Evaluasi Perencanaan Pembangunan Oleh Badan Perencanaan pembangunann Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009 (suatu studi di kantor Bappeda Kabupaten Sukabumi)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Laporan Kuliah Kerja Lapangan

Proses perencanaan merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan memiliki titik fokus untuk mencapai satu kondisi keseimbangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. Oleh karena itu dalam memahami perencanaan maka akan lebih baik apabila perencanaan dipahami sebagai sebuah suatu upaya untuk membuat pengetahuan dan tindakan teknis dalam perencaan yang secara efektif akan mendorong tindakan-tindakan publik.

Adapun proses perencanaan pembangunan nasional meliputi : 1. Proses politik.

2. Proses teknokratik (perencana yang dilakukan oleh perencana profesional, atau oleh lembaga/unit organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan khususnya dalam pemantapan peran, funsi dan kompetensi lembaga perencana).

3. Proses partisipatif (proses yang melibatkan masyarakat {stakeholder}).


(2)

4. Proses bottom up dan top down (perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hierarki pemerintahan).

Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perncanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang bersangkutan (stakeholder) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki, sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.

Mekanisme perencanaan pembangunan dimulai dari penjaringan aspirasi masyarakat dan pengkajian kebutuhan masyarakat melalui musyawarah di tingkat Kelurahan yang dilanjutkan dengan musyawarah di tingkat Kecamatan dan Kota. Sehubungan dengan itu, pemerintah Kota Sukabumi menyusun agenda dan langkah-langkah penyempurnaan yang bertahap.

Perubahan kondisi sosial, ekonomi dan politik yang sangat fundamental menunutunya perlunya sistem perencanaan pembangunan yang konprehensif dan mengarah kepada perwujudan transparansi, akuntabilitas, demokratisasi, desentralisasi, dan partisiapasi masyarakat, yang pada akhirnya dapat menjamin pemanfaatan dan pengalokasian sumber dana pembangunan yang semakin terbatas menjadi lebih efisien


(3)

dan efektif serta berkelanjutan. Salah satu upaya untuk merespon tuntutan tersebut secara sistematis adalah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).

Dalam sistem yang baru, tahapan perencanaan pembangunan terdiri dari 4 (empat) tahapan, yakni; (1) penyusunan rencana, (2) penetapan rencana, (3) penegendalian pelaksanaan rencana, dan (4) evaluasi pelaksanaan rencana. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana merupakan bagian-bagian dari fungsi manajemen, yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keempatnya saling melengkapi dan masing-masing memberi umpan balik serta masukan kepada yang lainnya. Perencanaan yang telah disusun dengan baik, tidak ada artinya jika tidak dapat dilaksnakan. Setiap pelaksanaan rencana tidak akan berjalan lancar jika tidak didasarkan kepada perencanaan yang baik. Sejalan dengan itu, dalam rangka meningkatkan efesiensi dan efektivitas alokasi sumber daya, serta menigkatkan trasparansi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan, perlu dilakukan upaya pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan.

Pengendalian dilakukan dengan maksud untuk dapat menjamin bahwa pelaksanaan rencana pembangunan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Kegiatan pemantauan dimaksudkan untuk mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan;


(4)

mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul untuk dapat di ambil tindakan sedini mungkin.

Tindak lanjut merupakan kegiatan atau langkah-langkah operasional yang ditempuh berdasarkan pada hasil pelaksanaan kegiatan dan pengawasan untuk menjamin untuk menjamin agar pelaksanaan kegiatan sesuai dengan acuan dan rencana yang telah ditetapkan, seperti antara lain, melakukan koreksi atas penyimpangan kegiatan, akselerasi atas keterlambatan pelaksanaan, ataupun klarifikasi atas ketidakjelasan pelaksanaan rencana.

Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat mengetahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam pelaksanaan rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan rencana pembangunan di masa yang akan datang. Fokus utama evaluasi diarahkan kepada pelaksanaan rencana pembangunan. Oleh karena itu, dalam perencanaan yang transparan dan akuntabel, harus disertai dengan penyusuanan indikator kinerja pelaksanaan rencana, yang meliputi ; (i) indikator masukan, (ii) indikator keluaran, (iii) indikator hasil/manfaat.

Di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dapat dilakukan pada berbagai tahapan yang berbeda, yaitu evaluasi pada tahap perencanaan (ex-ante), evaluasi pada tahap pelaksanaan (on-going), evaluasi pada tahap pasca pelaksanaan (ex-post)


(5)

Berdasarkan latar belakang laporan Kuliah Kerja Lapangan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan laporan Kuliah Kerja Lapangan yang hasilnya Penulis akan mencoba mencari pemecahan masalah dengan mengajukan judul laporan sebagai berikut “Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009 “

1.2 Identifikasi Masalah

Penulis melakukan identifikasi masalah berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, untuk memfokuskan arah dan proses pembahasan sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009?

2. Bagaimana ketepatan Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009?

1.3 Maksud dan Tujuan Laporan Kuliah Kerja Lapangan

Maksud dari laporan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keefektifan dan tujuan yang dicapai dari evaluasi perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan


(6)

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi, agar dapat dipertanggungjawabkan. Adapun tujuannya adalah:

1. Untuk mengetahui efektivitas Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009

2. Untuk mengetahui ketepatan Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009

1.4 Kegunaan Laporan Kuliah Kerja Lapangan

Penulis mengharapkan dengan terselesaikannya laporan Kuliah Kerja Lapangan ini, dapat memperoleh hasil yang bermanfaat bagi perkembangan Evaluasi Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi. Adapun kegunaan laporan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah:

1. Bagi kepentingan Penulis

Untuk mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang Evaluasi Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi.

2. Bagi kepentingan teoritis

Hasil laporan Kuliah Kerja Lapangan ini diharapkan memberikan sumbangan laporan Kuliah Kerja Lapangan bagi perkembangan ilmu politik umumnya dan Evaluasi Perencanaan Pemabangunan oleh


(7)

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi khususnya, serta dapat juga digunakan sebagai bahan acuan atau dasar untuk laporan Kuliah Kerja Lapangan selanjutnya. 3. Bagi kepentingan praktis

Melalui Evaluasi Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi diharapkan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang mudah dan terbaik.

1.5 Kerangka Pemikiran

Perencanaan merupakan suatu pemikiran yang rasional dan kegiatan implementatif untuk mengakomodasi kebutuhan baru di masa depan atau suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan bertujuan untuk memprediksi perkembangan daerah dengan melihat karakteristik lokal dan regional. Sehingga informasi yang up to date menjadi tuntutan proses perencanaan. Pemikiran yang rasional dalam perencanaan merupakan proses identifikasi potensi, kendala, permasalahan, kecenderungan perkembangan, dan keterkaitannya dengan daerah-daerah lainnya dalam suatu konstelasi regional, sedangkan kegiatan implementatif merupakan suatu kegiatan pelaksanaan rencana dalam bentuk program-program pembangunan. Kebutuan daerah di masa depan dapat dimanifestasikan


(8)

dalam bentuk fisik dan non fisik berupa sosial budaya, sosial ekonomi, politik yang diwujudkan dan rencana-rencana pembangunan daerah.

Tahapan terakhir dari suatu perencanaan pembangunan adalah evaluasi pelaksanaan rencana. Menurut Lester dan Stewart yang dikutip oleh Leo Agustino dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Kebijakan Publik bahwa evaluasi ditujukan untuk melihat sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan telah dirumuskan dan dilaksanakan dapat menghasilkan dampak yang diinginkan (Dalam Leo, 2006:186). Jadi, evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik dapat meraih hasil yang diinginkan.

Menurut William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik : Edisi Kedua dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Arti tersebut menjelaskan bahwa pada kenyataannya hasil dari suatu kebijakan pasti mempunyai nilai karena hasil dari kebijakan tersebut dalam mencapai tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.

Evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan lainnya yaitu:

1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan program.

2. Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta” maupun “nilai”.


(9)

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda dengan tuntutan-tuntutan advokat, diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. 4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi

mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara. (Dunn, 2003:608-609)

Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari suatu kebijakan dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Kedua yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu kebijakan bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti atau fakta bahwa kebijakan dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari kebijakan tersebut. Dan keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.

Mengenai kinerja kebijakan dalam menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi sebagai berikut:


(10)

Tabel 1.1 Kriteria Evaluasi TIPE

KRITERIA PERTANYAAN ILUSTRASI

Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai?

Unit pelayanan Efisiensi Seberapa banyak usaha

diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan?

Unit biaya Manfaat bersih Rasio biaya-manfaat

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap

(masalah tipe I) Efektivitas tetap (masalah tipe II) Perataan Apakah biaya dan manfaat

didistribusikan dengan merata kepada kelompok-kelompok tertentu?

Kriteria Pareto Kriteria kaldor-Hicks

Kriteria Rawls Responsivitas Apakah hasil kebijakan

memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok tertentu?

Konsistensi dengan survai warga

negara Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang

diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisien

(Sumber: Dunn, 2003:610)

Berdasarkan kriteria di atas, maka penulis mengambil dua dari keenam kriteria evaluasi di atas yaitu efektivitas dan ketepatan. Efektivitas merupakan suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Intinya adalah efek dari suatu aktivitas.

Formulasi dari Rawls berupaya menyediakan landasan terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada konflik. Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis


(11)

cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam kriteria perataan. Berikut menurut William N. Dunn:

“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik” (Dunn, 2003: 437).

Dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan, suatu konsep yang akan disajikan haruslah yang relevan dan berkedudukan sentral dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan tersebut, sehingga perlu dibuat dahulu definisi operasionalnya. Maka, berdasarkan kerangka pemikiran di atas, definisi operasional dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah:

1. Evaluasi perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) di Kabupaten Sukabumi dapat dilihat dalam kriteria evaluasi sebagai berikut:

a. Efektivitas atau hasil yang diinginkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) di Kabupaten Sukabumi untuk menseleksi berbagai alternatif untuk dijadikan rekomendasi didasarkan pertimbangan apakah alternatif yang direkomendasikan tersebut memberikan hasil (akibat) yang maksimal, lepas dari pertimbangan efisiensi.

b. Ketepatan pada nilai atau hasil dari tujuan perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah


(12)

(BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai.

Berdasarkan definisi operasional di atas, maka Penulis merumuskan proposisi sebagaimana menurut Irawan mengemukakan bahwa proposisi adalah suatu pernyataan realitas, oleh karena mengenai hal ikhwal realitas dan bukan mengenai nilai atau pendapat, proposisi dapat diuji untuk menentukan apakah benar atau salah (Dalam Suyanto, 2005:50). Jadi, Penulis mengambil kesimpulan berdasarkan pernyataan yang sebenarnya sesuai fakta, sehingga dari proposisi yang diambil sesuai kebenarannya dengan di lapangan bukan hanya berdasarkan penilaian dan pendapat sendiri. Dari definisi operasional di atas maka dapat dilihat secara singkat kerangka pemikiran di bawah ini:

Bagan 1.1

Model Kerangka Pemikiran

Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh BAPPEDA Kabupaten

Menghasilkan Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh BAPPEDA Kabupaten Sukabumi yang berhasil guna baik untuk pegawai Unit

Pelayanan PKB sendiri maupun untuk pemakai kendaraan umum : Kriteria Evaluasi

: Hasil Evaluasi

Efektivitas dari Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh BAPPEDA

Kabupaten Sukabumi

Ketepatan hasil (tujuan) Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh BAPPEDA Kabupaten Sukabumi


(13)

1.6 Metode Laporan Kuliah Kerja Lapangan

Metode laporan Kuliah Kerja Lapangan yang digunakan dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah metode deskriptif.

“Metode laporan Kuliah Kerja Lapangan deskriptif adalah metode untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih” (Soehartono, 2002:35). Metode deskriptif pada laporan Kuliah Kerja Lapangan ini bertujuan untuk memberikan semacam mekanisme pengawasan melalui evaluasi perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) di Kabupaten Sukabumi agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai tujuan yang hendak dicapai.

Berdasarkan metode yang digunakan, Penulis menggunakan pendekatan kualitatif yaitu berupa gambaran dari jawaban informan. Pendekatan kualitatif menurut Bagong Suyanto merupakan strategi penyelidikan yang naturalistis dan induktif dalam mendekati suatu suasana tanpa hipotesis-hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya (Suyanto, 2005:183). Sedangkan menurut Sugiyono pendekatan kualitatif adalah:

“Metode laporan kuliah kerja lapangan yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana Penulis adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisa data bersifat induktif dan hasil laporan Kuliah Kerja Lapangan kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2005:1).

Berdasarkan pada metode dan pendekatan yang digunakan, maka Penulis dapat mengetahui secara jelas dalam mengevaluasi perencanaan


(14)

pemabangunan di Kabupaten Sukabumi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan teknik pengumpulan data, menentukan informan dan menganalisa data.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan metode laporan Kuliah Kerja Lapangan yang telah dijelaskan di atas, dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan adalah:

a. Observasi

Observasi adalah cara menghimpun data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang dijadikan objek laporan kuliah kerja lapangan (Muhammad, 2003:35). Hal ini Penulis melakukan laporan kuliah kerja lapangan di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi.

b. Studi Pustaka

Studi Pustaka merupakan suatu teknis pengumpulan data yang dilakukan melalui penganalisaan teori-teori yang terdapat dalam buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan laporan kuliah kerja lapangan. Adapun sumber yang dimaksud adalah seperti yang tertulis dalam daftar pustaka dan sumber-sumber lain yang relevan.


(15)

c. Wawancara

Wawancara adalah suatu cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilaksanakan dengan tanya jawab secara lisan, sepihak, berhadapan muka dan dengan arah tujuan yang telah ditentukan (Muhammad, 2003:32). Hal ini Penulis akan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengetahui, memahami lebih jauh dan berhubungan dengan evaluasi perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi yaitu para pegawai atau aparatur di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi.

1.6.2 Teknik Penentuan Informan

Teknik penentuan informasi yang digunakan dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah purposive. Teknik ini merupakan pengambilan sumber data yang terhadap informan yang Penulis pilih sesuai dengan pertimbangan tertentu. Menurut pendapat Sugiyono dari bukunya Memahami Laporan kuliah kerja lapangan Kualitatif, teknik purposive yaitu:

“Teknik pengambilan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu dapat diartikan bahwa informan yang kita pilih dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin sebagai penguasa sehingga akan memudahkan Penulis menjelajahi objek/situasi social yang diteliti” (Sugiyono, 2005:54).


(16)

Pengambilan informan berdasarkan purposive, penentuan informan dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan ini berdasarkan sumber data atau Penulis anggap lebih tahu sehingga dijadikan sebagai informan laporan Kuliah Kerja Lapangan. Informan/sumber data tersebut berkaitan dengan evaluasi perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi, yaitu:

a. Bapak Alek Antariksa, S.IP, sebagai Kepala sub bidang analisis, evaluasi dan pelaporan masa jabatan 2009-2014. Beliau dijadikan sebagai informan dikarenakan beliau pada masa jabatan sebelum dapat dikatakan sebagai wakil dari kepala seksi maka, secara tidak langsung beliau diikutsertakan dalam penerapan dan segala sesuatunya tentang perencanaan pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi.

b. Seluruh aparatur pemerintah yang ada di lingkungan kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi.

1.6.3 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang sesuai dengan usulan laporan Kuliah Kerja Lapangan ini adalah analisa deskriptif kualitatif. Laporan Kuliah Kerja Lapangan kualitatif dapat diartikan sebagai strategi penyelidikan yang naturalistik dan induktif dalam mendekati suatu suasana (setting)


(17)

tanpa hipotesis-hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya. Teori muncul dari pengalaman kerja lapangan dan berakar (grounded) dalam data (Bagong Suyanto, 2005:83). Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan laporan Kuliah Kerja Lapangan ini ada tiga teknik, dikutip dari Sugiyono dengan bukunya Memahami Laporan Kuliah Kerja Lapangan Kualitatif, ketiga teknik tersebut sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang lebih direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah Penulis untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah penyajian data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart (aliran) dan sejenisnya. Penyajian data yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam laporan kuliah kerja lapangan kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif, dengan penyajian data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.


(18)

3. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih belum pasti sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis atau teori. Dengan demikian kesimpulan dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak karena seperti yang telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam laporan Kuliah Kerja Lapangan kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah Penulis berada di lapangan.

1.7 Lokasi dan Waktu Laporan Kuliah Kerja Lapangan

Lokasi yang diambil sebagai tempat laporan Kuliah Kerja Lapangan adalah di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Komplek Perkantoran Pemerintahan daerah Jajaway pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi.

Adapun waktu laporan Kuliah Kerja Lapangan dimulai dari bulan Agustus 2010 dapat dilihat dalam tabel berikut:


(19)

Tabel 1.2

Jadwal Laporan Kuliah Kerja Lapangan

No Kegiatan Tahun 2010

Jul Agus Sept Okt Nov

1

Mengajukan surat ke kantor BAPPEDA Kabupaten Sukabumi 2

Pelaksanaan Kuliah Kerja Lapangan 3 Pengumpulan

data

4 Analisis Data 5 Penulisan

laporan

6 Pengumpulan laporan


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut:

“That is, the greater the extent it which an organization`s goals are met or surpassed, the greater its effectiveness” (Semakin besar pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas) (Gedeian dkk, 1991:61).

Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut.

William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:

“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn, 2003:429).


(21)

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu.

Menurut pendapat Mahmudi dalam bukunya Manajemen Kinerja Sektor Publik mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut: “Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan” (Mahmudi, 2005:92).

Ditinjau dari segi pengertian efektivitas usaha di atas, maka dapat diartikan bahwa efektivitas adalah sejauhmana dapat mencapai tujuan pada waktu yang tepat dalam pelaksanaan tugas pokok, kualitas produk yang dihasilkan dan perkembangan. Pendapat lain juga dinyatakan oleh Susanto, yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi” (Susanto, 1975:156). Berdasarkan definisi tersebut, penulis beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta jika pesan yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.

Menurut pendapat David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L. Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Sudarwan


(22)

Danim dalam bukunya Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok menyebutkan ukuran efektivitas, sebagai berikut:

1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa kuantitas atau bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil dimaksud dapat dilihat dari perbandingan (ratio) antara masukan (input) dengan keluaran (output).

2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini dapat kuantitatif (berdasarkan pula jumlah atau banyaknya) dan dapat kualitatif (berdasarkan pada mutu).

3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungannya kondisi yang kondusif dengan dunia kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan.

4. Intensitas yang akan dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi dalam suatu tingkatan intens sesuatu, dimana adanya rasa saling memiliki dengan kadar yang tinggi.

(Dalam Danim, 2004:119-120).

Berdasarkan uraian di atas, bahwa ukuran daripada efektivitas harus adanya suatu perbandingan antara masukan dan keluaran, ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi, artinya ukuran daripada efektivitas adanya keadaan rasa saling memiliki dengan tingkatan yang tinggi.

Adapun menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas Organisasi menyebutkan beberapa ukuran daripada efektivitas, yaitu:

1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi; 2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;

3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;

4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;

5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi;


(23)

6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;

7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;

8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;

9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;

10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;

11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;

12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan; (Dalam Steers, 1985:46-48).

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi, program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.

2.2 Efisiensi

Mengenai efisiensi, Prajudi Admosudiharjo menyatakan apabila kita berbicara tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal penggunaan sumber daya (resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Admosudiharjo, 1987:17). Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai.


(24)

Adapun menurut William N. Dunn berpendapat bahwa:

“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” (Dunn, 2003:430).

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

Pendapat Mahmudi dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kinerja Sektor Publik menyatakan bahwa efisiensi adalah perbandingan antara output dengan input (Mahmudi, 2007:101). Penyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa efisiensi bukan saja berbicara tentang input yaitu segala jenis sumber daya masukan yang digunakan melalui suatu proses untuk menghasilkan output tersebut yaitu suatu pelayanan publik, contohnya tenaga, infrastruktur dan lain-lain.

Menurut Mahmudi menjelaskan tentang ukuran efisiensi yaitu: “Mengukur biaya output (cost of output). Ukuran efisiensi dapat dinyatakan dalam bentuk biaya per unit output. Ukuran efisiensi mengukur seberapa baik organisasi mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk menghasilkan output. Ukuran efisiensi identik dengan ukuran produktivitas, namundemikian ukuran produktivitas atau efisiensi belum mengidentifikasikan efektivitas. Ukuran efisiensi lebih bersifat relatif bukan absolut. Biasanya ukuran efisiensi dinyatakan dalam bentuk persentase” (Mahmudi, 2007:102).


(25)

Berdasarkan pernyataan di atas pengukuran efisiensi digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja di sektor publik. Sehingga, dapat diketahui seberapa efisien pemanfaatan sumber daya yang ada dengan hasil pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

2.3. Kecukupan

William N. Dunn mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn, 2003:430). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.

Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan dengan empat tipe masalah, yaitu:

1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia. 2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas

yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya.

3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.

4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif


(26)

kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun.

(Dunn, 2003:430-431)

Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.

2. 4 Perataan

William N. Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan (equity) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434). Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran.

Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial dapat dicari melalui beberapa cara, yaitu:

1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu.


(27)

2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).

3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.

4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan (worst off).

(Dunn, 2003: 435-436)

Formulasi dari Rawls berupaya menyediakan landasan terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada konflik. Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam kriteria perataan. Berikut menurut William N. Dunn:

“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita


(28)

untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik” (Dunn, 2003: 437).

Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil kebijakan. Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi untuk masyarakat dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan jasa publik.

Pendapat dari ahli yang sama menyatakan untuk membuat rekomendasi di sektor publik analisis biaya-manfaat mempunyai beberapa ciri khusus sebagai berikut:

1. Analisis biaya-manfaat berusaha untuk mengukur semua biaya dan manfaat untuk masyarakat yang kemungkinan dihasilkan dari program publik, termasuk berbagai hal yang tidak terlihat yang tidak mudah untuk diukur biaya dan manfaatnya dalam bentuk uang.

2. Analisis biaya-manfaat secara tradisional melambangkan rasionalitas ekonomi, karena kriteria sebagian besar ditentukan dengan penggunaan efisiensi ekonomi secara global. Suatu kebijakan atau program dikatakan efisien jika manfaat bersih (yaitu total manfaat dikurangi total biaya) adalah lebih besar dari nol dan lebih tinggi dari manfaat bersih yang mungkin dapat dihasilkan dari sejumlah alternatif investasi lainnya di sektor swasta dan publik.

3. Analisis biaya-manfaat secara tradisional menggunakan pasar swasta sebagai titik tolak di dalam memberikan rekomendasi program publik. Biaya kemungkinan dari suatu investasi publik selalu dihitung berdasarkan pada manfaat bersih apa yang mungkin dapat diperoleh dengan menginvestasikannya di sektor swasta.

4. Analisis biaya-manfaat kontemporer, sering disebut analisis biaya-manfaat sosial, dapat juga digunakan untuk mengukur pendistribusian kembali manfaat. Karena analisis biaya-manfaat menekankan kriteria keadilan, analisis ini konsisten dengan rasionalitas sosial.


(29)

(Dunn, 2003:448)

Ciri yang keempat yaitu analisis biaya-manfaat kontemporer termasuk pada kriteria perataan karena didasarkan pada keadilan atau kewajaran, sehingga ciri tersebut dapat digunakan untuk mengukur pendistribusian yang merata pada kelompok-kelompok yang berbeda. Dunn pun menjelaskan bahwa Analisis biaya manfaat kotemporer juga mempunyai beberapa keterbatasan, yaitu:

1. Tekanan yang terlalu eksklusif pada efisiensi ekonomi yang dapat berarti bahwa kriteria keadilan menjadi tidak berarti dan tidak dapat diterapkan.

2. Nilai uang tidak cukup untuk mengukur daya tanggap (responsiveness), disebabkan adanya variasi pendapatan antar masyarakat.

3. Ketika harga pasar tidak ada bagi suatu barang yang penting, nalisis sering memaksa diri untuk membuat harga bayangan (shadow price), yaitu estimasi subyektif tentang harga-harga di mana warga Negara mempunyai keinginan untuk membayar terhadap barang dan jasa tertentu.

(Dunn, 2003:449).

Keterbatasan tersebut menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya biaya-manfaat terkadang jarang dapat memecahkan masalah atau konflik antara efisiensi dan keadilan. Serta status sosial masyarakat yang berbeda-beda yaitu antara kebutuhan dengan pendapatan setiap orang menjadikan pendapatan bukanlah ukuran yang cukup memadai untuk mengukur kepuasan individu. Menggunakan analisis biaya dan manfaat terdapat beberapa cara dalam mengklasifikasikan biaya dan manfaat yang telah penulis simpulkan, yaitu:

1. Biaya dan manfaat di dalam vs di luar. Di sini pertanyaannya adalah apakah biaya atau manfaat yang dikeluarkan adalah


(30)

bersifat internal atau eksternal untuk suatu jenis kelompok sasaran atau wilayah hukum.

2. Biaya dan manfaat yang diukur secara langsung dan tidak langsung. Pertanyaannya di sini adalah apakah biaya atau manfaat adalah nyata (tangible) atau tidak nyata (intangible). Yang nyata adalah biaya dan manfaat yang secara langsung dapat diukur dengan harga pasar yang sebenarnya dari barang dan pelayanan, sementara yang tudak nyata adalah biaya dan manfaat yang secara tidak langsung diukur dengan cara menafsirkan nilai sebenarnya dari barang itu dengan patokan harga pasar.

3. Biaya dan manfaat primer dan sekunder. Di sini petanyaannya adalah apakah biaya atau manfaat itu dihasilkan secara langsung atau tidak langsung oleh suatu program. Biaya atau manfaat primer adalah suatu biaya atau manfaat yang dihubungkan dengan sasaran program yang paling bernilai, sedangkan biaya atau manfaat sekunder berkaitan dengan sasaran yang kurang bernilai.

4. Efisiensi bersih vs manfaat redistribusional. Di sini pertanyaanya adalah apakah kombinasi biaya dan manfaat membuat kenaikan dalam agregat pendapatan atau hanya menghasilkan pergeseran pendapatan atau sumberdaya di antara berbagai kelompok yang berbeda. Manfaat efisiensi bersih adalah manfaat yang mencerminkan kenaikan riil dari pendapatan bersih (total biaya dikurang total manfaat), sementara manfaat redistribusional adalah manfaat berupa pergeseran yang besifat semu berupa pendapatan oleh suatu kelompok dengan konsekuensi pengorbanan (pendapatan yang hilang) dari kelompok lain tanpa menghasilkan peningkatan efisiensi bersih.

(Dunn, 2003:450-454).

Jawaban dari keempat pertanyaan di atas dapat mengahasilkan berbagai jenis biaya dan manfaat. Jawaban pada suatu biaya atau manfaat yang bersifat di dalam kemungkinan diukur secara nyata atau tidak nyata. Terkadang biaya atau manfaat yang tidak nyata bersifat primer atau sekunder. Hal tersebut tergantung pada tingkat pentingnya terhadap sasaran-sasaran yang berbeda. Jadi, analisis biaya atau manfaat meskipun telah memperhitungkan redistribusi dan keadilan sosial, sangat terikat dengan pendapatan sebagai ukuran dari kepuasan, oleh


(31)

karena itu dapat dikatakan sulit untuk mendiskusikan atau meneliti ketepatan setiap tujuan yang tidak dapat diekspresikan dalam hitungan uang atau angka.

2.5. Responsivitas

Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan.

Dunn pun mengemukakan bahwa:

“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan” (Dunn, 2003:437).

Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan.


(32)

2.6. Ketepatan

William N. Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:

“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut” (Dunn, 2003:499).

Artinya ketepatan dapat diisi oleh indicator keberhasilan kebijakan lainnya (bila ada). Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis.


(33)

BAB III

OBYEK LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

3.1.1 Gambaran Umum BAPPEDA Kabupaten Sukabumi

Kabupaten Sukabumi terletak antara 106 derajat 49 sampai 107 derajat Bujur Timur dan 60 derajat 57 sampai 70 derajat 25 Lintang Selatan dengan batas wilayah administratif sebagai berikut : disebelah Utara dengan Kabupaten Bogor, disebelah Selatan dengan Samudera Indonesia, disebelah Barat dengan Kabupaten Lebak, disebelah Timur dengan Kabupaten Cianjur. Batas wilayah tersebut 40 % berbatasan dengan lautan dan 60% merupakan daratan.Wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki areal yang cukup luas yaitu ± 419.970 ha. Pada Tahun 1993 Tata Guna Tanah di wilayah ini, adalah sebagai berikut :

Pekarangan atau perkampungan 18.814 Ha (4,48 %), sawah 62.083 Ha (14,78 %), Tegalan 103.443 Ha (24,63 %), perkebunan 95.378 Ha (22,71%) , Danau/Kolam 1.486 Ha (0,35%) , Hutan 135.004 Ha (32,15 %), dan penggunaan lainnya 3.762 Ha (0,90 %).

Kondisi wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai potensi wilayah lahan kering yang luas, saat ini sebagaian besar merupakan wilayah perkebunan, tegalan dan hutan. Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (Oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.805 mm dan hari hujan 144 hari. Suhu udara berkisar antara 20 - 30 derjat C dengan kelembaban udara 85 - 89 persen. Curah


(34)

hujan antara 3.000 - 4.000 mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan ant4ra 2.000 - 3.000 mm/tahun terdapat dibagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi.

Wilayah Kabupaten Sukabumi mempunyai bentuk lahan yang bervariasi dari datar sampai gunung adalah : datar (lereng 0-2%) sekitar 9,4 %; berombak sampai bergelombang (lereng 2-15%) sekitar 22% ; bergelombang sampai berbukit (lereng 15 - 40%) sekitar 42,7%; dan berbukit sampai bergunung (lereng > 40 %) sekitar 25,9 %. Ketinggian dari permukaan laut Wilayah Kabupaten Sukabumi bervariasi antara 0 - 2.958 m. Daerah datar umumnya terdapat pada daerah pantai dan daerah kaki gunung yang sebagian besar merupakan daerah pesawahan. Sedangkan daerah bagian selatan merupakan daerah berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 300-1.000 m dari permukaan laut.

Jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Sukabumi sebagian besar didominasi oleh tanah Latosal dan Podsolik yang terutama tersebar pada wilayah bagian selatan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Sedangkan jenis tanah Andosol dan Regosol umumnya terdapat di daerah pegunungan terutama daerah Gunung Salak dan Gununggede, dan pada daerah pantai dan tanah Aluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan daerah sungai. Kabupaten Sukabumi pada tahun 2007 2.391.736 jiwa yang teridiri dari 1.192.038 orang laki-laki dan 1.199.698 orang perempuan. dengan laju pertumbuhan penduduk 2,37 % dan kepadatan penduduk 579,39 orang per km persegi. Kepadatan penduduk menurut


(35)

kecamatan cukup berpariasi. Kepadatana penduduk terendah terdapat di Kecamatan Ciemas (183 jiwa per km2) dan tertinggi di Kecamatan Sukabumi (2.447 jiwa per km). Pemukiman padat penduduk umumnya terdapat di pusat-pusat kecamatan yang berkarakteristik perkotaan dan disepanjang jalan raya.

Suatu kondisi penting yang sedang terjadi sehubungan dengan ketenagakerjaan adalah pergeseran tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian telah menuru. Etos kerja dan budaya kemandirian tampak sedang terus berkembang. Masyarakat Kabupaten Sukabumi juga kaya dengan budaya seni. Hal lain yang penting adalah tumbuh berkembangnya kelembagaan modern baik dalam arti lembaga maupun "norma-norma" semakin memungkinkan penduduk Kabupaten Sukabumi berintegrasi dengan masyarakat nasional.

Kerukunan hidup penduduk Kabupaten Sukabumi, dinamika yang dimilikinya, kekayaan budaya dan budaya kemandirian yang berkembang serta kemajuan sosial kelembagaan yang telah dicapai merupakan potensi besar untuk pelaksanaan pembangunan selanjutnya. Dilihat dari administrasi pemerintahan, Kabupaten Sukabumi terdiri atas 47 kecamatan, meliputi 364 desa dan 3 kelurahan.

Sebelum adanya BAPPEDA dan BAPPEMKA (Badan Perancang Pembangunan Daerah) dibentuk BAKIPDA (Badan Koordinasi Pembangunan Daerah) pada tahun 1968 yang berfungsi sebagai wadah


(36)

koordinasi, BAKIPDA tumbuh hampir bersamaan dengan BAPPEDA (19968), dan BAKIPDA merupakan perintis pembangunan unit perencanaan di Daerah Tingkat II. Tahun 1972 di Daerah Tingkat I Jawa Barat dibentuk unit-unit perancang di daerah dengan nama BAPPEDA berdasarkan surat keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Tanggal 8 Mei 1972, dimana tidak sedikitpun BAKIPDA memberikan andil terhadap pembentukannya. Setelah BAKIPDA lahirlah BAPPEMKA disusun dengan pembentukan Struktur Orientasi Sekretaris Wilayah Daerah, tidak ada hubungan organisatoris antara BAPPEMKA dengan BAPPEDA, hubungan dengan BAPPENAS pun semata-mata hanya secara konsumtif saja.

Melalui Surat Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 42 Tahun 2000 memutuskan bahwa BAPPEDA merupakan Lembaga Teknis Daerah dibidang Penelitian dan Perencanaan Pembangunan Daerah. Kedudukan BAPPEDA merupakan lembaga Teknis daerah dibidang Penelitian dan Perencanaan Pembangunan Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.

3.1.2 Visi dan Misi

Visi Kabupaten Sukabumi Periode 2005 – 2010 adalah “Terwujudya Perubahan Kabupaten Sukabumi Menuju Masyarakat Yang Berakhlaq Mulia, Produktif dan Sejahtera”, dengan misi sebagi berikut :


(37)

1. Membangun sdm yang berakhlaq mulia

2. Menumbuhkembangkan perekonomian daerah yang bertumpu pada sektor unggulan (basis) dan perekonomian rakyat

3. Memantapkan kinerja pemerintahan daerah

3.1.3 Struktur Organisasi

Badan perencanaan pemabngunan daerah merupakan unsure penyelenggaraan pemerintahan daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan. Kepala badan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada walikota melalui sekretaris daerah,

Susunan organisasi badan perencanaan pembangunan daerah terdiri dari a. Kepala Badan

b. Kesekretariatan (membawahi):

1. Sub Bagian Program dan Laporan 2. Sub Bagian Keuangan

3. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian c. Bidang Fisik (membawahi):

1. Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 2. Sub Bidang Prasarana Kota

d. Bidang Ekonomi (membawahi)


(38)

2. Sub Bidang Koperasi, UNKM dan Pertanian e. Bidang Sosial dan Budaya (membawahi)

1. Sub Bidang Sosila Budaya 2. Sub Bidang Pemerintahan f. Kelompok Fungsional Jabatan


(39)

Bagan 3.1

Struktu organisasi Bappeda Kabupaten Sukabumi

KELOMPOK JABATAN SEKRETARIAT SUB BAGINA UMUM DAN KEPEGAWAIAN SUB BAGIAN KEUANGANA SUB BIDANG

TATA RUANG DAN LAHAN SUB BIDANG PRASARANA KOTA SUB BIDANG INDUTRI, PERDAGANGAN DAN PARIWISATA SUB BIDANG KOPERASI, UNKN DAN

PERTANIAN

SUB BIDANG

SOSIAL DAN BUDAYA

SUB BIDANG PEMERINTAHAN KEPALA BADAN

UNIT PELAKSANA TEKNIS

SUB BAGIAN PROGRAM DAN PELAPORAN BIDANG FISIK BIDANG EKONOMI BIDANG


(40)

3.1.4 Tugas Pokok dan Fungsi

BAPPEDA mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dibidang penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.

Fungsi Kerja BAPEDA adalah:

1) BAPPEDA mempunyai fungsi Penyelenggaraan Penelitian dibidang Pemerintahan Pembangunan dan Kemasyarakatan, dalam rangka pengembangan pembangunan secara umum di Kabupaten Sukabumi.

2) Penyusunan Pola Dasar Pembangunan Daerah. 3) Penyusunan REPELITA daerah.

4) Penyusunan Program Tahunan Daerah

5) Pelaksanaan kerjasama penelitian dan perencanaan pembangunan daerah dengan lembaga perguruan tinggi dan lembaga lain baik pemerintah maupun swasta.

6) Pengkoordinasian, perumusan dan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

7) Pemantauan dan evaluasi, penelitian dan perencanaan pembangunan daerah.

8) Penyelenggaraan tuga Pembantuan.

9) Pengelolaan kesekretariatan dan urusan rumah tangga BAPPEDA. 10) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan


(41)

3.1.5 Rencana Strategis

Strategi pembangunan daerah adalah kebijakan dalam mengimplementasikan program Kepala Daerah, sebagai payung pada perumusan program dan kegiatan pembangunan di dalam mewujudkan visi dan misi. Namun demikian sebagai daerah yang merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perencanaan strategis yang disusun dalam dokumen RPJM Daerah Kabupaten Sukabumi tetap berpedoman pada perencanaan strategis Nasional dan Propinsi Jawa Barat.

Strategi Pembangunan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009 menetapkan 2 (dua) strategi pokok, yaitu:

1. Strategi penataan kembali Indonesia yang diarahkan untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat, jiwa, nilai dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila; Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tetap berkembangnya pluralisme dan keragaman dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.


(42)

2. Strategi pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia di segala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh. Sedangkan Strategi Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat yang tertuang dalam dokumen Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat tahun 2003-2007, menetapkan 15 strategi pokok sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas demokrasi untuk mempercepat proses reformasi di segala bidang.

2. Meningkatkan efektifitas birokrasi melalui peningkatan kualitas aparatur dan kualitas pelayanan.

3. Memelihara ketertiban umum, ketentraman dan stabilitas keamanan.

4. Meningkatkan penegakan hukum dalam segala bidang.

5. Mempertahankan nilai-nilai agama dan budaya luhur masyarakat Jawa Barat (religius, silih asih, silih asah dan silih asuh) untuk mengantisipasi masuknya budaya dari luar yang dapat mempengaruhi budaya daerah.

6. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan.


(43)

7. Meningkatkan kapasitas kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.

8. Mengembangkan kegiatan utama ekonomi (agribisnis, pariwisata, SDM kelautan, industri manufaktur dan jasa) yang berbasis sumber daya lokal dengan sistem ekonomi kerakyatan. 9. Memperkuat keterkaitan usaha untuk memantapkan struktur

ekonomi.

10. Mengurangi ketimpangan sumber daya ekonomi (SDM, teknolodi, dana, pasar dan prasarana) antar wilayah.

11. Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan untuk keseimbangan perkembangan antar wilayah.

12. Meningkatkan dan mengembangkan infrastruktur wilayah yang mendukung terwujudnya struktur ruang yang mantap.

13. Mewujudkan komposisi kawasan lindung 45 persen dan kawasan budidaya 55 persen pada tahun 2010 sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat.

14. Meningkatkan kualitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup melalui optimalisasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai.

15. Mengendalikan pencemaran air, tanah dan udara di kawasan perkotaan dan perdesaan.

Sejalan dengan Strategi Pembangunan Nasional dan Strategi Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat, Strategi Pembangunan


(44)

Daerah Kabupaten Sukabumi tahun 2006-2010 adalah sebagai berikut: Untuk melaksanakan Misi – 1 yaitu Meningkatkan Kualitas SDM yang Berakhlaq Mulia ditempuh strategi sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas pendidikan

2. Meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan dan pendidikan keagamaan

4. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat

Untuk melaksanakan Misi – 2 yaitu Memantapkan Kinerja Pemerintahan Daerah ditempuh strategi sebagai berikut :

1. Meningkatkan Kualitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah 2. Meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam Pembangunan

Daerah

Untuk melaksanakan Misi – 3 yaitu Menumbuhkembangkan Perekonomian Daerah yang Bertumpu pada Sektor Unggulan (Basis) dan Perekonomian Rakyat ditempuh strategi sebagai berikut:

1. Menciptakan Iklim Investasi yang Kondusif pada Sektor Pertanian, Pertambangan, Industri, Perdagangan dan Pariwisata

2. Memperkuat Kelembagaan Perekonomian Rakyat melalui penataan dan pengembangan kelompok-kelompok usaha masyarakat dan koperasi


(45)

3. Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Infrastruktur dalam rangka Menunjang Akselerasi Pembangunan Daerah

4. Mendorong pertumbuhan industri rumah tangga, kecil dan menengah terutama yang mengolah hasil-hasil pertanian.


(46)

BAB IV

HASIL DAN BAHASAN LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN

4.1.1 Efektivitas Evaluasi Perencanaan Pemabangunan oleh Badan Penelitian dan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009

Monitorong dan evaluasi perencanaan pembangunan di Kabupaten Sukabumi mengikuti jadwal dan mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan di dua tingkatan yaitu ;

a. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa/Kelurahan dan Kecamatan; dilaksanakan sebelum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kabupaten/ Kota

b. Musyawarah Perencanaan Pembangunan daerah Kabupaten/Kota; dilaksanakan sepanjang bulan Maret. Adapun materi monitoring dan evaluasi mengikuti ketentuan dan tata cara penyelenggaraan musyawarah perncanaan pembangunan, yang secara garis besar meliputi hal-hal berikut ;

1) Tujuan 2) Masukan 3) Mekanisme 4) Keluaran 5) Peserta


(47)

6) Narasumber 7) Dsb.

Diperlukan alat atau instrument untuk melakukan monitorong dan evaluasi perencanaan pembangunan pada pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan.

Dalam tiga tahun periode pelaksnaan pemerintahan kepala daerah terpili telah banyak kemajuan pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalm perkembangan pembangunan sebagai hasil evaluasi selama tiga tahun terakhir (2006-2009). Secara garis besar, ukuran ketercapaian tujuan pembangunan daerah tersebut dituangkan dalam indikator makro pembanguna daerah yang meliputi ;

1. Indeks pembangunan manusia (IPM)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School


(48)

of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya, indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan. Indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya.

IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar , menengah , atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga). standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto per kapita dalam paritasi daya beli. Setiap tahun Daftar negara menurut IPM diumumkan berdasarkan penilaian diatas. Pengukuran alternatif lain adalah Indeks Kemiskinan Manusia yang lebih berfokus kepada kemiskinan.


(49)

2. Penduduk miskin

Penduduk yang mampu tapi kebutuhan sehari-harinya kurang tercukupi

3. LPP (% per tahun)

4. Pendapatan per kapita (harga belaku) 5. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku merupakan indicator ekonomi yang diukur berdasarkan nilai tambah bruto dari Sembilan sector lapangan usaha. PDRB atas dasar harga konstan (perhitungan tanpa inflasi)

6. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) berdasarkan harga belaku pada tahun

7. Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinue) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi


(50)

barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.

Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.

Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga


(51)

termasuk kurangnya distribusi).[rujukan?] Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.

Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimanana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank


(52)

sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.

Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting.


(53)

1. kenaikan harga,misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.

2. Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang


(54)

pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.

Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.

Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai


(55)

uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.

Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).

Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

Secara garis besar, kondisi atau prestasi yang dicapai pada tahun 2006-2009 dan perkiraan pencapaian pada tahun anggaran 2010 dapat dilihat tabel berikut ;


(56)

Tabel 4.1

Kondisi Makro Pembangunan Daerah Tahun 2009

Sumber : BPS Kabupaten Sukabumi Tahun 2009

Keberhasilan pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada tahun 2006, IPM Kabupaten Sukabumi mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya bahkan melampaui target yang telah ditetapkan. IPM


(57)

yang ditetapkan yaitu 67,81. Peningkatan indeks tersebut berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan pada beberapa indicator komponen pendukung IPM, yaitu Rata-rata Lama Sekolah (RLS) mencapai 6’71 tahun; Angka Harapan Hidup (AHH) mencapai 65,89 tahun; Angka Melek Huruf (AMH) mencapai 97,94 % dan kemampuan daya beli mencapai Rp. 565.963,33.

Peningkatan IPM terutama dilakukan melalui upaya pengembangan dan penigkatan kualitas sinergitas antar pelaku pembangunan dalam rangka pelaksanaan program-program yang berfokus pada upaya akselerasi peningkatan IPM secara lebih optimal. Pada tahun 2009, IPM Kabupaten Sukabumi diperkirakan dapat mencapai angka yang ditargetrkan yaitu 70,26 pada akhir tahun. Hal ini berkaitan dengan cukup efektifnya pelaksanaan program atau kegiatan yang berkaitan dengan derajat pendidikan dan derajat keseahtan. Sementara berkaitan dengan peningkatan daya beli (PPP = Purcashing Power Party) penduduk Kabupaten Sukabumi perkiraan PPP untuk tahun 2009 dapai mencapai sebesar Rp 565.963,33, sepanjang tahun 2009 dalam iklim investasi di Kabupten Sukabumi terbilang cukup kondusif dan kondisi cuaca yang sangta menguntungkan bagi sector pertanian perkiraan PPP di atas angka target di dalam RPJMD. Walaupun dukungan anggaran masih cukup minim sehingga lambat peninggkatannya, diharapkan pada tahun 2010 dengan orientasi


(58)

program atau kegiatan yang berfokus pada penguatan infrastruktur ekonomi dapat memberikan kontribusi dan landasan bagi terciptanya kondisi perekonomian daerah dan kemampuan daya beli yang lebih baik.

Peningkatan IPM 2009-2008 diharapkan lebih akseleratif karena Kabupaten Sukabumi pada tahun 2009-2010 didukung anggaran khusus dari pemerintahan Propinsi Jawa Barat dalam rangka Pelaksanaa Program Pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM).

Pelaksanaan program atau kegiatan PPK-IPM pada tahun 2009 dengan target akselerasi IPM sebesar 70,26, walau masih dirasakan berat karena terbatas hanya mencakup 7 wilayah kecamatan yang meliputi 23 desa/kelurahan, namun model implementasi program atau kegiatan dalam PPK-IPM yang bersifat multi-stakeholders diharapkan menjadi media pembeljaran yang baik bagi upaya perbaikan dan peningkatan kualitas kinerja program atau kegiatan pembangunan daerah di masa mendatang. PDRB perkapita atas dasar harga berlaku Kabupaten Sukabumi tahun 2007 sebesar Rp 7.714.821 dan meningkat pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp 7.974.850. pada tahun 2009, PDRB per kapita meningkat kembali menjadi peningkatan PDRB menjadi sebesar Rp 8.302.792, kenaikan secara rata-rata mencapai 25%. Kendati demikian peningkatan PDRB perkapita di atas masih belum


(59)

menggambarkan secara riil kenaikan daya beli masyarakat kabuptaen sukabumi secara umum. Hal ini disebabkan pada PDRB perkapita atas dasar harga berlaku masih terkandung faktor inflasi yang sangat berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku merupakan indicator ekonomi yang diukur berdasarkan nilai tambah bruto dari Sembilan sector lapangan usaha. PDRB atas dasar harga konstan (perhitungan tanpa inflasi) tahun 2005 sebesar Rp 7.125.599.900,00 dan tahun 2008 perkembangannya mencapai Rp 8.015.200.000,00. Rata-rata peningkatannya per tahun sebesar Rp 296.533.366.666,00. Pada tahun 2005 PDRB atas harga berlaku sebesar Rp 11.324.257.340.000,00. Kemudian pada tahun 2008 menjadi Rp 16.133.200.000,00. Sehingga rata-rata peningkatan PDRB atas harag berlaku sebesar Rp 4.808.942.660.000 untuk tahun 2009 mencapai taget yang ditetapkan sebesar Rp 17.239.598.000.000,00 dan tahun 2010 di atas Rp 18.922.601.000.000,00. Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan pada beberpa sector atau lapngan usaha diantaranya bangunan dan kontruksi, industri pengolahan, pertanian dan jasa.

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) berdasarkan harga belaku pada tahun 2006 sebesar 12,9% dan pada tahun 2005 sebesar 19,26%. Sedangkan LPE berdasarkan harga konstan pada tahun 2006 mencapai sebesar 4,09%. Selama perode tahun 2005-2008


(60)

perekonomian Kabupaten Sukabumi mengalami pertumbuhan positif. Namun demikian perkembangannya berfluktuasi setiap tahunnya. Rata-rata perkembangan LPE atas dasar harga Konstan mulai tahun 2005 sampai tahun 2008 mencapai 4,09%. Sementara rata-rata LPE atas harga berlaku mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 mencapai 14,25%. Perkiraan LPE tahun 2009 dan 20120 diharapkan di atas rata-rata.

Investasi atas dasar harga berlaku, perkembangan investasi di Kabuptaen Sukabumi menuju kea rah peningkatan. Pada tahun 2008 nilai investasi yang tercatat pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) sebesar Rp 3.006.180.348.012,00. Dalam tahun 2009 meningkat menjadi Rp 4.463.813.058.543,00. Berdasarkan status perusahaan tahu 2008 tercatat jumlah PMA sebanyak 14 perusahaan. PMDN sebanyak 86 Perusahaan, swata murni sebanyak 860 perusahaan dan tahun 2009 PMA sebanyak 11 perusahaan, PMDN sebanyak 68 perusahaan, swasta murni sebanyak 799 perusahaan

Konsumsi atau anggaran belanja pemerintah dalam tahun 2006 sebesar Rp 932,8 milyar, terjadi kenaikan dari tahun 2005 sebesar Rp 612,6 milyar sedangkan pada tahun 2007 mencapai 1.701 milyar dan pada tahun 2009 diperkirakan meningkat lagi.konsumsi investasi pemerintah ini masih relative kecil


(61)

dibanding dengan investasi yang dikeluarkan oleh masyarakat dan dunia usaha.

4.1.2 Ketepatan Evaluasi Perencanaan Pemabangunan oleh Badan

Penelitian dan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009

Recanan pembangunan daerah Kabupaten Sukabumi tahun 2009 sesuai dengan fungsinya yaitu dokumen teknis operasional tahunan, memeuat rancangan kerangka ekonomi makro daerah, perioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya yang bersifat indikatif. Untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam mencapai sasaran pembangunan daerah, maka tiga pilar perlu pelaku pembangunan (Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat) di Kabupaten Sukabumi diharapkan dapat mempedomani RPJMD Kabupaten Sukabumi. Indikator keberhasilan pelaksanaan RPJMD akan sangat tergantung kepada komitmen dan konsistensi para pelaku pembangunan sehingga sasaran program pembangunan yang telah ditetapkan bersama dapat dicapai dengan baik.


(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil Kuliah Kerja Lapangan mengenai Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009 dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Efektivitas Perencanaan Pembangunan oleh Badan Penelitian dan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi. Keberhasilan pembangunan daerah dapat dilihat dari beberapa Indeks Pembangunan Manusia (IPM mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya bahkan melampaui target yang telah ditetapkan. Peningkatan indeks tersebut berkaitan erat dengan terjadinya peningkatan pada beberapa indicator komponen pendukung IPM, yaitu Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf (AMH), dan kemampuan daya beli mengalami peningkatan.

2. Ketepatan Evaluasi Perencanaan Pembangunan oleh Badan Penelitian dan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sukabumi Tahun 2009 menunjukan lebih mengarah terhadap tujuan yang tercantum dalam RPJMD yang telah ditentukan


(63)

sehingga dapat dijadikan sebagai ukuran untuk program atau kegiatan Perencanaan pembangunan di masa yang akan datang.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupten Sukabumi hendaknya :

1. Walaupun dukungan anggaran masih cukup minim sehingga lambat peninggkatannya, diharapkan pada tahun 2010 dengan orientasi program atau kegiatan yang berfokus pada penguatan infrastruktur ekonomi dapat memberikan kontribusi dan landasan bagi terciptanya kondisi perekonomian daerah dan kemampuan daya beli yang lebih baik. Peningkatan IPM 2009-2010 diharapkan lebih akseleratif karena Kabupaten Sukabumi pada tahun 2009-2010 didukung anggaran khusus dari pemerintahan Propinsi Jawa Barat dalam rangka Pelaksanaa Program Pendanaan Kompetisi Indeks Pembangunan Manusia (PPK-IPM).

2. Diperlukan tiga pilar perlu pelaku pembangunan (Pemerintah, Dunia Usaha dan Masyarakat) di Kabupaten Sukabumi. Indikator keberhasilan pelaksanaan RPJMD akan sangat tergantung kepada komitmen dan konsistensi para pelaku


(64)

pembangunan sehingga sasaran program pembangunan yang telah ditetapkan bersama dapat dicapai dengan baik.


(65)

LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN Diajukan sebagai Laporan Kuliah Kerja Lapangan

di Kantor BAPPEDA Kabupaten Sukabumi pada Program Studi Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia

Disusun oleh : Hamidin Nurfalah

41707013

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG


(1)

iii

3 Dewi Kurniasih, S.IP., M.Si selaku Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial.

4 Tatik Rohmawati, S.IP selaku Dosen Wali sekaligus Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, dan saran-saran serta motivasinya kepada penulis.

5 Airinawati, A.Md selaku sekretaris Program Studi Ilmu Pemerintahan. 6 Semua pihak yang telah mendukung dan membantu terselesaikannya

karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, semoga menjadi amal baik di hari nanti.

Penulis menyadari masih adanya kelemahan dan kekurangan serta keterbatasan dalam penyusunan laporan Kuliah Kerja Lapangan ini. Akhir kata penulis berharap semoga laporan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat berguna bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Bandung, November 2010

Penulis


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : EVALUASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN OLEH BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2009

Nama : Hamidin Nurfalah NIM : 41707013

Bandung, November 2010 Menyetujui,

Pembimbing,

Tatik Rohmawati, S. IP NIP. 4127. 35.31.007

Mahasiswa,

Hamidin Nurfalah NIM. 41707017

Disahkan oleh, Bagian Sekretariat BAPPEDA

Kabupaten Sukabumi

Suparman Nur Akbar, SE NIP. 19741017 200501 1 006

Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan

Nia Karniawati, S.IP, M.Si NIP. 4127.35.31.002


(3)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Data Pribadi

Nama Lengkap : Hamidin Nurfalah

Tempat dan Tanggal Lahir : Sukabumi, 12 Desember 1988 Nomor Induk Mahasiswa : 41707017

Program Studi : Ilmu Pemerintahan Jenis Kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Email : g4lih_12@yahoo.com

No. HP : 085720772018

Alamat : Jl. Tubagus Ismail No. 28 153B Berat Badan : 48 Kg

Tinggi Badan : 160 Cm Status : Belum Kawin Nama Ayah : Jaenudin Pekerjaan Ayah : Petani

Nama Ibu : Miah


(4)

Pendidikan Formal

SDN Warung Waru (1995-2001)

SMP Terpadu Darul ’Amal (2001-2004) SMA Terpadu Darul ’Amal (2004-2007)

Universitas Komputer Indonesia (2007-Sekarang)

Pendidikan Non Formal

1. Studium Generale Program Studi Ilmu Pemerintahan dengan Tema “Kesiapan Masyarakat & Pemda Jawa Barat Menghadapi Pilkada Langsung 2008” Auditorium UNIKOM, 23 Februari 2008. 2. Semi Loka Half Day Public Speaking Himpunan Mahasiswa Ilmu

Pemerintahan FISIP UNIKOM dengan Tema Linguistic Intellectual Front Of Public Auditorium Miracle UNIKOM, 8 mei 2008.

3. Mentoring Agama Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2008 dengan Tema “Pemerintahan Islam” Auditorium UNIKOM, 9 September 2008.

4. Seminar Nasional dengan Tema “Kepemimpinan Nasional di

Indonesia Pasca Reformasi” dan Sosialisasi Pemilu Legislatif

2009. Auditorium Universitas Langlangbuana Bandung, 14 Maret 2009.

5. Pelatihan Protokoler Pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (HIMA IP) Auditorium UNIKOM, 23 Maret 2009.


(5)

6. Pelatihan Mahasiswa Peneliti Tahun 2009 yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia dengan Tema “Pengembangan Mahasiswa Berprestasi melalui Peningkatan Kesiapan Mahasiswa dalam Melaksanakan Penelitian Skripsi di Prodi IP” Aula, 7 April 2009.

Bandung, November 2010


(6)