T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pembelajaran Berbasis Kontekstual Bidang Studi Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen Satya Wacana Salatiga T2 BAB II

Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakekat Pembelajaran
2.1.1 Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran dipahami sebagai bentuk interaksi
antara naradidik dan pendidik dalam suatu situasi.
Menurut Dimyati dan Mudjiono dalam Syaiful Sagala,
(2011: 62) pembelajaran adalah kegiatan guru secara
terstruktur dalam desain instruksional sehingga membuat
siswa secara aktif belajar dan merupakan penyediaan
sumber belajar. Sedangkan menurut Corey dalam Sagala
pembelajaran adalah suatu proses penciptaan sebuah
lingkungan di mana ia dapat merespon kondisi yang
diciptakan melalui perubahan tingkah laku dan pikiran.
Dengan

demikian

merupakan

dapat


kegiatan

disimpulkan

yang

bahwa

belajar

diselenggarakan

untuk

membuat seorang siswa belajar dengan bantuan guru
sebagai fasilitator.
Pembelajaran
tujuannya


dalam

bidang

masing-masing.

Secara

apapun
umum,

memiliki
tujuan

pembelajaran menurut Robert F. Meager dalam Sumiati
dan Asra adalah perubahan yang diharapkan oleh siswa
melalui maksud yang disampaikan fasilitator (2009: 10).
Daryanto menambahkan bahwa tujuan pembelajaran
9


adalah

tujuan

yang

menggambarkan

pengetahuan,

kemampuan, keterampilan, dan sikap yang harus dimiliki
siswa sebagai dampak dari hasil pembelajaran (2005: 58).
Hasil ini dapat dilihat dari perubahan tingkah laku
maupun dapat diukur. Melengkapi pernyataan tersebut,
Suryosubroto menyatakan bahwa tujuan pembelajaran
merupakan rumusan terperinci tentang pengetahuan
maupun keterampilan yang seharusnya siswa miliki
setelah melalui proses pembelajaran (1990: 23). Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan belajar
adalah hasil akhir dari proses pembelajaran yang telah

dirumuskan atau diharapkan sejak awal, setelah seorang
siswa melalui kegiatan pembelajaran.
Dalam

situasi

formal

suatu

pembelajaran,

komponen utama dari proses tersebut adalah naradidik
dan pendidik (Kemp dalam Rusman, 2010). Untuk
meminimalisir gangguan dalam pembelajaran, seorang
guru harus memiliki mengelola suatu pembelajaran
sedemikian rupa (Sudjana dalam Sunhaji, 2008: 1-2).
Suparman (1997: 157) menyatakan bahwa manajemen
pembelajaran


merupakan

perpaduan

dari

urutan

kegiatan, pengorganisasian materi, alat, bahan dan waktu
yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Komponen lain dari suatu proses pembelajaran
adalah materi. Syaiful Bahri Djamarah, dkk (2006: 43)
menjelaskan bahwa materi pembelajaran adalah isi atau
10

substansi yang akan disampaikan pada saat proses
pembelajaran. Materi pembelajaran ada di dalam ruang
lingkup kurikulum (Harjanto, 2005: 222). Ini berarti
bahwa pemilihan materi pembelajaran tidak dilakukan
secara sembarangan, melainkan berdasarkan panduan

kurikulum yang telah dibuat.

Harjanto menambahkan

bahwa materi pembelajaran dipilih berdasarkan tujuan
pembelajaran,

relevansi

dengan

kebutuhan

siswa,

relevansi dengan kondisi masyarakat, kandungan etis,
rincian materi secara sistematis, dan bersumber pada
sumber buku, guru ahli atau masyarakat (2005: 222).

2.1.2 Pembelajaran Berbasis Kontekstualisasi (CTL)

Kontekstualisasi
kontekskan

teks

merupakan

maupun

upaya

pengetahuan

yang

mengtelah

diperoleh melalui proses pembelajaran (Sa’ud, 2010: 162).
Dalam upaya kontekstualisasi tersebut beberapa hal
menjadi pertimbangan, yaitu latar belakang peserta didik

berupa status dalam keluarga, kemampuan ekonomi dan
mata pencaharian keluarga, pergaulan peserta didik baik
di

sekolah

akademis
(Bevans,

maupun

peserta
2002:

di

didik,

13-18).


luar

sekolah,

relasi

dalam

Dalam

ilmu

kemampuan
keluarga,

teologi,

dll

istilah


kontekstualisasi merupakan usaha untuk menarik pesan
tersirat dalam teks Alkitab yang pemahamannya diperoleh
dari pengalaman nyata untuk kemudian diterapkan
11

untuk menyelesaikan permasalahan nyata sehari-hari
(Hesselgrave, 2005: 116).

KONTEKS
MASA LALU

TEKS ALKITAB

KONTEKS MASA KINI

Pendekatan pembelajaran kontekstual atau dikenal
dalam istilah contextual teaching and learning model
merupakan gagasan Mark Baldwin dan dikembangkan
oleh Jean Piaget (Sanjaya, 2006: 254). Dalam konsep

perkembangan kognitif Piaget, dikatakan bahwa anak
memiliki struktur kognitif yang dinamakan skema. Skema
diperoleh

dari

Penyempurnaan
sendangkan

hasil
skema

perubahan

belajar

melalui

disebut
skema

pengalaman.

sebagai
disebut

asimilasi
akomodasi.

Penyempurnaan skema diperoleh anak sejak kecil ketika
mengalami sesuatu dan di kemudian skema tersebut
bergeser oleh pengalaman lain sehingga skema yang
dimiliki saat ia masih kecil telah mengalami perubahan
ketika ia dewasa.

12

Konsep dasar CTL atau pembelajaran kontekstual
berdasarkan asas manusia belajar dari pengalaman dan
refleksi (Rusman, 2011: 187). Pola dari model ini adalah
siswa dirancang untuk membangun makna dari materi
yang

telah

dipelajari.

Siswa

diminta

untuk

menghubungkan muatan pengetahuan akademis dengan
konteks

kehidupan

sehari-hari.

Dalam

hal

ini,

pembelajaran kontekstual mengandung muatan aplikatif
yaitu siswa dibentuk secara aktif untuk memompa
kemampuan

diri

menerapkannya

melalui
serta

mempelajari

mengaitkannya

konsep
dengan

dan
dunia

nyata. Pandangan ini sama seperti yang dikemukakan
oleh

Sa’ud

yaitu

pengalaman

pembelajaran

siswa

pada

proses

diorientasikan
penerapan

pada

konsep

pengetahuan pada kehidupan nyata sehari-hari (2010:
163). Yang membedakan model pembelajaran CTL dan
learning

by

experience

adalah

siswa

diberi

bekal

pengetahuan terlebih dahulu kemudian melalui tahapan
refleksi siswa diminta untuk menjawab tantangan seharihari melalui konsep pengetahuan yang telah diperoleh
(2010: 165).
Penulis mengkaji bahwa CTL sangat membantu
guru dalam mempersiapkan proses pembelajaran secara
tepat

guna.

dilakukan

Maksudnya

tidak

sebatas

adalah
pada

pembelajaran
pengetahuan

yang

konsep

namun dapat diterapkan sebagai gambaran solusi bagi
13

siswa untuk memecahkan permasalahan yang ia temukan
sehari-hari. Siswa diajak untuk merenungkan materi
pembelajaran dan mengkaitkannya dengan pengalaman
yang pernah terjadi di dalam kehidupan mereka sehingga
menuntun

mereka

untuk

menemukan

solusi

dari

masalah serupa yang mungkin akan mereka alami.
Namun

demikian

untuk

menerapakan

CTL

secara

maksimal diperlukan aturan main atau asas-asas yang
tidak dapat dipisahkan. Asas-asas tersebut membantu
guru untuk mengemas proses pembelajaran sedemikian
rupa sehingga kontekstualisasi pembelajaran tercapai.

2.1.3 Asas-asas Pembelajaran Kontekstual
CTL sebagai suatu model pembelajaran memiliki
tujuh asas yang sering digunakan sebagai komponen
utama. Asas itu antara lain adalah konstruktivisme,
inkuiri,
penilaian

bertanya,
nyata.

masyarakat
Baik

belajar,

Sanjaya

refleksi,

maupun

dan
Sa’ud

mencantumkan asas yang sama untuk diterapkan pada
model pembelajaran ini.

2.1.3.1 Konstruktivisme
Konstruktivisme disebut sebagai dasar dari model
CTL, sebab pengetahuan manusia dibangun sedikit demi
sedikit oleh apa yang pernah ia alami. Bagi Rusman,
konsep pengetahuan bukanlah bagian yang tidak penting,
14

tetapi justru dari konsep pengetahuan akan menjadi
sangat bermanfaat saat diintegralkan pada pengalaman
nyata

(2011:

193).

konstruktivisme

Sanjaya

merupakan

melengkapi
proses

bahwa

membangun

pengetahuan baru dalam struktur kognitif manusia
berdasarkan pengalaman (2006: 262). Demi keberhasilan
asas ini seorang guru diidealkan memiliki pengetahuan
yang luas sehingga ia akan dengan mudah memberikan
ilustrasi, memberikan contoh, dan menggunakan media
pembelajaran yang dapat menuntun siswa menemukan
sendiri

kaitan

antara

pengetahuan

dengan

pengalamannya (2011: 194). Asas ini akan membantu
siswa menemukan pemecahan masalah dengan modal
pengalaman dan pengetahuan untuk mencapai suatu
konsep pengetahuan baru pula.

2.1.3.2 Inkuiri
Asas

ini

mematahkan

metode

pembelajaran

konvensional yaitu menghafal. Inkuiri yang bermakna
mencari,

menjadi

ciri

khas

pula

dalam

model

pembelajaran kontekstual (2011: 194). Melalui kegiatan
mencari dan menemukan secara sistematis, siswa akan
memiliki kepuasan tersendiri sehingga pengetahuan yang
didapatkan tidak bersifat sementara (Sa’ud, 2010: 169).
Dengan demikian pada asas ini tugas seorang guru
bukanlah menyampaikan materi yang bersifat menghafal
15

tetapi

merancangnya

menemukan

sedemikian

sendiri

konsep

rupa

agar

pengetahuan

siswa
melalui

pencariannya. Konsep inkuiri yang disampaikan oleh
Sanjaya (2006: 263) dan disetujui oleh Sa’ud (2010: 170)
adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah
2. Mengajukan hipotesis
3. Mengumpulkan data
4. Menguji

hipotesis

berdasarkan

data

yang

ditemukan
5. Membuat kesimpulan
Tugas guru dalam konsep inkuiri adalah membawa siswa
dalam keadaan sadar tentang masalah apa yang bisa
mereka temukan atau harus mereka hadapi. Setelah
siswa menyadari betul masalah yang telah ditemukan,
siswa diajak untuk mengajukan hipotesis atau jawaban
sementara

tentang

masalah

tersebut.

Hipotesis

ini

merangsang siswa untuk melakukan observasi dan dari
hasil

observasi

itu

dibandingkan

kembali

kepada

hipotesis. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan
oleh siswa.

2.1.3.3 Bertanya
Bertanya menjadi awal pengetahuan ditemukan
sedangkan

menjawab

pertanyaan

menunjukkan

kemampuan berpikir seseorang. Asas bertanya menjadi
16

hal yang patut diperhatikan seorang pengajar. Dalam
implementasi

CTL,

pertanyaan

yang

diajukan

guru

maupun siswa harus menjadi alat untuk mendekati
pengetahuan yang sedang digali (2011: 194). Sanjaya
menyatakan

bahwa

bertanya

akan

membawa

lima

manfaat baik bagi guru maupu siswa, antara lain
menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam
penguasaan materi, membangkitkan motivasi siswa untuk
belajar, merangsang keingintahuan siswa, memfokuskan
siswa pada informasi yang diinginkan, dan membimbing
siswa untuk menemukan dan menyimpulkan sesuatu
(2006: 264).

2.1.3.4 Masyarakat Belajar
Asas ini menyatakan bahwa seorang manusia tidak
dapat menyelesaikan masalahnya seorang diri, ia harus
mendapatkan
sehingga

bantuan

muncul

orang

banyak

melalui

berbagai

cara

pilihan

solusi

yang

memungkinkan untuk diterapkan. Dalam model CTL,
asas masyarakat belajar dapat dibentuk secara formal
maupun secara alamiah. Dalam bentuk formal dapat
diterapkan melalui dibentuknya kerja sama kelompok
yang anggotanya bersifat heterogen dalam berbagai aspek
(2006: 265). Secara alamiah dapat dibantu oleh orangorang yang ada di lingkungan sekitarnya (2010: 170).
Asas ini tidak semata-mata juga merupakan sekelompok
17

orang yang hendak menyelesaikan masalah, tetapi dapat
diterapkan melalui berbagi pengalaman dengan orangorang yang pernah mengalami masalah yang sama (2011:
196).

Sifat

manusia

sebagai

makhluk

sosial

akan

membantu asas ini terlaksana dengan baik, sebab ada
kalanya ia akan menyelesaikan masalahnya sendiri,
namun ada kalanya juga ia tergantung pada bantuan
orang lain. Dampak positif dari asas ini adalah siswa
tidak selalu terpaku pada pembelajaran di dalam kelas,
sebab sangat dimungkinkan siswa berinteraksi dengan
orang-orang di luar kelas bahkan di luar sekolah untuk
bertukar pikiran (2011: 197).

2.1.3.5 Pemodelan
Tahap membuat model merupakan solusi yang
memungkinkan

bagi

siswa

agar

memahami

konsep

pengetahuan yang ingin dicapai. Hal ini disebabkan oleh
perkembangan ilmu dan teknologi yang berdampak pada
sulitnya menemukan guru yang memiliki kemampuan
yang lengkap (2011: 197). Kelemahan ini membawa guru
pada teknik membangun atau menemukan satu model
ideal yang dapat dicontoh atau dipelajari siswa (2006:
266). Siapapun sangat memungkinkan untuk menjadi
model, guru, siswa, tokok terkenal bahkan orang-orang
yang ada di sekitarnya. Melalui pemodelan ini siswa tidak
terhambat hanya pada konsep teoritis tetapi dapat secara
18

langsung mempelajari bahkan meneladani model yang
telah ditentukan.

2.1.3.6 Refleksi
Metode refleksi menjadi ciri utama dari CTL yang
tidak ditemukan dalam model pembelajaran lainnya
(2006: 266). Refleksi merupakan aktivitas merenungkan
pengetahuan yang baru saja diperoleh siswa dengan
membandingkan dengan pengalaman yang pernah dilalui
di masa lalu (2011: 196). Pengetahuan baru yang diterima
siswa bersifat revisi atas pengalaman lama siswa. Proses
refleksi diberikan oleh guru di akhir suatu pembelajaran.
Siswa

diberi

ruang

untuk

memahami,

menghayati,

mencerna, atau bahkan berdiskusi dengan dirinya sendiri
melalui penugasan yang bersifat aplikatif. Penugasan
dapat berupa menuliskan pengalaman lamanya dan
membandingkan dengan pengetahuan baru, atau bersifat
lisan untuk menyampaikan pemahaman baru yang sudah
dipahami siswa.

2.1.3.7 Penilaian Nyata
Penilaian yang biasa terjadi pada pembelajaran
konvensional adalah dengan memberikan tes kepada
siswa.

Tes

memahami

akan

menunjukkan

pembelajaran

sejauh

namun

mana

sejauh

siswa
konsep

intelektual. Penilaian nyata akan membantu guru untuk
19

mengetahui apakah siswa benar-benar mempelajari hal
yang baru atau tidak (2006: 267). Penilaian bahkan dapat
dimulai sejak proses pembelajaran, bukan hanya di akhir
pembelajaran. Dengan demikian tes hanya menjadi salah
satu nilai pertimbangan bagi guru untuk mengukur
keberhasilan siswa dalam belajar. Kecermatan guru
sangat diperlukan dalam proses penilaian nyata ini, sebab
kemajuan, kemunduran, dan kesulitan siswa dalam
belajar menjadi perhatian utama guru (2011: 198).
Penulis

mengkaji

tujuh

asas

pembelajaran

kontekstual membantu siswa lebih baik dalam memahami
pembelajaran. Namun demikian penulis berasumsi ada
empat asas yang lebih cocok untuk diterapkan pada mata
pelajaran PAK, antara lain:
1. Konstruktivisme. Pada asas ini siswa diminta untuk
membangun pemahaman mereka melalui apa yang
pernah mereka alami terlebih dahulu. Misalnya pada
pembelajaran
konstruksivisme

tentang
siswa

hukum
diminta

kasih,
untuk

melalui
mengingat

tentang tindakan yang mencerminkan kasih yang
pernah mereka lakukan atau alami. Setelah itu barulah
guru menarik satu kesimpulan tentang makna kasih
yang sebenarnya, dibantu oleh penafsiran teks Alkitab.
2. Pemodelan. Asas ini membantu siswa untuk memahami
topik pembelajaran melalui model yang dipilih oleh
guru atau siswa sendiri. Model tersebut merupakan
20

tokoh atau peristiwa yang dapat diteladani sebagai
contoh benar. Misalnya dalam pembelajaran tentang
kasih, siswa dapat menemukan satu sosok yang
mencerminkan satu pribadi yang penuh dengan kasih
yang tidak eksklusif tetapi patut dijadikan sebagai
teladan.
3. Refleksi. Pada tahap refleksi yang menjadi inti dari CTL,
siswa merenungkan baik materi konsep yang telah
diajarkan dan mengkaitkannya dengan apa yang ia
temukan dan alami. Pada pembelajaran kasih, siswa
kembali

diajak

untuk

merenungkan

pengalaman

mereka tentang sejauh mana kasih itu telah mereka
terapkan

dan

disampaikan,

berdasarkan

sehingga

ia

teori

betul-betul

yang

telah

memahami

makna kasih tersebut.
4. Penilaian Nyata. Pada tahap penilaian nyata, guru
melihat kemauan siswa untuk belajar sejak proses
pembelajaran

berlangsung,

bagaimana

siswa

aktif

bertanya dan menemukan pemahaman kasih, dan
menggunakan nilai tes sebagai pertimbangan.
Berdasarkan rumusan di atas, dapat ditemukan
bahwa CTL membantu siswa untuk menemukan sendiri
dan memahami secara maksimal topik pembelajaran.
Kelemahan dari CTL adalah guru tidak dapat mengontrol
apa yang dikerjakan siswa di luar kelas, sehingga
kemungkinan

untuk

tidak
21

tercapainya

pemahaman

materi pembelajaran secara baik cukup besar. Penulis
akan menggunakan empat asas tersebut sebagai alat
penelitian, yaitu tentang bagaimana guru mengemas
empat asas tersebut dalam pembelajaran PAK. Namun
demikian,

tidak

menutup

kemungkinan

penulis

menemukan asas lain dalam proses pembelajaran yang
dilaksanakan di SMA Kristen Satya Wacana.

2.1.4 Skenario Pembelajaran Kontekstual
Ada
pembelajaran

karakteristik

tertentu

kontekstual.

Seorang

dalam

proses

pengajar

harus

menguasai konsep pembelajaran ini agar tidak terjadi
kesalahan yang justru mengagalkan proses pembelajaran.
Menurut Rusman (2011: 198) ada 11 karakteristik
pembelajaran kontekstual yang perlu diperhatikan guru.
“Proses
pembelajaran
kontekstual
harus
mempertimbangkan
karakteristik-karakteristik
berikut
antara lain: kerja sama, saling menunjang, menyenangkan
dan tidak membosankan, belajar dengan bergairah,
pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber,
siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis guru kreatif,
dinding kelas berisi hasil karya siswa, laporan kepada orang
tua termasuk hasil karya, laporan hasil praktikum,
karangan siswa, dll.”

Secara umum konsep pembelajaran kontekstual tidak
memiliki perbedaan yang besar, namun yang menjadi ciri
khas dalam skenario pembelajaran kontekstual adalah
adanya tahapan demi tahapan yang bersifat praktis untuk
mencapai tujuan pembelajaran (2011: 199). Rusman
22

menambahkan bahwa skenario pembelajaran kontekstual
harus mencakup lima tahapan berikut (2011: 200),
1. Nyatakan kegiatan siswa sebagai gabungan dari
kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator
pencapaian hasil belajar
2. Rumuskan tujuan umum secara jelas
3. Uraikan secara rinci media pembelajaran yang akan
digunakan
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan
yang harus dilakukan siswa dan guru
5. Rumuskan sistem penilaian yang bersifat autentik
(nyata) baik saat proses pembelajaran maupun
pasca pembelajaran
Sedangkan menurut Sa’ud konsep skenario pembelajaran
kontekstual dijabarkan dalam diagram sebagai berikut
(2010: 173):

Pada

tahap

invitasi,

siswa

didorong

untuk

mengemukakan pengetahuan awalnya yang diperoleh
23

berdasarkan pengalaman. Guru perlu mengaitkan dengan
fenomena

yang

dialami

siswa

sehari-hari

agar

pemahaman yang akan dirumuskan selanjutnya bersifat
penyempurnaan. Pada tahap eksplorasi siswa diminta
menemukan

konsep

melalui

pengumpulan,

pengorganisasian, pengintepretasian data dalam sebuah
kegiatan yang telah dirancang guru. Kegiatan ini dapat
dikerjakan secara mandiri maupun berkelompok. Tahap
penjelasan

dan

observasi

siswa

solusi

merupakan

beserta

penjabaran

tawaran

solusi

hasil
yang

memungkinkan. Guru hanya bersifat penguat di tahap
ini, sebab siswalah yang aktif untuk menyampaikan
temuan dan solusi itu. Di tahap terakhir, siswa dapat
mengambil

keputusan,

menerapkan

pengetahuannya,

menggunakan keterampilannya, mengajukan pertanyaan
lanjutan baik kepada guru maupun siswa lainnya.
Tahapan ini menjadi bukti bahwa siswa memahami betul
apa yang telah dipelajarinya.
Penulis mengkaji bahwa skenario pembelajaran
berbasis kontekstual ini tidak cukup sederhana untuk
diterapkan bagi guru yang belum memahami kerangka
CTL.

Ada

kecenderungan

untuk

mengabaikan

asas

tertentu. Secara khusus pada mata pelajaran PAK, guru
cenderung memberikan materi secara konvensional dan
hanya menggunakan asas refleksi. Menurut penulis, CTL
tidak akan tercapai secara baik jika ada asas yang
24

ditinggalkan

sebab

tujuan

dari

CTL

adalah

siswa

dari

suatu

topik

menemukan

pemahaman

baru

berdasarkan

pengalaman

pribadi

dan

ditambahkan

dengan pemaparan materi yang tidak memiliki porsi yang
terlalu besar. Fungsi guru dalam pembelajaran berbasis
kontekstual adalah memperkuat pemahaman siswa atau
meluruskan

jika

terjadi

pemahaman

yang

salah.

Penggunakan cara penilaian yang autentik juga belum
banyak dipahami oleh guru, sehingga cenderung hanya
menggunakan

penugasan

dan

tes

sebagai

hasil

pembelajaran.

2.2 Evaluasi Pembelajaran
Menurut

Stufflebeam

dan

Shinkfield,

evaluasi

merupakan pengumpulan dan analisa sejumlah informasi
yang berguna untuk pengambilan keputusan (2007: 7).
Dalam ranah pendidikan, Stufflebeam dan Shinkfield
menambahkan bahwa evaluasi merupakan uji tujuan
suatu program pendidikan, struktur, dan proses yang
dapat diadaptasikan atau diterapkan untuk rancangan
program yang akan datang. The Joint Committee’s dalam
Stufflebeam menjabarkan bahwa evaluasi merupakan
penilaian sistematik terhadap kelayakan atau kelebihan
dari suatu objek (2007: 9). Berdasarkan pernyataan di
atas, evaluasi dapat disimpulkan sebagai usaha penilaian
terhadap suatu objek atau program meliputi tujuan,
25

struktur, proses, kelayakan dan kelebihannya untuk
rancangan program selanjutnya yang lebih baik.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan
model case-study evaluation (evaluasi studi kasus). Model
ini digunakan untuk menganalisa kasus tertentu atau
unik dengan melihat segi konteks, proses, dan hasil dari
suatu

program

(Stufflebeam,

2007:

181).

Dengan

demikian peneliti tidak bertindak sebagai pengendali dari
penelitian ini, melainkan menjadi pihak ketiga sebagai
evaluator. Model ini juga melihat latar belakang setting
berdasarkan letak geografis, budaya, organisasi, dan
sejarah konteks dan menguji operasional intern dan
penggunaan input yang ada untuk hasil yang diharapkan.
Dengan demikian, model ini melihat kecocokan program
berdasarkan keuntungan yang diperoleh dan kecocokan
program berdasarkan tujuan, kebutuhan, dan setting
yang ada (2007: 182).
Berdasarkan definisi di atas, penulis fokus pada
beberapa

hal

untuk

di

teliti

pada

kasus

strategi

pembelajaran Pendidikan Agama Kristen di SMA Kristen
Satya Wacana, antara lain (Stufflebeam, 2007: 310):
a. Relevansi program terhadap konteks
Berkenaan dengan relevansi kegiatan pembelajaran
dengan konteks sekolah dan siswa, baik dari segi
sosial, ekonomi dan budaya. Data yang diharapkan
pada kategori ini adalah latar belakang sekolah dan
26

siswa

sehingga

tentang

dapat

ditarik

kebutuhan

membandingkannya

satu

kesimpulan

lapangan

dengan

dan

program

yang

dijalankan.
b. Manfaat program
Berkenaan dengan

manfaat atas program yang

dijalankan. Manfaat dapat berupa manfaat yang
direncanakan/diharapkan maupun manfaat yang
ditemukan dilapangan. Dalam penelitian ini, manfaat
merupakan
pembelajaran

manfaat

yang

berbasis

diharapkan

kontekstualisasi

atas
yang

diperoleh sekolah, guru maupun siswa.
c. Input
Berkenaan dengan latar belakang sekolah, latar
belakang pendidikan guru pengajar dan siswa. Latar
belakang

sekolah

telah

diperoleh

dari

kategori

pertama (konteks), sedangkan latar belakang siswa
dan guru pengajar dibutuhkan untuk mengetahui
kemampuan intelektual, finansial, dan kehidupan
sosial yang dijalani oleh siswa dan guru.
d. Pelaksanaan program
Berkenaan dengan proses persiapan mulai dari
penyusunan program semester, program tahunan
dan

RPP,

berdasarkan

proses
tujuh

pembelajaran
asas

pembelajaran

dievaluasi
berbasis

kontekstual dan evaluasi pembelajaran. Tujuh asas
27

pembelajaran kontekstual telah diterapkan sejak
masa

pra-pembelajaran

(penyusunan

silabus,

program tahunan, program semester dan RPP). Pada
pelaksanaan pembelajaran, tujuh asas pembelajaran
kontekstual

akan

tampak

lebih

nyata

melalui

terlaksananya konstrukstivisme, inkuiri, bertanya,
masyarakat belajar, pemodelan, refleksi). Sedangkan
pada pasca pembelajaran, asas penilaian nyata dapat
diperoleh dari cara guru melakukan penilaian kepada
siswa.
e. Pengaruh yang diharapkan dan tidak diharapkan
Berkenaan dari dampak selain tujuan pembelajaran
yang muncul, baik yang diharapkan maupun tidak
diharapkan. Kemungkinan atas dampak yang tidak
diharapkan pada saat maupun pasca pembelajaran
dapat terjadi, sehingga peneliti perlu mendapatkan
data tersebut.
f. Analisa hasil program
Berkenaan

dengan

analisa

hasil

dari

tujuan

pembelajaran yang memenuhi rancangan tujuan
awal.

Hasil

pencapaian

pembelajaran
nilai

yang

tidak

baik.

hanya

Analisa

ini

berupa
dapat

diperoleh melalui perubahan intelektual maupun
sosial siswa, sebab PAK sebagai fokus bidang studi
yang diteliti bekerja sama dengan bidang Bimbingan
dan Konseling untuk membentuk sikap siswa.
28

Stufflebeam menjabarkan dalam bukunya, yaitu evaluator
studi-kasus

tidak

diperkenankan

untuk

melakukan

penilaian terhadap kelayakan dan kelebihan program
(2007: 183). Evaluasi dapat dilakukan sejauh analisa
konteks, tujuan, rencana, sumber daya, ciri-ciri unik,
kepentingan, pencapaian, keluhan atau kekecewaan,
kebutuhan dan setting lingkungan (2007: 309). Namun
demikian

penulis

mengkaji

bahwa

evaluasi

yang

dilakukan pada kasus pembelajaran PAK berbasis CTL ini
pada

ketepatan

pemilihan

metode

pembelajaran

ini

dengan kondisi SMA Kristen Satya Wacana. Melalui
evaluasi ini, penulis juga berusaha menemukan adanya
asas atau teori baru tentang pembelajaran berbasis CTL
dan mengembangkan teori evaluasi studi kasus setelah
mendapatkan hasil dari lapangan.

2.3 Penelitian yang Relevan
Suatu penelitian mengenai evaluasi hasil penerapan
model pembelajaran kontekstual berbasis debat dilakukan
oleh Putu Agus Putra Adnyana, Ni Ketut Suarni, dan Ni
Wayan Koyan dengan model evaluasi Possted Only Control
Group Desain (2014). Penelitian di lakukan dengan
mengambil

sampel

dua

kelas,

kelas

pertama

menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis
debat sedangkan kelas yang lain menggunakan model
konvensional. Ada tiga temuan dalam penelitian ini,
29

pertama

siswa

pada

kelas

model

pembelajaran

kontekstual berbasis debat memiliki keunggulan berpikir
analitik daripada siswa pada kelas model pembelajaran
konvensional. Kedua, siswa di kelas model pembelajaran
kontekstual

memiliki

sikap

sosial

yang

lebih

baik

daripada siswa di kelas model pembelajaran konvensional.
Ketiga,

pada

mata

pelajaran

Pendidikan

Kewarganegaraan, siswa memiliki kemampuan analitik
lebih baik di kelas pembelajaran kontekstual daripada di
kelas konvensional. Tiga temuan di atas membuktikan
bahwa

model

pembelajaran

kontekstual

memberi

pengaruh pada kemampuan analitik dan sosial, sebab
siswa

diminta

dengan

menghubungkan

pengalaman

materi

sehari-hari

pembelajaran

dan

menjawab

permasalahan yang muncul. Sikap siswa menjadi lebih
positif sebab mampu menerima perbedaan pendapat di
antara mereka, diberi kesempatan untuk menyampaikan
hasil belajarnya, dan pembelajaran tidak bersifat searah.
Penelitian evaluasi model pembelajaran kontekstual
dilakukan oleh Sulistyowati (2010). Penelitian ini hendak
mengevaluasi hasil pembelajaran kontekstual terhadap
pembentukan sikap nasionalisme siswa SD N 1 Kuta
Kabupaten

Badung-Bali.

penelitian

ini,

pembelajaran
nasionalisme

Ada

pertama

siswa

kontekstual
yang

baik

empat

lebih
daripada

30

temuan

yang

dalam

melakukan

memiliki

sikap

siswa

kelas

di

konvensional. Kedua, siswa dengan gaya kognitif field
independent memiliki sikap nasional yang lebih baik baik
di kelas kontekstual daripada kelas konvensional. Hasil
ini ditemukan sebab siswa diberi kesempatan untuk
berpikir

kritis,memfokuskan

materi

pada

fakta

dan

prinsip, jarang melakukan interaksi dengan guru, suka
bekerja sendiri dan lebih suka berkompetisi dan mampu
mengorganisasikan informasi secara mandiri. Sedangkan
siswa dengan gaya kognitif field dependent, memiliki sikap
nasionalisme lebih rendah daripada kelas konvensional.
Hasil penelitian kembali menunjukkan adanya dampak
signifikan

antara

kelas

yang

menggunakan

model

pembelajaran kontekstual dengan kelas yang menerapkan
pembelajaran konvensional. Kemandirian siswa dalam
menemukan materi membawanya tidak hanya pada
pemahaman

teoritis

tetapi

membentuk

sikap

tentang

penggunaan

model

nasionalisme.
Hasil

penelitian

pembelajaran

kontekstual

pada

mata

pelajaran

matematika dilakukan oleh Armiati dan Febrianti (2013:
589).

Dalam

jurnalnya,

dikemukakan

bahwa

model

pembelajaran kontekstual membantu siswa memahami
permasalahan

matematika

lebih

baik

daripada

pembelajaran konvensional. Berdasarkan tujuh asas yang
terdapat dalam CTL, peneliti menemukan bahwa siswa
lebih mampu memahami dan memecahkan permasalahan
31

matematika dibanding mereka yang mengerjakan tugastugas secara langsung (konvensional).
Dalam

beberapa

jurnal

penelitian

yang

telah

diuraikan di atas, penulis tidak menemukan adanya
penjabaran tentang proses pelaksanaan CTL di dalam
kelas. Evaluasi dilakukan sebatas hasil penerapan model
pembelajaran kontekstual. Penelitian belum dilakukan
untuk

mengevaluasi

mempersiapkan

bagaimana

sampai

pada

manajer

taraf

evaluasi.

(guru)
Dua

penelitian di atas relevan dengan penelitian yang akan
penulis lakukan untuk menguatkan hipotesis efektivitas
dan

relevansi

penggunaan

model

pembelajaran

kontekstual pada bidang studi Pendidikan Agama Kristen.
Namun lebih jauh lagi, penulis juga menggunakan
pendekatan

model

mengevaluasi
melaksanakan,

proses

case

study

guru

mengontrol

evaluation

dalam
dan

untuk

mempersiapkan,
mengevaluasi

pembelajaran kontekstual di bidang studi PAK.
Penulis mengkaji bahwa pembelajaran berbasis
kontekstual ini telah menjadi fenomena dan tuntutan bagi
guru Pendidikan Agama Kristen. Guru diharap membantu
siswa memahami dan mempraktekkan doktrin abstrak
Kekristenan dalam realita sehari-hari. Namun demikian,
kekurangan pengetahuan guru tentang pembelajaran
berbasis kontekstual ini membuat tujuan pembelajaran
tercapai kurang maksimal. Asas-asas CTL dan relevansi
32

materi

dengan

kehidupan

sehari-hari

yang

kurang

dipahami membuat pembelajaran hanya jatuh pada
pemahaman konsep. Evaluasi studi kasus dipilih di SMA
Kristen

Satya

Wacana

Salatiga

sebagai

lembaga

pendidikan Kristen yang menerapkan model pembelajaran
ini.
Penulis menarik hipotesis bahwa model CTL pada
pembelajaran PAK dan empat asas CTL terpilih dirasa
relevan

untuk

tentang

doktrin

mengembangkan
keagamaan

pemahaman

yang

abstrak

siswa
menjadi

pemahaman kontekstual sehingga siswa tidak hanya
paham secara teoritis, namun dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk pengambilan keputusan
maupun penyelesaian masalah. Penulis akan meneliti
bagaimana
kontekstual

pelaksanaan
ini

dan

pembelajaran

sejauh

mana

berbasis

dampak

yang

diharapkan dapat tercapai melalui uji hasil pembelajaran,
konteks, dan proses pembelajaran. Di samping itu,
penulis berharap menemukan satu teori yang diperoleh
dari lapangan baik tentang adanya asas lain yang
membantu proses pembelajaran berbasis kontekstual
menjadi lebih maksimal, maupun tentang evaluasi studi
kasus

yang

penulis

gunakan.

Kemungkinan

guru

menggunakan asas lain dalam pembelajaran tepat dan
membawa hasil maksimal sangat besar. Demikian pula
tentang teori evaluasi, jika evaluasi studi kasus menurut
33

Stufflebeam tidak sampai pada studi kelayakan program,
penulis

berasusmsi

mengembangkan

menemukan

evaluasi

studi

digunakan sebagai dasar penelitian.

34

teori

baru

untuk

kasus

yang

dapat

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20