Tauhid sufistik : konsep tauhid Junayd al-Baghdadi.

(1)

TAUHID SUFISTIK

( KONSEP TAUHID JUNAYD AL-BAGHDADI )

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh :

MUHAMMAD ACHSIN NIM: E01213051

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Muhammad Achsin, E01213051, 2015, Tauhid Sufistik (Konsep Tauhid Junayd al-Baghdadi), Skripsi, Akidah dan Filsafat Islam. Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Islam. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Ada dua persoalan yang dikaji dalam skripsi ini, yaitu (1) Bagaimana latar belakang lahirnya Tauhid Sufistik Junayd al-Baghdadi, (2) Bagaimana konsep tauhid Junayd al-Baghdadi. Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, dalam penelitian ini digunakan deskriptif yang berguna untuk menguraikan secara teratur keseluruhan konsep Tauhid Junayd, dan metode analisis yang digunakan untuk menganalisis konsep Tauhid dalam pandangan Junayd.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: (1) Pemikiran tasawuf junayd banyak dipengaruhi oleh pamannya Sarri as-Saqatti dan Abu Ja’far al-Qassas yang menjadi guru pertama Junayd dalam belajar tasawuf. Yang lebih menekankan pada uzlah dan khalwat. Selanjutnya perjalanan tasawuf Junayd juga banyak diwarnai dari seorang ulama’ yang bernama Abu Abd Allah al-Ḥarits ibn Asad al-Muhasibi yang biasa di panggil al-Muhasibi yang ajarannya menganjurkan agar tidak menjauhi keduniawian tetapi tidak juga hidup dalam kemewahan. Namun justru dari penggabungan kedua doktrin inilah makanya kemudian Junayd dikenal sebagai seorang sufi yang luwes dan fleksibel, jauh dari kekakuan dan cara pikir yang sempit. (2) Bagi Junayd dalam bertauhid haruslah sampai pada kondisi fana’ dan baqo’ yang mana benar-benar hati dalam keadaan kosong dan tidak melihat kecuali hanya pada kebesaran dan keagungan-Nya sehingga semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan hanyalah ke kehadira Tuhan yang Maha Esa. Dan kemudia dia akan kembali pada keadaan shaw yaitu dimana kesadaran seorang sufi dikembalikan kepada keadaannya semula, agar dia dapat memperlihatkan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga anugrah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-sifatnya sebagai manusia


(7)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAM PERSEMBAHAN ... vi

HALAMAN ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

TABEL TRANSLITERASI ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dab Batasan Masalah... 7

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Kegunaan Penelitian... 8

F. Penegasan Judul ... 9

G. Kajian Pustaka ... 10

H. Metode Penelitian... 12


(8)

BAB II : TAUHID DALAM PANDANGAN SUFI

A. Pengertian Tauhid ... 18

B. Unsur-Unsur Tauhid... 24

1. Tauhid Rububiyah ... 24

2. Tauhid Uluhiyah... 26

3. Tauhid Asma wa Sifat ... 28

C. Sejarah Tauhid ... 30

1. Sejarah Perkembangan Tauhid ... 32

2. Sejarah Ketauhidan dari Nabi Adam AS sampai Nabi Isa AS... 35

3. Sejarah Perkembangan Tauhid Kontenporer ... 38

D. Prinsip-Prinsip Tauhid Dalam Pandangan Kaum Sufi ... 41

BAB III: RIWAYAT HIDUP JUNAYD AL-BAGHDADI A. Biografi Junayd al-Baghdadi... 50

B. Pendidikan Junayd al-Baghdadi ... 51

C. Kondisi Sosial Junayd al Baghdadi ... 56

D. Karya-karya Junayd al-Baghdadi ... 63

BAB IV: KONSEP TAUHID JUNAYD AL-BAGHDADI A. Konsep Sufisme Junayd al-Baghdadi ... 67


(9)

xii

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ... 83 B. Saran-Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan atas isi kandungan

al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Akan tetapi merupakan implementasi bagi kerangka agung Islam. Hanya saja tarekat demikian diabaikan secara substantsi oleh para fuqoha pasca generasi salaf yang saleh. Mereka yang sempat bertemu dengan generasi salaf yang saleh pada abad pertama pasti mereka akan mendapatkan pendidikan dan petunjuk, serta pemahaman dan perilaku, umat Islam ketika itu tidak memisahkan antara akademi para sufi dengan akademi para fuqaha dan teolog. Sebab generasi abad pertama dari Ulama Salaf yang saleh benar-benar menyerap Islam secara total, baik dari segi pemahaman, prilaku, pendidikan, dakwah dan fiqihnya.1

Agama Islam merupakan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, agama Islam mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan penduduk sebagai acuan nilai dalam kehidupan sehari-hari.2 Proses penyebaran agama Islam secara konstan, dimulai sejak abad VII M atau permulaan abad VIII M, yang dilakukan oleh pedagang muslim di

1

An-Naisabury, Abul Qosim al-Qusairy, Risalah Qusairiyah, (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), 7. 2

M. Laily Mansur, Kitab Ad Durun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf (Banjarmasin: Hasanu, 1982), 1.


(11)

2

2

jazirah Arab, Persia dan India. Pada abad XIII M Islam sudah masuk di daerah Sumatera Utara kemudian menyebar ke kepulauan lainnya.3

Secara teoritis agama Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai Rasul. Agama Islam membawa ajaran mengenai berbagai segi kehidupan manusia yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadith.4 Agama Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk yang sangat memerlukan evaluasi diri dan penilaian ulang dalam kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial.

Pada saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak negatif terhadap sikap hidup dan perilaku manusia baik sebagai manusia yang beragama, maupun sebagai makhluk individual dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidup manusia adalah nilai materil, sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang ada.

Mengejar nilai-nilai materi saja tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki. Bahkan hanya menimbulkan bencana yang hebat, karena orientasi hidup manusia semakin tidak mempedulikan

3

Uka Tjandrasasmita, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia (Makalah pada Seminar on Islam Southest Asia, 1982), 2.

4

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985), 24.


(12)

3

kepentingan orang lain, asalkan materi yang dikejarnya dapat dikuasai oleh manusia, akhirnya timbul persaingan hidup yang tidak sehat. Sementara manusia tidak memerlukan lagi agama untuk mengendalikan segala perbuatannya, karena dianggap tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan hidup manusia. Dalam hal ini manusia sangat memerlukan adanya Tasawuf atau akhlaq untuk membimbing manusia ke jalan yang benar.5 Dan juga Tauhid atau keimanan yang kuat untuk membentengi manusia supaya terjaga kemurnian tauhidnya.

Namun tidak bisa kita pungkiri sepeninggal Rasulullah SAW problematika tauhid muncul satu persatu dari rahim sejarah umat Islam seiring dengan timbulnya berbagai pendapat mengenai iman dan amal. Meskipun pada awalnya lebih condong dipersepsikan sebagai masalah politik namun gerakannya namun gerakannya meluas hingga masuk dalam ranah teologi (kalam). Tidak tanggung-tanggung perbedaan pendapat ini pun mamasuki pembahasan yang sensitif dan spesifik, diantaranya, cara menempati kembali dalil naqli yang bersesuaian dengan akal. Para tekstualis mengikat aqidah mereka pada dalil-dalil naqli tanpa memberi ruang untuk takwil sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan mereka secara leluasa menggandengkan dialektika rasional dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis nabi s.a.w pada tingkat

5


(13)

4

4

yang paling Ekstrim, perbedaan inipun menghasilkan takfir diantara sesama muslim.6

Selain mutakallimun, masih ada dua wajah lain yang menghiasi sejarah dan khazanah intelektual Islam, yakni, filosof dan sufi. Meskipun masalah yang dibicarakan sama, kedua kelompok ini memiliki cara yang berbeda dan menyakini prinsip-prinsip ketuhanan dengan segala atribut-Nya para filsuf muslim paripatetik cenderung membangun konsep ketuhanan mereka diatas premis-premis rasional yang terkesan kering dan kaku. Kejumudan ini ditangkap oleh kecerdasan al-Ghazali dan dituangkan dalam karyanya Tahafut al-Falasifah-nya yang terkenal.

Sebaliknya, para sufi yang beranjak dari ketulusan hati terhadap tuhan dalam semua rentak penabdiannya, sering kali melahirkan ungkapan-ungkapan dan konsep-konsep sentimentil tentag hubungan yang mereka jalin dengan Allah S.W.T. ini adalah pilihan yang sangat beresiko karena mereka menghayati tauhid dengan jiwa yang sentimentil yang berpotensi membuka gerbang pengembaraan perasaan dengan sikap bertauhid yang tidak terkontrol. sebagaimana filsafat, para sufi pun menjadi sasaran kritik dari waktu-kewaktu

Dalam konteks ini, kritikan-kritikan tersebut melah berbalik arah menyerang pengkritiknya dimana merekalah yang justru dipersepsikan sebagai orangyang menggagahi konsep kebertuhanan, bukan para sufi. Faktor berikutnya adalah fakta bahwa cukup banyak para sufi yang


(14)

5

mampu menjaga kebenaran dan kebersihannya dalam doktrin ketauhidan yang dikembangkannya, seperti yang tampak dalam konsep tauhid yang dikemukakan oleh Sultan al-‘Arifin, Imam Junayd al-Baghdadi (w. 298 H/910M), tokoh termuka tasawuf aliran Baghdad.

Junayd memang berbeda. Jarak yang dijaganya dari poros tasawuf falsafi membuatnya terhindar dari nasib tragis seperti yang dialami Abu mansyur al-Hallaj (w. 309/922). Tidak hanya itu kelenturan bahasa dan kejelesan tutur katanya behkan lebih dicintai dari gaya ketasawufan Abu Yazid al-Bustami (w. 261/857). Tidak heran kalau kemudian Ibnu Taimiyah dapat menerima pemikiran Junayd. Itu dibuktikan dengan apresiasinya terhadap perinsip tasawuf Junayd yang tersimpul dalam

statemennya “Ilmu ini mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah. Barang siapa yang tidak membaca al-Qur’an dan menulis Hadis maka tidak pantas untuk berkata-kata tentang keilmuan kami.7

Perspektif Junayd tentang tauhid ini ternyata juga diakomodir oleh para penulis manual klasik tasawuf yang terkenal diantaranya, Nashr al-Sarraj al-Tusi (w. 378/988) dalam al-Luma’ ,8 dan Abu Qasim al-Qusyairi (w. 465/1074) dalam al-Risalah al-Qusyairiyah.9 Kehadiran perspektif Junayd tentang tauhid dalam kitab manual tersebut ditampilkan secara bervariasi.

7 M. Subkhan Ansori, Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan (Jawa Timur: Pustaka Azhar, 2011), 291.

8

Abu Nashr al-Sarraj, al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti, 2002). 9 Abu Qasim al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, terj. Umar Faruq (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).


(15)

6

6

“Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan antara yang Qadim dengan yang Hadith. Dengan pemikiran seperti ini, Junayd di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf pada al-Qur’an dan al-Sunnah.”

Namun ada yang menarik dari pemikiran tauhid Junayd yaitu konsep fana’ dalam bertauhid, Fana’ menurut para kaum sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan, akhlak yang tercela, dan kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya (baqa) sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang mulia, dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti

al-fana’ al-nafs, yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya

tubuh kasar seorang sufi dan wujud jasmani sudah di rasakan tidak ada lagi. Pada kondisi ini yang tinggal hanyalah wujud rohani dan di dalam dirinya.

Fana’ dalam pengertian yang umum dapat dilihat dari penjelasan

al-Junaid berikut ini. Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.

Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak


(16)

7

hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia sebagaimana di jelaskan oleh Al-Qusyairi:

Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.

Maka melihat dari pada kedudukan dan reputasi Junayd dalam dunia tasawuf, serta poin-poin ruhaniyah yang melekat pada pandangan-pandangan spiritualnya tentang tauhid, maka penulis mengfokuskan pembahasan skripsi ini pada pemikiran Tauhid Junayd al-Baghdadi yang berorientasi pada konsep Tauhid Sufistik.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Maksud dari identifikasi masalah ini untuk mengantarkan pada batasan masalah dalam penelitian ini. Sehingga perbedaannya dengan kajian yang pernah dilakukan sebelumnya akan tampak. Sebagai sebuah studi pemikiran. Adapun penelitian ini akan fokus pada pemikiran Junayd Baghdadi, obyek pada penelitian ini adalah pemikiran tauhid Junayd al-Baghdadi.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana latar belakang lahirnya Tauhid Sufistik Junayd al-Baghdadi ?


(17)

8

8 D. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskrisikan latar belakang tauhid sufistik Junayd al-Baghdadi.

2. Upaya menganalisis pemikiran Junayd al-Baghdadi tentang tauhid

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat bagi penulis dan masyarakat umum, manfaat yang dimaksud adalah :

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dibidang pengetahuan tertama di bidang pemikiran Islam, dalam rangka memberikan pemahaman tentang tasawuf dan tauhid seorang sufi khususnya dalam pemikiran Junayd al-Baghdadi.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan bias meberikan masukan dan ide-ide pembanding bagi pihak-pihak yang tergabung dalam organisasi keagamaan dan lembaga lainnya di tengah umat Islam yang sedang dan terus melakukan perubahan terutama dalam memahami agama.

3. Secara Akademik

Dapat menjadi masukan dan pembendaharaan kepustakaan untuk kepentingan ilmiah, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf dan tauhid yang mungkin masih sangat jarang sekali ditemui.


(18)

9

F. Penegasan Judul

Untuk menghindari perbedaan pengertian atau kekurang jelasan terhadap pokok bahasan skripsi yang berjudul “Tauhid Sufistik Junayd al-Baghdadi”. Maka perlu dijelaskan tentang kata kunci yang ada dalam judul tersebut, yaitu sebagai berikut:

Tauhid : mengesakan, menunggalkan, yang Maha Dahulu (Qidam) dari yang datang kemudian (hudus)10, tidak ada yang lain selain Allah yang Maha Esa. Tidak ada Muhammad, tidak ada sufi, tidak ada benda, tidak ada karya, dan tidak ada diri sendiri yang ada hanya Allah semata.

Sufistik : istilah sufistik berasal dari kata shafa yang berarti bersih, sehingga kata shufi memiliki makna orang yang hatinya tulus dan bersih dihadapan Tuhannya. Ada pendapat lain yang mengatakan berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin, dan mereka itu disebut dengan ahlu as-suffah. Selain itu juga ada pendapat yang mengatakan berasal dari kata suf

yang berarti kain yang dibuat dari bulu (wool) dan kaum sufi lebih memilih wool yang kasar sebagai simbol


(19)

10

10

kesederhanaan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata shufi11

Junayd : Nama lengkapnya adalah Abu al-Qosim al-Junayd bin Muhammad al-Kazzaz al-Qawariri al-Sujaj al-Nahawandi. Junayd adalah sufi terkemuka aliran Baghdad yang mata rantai keilmuannya dimulai dari Ma’ruf al-Karakhi (wafat tahun 200 H), Sari Saqati (wafat tahun 251 H), al-Hasibi dan Junayd al-Baghdadi (wafat tahun 298 H). Junayd juga dipandang sebagai imam besar para sufi

dalam jajaran guru awal, bahkan Ja’far al-Kuldi, al-Subki, Abd ar-Rahman jami’ serta banyak perawi tasawuf

sepakat menyatakan junayd adalah “syaikh atau penghulu kaum sufi”.

Dari beberapa penjelasan kata kunci diatas, penulis mengulas tentang pandangan Junayd tentang sebagai upaya menjadi manusia yang berkualitas, menjernihkan hati dan memurnikan ibadah hanya kepada Allah SWT.

G. Kajian Pustaka

1. Aditya Pratama, Tauhid Perspektif Junayd Al-Baghdadi Dalam Kitab-Kitab Manual Tasawuf, Skripsi ini membahas tentang Tauhid


(20)

11

Perspektif Junayd al-Baghdadi yang dikaji dalam kitab-kitab klasik seperti ar-Rasail, al-Luma’, ar-Risalah, Kasful Mahjub,

2. Abu Nashr Abdullahbin Ali as-Sarraj ath-Thusi, yang diberi gelar

T{awas al-Fuqara’ (si Burung Merak orang-orang fakir sufi) Wafat

pada tahun 378 H. beliau adalah penulis kitab tasawuf al-Luma’

mungkin ia juga memiliki tulisan-tulisan lain yang tak sampai pada kita sebagaimana yang didengar oleh Ja’far al-Khuldi, Abu Bakar Muhammad bin Dawud ad-Duqqi dan Ahmad bin Muhammad as-Sayij. Karyanya yang berjudul al-Luma’ adalah suatu buku ensiklopedia tasawuf yang ada dalam sejarah umat Islam, beliau juga seorang sejarawan sufi terbesar dalam sejarah klasik dan modern. 3. Abdul Karim bin Hawazin Abu al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H),

beliau adalah penulis buku induk tasawuf ar-Risalah al-Qusyairiyah12. Imam Qusyairi juga banyak memberikan sumbangsih pemikiran terutama dalam bidang tasawuf dan tauhid, karya-karya beliau juga banyak membahas pengertian yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam tasawuf. Tak lupa beliau juga banyak membahas tentang tauhid dalam pandangan para sufi yang menjadi wacana bagi penulis untuk penulisan skripsi ini.

4. Buku Risalah Tauhid karangan Syekh Muhamad Abduh, penerbit: Bulan Bintang, Desember 1989.

12


(21)

12

12

Buku ini membahas tentang pemikiran Pemikiran Muhammad Abduh tentang Tauhid, tetapi bukan hanya masalah Tauhid saja. Buku ini juga membahas mengenai manusia, perbuatan-perbuatan Allah, kerasulan, dan wahyu.

H. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode kualitatif deskriptif yang berfokus pada kajian (library research) artinya peneliti mengungkap dan mengelola data yang berasal dari referensi kepustakaan (bukan lapangan).13 Penelitian kualitatif sendiri adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Penelitian ini juga merupakan jenis penelitian deskriptif-analisis,14 karena menggunakan penelitian dan pengkajian struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundamental yang dirumuskan oleh seorang pemikir, kemudian dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kenyataan atau realitas.15 Dalam hal ini berupa pembicaraan yang membicarakan tentang tauhid menurut pandagan seorang sufi Junayd al-Baghdadi serta menganalisa

13

Hamid Nasuki,Dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan Desertasi, (Jakarta: Ceqda, 2007), 34.

14

Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Cv. Rajawali, 1993), 6. 15

Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, (Yogyakarta: PSAPM, Pustaka Pelajar, 2003), 15.


(22)

13

pemikiran junayd dengan mengali riwayat hidupnya guna mengetahui

latar belakang pemikirannya. Selain menggambil data-data

kepustakaan mengenai Tauhid sufistik, baik yang terdapat dalam karya asli Junayd maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan Tauhid sufistik. Penelitian ini juga menggunakan data yang menyangkut dan membahas tentang riwayat hidup, latar belakang pemikiran tauhid menurut pandangan Junayd.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini tidak jauh dari judul yang ada. Secara umum, sumber data yang diambil berasal dari literatur, baik berupa buku, jurnal, makalah, maupun data-data yang diambil dari website. Tentunya data-data yang masih berhubungan dengan penelitian ini, seperti halnya tentang Tasawuf, tauhid, sufi, khususnya Tauhid dalam pemikiran Junayd al-Baghdadi. Kajian ini bersifat kepustakaan (library research), sehingga data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini bersumber dari buku-buku yang secara langsung berkaitan dengan obyek material penelitian atau karya asli dari tokoh tersebut.16 Karena obyek penelitian ini adalah konsep tauhid menurut Junayd al-Baghdadi, maka sumber primernya


(23)

14

14

adalah karya-karya asli Junayd al-Baghdadi seperti Risalatul Junaid (Ar- Rasail)

b. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari sumber tidak langsung yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.17 Pendapat lain mengatakan bahwah sekunder adalah data yang biasanya telah tersusun dalam bentuk-bentuk dokumen-dokumen, misalnya data mengenai keadaan demografis suatu daerah, data mengenai produktivitas suatu perguruan tinggi, dan mengenai persediaan pangan disuatu daerah dan sebagainya.18 Adapun data sekunder yang diperoleh peneliti adalah data pendukung dari kitab-kitab tasawuf seperti : Al-Luma’, Risalah Qusairiyah, Ihya’ ulumuddin, dan Islam sufistik.

3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data pada penelitian ini, penulis akan menghimpun data yang meliputi, Tauhid dalam pandangan Junayd al-Baghdadi, dan didukung dengan data-data atau pemikiran dari tokoh-tokoh lain.

Selanjutnya data-data tersebut diseleksi dengan cara menambah atau mengurangi data dan diklasifikasikan agar sesuai

17

Saifuddin Azwar, metode penelitian, (Jakarta: CV. Rajawali, 1998),93.

18


(24)

15

dengan tema yang akan dibahas oleh penulis untuk menyusun sistematika pembahasan dan terdeskripsikan dengan rapi. Untuk penggalian data penulis menggunakan library research, yang dimaksud disini adalah pengumpulan atau pencarian data yang terdapat pada buku-buku yang berkaitan dengan wacana Tauhid para sufi.

b. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif-analisis-korelasional, dengan proses pencarian fakta yang menggunakan ketepatan interpretasi. Metode deskriptif menjelaskan suatu fakta sebagaimana adanya.19 Atau metode yang menguraikan secara teratur keseluruhan konsep seorang tokoh.20 Dalam hal ini berupa pemikiran Junayd al-Baghdadi mengenai tauhid.

Sedangkan metode analisis, digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap obyek yang diteliti, atau cara penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh suatu kejelasan arti yang terkandung dalam obyek yang akan diteliti.21

19 Anton Bakker dan A. Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet I (Jogyakarta: Kanisius, 1992), 88.

20

Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Departemen Agama), 20. 21 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1997), 59-60.


(25)

16

16

Sedangkan metode penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Adanya hubungan dan tingkat variabel yang penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. Yang dalam hal ini konsep tauhid junayd akan dikorelasikan dengan fenomena ketauhidan para sufi pada umumnya.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam sistematika pembahasan ini, penulis membagi kerangka penelitian dalam lima bab yaitu :

BAB I : Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penegasan judul, kajian pustaka, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

BAB II : Membahas tentang tauhid : Pengertian Tauhid, Unsur-unsur tauhid, Sejarah Tauhid, dan Tauhid dalam pandangan para sufi.

BAB III : Bab ini membahasa tentang biografi Junayd al-Baghdadi : Latar belakang Junayd Baghdadi, Pendidikan Junayd


(26)

17

Baghdadi, Lingkup Sosial Junayd al-Baghdadi, dan Karya-karya Junayd al-Baghdadi.

BAB IV : Membahas tentang Tauhid Junayd al-Baghdadi Meliputi : Konsep Tauhid Junayd al-Baghdadi dan Fana’ Fii at-Tauhidala Junayd al-Baghdadi.


(27)

18

BAB II

TAUHID DALAM PANDANGAN SUFI

A. Pengertian Tauhid

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tauhid merupakan kata benda yang berarti keesaan Allah, kuat kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Perkataan tauhid berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata wahhada

(دحو) yuwahhidu (دحوي). Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Maksudnya, keyakinan bahwa Allah SWT adalah Esa-Tunggal. Pengertian ini sejalan dengan pengertian tauhid yang digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu “keesaan Allah”. mentauhidkan berarti “mengakui akan keesaan Allah, mengeesakan Allah”. Fuad Iframi Al-Bustani Menyatakan Bahwa Menurutnya tauhid adalah Keyakinan bahwa Allah itu bersifat

“Esa”. Jadi tauhid berasal dari kata “wahhada” (دحو) “yuwahhidu” (دحوي)

“tauhidan” (اديحوت), yang berarti mengesakan Allah SWT.1

Dari segi bahasa “mengtauhidkan” sesuatu berarti menjadikan

seseatu itu Esa. Secara Syar’i tauhid adalah “mengesakan Allah didalam perkara-perkara yang Allah sendiri melalui nabi-nabiNya yaitu dari segi

rububiyah, Uluhiyyah dan Asma Was Sifat.2

Allah berfirman dalam surat adz-Dzariyat ayat 56

1

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Rineka Cipta: Jakarta, 1992),1.

2

Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, (malang, UIN MALIKI PRESS, 2010), 13.


(28)

19            ( 6 )

Artinya : “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”3

Maksud dari kita menyembah di ayat ini adalah mentauhidkan Allah dalam segala macam bentuk ibadah sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Abbas rodhiyallohu anhu, seorang sahabat dan ahli tafsir. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah saja. Tidaklah mereka diciptakan untuk menghabiskan waktu kalian bermain-main dan bersenang-senang belaka.

Sebagaimana firman Allah swt surat Al-Anbiya ayat 16-17           ( 6 )                  ( 61 )

Artinya : “Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya kami hendak membuat sesuatu permainan tentulah membuatnya dari sisi kami. Jika

kami menghendaki berbuat demikian”.4

3

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, The Holy Qur’an Al-Fatih, (Jakarta : PT. Insan Media Pustaka, 2009), 523

4


(29)

20

Selain itu tauhid adalah tujuan diutusnya beberapa rasul ke muka bumi, dalam hal ini Allah berfirman dalam surat an-Nahl ayat 36

                                              ( 6 )

Artinya : “Dan sungguh kami telah mengutus rasul”.5

Makna dari ayat ini adalah bahwa para Rasul mulai dari Nabi Nuh sampai Nabi terakhir nabi kita Muhammad shollallohu alaihi wa salam

diutus oleh Allah untuk mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun. Maka pertanyaan bagi kita sekarang adalah Sudahlah kita memenuhi seruan Rasul kita Muhammad shollallohu alaihi wa sallam untuk beribadah hanya kepada Allah semata ? ataukah kita bersikap acuh tak acuh terhadap seruan rasulullah ini ?

Selain itu tauhid merupakan perintah Allah yang paling utama dan pertama, Allah berfirman dalam surat an- Nisa ayat 36

                                                           ( 6 ) 5 Ibid., 325


(30)

21

Artinya : “ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya deangan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kapada kedua orang tua, kerabat karib, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetanggayang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”.6

Tauhid merupakan materi dakwah pertama para Rasul. Tauhid merupakan terminal pertama dan langkah awal bagi mereka-mereka yang ingin menempuh jalan kepada Allah. Apabila Tauhid sudah tertanam dalam diri seseorang dengan sempurna, maka dengan tauhid tersebut akan dapat mencegah seseorang itu masuk kedalam dosa besar atau kemusyrikan.

Kedudukan tauhid dalam Islam sangatlah fundamental, Karena tauhid adalah pemahaman seorang muslim tentang keimanan. Konsep tauhid dalam Islam merupakan salah satu pokok ajaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sangat berpengaruh terhadap keIslaman seseorang. Apabila pemahaman tentang tauhid seorang tidak kuat maka alkan goyah pula pilar-pilar keIslaman secara menyeluruh.

Tauhid juga merupakan konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah sebuah sumpah akan kesetiaan dan kepercayaan yang mutlak tentang Allah yang maha Esa. Dengan meyakini akan keesaan Allah, maka seorang muslim tidak lagi meyakini adanya

6


(31)

22

Tuhan selain Allah sihingga seluruh hidupnya akan senantiasa dipersebahkan hanya untuk mengabdi kepada Allah. Dengan tauhid yang kuat maka seorang muslim akan mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-larangannya.

Nilai keesaan Allah merupakan awal dari kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan-Nya tersebut. Manusia diciptakan di muka bumi ini hanya mempunyai satu tugas yaitu menyembah Allah dengan segala bentuk ibadahnya.

Allah berfirman dalam KitabNya.7

Artinya : “Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang

Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci

Allah dari apa yang mereka sekutukan”.

Dengan memperdalam pemahaman terhadap keilmuan tauhid, maka sangat diharapkan seorang muslin memiliki landasan yang kuat dalam mengimplementasikan kewajiban-kewajiban menyembah Allah. Dengan keyakinan yang kuat tentang tentang keesaan Allah. Maka akan terasa sangat ringan seorang muslin untuk mengerjakan ibadah yang diwajibkan kepadanya. Baik ibadah maghdo maupun ibadah ghoiru maghdo. Tidak ada lagi rasa malas, dan menganggap bahwa bertemu dengan penciptanya merupakan kebutuhan baginya.

Tauhid adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah. Tauhid diambil kata : Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang

7


(32)

23

artinya mengesakan. Satu suku kata dengan kata wahid yang artinya satu atau ahad yang berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid itu berarti keyakinan akan keesaan Allah. Kalimat Tauhid ialah La illaha ilallah

yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama tauhid yaitu agama yang mengesakan Tuhan.8

Bahkan gerakan-gerakan Pemurnian Islam terkenal dengan nama

gerakan muwahhidin (yang memperjuangkan tauhid). Dalam

perkembangan sejarah kaum muslimin, tauhid itu telah berkembang menjadi nama salah satu cabang ilmu Islam, yaitu Ilmu Tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha Esaan Allah.

Tauhid dibagi menjadi tiga macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat Mengamalkan tauhid dan menjauhi Syirik

merupakan konsekuensi dari kalimat Shahadat yang telah diikrarkan oleh seseorang karena yang membedakan seorang muslim dengan yang bukan muslim adalah kepercayaannya mengenai keesaan Allah yang terwujud dalam keyakinan dan amal-amal ibadahnya.9

Allah SWT menerangkan kita bahwa Dialah yang menciptakan jin dan manusia, dan tujuan dari peciptaan mereka adalah agar mereka

8

Ibid., 4.

9


(33)

24

beribada hanya kepadanya saja, dan menjahui menyembah selain-Nya. dia tidak menciptakan mereka untuk keuntungan-Nya, melainkan agar menyembah kepada-Nya semata : Dia telah menjamin segala kebutuhan mereka, sesungguhnya Dialah yang maha terpercaya dalam menepati janji dan Dia mampu memenuhinya, karena Dialah yang Maha Kuasa.

B. Unsur-unsur Tauhid

Tauhid adalah meyakini keesaan Allah dalam Rububiyah, Ikhlas beribadah kepadaNya, serta menetapkan bagiNya nama-nama dan sifat-sifat. Dengan demikian Tauhid ada tiga macam : Tauhid Rububiyah, tauhid uluhiyah, dan yang ketiga adalah tauhid asma wa sifat. Setiap dari ketiga tauhid itu memiliki makna yang harus dijelaskan agar perbedaan antara ketiganya menjadi terang.

1. Tauhid Rububiyah

Yaitu mengesakan Allah dalam segala perbuatanNya dengan menyakini bahwa Dia sendiri yang meciptakan semua mahluk.10 Allah berfirman dalam Surat ath-Thur ayat 35-36 :

                ( 66 )               ( 6 )

Artinya : “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah

mereka yang meciptakan (diri mereka sendiri)? sebenarnya mereka

tidak meyakini (apa yang mereka katakana)”.11

10

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid 1 (Jakarta : Darul Haq, 2013), 19.

11


(34)

25

Perhatikanlah alam semesta ini, baik yang diatas maupun yang dibawah dengan segala bagian-bagiannya. Kita pasti mendapati semua itu menunjukan pada pembuat, pencipta dan pemiliknya. Maka mengingkari ilmu itu sendiri dan mencampakannya, keduanya tidak berbeda.

Adapun pengingkaran adanya Tuhan oleh orang-orang komunis saat ini hanyalah karena kesombongan dan penolakan terhadap hasil renungan dan pemikiran akal sehat. Siapa yang sepertinya ini sifatnya maka dia telah membuang akal sehat. Siapa yang seperti ini sifatnya maka dia telah membuang akalnya dan mengajak orang lain untuk menertawakan dirinya

Mengesakan Allah dalam Rububiyahny-Nya Maksudnya

adalah kita meyakini keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukanoleh Allah, seperti mencipta dan mengatur seluruh alam semesta beserta isinya, memberi riski, memberikan manfaat, menolak mudhlarat dan lainnya yang merupakan kekhususan bagi Allah. Hal yang seperti ini diakui oleh seluruh manusia, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Orang-orang yang mengingkari hal ini; seperti kaum atheis, pada kenyataannya mereka menampakkan keingkarannya hanya karena kesombongan mereka. Padahal, jauh di dalam lubuk hati mereka, mengakui bahwa tidaklah alam semesta ini terjadi kecuali ada yang membuat dan mengaturnya. Mereka hanyalah membohongi kata hati mereka sendiri.12

12


(35)

26

Namun pengakuan seseorang terhadap Tauhid Rububiyah ini tidaklah menjadikan seseorang beragama Islam karena sesungguhnya orang-orang musyrikin Quraisy yang diperangi Rosulullah mengakui dan meyakini jenis tauhid ini.

2. Tauhid Uluhiyah

Yaitu membahas tentang keEsaan Allah dalam dzat-Nya tidak terdiri dari beberapa unsur atau oknum, tidak sebagaimana dalam teologi Yahudi dan Masehi. Dia (Allah) sebagai dzat yang wajib disembah dan dipuja dengan ikhlas, semua pengabdian hamba-Nya semata-mata untuk-Nya seperti berdoa, nahr (kurban), raja’ (harap),

khauf (takut), tawakal (berserah diri), inabah (pendekatan diri) dan lain-lain.13

Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 36 :

                                             ( 6 )

Artinya : “ dan sesungguhnya kami telah mengutus rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah semata dan

jauhilah berhala itu”.14

13

Mulyono dan Bashori, Study Ilmu Tauhid dan Kalam,16.

14


(36)

27

Setiap rasul selalu memulai dakwahnya dengan perintah perintah tauhid uluhiyah. Sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib, dan Lainnya.

Allah Berfirman dalam Surat al-Ankabut ayat 16 :

                          ( 6 )

Artinya : Dan ingatlah Ibrahim, Ketika ia berkata kepada

Kaumnya ‘sembahlah Allah dan bertawalah kepadanya”.15

Jadi jelaslah bahwa tauhid uluhiyah adalah maksud dari dakwah para rasul. Disebut demikian, karena uluhiyah adalah sifat Allah yang ditunjukkan oleh namaNya, “Allah”, yang artinya dzul uluhiyah (yang memiliki uluhiyah).

Juga disebut “tauhid ibadah”, karena ubudiyah adalah sifat

“abd (hamba) yang wajib menyembah Allah secara ikhlas, karena ketergantungan mereka kepadanya. Tauhid ini adalah inti dari dakwah para rasul, karena ia adalah asas dan pondasi tempat dibangunnya seluruh amal. Tanpa merealisasikannya, semua amal ibadah tidak akan diterima. Karena ia tidak terwujud, maka bercokollah lawannya, yaitu syirik.16

15

Ibid., 398.

16


(37)

28

Mengesakan Allah Dalam uluhiyah-Nya. Maksudnya adalah kita mengesakan Allah dalam segala macam ibadah yang kita lakukan. Seperti Shalat, doa, nadzar, menyembelih, tawakkal, taubat, harap, cinta, takut dan berbagai macam ibadah lainnya. Dimana kita harus memaksudkan tujuan dari kesemua ibadah itu hanya kepada Allah semata. Tauhid inilah yang merupakan inti dakwah para rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyrikin Quraisy.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah mengenai perkataan mereka itu “Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan-sesembahanyang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” Dalam ayat ini kaum musyrikin Quraisy mengingkari jika tujuan dari berbagai macam ibadahnya hanya ditujukan untuk Allah semata. Oleh karena pengingkaran inilah maka mereka dikafirkan oleh Allah dan Rasuln-Nya walaupu mereka mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta alam semesta17

3. Tauhid Asma Wa Sifat

Tauhid Asma Wa Sifat adalah beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah RasulNya menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil.18

17

Ibid., 95.

18


(38)

29

Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupaiNya, dan Dia menetapkan bahwa Dia adalah Pendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh RasulNya. Al-Qur’an dan as-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak seorang pun lebih mengetahui Allah daripada RasulNya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhlukNya, atau menakwilkan dari yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan RasulNya19

Tulis al-Qur’annya

Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 15 :

                             ( 66 )

Artinya : ‘Siapakah yag lebih dhalim kepada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah”.20

Mengesakan Allah Dalam Nama dan Sifat-Nya, Maksudnya adalah kita beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang diterangkan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rosulullah. Dan kita juga meyakini bahwa Allah lah yang pantas untuk memiliki nama-nama terindah yang disebutkan di Al-Qur‟an dan Hadits tersebut (yang dikenal dengan Asmaul Husna).

19

Ibid., 100.

20


(39)

30

Seseorang baru dapat dikatakan Seorang Muslim yang tulen yang telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut diatas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berebuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik

Seseorang baru dapat dikatakan Seorang Muslim yang tulen yang telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut diatas. Barangsiapa yang menyekutukan Allah (berebuat syirik) dalam salah satu saja dari ketiga hal tersebut, maka dia bukan muslim tulen tetapi dia adalah seorang musyrik.21

C. Sejarah Tauhid

Sejarah Tauhid Tauhid diambil dari kata: Wahhada Yuwahhidu Tauhidan yang artinya Mengesakan satu suku kata dengan kata wahid yang berarti satu atau kata ahad berarti esa. Dalam ajaran Islam Tauhid ialah kalimat la illa illallah yang berarti tidak ada Tuhan melainkan Allah. Tauhid merupakan inti dan dasar dari seluruh tata nilai dan norma Islam, sehingga oleh karenanya Islam dikenal sebagai agama pemurnian Islam terkenal dengan nama gerakan muwahhidin (yang memperjuangkan tauhid ilmu Islam, yaitu ilmu tauhid yakni kaum muslimin, tauhid itu telah berkembang menjadi nama salah satu cabang ilmu Islam, yaitu ilmu tauhid yakni ilmu yang mempelajari dan membahas masalah-masalah yang

21


(40)

31

berhubungan dengan keimanan terutama yang menyangkut masalah ke-Maha-Esa-an Allah.

Tauhid adalah suatu ilmu yang membahas tentang “wujud Allah”, tentang sifat-sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari pada-Nya ; juga membahas tentang para Rasul Allah, meyakinkan kerasulan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada diri mereka, apa yang boleh dihubungkan (nisbah) kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. Asal makna

“tauhid”, ialah meyakinkan, bahwa Allah adalah “satu”, tidak ada syarikat bagi-Nya.

Sebabnya dinamakan “Ilmu Tauhid”, ialah karena bagiannya yang

terpenting menetapkan sifat “wahdah” (satu) bagi Allah dalam zat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa Ia sendiri-Nya pula tempat kembali segala ala mini dan penghabisan segala tujuan. Keyakinan (tauhid) inilah yang menjadi tujuan paling besar bagi kebangkitan Nabi SAW, seperti ditegaskan oleh ayat-ayat Kitab Suci, yang akan diterangkan kemudian.

Kadang-kadang dinamakan juga ia “Ilum Kalam” ialah karena ada kalanya masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat diantara ulama-ulama kurun pertama, yaitu : apakah

“Kalam Allah” (wahyu) yang dibacakan itu “baharu” atau “Qadim” ? Dan adakalanya pula, karena ilmu tauhid itu dibina oleh dalil akal (rasio), di mana bekasnya nyata kelihatan dari perkataan setiap para ahli yang turut


(41)

32

berbicara tentang ilmu itu. Namun begitu, amat sedikit sekali orang yang mendasarkan pendapatnya kepada dalil naqal (Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul), kecuali setelah ada ketetapan pokok pertama ilmu itu ; kemudian orang berpindah dari sana kepada membicarakan masalah yang lebih menyerupai cabang (furu‟), sekalipun cabang itu oleh orang yang datang kemudian telah dianggap pula sebagai suatu masalah yang pokok.

Di samping itu ada pula suatu sebab lain yang menyebabkan “Ilmu Tauhid” itu dinamakan orang dengan “Ilmu Kalam”. Ialah, karena dalam memberikan dalil tentang pokok (ushul) agama (mantiq), sebagaimana beluk hujjah tentang pendirinya. Kemudian diganti orang mantiq dengan Kalam,karena pada hakikatnya keduanya adalah berbeda.22

1. Sejarah perkembangan Tauhid

Tauhid sebagai ilmu sebetulnya belum ada di zaman Rasulullah saw, walaupun seluruh ulama sependapat bahwa tauhid adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran Islam. Sebagai ilmu, tauhid tumbuh lama sesudah Rasululllah wafat. Semasa hidupnya, Rasulullah saw. Mendidikkan sikap dan watak bertauhid ini dengan memberikan contoh teladan kepada para sahabat beliau di dalam kehidupan

sehari-hari. Pribadi Muhammad sebagai rasulullah „utusan Allah‟

memanglah pribadi yang sempurna (insan kamil), dengan kata lain beliau adalah manusia bertauhid secara istiqamah (konsisten) dan paripurna. Karena itu, sikap, watak, ucapan, dan tindak-tanduk beliau

22


(42)

33

sebagai rasulullah, terutama di bidang ibadah merupakan rujukan bagi setiap mukmin. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT sendiri di dalam kitab-Nya.

Sesudah Islam berkembang ke segala penjuru dan umat Islam telah mampu menaklukkan para maharaja (super power) ketika itu, seperti Persia di Timur dan Romawi di Barat, maka umat Islam mendapat kesempatan menuntut ilmu senbanyak-banyaknya. Memang menuntut ilmu diwajibkan oleh Allah bagi setiap muslim. Oleh karena itu, menuntut ilmu sangatlah digalakkan oleh Rasulullah saw. Bagi setiap laki-laki maupun perempuan dari buaian hingga ke liang lahat, bahkan kalau perlu dengan pergi merantau sejauh-jauhnya sampai ke negeri Cina.

Namun, tidak semua ilmu-ilmu baru ini bersifat positif, diantaranya ada pula yang menyesatkan. Akan tetapi, dengan semangat kebebasan berpikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw, para intelektual muslim ketika itu terus maju dan merusak pemikiran-pemikiran baru yang orisional dan cemerlang. Tauhid yang merupakan intisari ajaran Islam, kemudian menjadi pembahasan di kalangan cendekiawan muslim sehingga berkembang menjadi suatu ilmu yang menerangkan bagaimana seharusnya seorang muslim mengesakan Tuhannya. Semangat mencari ilmu yang diwajibkan oleh Allah SWT dan digalakkan oleh Rasulullah ini telah melahirkan banyak pemikir


(43)

34

muslim yang sampai sekarang pun masih dikagumi orang akan mutu intelektualitas mereka.

Sayang kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan ini tidak selalu dibarengi oleh sarana penunjang yang paling pokok, yaitu perkembangan politik yang sehat dan Islami. Perkembangan ilmu yang tidak boleh tidak menghendaki adanya sarana utama berupa kemerdekan berpikir dan bergerak yang sudah tidak dapat dinikmati oleh umat sejak berbahaya sistem ketatanegaraan yang Islami di masa pemerintahan khalifah-khalifah yang bijaksana (Khulafa ar-Rasyidin)

menjadi system dinasti yang feodalitas, yang memang sudah lama merupakan darah dagingnya masyarakat Arab jahilah.

Perubahan sistem ketatanegaraan yang berawal dari perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan yang berawal dari perbedaan pendapat dan berkembang menjadi pertentangan paham tentang konsep kepemimipinanini, merupakan pokok pangkal perpecahan di kalangan para pemimpin yang akhirnya meledak menjadi perang saudara. Pada mulanya, perang saudara ini hanya melibatkan sejumlah daerah dan umat yang tersebut serta mudah diredakan oleh tekanan pengaruh para sahabat Rasulullah yang masih sangat tinggi derajat iman dan tauhid mereka. Namun, sesudah generasi para sahabat seluruhnya wafat, perang saudara yang kembali meledak telah memecah kesatuan umat dan merombak citra masyarakat yang telah susah payah dibina oleh Rasullullah. Sistem


(44)

35

ketatanegaraan yang feodalitas telah terbukti tidak mampu menciptakan suatu mekanisme pengamanan yang ampuh untuk mengawal perkemangan daya kritis oleh melebarnya teritorial dan membengkaknya kuantitas umat yang seolah-olah meledak karena cepatnya.23

2. Sejarah Ketauhidan dari Nabi Adam AS. sampai Nabi Isa AS.

Adam adalah nenek moyang manusia yang pertama. Sejarah tentang Tauhid dimulai sejak diutusnya nabi Adam AS oleh Allah untuk mengajarkan ketauhidan yang murni kepada anak dan cucunya. Ajaran Adam tentang Tauhid yaitu tentang keEsaan Allah sebagai sang Pencipta alam semesta ini. Umat manusia yang telah dibuka hatinya oleh Allah menerima setelah hakikat hidup itu, menerima dan mematuhi ajaran Nabi Adam. Akan tetapi setelah nabi Adam wafat, umat pun kehilangan pembimbing. Mereka pun mulai menyimpang dari ajaran semula dan meninggalkan sedikit demi sedikit ajarannya sehingga tersesat dari jalan lurus dan kehidupan mereka pun menjadi kacau.

Untuk itu Allah mengutus para Nabi dan Rasul untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia. Nabi Nuh AS seorang bapak atau nenek moyang manusia yang ke dua, diutus sebagai pemimpin dan pengatur manusia yang kacau porak poranda setelah ditinggalkan oleh nabi Adam. Sebelum nabi Nuh AS pun telah diutus

23


(45)

36

Nabi-nabi yang ditugaskan untuk meneruskan ajaran nabi Adam AS. Setelah Nabi Nuh wafat, manusia kembali kehilangan pemimpin dan pengaturnya dan menjadi kacau balau sampai diutusnya Nabi Ibrahim oleh Allah SWT. Nabi Ibrahim selain mengajarkan dan memimpin ketauhidan terhadap Allah juga beliaulah yang mula-mula membawa

dan mengajarkan syari’at.

Diantara nabi-nabi yang dua puluh lima tersebut ada lima orang nabi yang mendapat julukan Ulul Azmi yaitu : nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa dan nabi Muhammad SAW. Semua nabi-nabi itu mengajarkan alam semesta ini Esa yaitu Allah SWT.

Nabi Musa AS diutus oleh Allah untuk mengajarkan ketauhidan. Allah menurunkan Kitab Taurat secara sekaligus kepada nabi Musa AS Taurat itu mengandung syariat atau peraturan-peraturan Allah yang diturunkan kepada nabi Musa untuk diamalkan dan berpegang teguh padanya.

Syariat itu telah dijalankan oleh umat Nabi Musa sebagai petunjuk dan pedoman hidup mereka sewaktu Nabi Musa masih hidup. Akan tetapi setelah Nabi Musa wafat bani Israil atau Orang Yahudi lama kelamaan menyimpang dari kitab Taurat sehingga menyebab kerusakan. Pda masa bani Israil ditinggalkan Nabi Musa, timbul perselisihan dan perubahan-perubahan atau penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian mereka. Nabi Isa pun


(46)

37

diutus oleh Allah sebagai pendamai dan mengembalikan pada ajaran agama yang semula, yaitu tentang ke Esaan Allah.

Nabi Isa mengajarkan ketauhidan dengan berdasarkan pada kitab yang telah diturunkan oleh Allah yaitu kitab Injil. Di dalam kitab Injil terkandung : nasihat-nasihat, petunjuk-petunjuk terhadap orang yang mengimaninya. Nabi Isa secara terus-menerus menyiarkan agama tauhid serta mendamaikan umatnya walaupun mendapat rintangan-rintangan dari bani Israil. Dengan kebencian orang-orang Yahudi, mereka berniat untuk membunuh Nabi Isa. Akan tetapi Allah melindungi Nabi Isa dengan menyamarkan orang Yahudi. Orang Yahudi itu menangkap salah seorang dari mereka yang telah diubah wajahnya mirip dengan nabi Isa pun diangkat oleh Allah.

Setelah ditinggalkan nabi Isa (menurut kepercayaan orang-orang Nasrani), sedikit demi sedikit mulai berubah ketauhidannya sehingga umat menyimpang dari ajaran semula dan terlepas dari dasar-dasar ketauhidan yang murni. Adapun perubahan yang terjadi sebagai berikut :

a. Segolongan orang Nasrani yang diketahui oleh Paulus sebagai agama di Intokia (syiria) memegang sungguh-sungguh ketauhidan yang murni. Merelka berpendapat bahwa Isa itu seorang hmaba dan pesuruh Allah sebagai juga Rasul yang lain.


(47)

38

b. Golongan Arius, yaitu golongan Nasrani pengikut aliran “Arius” seorang pendeta di Iskandariah. Ia masih berpegang teguh pada ketauhidan yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa Isa hamba Allah. Akan tetapi ia menambahi keterangan bahwa Isa sebagai

“kalimah Allah” dari situlah mulai ada bayangan yang mengarahkan bahwa Isa itu adalah Allah.

c. Golongan Parpani. Golongan yang ini berpendapat bahwa Isa dan ibunya adalah Tuhan. Demikian inilah keadaan Nasrani yang datang kemudian. Mereka menganggap bahwa Tuhan itu menjadi tiga. Dan hampir semua orang Nasrani mempercayai bahwa Tuhan terdiri dari 3 oknum. Ketiga oknum itu sebenarnya satu juga yaitu : Bapa, anak dan Ruh kudus. 3 adalah 1 dan 1 adalah 3.24

3. Sejarah perkembangan tauhid kontenporer

Ilmu Tauhid sebagaimana diketahui adalah ilmu yang membahas ajaran dasar dari suatu agama. Bagi setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluknya secara mendalam, maka perlu mempelajari Ilmu Tauhid yang terdapat pada agama yang dianut.

Masa Nabi saw adalah masa hukum penetapan aqidah, Beliau berusaha untuk mempersatukan bangsa Arab yang sebelum Islam datang selalu timbul perpecahan bahkan sampai pertumpahan darah di antara suku-suku bangsa, disamping itu masa Nabi saw. Umatnya senantiasa berusaha menemui beliau untuk mengetahui

24

Http//almasakbar45.blogspot.com/2001/01/sejarah perkembangan tauhid.html/ Diakses pada tanggal 21 Maret 2017.


(48)

39

pokok-pokok hukum agama, sehingga apabila terdapat sedikit saja persoalan mereka segera mendapatkan penyelesaiannya.25

a. Ketauhidan dari masa kemasa

Ilmu yang digunakan untuk menetapkan akidah-akidah diniyah yang di dalamnya diterangkan segala yang di sampaikan rosul dari Allah tumbuh bersama-sama dengan

tumbuhnya agama di dunia ini. Para ulama‟ disetiap umat

berusaha memelihara agama dan meneguhkannya dengan aneka macam dalil yang dapat mereka kemukakan. Tegasnya, ilmu tauhid ini dimilliki oleh semua umat hanya saja dalam kenyataanyalah yang berbeda-beda. Ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang sempit, ada yang luas, menurut keadaan masa dan hal-hal yang memengaruhi perkembanagan umat, seperti tumbuhnya bermacam-macam rupa pembahasan.

b. Perkembangan ilmu tauhid di masa Rasullah S.A.W

Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan dengan prinsip kesatuan umat dan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga beliau berhasil menghilangkan perpecahan antara umatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil,

25


(49)

40

sebagaimana telah terjadi dalam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan.

c. Perkembangan ilmu tauhid di masa Khulafaur Rasyidin

Setelah Rasulullah saw wafat, dalam masa khalifah pertama dan kedua, umat Islam tidak sempat membahas dasar-dasar akidah karena mereka sibuk menghadapi musuh dan berusaha mempertahankan kesatuan dan kesatuan umat. Tidak pernah terjadi perbedaan dalam bidang akidah. Mereka membaca dan

memahamkan al qur‟an tanpa mencari ta‟wil dari ayat yang

mereka baca. Mereka mengikuti perintah al-qur‟an dan mereka menjauhi larangannya. Mereka mensifatkan Allah swt dengan apa yang Allah swt sifatkan sendiri. Dan mereka mensucikan Allah swt dari sifat-sifat yang tidak layak bagi keagungan Allah swt. Apabila mereka menghadapi ayat-ayat yang

mutasyabihah mereka yang mengimaninya dengan

menyerahkan penta‟wilannya kepada Allah swt sendiri

d. Perkembangan ilmu tauhid di masa daulah Umayyah

Dalam masa ini kedaulatan Islam bertambah kuat sehingga kaum muslimin tidak perlu lagi berusaha untuk mepertahankan Islam sperti masa sebelumnya. Kesempatan ini digunakan kaum muslimin untuk mengembangkan pengetahuan dan


(50)

41

pengertian tentang ajaran Islam. Lebih lagi dengan berduyun-duyun pemeluk agama lain memeluk Islam, yang jiwanya belum bisa sepenuhnya meninggalkan unsur agamanya, telah menyusupkan beberapa ajarannya. Masa inilah mulai timbul keinginan bebas berfikir dan berbicara yang selama ini didiamkan oleh golongan Salaf.

Muncullah sekelompok umat Islam membicarakan masalah Qadar (Qadariyah) yang menetapkan bahwa manusia itu bebas berbuat, tidak ditentukan Tuhan. Sekelompok lain berpendapat sebaliknya, manusia ditentukan Tuhan, tidak bebas berbuat (Jabariyah). Kelompok Qadariyah ini tidak berkembang dan

melebur dalam Madzab mu‟tazilah yang menganggap bahwa

manusia itu bebas berbuat (sehingga mereka menamakan

dirinya dengan “ahlu al-adli”), dan meniadakan semua sifat pada Tuhan karena zat Tuhan karena zat Tuhan tidak tersusun dari zat dan sifat, Dia Esa (mereka juga menamakan dirinya ahlul At-Tauhid).26

D. Prinsip-prinsip Tauhid dalam pandangan kaum sufi

Ketahuilah, para syeikh golongan sufi telah membangun kaidah-kaidah mereka diatas peinsip tauhid yang shahih. Mereka telah membuat kaidah ini jauh dari bid’ah, relevan dengan ajaran tauhid yang telah diwariskan oleh generasi salaf dan ahli sunnah. Tak ada rekayasa atau

26

Http//ilmutauhid.wordpress.com/2009/04/12/sejarah-perkembangan-ilmu-tauhid/.diakses pasa tanggal 21 Maret 2017


(51)

42

penyimpagan didalamnya. Mereka mengetahui yang menjadi hak Allah, dan mereka yang membuktikan hal-hal yang menjadi predikat Wujud, dari segala yang tiada.27

Para syeikh itu membangun aturan dasar tauhid dengan argumentasi yang jelas dan bukti yang layak. Sebagaimana dikatakan Ahmad bin Muhammad al-Jurairy R.A, “Siapapun yang berpijak pada ilmu tauhid yang tidak didasari oleh pembuktian dari bukti argumentasinya, akan disirnakan oleh bujuk yang mendahului dalam

hasrat kebinasaan.” Maksud syeikh ini, barang siapa bertaklid dan tidak

merenungkan dalil-dalil/bukti tauhid, ia gugur dari tradisi yang menyelamatkan. Ia akan terjerumus dalam jurang kehancuran. Sementara orang yang mau merenungkan tulisan dan keunggulan kalimat-kalimat mereka, ia akan menemukan kumpulan ucapan dan rinciannya yang memberikan kekuatan kontenplatif : bahwasannya kalangan manapun tidak bisa membatasi diri lewat angan-angan dalam pembuktian, dan tidak memasuki tahapan pencarian secara menyimpang.28

Abu Bakr asy-Syibly berkata, “Allah adalah yang Esa, yang dikenal sebelum ada batas dan huruf. Mahasuci Allah, tidak ada batasan bagi Dzat-Nya, dan tidak ada huruf lagi bagi Kalam-Nya.” disini abu bakar asy-Syibly mengungkapkan bahwa Ruwaym bin Ahmad ditanya

27

Abul Qosim al-Qusyairy, Ar-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi at-Tasyawwuf, diterjemahkan oleh Mohammad Luqman Hakiem, (Surabaya: Risalah Gusti 2014), 7.

28


(52)

43

mengenai fardhu pertama, yang difardhukan Allah SWT. Terhadap makhluk-Nya. Ia berkata, “Makrifat karena Firman Allah :













( 6 )

Artinya : Aku tidak menciptakan jin dan Manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku (Q.S. adz-Dzariyaat: 56).

Ibnu Abbas29 menafsiri Illaa liya’ buduun dimaksudkan adalah

Illaa liya’rifuun (Kecuali untuk makrifat kepadaku). Disini Ibnu Abbas ingin menyampaikan bahwa makrifat kepada Allah merupakan kewajiban bagi seluruh ciptaannya, dan mengtauhidkan Allah adalah adalah satu-satunya jalan menuju makrifatullah.30

Abu Thayib al-Maraghy berkata, “Allah mempunyai bukti, hikmah

mempunyai isyarat, dan ma’rifat mempunyai syahadat. Akal menunjukkan, hikmah mengisyaratkan, dan makrifat yang menyaksikan : bahwa kejernian ibadah tidak akan tercapai kecuali melelui kejernian tauhid.31

Abul Hasan al-Busyanjy r.a, berkata “Tauhid berarti anda tahu bahwa Allah SWT. Tidak serupa deangan makhluk dan tidak kontra

sifat-sifatnya.” disini Abul Hasan menegaskan bahwa Tauhid adalah meng

Esakan Allah dari segala sesuatu selain Dia, tidak ada yang haq kecuali

29

Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutholib al-Qurasyi al-Hasyimy (wafat 68 H./687 M.), sahabat yang agung. Lahir di Makkah, dan senentiasa menekuni Islam disisi Nabi SAW. Beliau meriwayatkan sekitar 1.600 hadis.

30

Ibid., 8.

31


(53)

44

Dia, tidak ada yang bisa menyerupai Dzat-Nya dan tidak ada yang dapat menyamai sifat-sifat-Nya.

Al-Husain bin Mansyur al-Hallaj menegaskan, “Al-Qidam hanyalah bagi-Nya. segala yang fisikal adalah Penampilan-Nya, yang tanpa bendawi menetapkan-Nya, yang piranti mengintegrasikan-Nya, kekuatannya berada dalam genggaman-Nya. hal-hal yang tersusun waktu, waktulah yang memisahkannya, dan yang ditegakkan oleh selain-Nya, maka bencanalah yang menyentuhnya, hal-hal yang terbuat oleh khayalan, maka proyeksi menaikan tahapan kepada-Nya, siapa yang berbicara soal tempat maka akan berjumpa dengan kata dimana. Sungguh Mahasuci Allah SWT., Dia tidak dilindungi oleh sesuatu diatas, dan tidak pula dikecilkan oleh yang di bawah. Dia tidak menerima batas dan tidak dicampuri oleh keseluruhan. Dia tidak ditemui oleh yang ada juga tidak dihilangkan oleh yang tiada. Sifat-Nya tidak memiliki sifat, pekerjaan-Nya tidak memiliki cacat, ada-Nya tidak terjangkau. Suci dari ikhwal makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nyadari ikhwal makhluk-makhluk-Nya. Bahkan makhluk tidak mencampuri-Nya dalam pekerjaan-Nyatak ada yang memasukinya. Dia menjelaskan kepada makhluk melalui Qidam-Nya, sebagaimana makhluk tersebut mengenal penjelasan-Nya melelui kejadian kejadian baru (hudus)-nya.”32 maka menurut Husain bin Mansyur

menyimpulkan bahwa, apabila anda berkata, “sesuatu telah berlalu,” maka waktu telah didahuluinya. Jika anda berkata : Hawa, maka ha’ dan wawu

32


(54)

45

adalahciptaan-Nya. apabila anda berkata, “Di mana?” maka, Wujud-Nya telah didahului tempat.

Yusuf bin al-Husain berkata, “ada seseorang berdiri diantara dua sisi Dzun Nuun al-Mishry, orang itu bertanya, berilah aku kabar tentang tauhid, apa sebenarnya tauhid itu? Dzun menjawab, tauhid berarti anda tau bahwa kekuasaan Allah SAW. Terhadap segala macam hal tanpa campur tangan, ciptaan-Nya terhadap makhluk tanpa perlu masukan, dan sebab langsung dari segala sesuatu adalah ciptaan-Nya. seluruh langit tertinggi dan bumi terendah tak ada yang mengaturnya kecuali Allah SWT. Segala bentuk yang terproyeksi dalam khayal anda, maka Allah justru berbeda

dengannya”.33

Abul Husain an-Nury berkata, “kalbu adalah tempat penyaksian al -Haq. Kami tidak meliha kalbu yang lebih rindu kepadan-Nya, dibandingkan kalbu Muhammad SAW. Lalu Allah SWT memuliakannya lewat mi’raj, sebagai pendahuluan terhadap pengelihatan kepada Allah

SWT. dan penyempurnaan.”

Abul Husein an-Nury berkata, “Tauhid adalah segala bisikan yang mengisyaratkan kepada Allah, bahwa Dia bebas dari campur tangan unsur

keserupaan. “sedangkan Abu Ali ar- Rudzbary ketika ditanyai soal tauhid,

beliau menjelaskan bahwa “ Tauhid adalah istiqomah kalbu dengan

penetapan terhadap sesuatu pemisahan ada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid melebur dalam suatu kalimat

33


(55)

46

yaitu : setiap yang tergambar oleh khayal dan pikiran , maka Allah SWT.

pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran tersebut.” Karena Allah SWT

berfirman:                               ( 11 )

Artinya: “Tidak ada sesuatu apapun yang menyamai-Nya dan Dia

maha mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.s. ash-Shurah: 11).34

Para syeikh dari tarekat ini mengatakan soal tauhid: sesungguhnya Al-Haq adalah Maujud, Qodim, Esa, Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahakasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Mahaagung, Mahaluhur, Mahabicara, Maha Melihat, Mahabesar, Mahahidup, Mahatunggal, Mahaabasi, dan segalannya bergantung kepada-Nya.

Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Mahakuasa dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan Iradat, Maha Mendengar deangan sifat Sam’, Maha melihan dengan sifat Bashar, Mahabicara dengan kalam, dan Mahahidup dengan Hayat, serta Mahaabadi dengan

Baqo’.35

Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupakan sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Mahasuci Allah dari segala keharusan menentukan, dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.

34

Ibid., 11.

35


(56)

47

Sifat-sifat Dzat-Nya hanya khusus bagi Zat.Nya, tidak bisa dikatakan bahwa sifat tersebut adalah Dia, dan bukan pula sifat-sifat tersebut sebagai bujukan bagi-Nya. tetapi adalah sifat-Nya yang Azali da Abadi.

Allah adalah tunggal Zat.Nya, yang tidak disamai oleh segala ciptaan-Nya, dan tidak diserupai oleh semua makhluk-Nya. Allah buka jasad, materi, benda dan bukan juga sifat baru, tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau oleh akal, tidak berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya, dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat-sifat-Nya.

Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya. dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira, dan dari hokum-hukumnya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari ilmunya tidak tersembunyi oleh yang diketahui-Nya, dan tidak dicaci oatas yang dikerjakan-Nya, bagaimana Dia menciptakan dan apa yang dicipta tidak bisa dikatakan kepada-Nya: Dimana Dia, Bagaimana Dia, dan wujudpun tidak akan berupanya membuka-Nya, sehingga muncul kata-kata kapan ada? Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya sehinnga dilkatakan melampai kekinian dan zaman.”tetapi Allah tidak bisa dikatakan: mengapa dia


(57)

48

berbuat terhadap sesuatu? Karena tidak ada sebab langsung terhadap pekerjaan-Nya.36

Allah tidak bisa dipertanyakan: Apakah Dia? Karena Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan dia melihat kepada selain dirinya bukan dengan penyerupaan. Dia menciptakan tidak dengan langsung dan mencoba – coba. Dia memiliki asmaul husna dan sifat – sifat luhur. Dia melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan member penghinaan kepada hamba-Nya lewat hukum – hukumNya. Dalam pekerjaannya tidak ada yang berjalan sesuai dengan kehendak-Nya dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului qadha’. Apa yang diketahui dari ciptaan-Nya maka hal itu dikehendaki-Nya. dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari apa yang wenang. Dia berkehendak untuk tidak terjadi.

Allah adalah pencipta rezeqi hamba – hambaNya kebaikan dan keburukan rezeki itu. Allah lah yang menciptakan alam dari materi dan sub materi. Allah yang mengutus utusan untuk para umat, bukan sebagai kewajiban-Nya, Allah sebagai zat yang disembah manusia melalui para lisan nabi AS. tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan menentang-Nya. dan nabi kita Muhammad SAW. Ditetapkan melalui

mu’jizat yang nyata dan ayat – ayat yang cemerlang. Yang tidak member keuzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana

36


(58)

49

yang munkar. Khulafaur Rasyidin yang menjaga kemilauaannya Islam setalah wafat nabi saw. Selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui

lisan para auliya’-Nya. umat Nabi saw terjaga dari kesesatan ketika

melakukan ijma’. Dan rekayasa kebatilan sirna melalui dalil – dalil yang ditegakkan. Semua dilakukan oleh para pejuang agama, sesuai dengan firman Allah :

















 





 

 (

9 )

“ Agar Dia memenangkannya diatas segala agama – agama meskipun orang –orang musyrik benci “ (Q.s as{-s{aff: 9)


(59)


(60)

BAB III

RIWAYAT HIDUP JUNAYD AL-BAGHDADI

A. BIOGRAFI JUNAYD AL-BAGHDADI

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junayd bin Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Sujj al-Nahawandi. Lahir di Baghdad, tahun kelahiran Junayd masih belum bisa ditentukan secara pasti sampai sekarang.1 Akan tetapi, Abdul Kader memperkirakan bahwa Junayd lahir sekitar tahun 210 H. Perkiraan ini muncul dengan menghitung masa mudanya ketika belajar hadis dan fikih di bawah bimbingan Abu Tsawr Ibrahim bin Khalid al-Kalbi al-Baghdad (w. 240 H), di mana pada saat itu diperkirakan Junayd berumur 20 tahun, sedangkan pendidikannya hanya memakan waktu 3 sampai 5 tahun. Junayd wafat di Baghdad, kota

kelahirannya, pada hari Jum’at petang tahun 298 H bertepatan dengan

Nawaruz.2

Junayd adalah keturunan Persia yang lahir dan besar di Baghdad. Keluarganya berasal dari Nihawand, kota yang berada di propinsi Jibal, Persia,dan sekaligus merupakan kota tertuanya yang dikuasai oleh pasukan Islam sekitar tahun 19-21 H. pada masa Khalifah ‘Umar bin al-Khattab (w. 23 H). Perlu dicatat bahwa Nihawand merupakan kota gudang bahan makanan bagi wilayah sekitarnya, seperti Baghdad, Basrah, Kufah dan

1

Hamdani Anwar, Sufi al-Junayd (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 15.

2


(61)

51

lainnya. Selain memiliki lahan pertanian yang sangat subur, Nihawand juga diakui sebagai wilayah paling sejuk di Persia. kondisi kota Nihawand yang seperti ini sulit dibayangkan mengapa keluarga Junayd pindah ke Baghdad. Akan tetapi penjelasan tentang peristiwa ini tampaknya tidak sepenuhnya buntu. Perhatian tentang pekerjaan keluarga Junayd menawarkan kemungkinan yang terdekat: mereka adalah keluarga pedagang sedangkan Baghdad adalah kota metropolis yang menjanjikan. Kesan sebagai keluarga pedagang itu bisa dicermati dari gelar yang dialamatkan kepada ahli keluarganya. Ayah Junayd, misalnya, dipanggil dengan al-Qawariri, yaitu pedagang barang pecah belah (kaca atau keramik), pamannya, yaitu Sari al-Saqati, telah lama dikenal oleh penduduk Baghdad sebagai pedagang rempah; sedangkan Junayd sendiri digelar al-Khazzaz, yaitu pedagang sutra.3

B. Pendidikan Junayd Al-Baghdadi

Awal pendidikan Junayd dimulai dengan belajar ilmu pengetahuan agama pada paman dari pihak ibunya, yakni Abu Hasan Sari ibn al-Mughallis al-Saqati (w. 253 H). Beliau adalah murid dari Ma‘ruf al-Karkhi (w. 200 H) dan merupakan salah seorang sufi yang terbilang di kota Baghdad. Perlu diketahui bahwa kata al-Saqati yang ditambahkan pada nama paman Junayd disebabkan oleh tabiatnya yang selalu menetap dirumah dan sangat jarang keluar rumah kecuali untuk salat berjamaah dan

Jum’at. Sari wafat pada usia 98 tahun, tepatnya setelah azan salat Subuh

3


(1)

82

Dan s{ahwu ini merupakan Tahap terakhir setelah sufi mengalamifana’ dan baqo’. Pada kondisi inilah ujian sebenarnya bahwa seorang sufi harus mampu kembali kepada kesadarannya dengan hati yang telah disucikan oleh Allah SWT. para sufi ini harus mampu menyucikan hatinya secara terus menerus dalam kesadaran manusia sehingga dia benar-benar menjadi yang mencintai dan dicintai oleh Tuhan, yang membawa misi dari Tuhan yaitu Rahmatan lil Alamin.

Tahapan-tahapan diatas itulah yang harus di lewati seorang sufi untuk menuju fana’ fi tauhid dalam konsep tauhid sufistiknya Junayd. Sehingga dapat menjadi manusia yang mulia, adil lagi bijaksana, pengasih, penyayang, lagi penyabar. Yang selalu menebarkan cinta kasih kepada sesama makhluk-Nya, menjalankan semua amal perbuatannya dengan didasari nilai-nilai keikhlasan, karena sepenuhnya dia menyadari bahwa tiada daya dan upaya melainkan hanya atas izin dan kehendak-Nya.

Dialah penguasa dan penggerak dari semua yang ada dialam semesta ini, tiada yang Wujud kecuali hanya Wujud-Nya yang Haqq. Semua yang ada dialam semesta ini hanyalah bayangan dan fatamorgana yang semu dan tidak kekal, karena yang kekal hanyalah Tuhan yang Maha Kekal “Huwa al-Awalu wa al-Akhiru, wa al-Dhohiru wa al-Batinu” dan pada hakikatnya Dialah penggerak segala sesuatu di Alam semesta ini.


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam rangka menjawab rumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan bahwa

1. Pemikiran tasawuf Junayd banyak dipengaruhi oleh pamannya Sarri as-Saqatti dan Abu Ja’far al-Qassas yang menjadi guru pertama Junayd dalam belajar tasawuf. Yang lebih menekankan pada uzlah dan

khalwat. Selanjutnya perjalanan tasawuf Junayd juga banyak diwarnai

dari seorang ulama’ yang bernama Abu Abd Allah al-Ḥarith ibn Asad al-Muhasibi yang biasa di panggil al-Muhasibi yang ajarannya menganjurkan agar tidak menjauhi keduniawian tetapi tidak juga hidup dalam kemewahan. Namun justru dari penggabungan kedua doktrin inilah makanya kemudian Junayd dikenal sebagai seorang sufi yang luwes dan fleksibel, jauh dari kekakuan dan cara pikir yang sempit 2. Doktrin tauhid dalam perspektif Junayd memiliki pengaruh yang

besar bagi perkembangan serta literatur tasawuf sesudahnya. Ada pun yang digambarkan oleh tokoh-tokoh tasawuf sesudah Junayd yang mengisyaratkan kepada tauhid tidak lain hanyalah refleksi ruhani dalam tahapan spiritual. Bagi Junayd sendiri dalam bertauhid haruslah sampai pada kondisi fana’ dan baqo’ yang mana benar-benar hati dalam keadaan kosong dan tidak melihat kecuali hanya pada kebesaran


(3)

84

dan keagungan-Nya sehingga semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan hanyalah ke kehadira Tuhan yang Maha Esa. Dan kemudia dia akan kembali pada keadaan s{ahwuyaitu dimana kesadaran seorang sufi dikembalikan kepada keadaannya semula, agar dia dapat memperlihatkan bukti-bukti dari rahmat Tuhan kepadanya. Sehingga anugrah-Nya akan tampak gemerlap melalui pengembalian pada sifat-sifatnya sebagai manusia.

A. SARAN

Dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan dalam membahas

Tauhid Sufistik Junayd al-Baghdadi mulai dari sejarah pemikiran

sampai dengan penjelasan tentang konsep tauhid Junayd al-Baghdadi terutama dalam pembahasan masalah proses dan tahapan menuju fana’

fi at-Tauhid, maka penulis menyarankan agar supaya penulis-penulis

selanjutnya untuk lebih fokus dalam menjabarkan proses dan tahapan menuju fana’ fi at-Tauhid dan dapat diteliti secara intensif dan diperluas sehingga mencapai hasil yang sempurna untuk memahami langkah-langkah menuju fana’ fi at-Tauhid dalam konsep Tauhid

Sufistik perspektif Junayd. Saran ini tiada lain agar pemikiran terhadap


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A.Hanafi MA, Teologi islam (ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang 1979.

Abu al-Qosim al-Qusyairiyah, Risalah Qusyairiyah, diterjemahkan dari buku

Ar-Risalah al-Qusyairiyahfi ‘Ilmi at-Tashawwuf, Oleh Umar faruq, Jakarta:

Pustaka Amani, 2007.

Abu Nasr as-sarraj, al-Luma’, terj. Wasmukan dan Samson rahman, Surabaya: risalah Gusti, 2002.

Abu Qasim al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, terj. Umar Faruq, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Cet. III; Jakarta: PT. Raja Grafindio Persada, 1999.

Abul Qosim al-Qusyairy, Ar-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi at-Tasyawwuf, diterjemahkan oleh Mohammad Luqman Hakiem, Surabaya: Risalah Gusti 2014.

al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, diterjemahkan dari buku, The Kasyf al-Mahjub: the

Oldest Persian Treatise on Sufism, oleh Suwarjdo Mutharidan dan Abdul

Hadi, Bandung: Mizan, 1993.

Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebasan Manusia Modern, Yogyakarta: PSAPM, Pustaka Pelajar, 2003

An-Naisabury, Abul Qosim al-Qusairy, Risalah Qusairiyah, Surabaya: Risalah Gusti, 2006.

Anton Bakker dan A. Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet I Jogyakarta: Kanisius, 1992.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, The Holy Qur’an Al

-Fatih, Jakarta : PT. Insan Media Pustaka, 2009.

Ghozi, Ma’rifat Allah Menurut Ibn ‘Ata’Allah Al-Sakandari, Desertasi Pasca Sarjana Universitas Negeri Sunan Ampel Serabaya

Hamdani Anwar, Sufi al-Junayd, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995

Hamid Nasuki,Dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis dan


(5)

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.

Hasan Usman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Departemen Agama. Http : // Thoifah Manshuroh.wordpress.com/2017/1/05/pengertian-tauhid Http//almasakbar45.blogspot.com/2001/01/sejarah perkembangan tauhid.html/

Diakses pada tanggal 21 Maret 2017.

Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011. Imam Abu Qosim al-Junayd, Risalah Junayd, Kairo : Dar Kutub Misyriyah, 1988. Imam Muhammad ibn Abdul Wahab, Tauhid, Yogyakarta : MITRA PUSTAKA,

2004.

Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat,Yogyakarta: Paradigma, 2005.

M. Laily Mansur, Kitab Ad Durun Nafis Tinjauan atas Suatu Ajaran Tasawuf, Banjarmasin: Hasanu, 1982.

M. Subkhan Ansori, Filsafat Islam Antara Ilmu dan Kepentingan, Jawa Timur: Pustaka Azhar, 2011.

Media Zainul Bachri, Abu Nasr al-Sarra, dalam Azyumaedi Azra (ed), Ensiklopedi Tasawuf, 1:144.

Media Zainul Bahri, Kitab al-Luma’, dalam Azyumardi Azra (ed), Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008.

Michel A. Sells, Terbakar Cinta Tuhan, terj dari buku, Early Islamic Misticsm: Sufi, Qur’an Mi’Raj, Poetic and Theological Writings, oleh Alfatri, Bandung: Mizan, 2004.

Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, (malang, UIN MALIKI PRESS, 2010.

Saifuddin Azwar, metode penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1998.

Sarraj, Abu Nashr, Al-Luma’ terj. Wasmukan dan Samson Rahman, Surabaya: Risalah Gusti, 2002.

Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1997. Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Cv. Rajawali, 1993.

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, Kitab Tauhid 1 Jakarta : Darul Haq, 2013.


(6)

Syeh Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang 1992.

Uka Tjandrasasmita, The Arrival and Expansion of Islam in Indonesia, Makalah pada Seminar on Islam Southest Asia, 1982.