. Penyusunan Rancangan Perda
Pada tahapan penyusunan rancangan Perda ini, dimulai dengan Bappeda menyusun
rancangan perda tentang rencana tata ruang daerah. Rancangan perda tentang rencana tata
ruang daerah dipublikasikan kepada masyarakat melalui media komunikasi.
Publikasi rancangan perda tentang RTRWP dan RTRWK/K paling sedikit memuat:
ketentuan umum; ruang lingkup, tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah;
rencana struktur ruang wilayah; rencana pola ruang wilayah; penetapan kawasan strategis;
7

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

arahan pemanfaatan ruang wilayah; arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah;
kelembagaan;

peran masyarakat;

penyidikan;

ketentuan pidana;

ketentuan penutup;

penjelasan; dan lampiran. Arahan pengendalian pemanfaatan ruan, untuk rancangan perda
tentang RTRWK/K menggunakan istilah ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang.
Lampiran, terdiri atas: Peta Rencana Struktur Ruang; Peta Rencana Pola Ruang; Peta
Penetapan Kawasan Strategis; dan Indikasi Program Utama.
Publikasi rancangan perda tentang RTRKSP dan RTRKSK/K paling sedikit memuat:
ketentuan umum; ruang lingkup, tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan;
tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan; rencana struktur ruang kawasan;
rencana pola ruang kawasan; arahan pemanfaatan ruang kawasan; arahan pengendalian
pemanfaatan ruang kawasan; pengelolaan kawasan; kelembagaan; peran masyarakat;
penyidikan; ketentuan pidana; ketentuan penutup; penjelasan; dan lampiran. Arahan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan untuk rancangan perda tentang RTRKSK/K
menggunakan istilah ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan. Lampiran terdiri
atas: Peta Rencana Struktur Ruang; Peta Rencana Pola Ruang; dan Indikasi Program Utama.
Publikasi rancangan perda tentang RDTRK/K paling sedikit memuat: ketentuan umum;
tujuan penataan BWP; rencana pola ruang; rencana jaringan prasarana; penetapan sub BWP
yang diprioritaskan penanganannya; ketentuan pemanfaatan ruang; dan peraturan zonasi.
Selanjutnya, masyarakat dapat memberikan masukan terhadap rancangan perda tentang
rencana tata ruang daerah dan disampaikan kepada Bappeda paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sejak tanggal dipublikasikannya melalui media komunikasi atau dialog. Bappeda
menyempurnakan muatan atau materi rancangan perda tentang rencana tata ruang daerah
dengan mempertimbangkan masukan masyarakat.

5. Penetapan Rencana Tata Ruang Daerah
Gubernur dan Bupati/Walikota menetapkan rancangan perda tentang rencana tata ruang
menjadi Perda. Bappeda mempublikasikan perda yang telah ditetapkan kepada masyarakat
melalui media komunikasi dan/atau forum pertemuan. Peran masyarakat dalam tahap
penetapan rencana tata ruang daerah berupa peran aktif masyarakat dalam mentaati dan
melaksanakan perda tentang rencana tata ruang.

8

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Soal 2.
Proses Suburbanisasi pada kota-kota besar dan metropolitan di Indonesia umumnya menghadirkan
gejala kotadesasi dan job-housing mismatch. Diskusikan kedua gejala ini dalam mempengaruhi
proses perkembangan perkotaan kita dalam beberapa waktu ke depan.

Jawab :
Suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga
kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan
penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan industri (Rustiadi dan
Panuju, 1999)1 atau penyebaran penduduk dan pekerjaan ke wilayah pinggiran kota (Kopecky dan
Suen, 2004 dalam Rusyda et. al., 2013)2. Orang lebih memilih tinggal di pinggiran pusat kota
disebabkan oleh kemudahan akses untuk menjangkau seluruh wilayah kota terutama ke pusat-pusat
kegiatan ekonomi dan jasa, akibatnya terjadi persaingan untuk memperoleh lokasi tersebut karena
dapat mengurangi biaya perjalanan untuk bekerja, berbelanja, dan kegiatan lainnya atau disebut
commuting. Selain itu, perilaku sosial ini juga dipicu oleh harga tanah maupun sewa lahan yang
mahal di pusat-pusat kota, sehingga orang bergerak ke desa-desa di pinggiran kota untuk
mendapatkan harga tanah, sewa lahan, atau pembelian rumah yang lebih murah. Fenomena, yang
disebut McGee (2009)3 sebagai “desakota” ini sangat jelas terlihat pada perkembangan daerahdaerah di sekitar Jakarta serta beberapa kota besar lainnya di Indonesia, yang akhirnya membuat
desa-desa terkonversi menjadi kota dan lahan pertanian semakin menyusut.
Menurut Todaro dalam Rusyda et. al, (2013)4, migrasi desa-kota didorong oleh berbagai
pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat
dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri. Migrasi desa-kota berlangsung sebagai tanggapan
terhadap adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa. Pendapatan yang dimaksud
bukanlah penghasilan yang aktual melainkan penghasilan yang diharapkan (Todaro dan Smith,
2006 dalam Rusyda et. al, 2013)5. Dalil dasar dari model migrasi ini adalah bahwa para migran
senantiasa mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai pasar tenaga kerja yang
tersedia bagi mereka di perdesaan dan perkotaan serta kemudian memilih salah satu di antaranya
yang dapat memaksimumkan manfaat yang diharapkan dari migrasi.
1. Ernan Rustiadi dan Dyah Retno Panuju. 1999. Suburbanisasi Kota Jakarta
2. M.Ikhsany Rusyda, Sukadi, dan Reni Ardianti. 2013. Suburbanisasi, Alih Fungsi Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan
(Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia).
3. Terry McGee. 2009. The Spatiality of Urbanization: The Policy Challenges of Mega-Urban and Desakota Regions of Southeast
Asia
4. M.Ikhsany Rusyda, Sukadi, dan Reni Ardianti. 2013. Suburbanisasi, Alih Fungsi Lahan Dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan
(Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia).
5. ibid

9

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Griffith (1981) dalam Kombaitan (2001)6 menyebutkan bahwa aktivitas kerja dan penghuni
pekerja yang tersebar mengikuti beberapa pusat kerja, tidak hanya satu dikenal dengan model fungsi
kepadatan polisentris. Kombaitan (2001)7 menyatakan dampak dari perkembangan keadaan
polisentrisitas, diantaranya perkembangan kondisi jaringan transportasi pada kawasan intra-urban
ataupun wilayah antar-urban, isu yang berkaitan dengan permukiman mandiri berskala besar dan
kota industri

baru, kondisi kesenjangan rumah-kerja (job-housing mismatch) serta pola-pola

commuting yang terbentuk.
Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara di dunia, kesenjangan rumah-kerja juga
menjadi permasalahan yang cukup serius. Hal ini disebabkan siklus yang terjadi secara terusmenerus dan berulang dimulai dari daya tarik kota atau pusat-pusat kerja yang menarik banyak
pemburu pekerjaan, kemudian peningkatan pendapatan para pekerja tidak sebanding dengan
peningkatan harga lahan yang jauh lebih cepat, sehingga pilihan terbaik adalah dengan membeli
lahan di daerah yang jauh dari pusat-pusat kota (pedesaan/rural) kemudian melakukan commuting.
Ongkos commuting yang lebih mahal akibat jauh dari lokasi kerja dirasakan sebanding dengan
mendapatkan tempat tinggal yang jauh lebih murah. Di sisi lain, para pekerja yang berpendapatan
rendah yang jumlahnya lebih banyak tetap tidak sanggup untuk membeli/menyewa rumah
disebabkan transformasi desakota yang begitu cepat menjadi pusat-pusat aktivitas baru yang
berdampak pada naiknya harga lahan dengan sangat cepat di daerah tersebut, sehingga
mengakibatkan kesenjangan rumah-kerja yang semakin lebar, serta memaksa para pekerja/buruh
berpendapatan rendah untuk mengokupasi lahan secara ilegal dan membangun permukiman kumuh.
Bahkan permasalahan laju transformasi desakota akibat suburbanisasi yang tidak terkendali
(urban sprawl) ini juga akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan antara lain
mengalih-fungsikan kawasan pertanian subur di pinggiran kota, meningkatkan kebergantungan pada
kendaraan bermotor, serta pertumbuhan permintaan transportasi dan energi, sehingga mengarah
pada ketidak-berlanjutan. Beberapa implikasi kebijakan terpenting yang terkait dengan kompaksi
perkotaan terutama dalam prioritas pengembangan pada kawasan pusat/dalam kota sebagai strategi
regenerasi perkotaan, dan pengendalian pemanfaatan ruang melalui instrumen peraturan zonasi.
(Kustiwan, 2010)8.
Menurut saya, kondisi kesenjangan rumah-kerja serta permasalahan lain dalam beberapa
tahun ke depan akan terus berlangsung dan semakin parah jika tidak ada kebijakan Pemerintah yang
signifikan dan tegas untuk mengontrol laju transformasi desakota akibat suburbanisasi tersebut.
6. Kombaitan. 2001. Pencirian Struktur Kota: Tinjauan Teoritik dan Pengujian Empirik
7. Ibid
8. Iwan Kustiwan. 2010. Desertasi: Bentuk dan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan (Kajian Potensi Kompaksi di
Kawasan Perkotaan Bandung. http://www.pps.ui.ac.id

10

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Soal 3.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan
Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat telah mengusulkan sebuah
bentuk pengelolaan seperti yang tertera pada Bab 5 Bagian Kesatu Paragraf 2 (Kelembagaan) dan
Paragraf 3 (mekanisme).

Diskusikan bentuk pengelolaan di atas dengan hal serupa untuk kawasan sejenis yang tertera dalam
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adakah hal-hal yang ingin Anda
garisbawahi dari diskusi ini?

Jawab :
1.

Aspek Kedudukan Kepala Daerah
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas
Daerah kabupaten dan kota, Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi
atas kelurahan dan/atau Desa. Menurut Drs. DA. Djufri Sinaro, MM (2014)1, pasal ini menegaskan
bahwa atasan kepala desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah Bupati/Walikota, atasan
Bupati/Walikota adalah Gubernur, dan atasan Gubernur adalah Presiden.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan dari UU No. 23 Tahun 2014 bahwa
hubungan Gubernur dengan Bupati/Walikota merupakan garis instruksi, sehingga keputusan
Gubernur mengikat harus dipatuhi oleh Bupati/Walikota.

2.

Aspek Pengaturan Perda2
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan

Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”. Ketentuan Konstitusi tersebut dipertegas dalam UU No.10/2004 yang menyatakan
jenis peraturan perundang-undangan nasional dalam hierarki paling bawah sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 7 UU yang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

1. http://www.majalahbakaba.com/2014/11/pemaparan-uu-no-23-tahun-2014-drs-da.html [21.12.2014]
2. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undanganlainnya.html [21.12.2014]

11

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Berdasarkan jenis dan hierarki tersebut, peraturan perundang-undangan tunduk pada asas
hierarki yang diartikan suatu peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau derajatnya.
Sesuai asas hierarki dimaksud peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem yang
memiliki ketergantungan, keterkaitan satu dengan yang lain. Untuk itu Perda dilarang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, segala klausul, termasuk di dalamnya mengenai kelembagaan dan
mekanisme pengelolaan pembangunan, dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan
di Jawa Barat yang bertentangan atau tidak sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, akan batal demi hukum.
Lebih jauh lagi, menurut saya, karena Gubernur secara otomatis menjadi atasan Bupati/Walikota,
maka pasal 11 hingga 19 pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014 perlu
ditinjau kembali, karena dalam hal ini, Gubernur berhak untuk mengelola pembangunan lintas
kabupaten/kota di wilayahnya, tanpa persetujuan Bupati/Walikota, selama tidak melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku demi kesejahteraan rakyat.

3.

Aspek Pembagian Urusan Pemerintahan (Pusat dan Daerah)
Berdasarkan Grand Design Pembangunan Metropolitan di Jawa Barat (BAPPEDA JABAR,

2014)3, ada 6 (enam) kawasan (3 kawasan metropolitan dan 3 pusat pertumbuhan) yang akan
dikembangkan seperti pada tabel dibawah ini.

3. Grand Design Pembangunan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat, Bappeda Jabar, 2014

12

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Tabel 1. Arah Kebijakan Pengembangan Kawasan
NO.
1

Wilayah

Kawasan Strategis

Metropolitan Bodebek Karpur (Kota Bogor, Metropolitan mandiri dengan sektor unggulan
Kab. Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kab. industri manufaktur, jasa, keuangan, serta
Bekasi, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta)

2

perdagangan, hotel, dan restoran

Metropolitan Bandung Raya (Kota Bandung, Metropolitan Wisata Perkotaan, Industri
Kota Cimahi, Kab. Bandung Barat, Kab. Kreatif, Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan
Bandung, Kab. Sumedang)

3

Seni

Metropolitan Cirebon Raya (Kota Cirebon, Metropolitan Budaya dan Sejarah, Berbasis
Kab.

Cirebon,

Kab.

Kuningan,

Kab. Wisata, Industri, dan Kerajinan

Majalengka, Kab. Indramayu)
4

Pusat Pertumbuhan Palabuhan Ratu

Pusat

pertumbuhan

berbasis

wisata

dan

perikanan
5

Pusat Pertumbuhan Rancabuaya

Pusat pertumbuhan berbasis wisata

6

Pusat Pertumbuhan Pangandaran

Pusat

pertumbuhan

berbasis

wisata

dan

pertanian

Sebagai contoh, berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pembagian urusan pemerintahan
bidang pariwisata adalah sebagai berikut:

Jika dilihat dari tabel diatas, maka untuk wilayah yang diarahkan untuk pengembangan
kawasan pariwisata tidak dapat ditetapkan secara langsung oleh Gubernur/Bupati/Walikota, karena
penetapan kawasan strategis pariwisata menjadi wewenang atau urusan Pemerintah Pusat. Oleh
sebab itu, perlu adanya penyesuaian pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014
agar bisa sejalan dengan UU No. 23 Tahun 2014.
13

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Soal 4.
Anda telah mengerjakan Tugas Bacaan dari beberapa kasus Perencanaan.
a. Apa tema dari kasus Perencanaan yang Anda pilih?
b. Kemukakan pembagian tugas dalam Kelompok Kerja Anda!
c. Kemukakan lingkup pekerjaan Anda sesuai dengan uraian butir b di atas!
d. Diskusikan lesson learned yang Anda peroleh dari pengerjaan tugas bacaan ini!

Jawab :
a. Tema yang kelompok kami pilih adalah “Tanah Timbul di Kota Cirebon, Peluang &
Tantangan“.
b. Secara umum pembagian tugas kelompok kami dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
No.
1

Nama
Nia Noorrahmah

NIM

Tugas

25414026

Peluang, analisis tantangan dan strategi melalui
aspek tata ruang dan sosial ekonomi

2

Rezza Munawir

25414047

Analisis tantangan dan strategi melalui aspek legal
dan lingkungan, kesimpulan

3

Frans Almartha

25414060

Pendahuluan dan pengolahan citra landsat dari
USGS

c. Lingkup pekerjaan yang saya lakukan dalam penyusunan karya tulis ini yaitu menganalisis
tantangan dari keberadaan tanah timbul di Kota Cirebon dipandang dari aspek legal dan
lingkungan, serta mencoba merumuskan strategi untuk menjawab tantangan tersebut.
Tantangan dan Strategi (Aspek Legal)1
Tantangan: Permasalahan Legalitas Lahan
-

Konflik perebutan tanah timbul;

-

Tanah timbul merupakan tanah yang otomatis menjadi milik negara, namun Pemerintah
Kota Cirebon tidak tegas;

-

Sertifikasi tanah oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) terhadap masyarakat yang
mengokupasi tanah timbul;

-

Bantuan pemerintah masih terus dikucurkan untuk mensejahterakan masyarakat
setempat;

1. Noorrahmah, et.al., 2014. Tanah Timbul di Kota Cirebon, Peluang & Tantangan

14

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

-

Pengurugan dengan sampah, tanah, dan bongkaran bangunan untuk percepatan proses
pembentukan tanah timbul;

-

Arus urbanisasi yang turut membuat pemanfaatan ilegal tanah timbul semakin intensif;

-

Masyarakat setempat yang didukung oleh kekuatan legislatif terutama dalam posisinya
sebagai lumbung suara pada saat pemilihan umum daerah;

-

Semua permasalahan diatas timbul diduga disebabkan karena belum adanya peraturan
serta penegakan hukum yang tegas; dan

-

Belum ada peraturan daerah mengenai peruntukan dan penggunaan tanah tanah timbul
di Kota Cirebon.

Strategi: Upaya Memastikan Legalitas Lahan
-

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Lahan  Tanah
timbul dikuasai langsung oleh Negara;

-

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 401-1293 Tahun 1996  Tanah
timbul dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya
penguasaan/pemilikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;

-

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 9
Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil  Tanah
timbul harus dimanfaatkan dan dikelola untuk mendukung pulihnya ekosistem pesisir,
yang penguasaan tanahnya dikuasai negara;

-

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pengurusan Hutan
Mangrove dan Hutan Pantai  Tanah timbul merupakan kawasan lindung yang
berfungsi sebagai kawasan perlindungan setempat; dikuasai oleh negara di bawah
pengawasan Gubernur; Bupati/Walikota menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah
timbul dan disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; Pengaturan lebih lanjut mengenai tanah timbul,
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

-

Berdasarkan uraian tentang pengaturan terkait tanah timbul di atas dan guna
mengantisipasi okupasi lahan oleh masyarakat secara terus-menerus, maka Pemerintah
Kota Cirebon harus melakukan upaya dengan menyusun dan menetapkan Peraturan
Daerah Kota Cirebon tentang status kepemilikan, peruntukan dan penggunaan tanah
timbul yang disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
15

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

-

Pemerintah Kota Cirebon bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional Propinsi
agar segera melakukan inventarisasi tanah timbul termasuk ke dalam wilayah Kota
Cirebon.

Tantangan dan Strategi (Aspek Lingkungan)2
Tantangan: Permasalahan Lingkungan
-

Terjadi kerusakan serius pada habitat mangrove di pesisir pantai Kota Cirebon;

-

Rusaknya ekosistem mangrove menyebabkan tingginya tingkat abrasi pantai dan
sedimentasi;

-

Minimnya hutan mangrove serta perusakan mangrove di pesisir pantai Kota Cirebon ini
diduga juga telah mempercepat proses intrusi air laut dan menyebabkan berkurangnya
biota laut dan fauna pantai lainnya;

-

Sedimentasi terjadi pada semua sungai akibat pembuangan limbah padat dan proses
erosi di hulu sungai, serta sampah banyak berasal dari daerah lain, sehingga mengotori
pantai Kota Cirebon;

-

Topografi wilayah pesisir yang datar dan ada beberapa sungai yang bermuara di lokasi
ini, maka pada saat musim penghujan, potensi terjadinya banjir sangat besar;

-

Di wilayah pesisir genangan banjir kiriman disebabkan oleh kurang baiknya sistem
drainase dari hulu, kondisi ini akan lebih parah bila bersamaan dengan terjadinya
pasang purnama dan bulan gelap dan penduduk sering menyebutnya “ROB”;

-

Kawasan pesisir pantai juga masih banyak dijumpai areal tambak baik yang masih
diusahakan maupun yang sudah ditinggalkan dan sangat sedikit sekali kawasan pesisir
pantai yang luasan jalur hijaunya (greenbelt) masih baik dan memenuhi ketentuan
lingkungan hidup;

-

Munculnya tanah timbul, dimanfaatkan masyarakat menjadi permukiman kumuh; dan

-

Pengurugan dengan sampah, tanah, dan bongkaran bangunan untuk percepatan proses
pembentukan tanah timbul.

Strategi: Rehabilitasi Kawasan Pesisir Pantai
-

Manfaat ekosistem di wilayah pesisir, yaitu: manfaat yang menyokong kehidupan,
manfaat terhadap sosiobudaya, dan manfaat terhadap produksi;

-

Manfaat lainnya perlindungan terhadap badai, pertahanan terhadap erosi garis pantai,
perlindungan terhadap polusi dari daratan, konservasi habitat dan keanekaragaman flora

2. Noorrahmah, et.al., 2014. Tanah Timbul di Kota Cirebon, Peluang & Tantangan

16

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

dan fauna, perlindungan akses ke daratan, perlindungan dari pembangunan di kawasan
pantai, dan mitigasi terhadap kenaikan muka air laut;
-

Pemerintah Kota Cirebon harus segera melakukan upaya antisipasi dengan manajemen
kawasan pesisir pantai di wilayahnya;

-

Habitat kritis yang sudah rusak harus direhabilitasi ke level tertinggi yang paling
memungkinkan dari produktivitas dan biodiversitas, antara lain tanah rawa ditanami
kembali, tambak-tambak dibongkar, air bersih dan air pasang ke hutan mangrove bisa
diperbaiki, dan terumbu karang diperbarui;

-

Program

rehabilitasi

lainnya,

antara

lain

pengangkutan/pembersihan

sampah,

penanaman kembali hutan mangrove, dan menetapkan tanah timbul sebagai kawasan
lindung;
-

Usaha lainnya yaitu pendidikan terhadap seluruh lapisan masyarakat untuk melawan
laju pengrusakan lingkungan.

d. Lesson learned yang saya dapatkan dari tugas ini adalah tanah timbul merupakan tanah yang
secara otomatis milik negara, namun dalam kasus Kota Cirebon, tanah timbul tersebut tidak
dilindungi dengan payung hukum yang tegas yang menyatakan kepemilikan tanah timbul
oleh Pemerintah Kota Cirebon (dibawah pengawasan Walikota). Permasalahan sulitnya
mendapatkan lahan yang murah di daerah perkotaan mendorong masyarakat mengokupasi
tanah timbul secara serampangan, padahal tanah timbul merupakan salah satu ekosistem
pantai yang berguna bagi ekosistem flora dan fauna pantai. Jika tidak segera ditangani
secara tegas oleh Pemerintah, dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan ekosistem pantai
yang lebih parah. Selain itu, konflik yang bernuansa politis juga melingkupi permasalahan
ini dimana masyarakat setempat tidak bisa dengan tegas ditertibkan oleh Pemerintah karena
diduga dilindungi oleh anggota legislatif setempat karena posisinya yang bermanfaat bagi
lumbung suara pada saat pemilihan umum daerah. Sehingga saya simpulkan, permasalahan
tanah timbul di Kota Cirebon pada dasarnya hanya membutuhkan penegakan hukum yang
tegas dari Pemerintah agar permasalahan yang ada tidak semakin berlarut-larut dan menjadi
semakin rumit.

17

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat dalam Penataan Ruang
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014 Tentang Tata Cara
Peran Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang Daerah
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan
Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat
Bappeda Provinsi Jawa Barat. 2014. Grand Design Pembangunan Metropolitan dan Pusat
Pertumbuhan di Jawa Barat.
DA. Djufri Sinaro, Drs. MM. 2014. Pemaparan UU No. 23 tahun 2014 oleh Drs. DA. Djufri
Sinaro, MM. http://www.majalahbakaba.com/2014/11/pemaparan-uu-no-23-tahun-2014drs-da.html [21.12.2014]
Ernan

Rustiadi

dan

Dyah

Retno

Panuju.

1999.

Suburbanisasi

Kota

Jakarta.

http://www.slideshare.net/Ramadhani2603/ernan-rustiadi-suburbanisasi-kota-jakarta
[21.12.2014]
Iwan Kustiwan. 2010. Desertasi: Bentuk dan Pengembangan Kawasan Perkotaan Berkelanjutan
(Kajian Potensi Kompaksi di Kawasan Perkotaan Bandung. http://www.pps.ui.ac.id
[21.12.2014]
Kombaitan. 2001. Pencirian Struktur Kota: Tinjauan Teoritik dan Pengujian Empirik.
http://www.sappk.itb.ac.id/jpwk/wp-content/uploads/2014/01/Vol-12-No-3-6.pdf
[20.12.2014]
M. Ikhsany Rusyda, Sukadi, dan Reni Ardianti. 2013. Suburbanisasi, Alih Fungsi Lahan Dan
Pengaruhnya Terhadap Lingkungan (Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia).
http://demografi.bps.go.id/phpfiletree/bahan/kumpulan_tugas_mobilitas_pak_chotib/kelom
pok_8/tugas_kel_8__paper_dan_presentasi/tugas_migrasi_kel_8_suburbanisasi.pdf
[21.12.2014]
Muhammad Sapta Murti, SH, MA, MKn. 2010. Harmonisasi Peraturan Daerah dengan
Peraturan Perundang-undangan Lainnya. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-danpuu/422-harmonisasi-peraturan-daerah-dengan-peraturan-perundang-undanganlainnya.html [21.12.2014]

18

Rezza Munawir – 25414047
Take Home Exam
PL 5105 Perencanaan Wilayah dan Kota

Nia Noorrahmah, Rezza Munawir, Frans Almartha. 2014. Tanah Timbul di Kota Cirebon, Peluang
& Tantangan
Portal

Kota

Bandung.

2014.

http://bandung.go.id/images/Materi_Teknis_RTRW_2011-

2031/Bab_9_Peran_Masyarakat.pdf [20.12.2014]
Sjofjan Bakar, M.Sc Dr. (Direktur). 2010. Bahan Presentasi yang disampaikan pada Acara: Forum
Diskusi Menjalin Peran Para Pelaku Penataan Ruang; Batam, 29 Juli 2010. Direktorat
Fasilitasi Penataan Ruang Dan Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Bina Pembangunan
Daerah,

Kementerian

Dalam

Negeri:.

http://www.slideshare.net/cappaonly/peran-

masyarakat-dlm-penataan-ruang-7371778 [20.12.2014]
Terry McGee. 2009. The Spatiality of Urbanization: The Policy Challenges of Mega-Urban and
Desakota Regions of Southeast Asia

19