Membangun Karakter Orang Jawa Dengan Laku Prihatin

(1)

Membangun Karakter Orang Jawa Dengan

“Laku Prihatin”

Oleh : Sugiyatno. M.Pd

Dosen BK FIP Universitas Negeri Yogyakarta E mail : sugiyatno@uny.ac.id

ABSTRAK

Berbagai cara dalam membangun karakter manusia dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan telah dilakukan baik melalui jalur formal maupun non formal. Upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini belum mencapai apa yang diharapkan. Upaya-upaya lain dirasa masih perlu untuk menemukan formula yang tepat atau strategi dalam membangun karakter. Suatu strategi yang bisa dijadikan sebagai salah satu upaya dalam membangun karakter adalah dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai tradisi Jawa yang masih kuat. Tradisi Jawa yang dimaksud adakah “laku prihatin”. Ditinjau dari makna dan tujuan ternyata memiliki kemiripan atau kesamaan dengan upaya membangun karakter.

Kata Kunci : membangun karakter, laku prihatin

PENDAHULUAN

Dunia Manusia Jawa kental dengan istilah tirakat. Sampai-sampai ada beragam jenis praktik laku tirakat (prihatin) yang biasa kita dengan dari aktivitas orang jawa. Puasa mutih, kungkum, pati geni, wunglon, topo mbisu, dan sebagainnya. Bahkan, sebenarnya hal-hal yang tidak secara wadag bersifat ritual simbolis, semisal nyantrik, menunda kesenangan, berpantang, serta mengendalikan akhlak dan perilaku, juga selalu dapat dimaknai sebagai laku prihatin.

Seperti halnya idiologi, bagaimana pandangan hidup atau filosofi hidup orang Jawa sulit dijabarkan karena sifat dan bentuknya yang abstrak. Pandangan hidup barulah berupa ide, gagasan, cita-cita, pola piker, paham, kepercayaan, atau kumpulan konsep


(2)

yang dijadikan asas atau pedoman di dalam menentukan arah atau tujuan hidup, moral akhlak, serta perilaku seseorang.

Apabila ingin mengetahui pandangan hidup orang Jawa, caranya dapat dengan meruntut dan menterjemahkan atau menafsirkan berbagai macam aspek yang mawujud

dalam “tata urip, tata karma, dan tata laku” dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pandangan hidup orang jawa akan tampak dari gaya hidup yang sadar tidak sadar telah dilakukan cukup lama dan membentuk kepribadian mereka. Sebab pada hakikatnya seluruh aktivitas, karya serta sistem yang dibudidayakan mereka adalah buah dari hasil persenyawaan pati-sari nilai pandangan hidup yang mengalir dari situasi ke situasi serta mengakar cukup lama dan dalam di hati sanubari orang Jawa (Imam Budi, 2011).

Sebagai contoh di sebagian masyarakat Jawa sering orang tua memberi nama anaknya dengan maksud atau harapan-harapan tertentu. Seperti nama Sugeng, Widodo, Basuki, Lestari, Rahayu, atau Waluyo dengan harapan supaya anaknya tetap sehat. Kuwat, Kukuh, Santoso, Prakoso supaya kuat dan sehat. Bagyo, Raharjo, Sugiyo, atau Lumintu supaya banyak rejeki. Masih banyak lagi nama-nama Jawa yang semacam ini seperti : Lantip(cerdas), Tulus(jujur), Kabul(terkabul), Subur, Sabar, Tukul(tumbuh), Muji(berdoa), atau Mulyo(bahagia). Dengan kata lain dengan mengupas atau “ngonceki” berdasarkan makna kebahasaan, terdapat makna tertentu yang positif pada nama tersebut sebagai harapan atau cita-cita dari orang tua terhadap anaknya.

Hal ini juga senada dengan tuntunan dalam agama Islam, bahwa salah satu kewajiban orang tua kepada anak adalah memberi nama yang baik. Yang berasal dari keluarga Muslim, kalau ingin anaknya tetap beriman dipilih nama Mukmin, agar selalu bertaqwa Mutaqin, supaya ihklas Mukhlis, supaya ikhsan atau berahlak baik Muchsin. Tetapi hati-hati, kalau punya anak perempuan jangan sekali-kali diberi nama Musyrikah, karena konotasinya sangat jelek yaitu orang yang musyrik atau menyekutukan Tuhan.


(3)

KARAKTER ORANG JAWA

Dengan dimilikinya pandangan hidup dan cita-cita hidup seperti yang diwujudkan dalam sikap perilaku atau tindakan perbuatan sehari-hari, telah dihasilkan bentuk-bentuk ekspresi khusus dan khas yang sering disebut sebagai karakter (tabiat) orang Jawa. Yaitu manifestasi ahlak atau budi pekerti yang muncul dari adanya sifat-sifat kejiwaan yang berbeda dengan orang lain dan membentuk watak dan kepribadian dari yang bersangkutan.

Berdasarkan pengamatan dan pengkuan berbagai kalangan yang telah bergaul akrab dengan mereka, ada sejumlah watak yang layak dijadikan cirri khas kepribadian orang Jawa. Disamping itu, karakter orang Jawa juga secara eksplisit banyak tersurat dalam unen-unen (peribahasa) yang tumbuh kembang dalam masyarakat Jawa. Sejumlah karakter dominan yang bersifat positif menurut Imam Budi (2011) antara lain :

1. Orang Jawa suka menyatakan segala sesuatu dengan tidak langsung, seperti diungkap

peribahasa : “wong Jowo ngone semu, sinamun ing samudana, sesadane ingadu manis”. Orang Jawa cenderung bersikap semu atau terselubung, penuh symbol, suka menyampaikan kata-kata tersamar. Setiap tamu yang dating selalu diterima dengan manis, meskipun tidak senang dengan kehadirannya.

2. Tutur kata dan perbuatannya cenderung halus, menggunakan unggah-ungguh (tata-krama), dilandasi semangat persaudaraan dan tenggang rasa tinggi seperti dipaparkan dalam peribahasa “tepo seliro”.

3. Terbuka dan mudah melakukan hubungan atau komunikasi dengan siapapun. Hidup rukun, semangat kebersamaan tinggi, semangat gotong-royong tinggi, menghindari

perselisihan atau konflik, seperti tercermin dalam peribahasa “ rukun agawe santoso, crah agawe bubrah, ojo seneng padudon mundhak ngadohke paseduluran”.

4. Suka prihatin dan menjalani laku olah batin. Ada peribahasa yang secara eksplisit menyatakan hal ini, yaitu “wong Jowo gedhe tapane”. Orang Jawa memiliki semangat besar untuk bertapa atau laku prihatin, seperti dianjurkan dalam ungkapan ;


(4)

cegah dahar lan guling” yang berarti melakukan banyak puasa dan jangan banyak tidur.

Di mana-mana suku Jawa terkenal sebagai suku yang sangat halus, lembut, rendah hati, tidak suka mencari masalah dan sebagainya. Namun, mereka memiliki semangat dan tekad yang kuat dalam menyelesaikan masalah dan meraih sesuatu. Sifat pantang menyerah adalah ciri etnis Jawa yang diaktualisasi lewat beberapa ungkapan berikut ini :

(1) Rawe-rawe rantas malang-malang tuntas‟segala sesuatu yang menghalangi akan

diberantas‟

(2) Sura dira jayaning rat, pangruwating diyu,lebur dening pangastuti.

(3) Opor bebek, mateng awake dhewek‟ orangyang sukses karena usaha sendiri‟

Hal penting yang dapat diresapi dari ungkapan (1) adalah bahwa orang Jawa yang memiliki tekad yang kuat itu bukan karena keinginan yang membabi buta tanpa penalaran dan pertimbangan perasaan (Pranowo 2003) melainkan sudah dipikirkan dan diperhitungkan akibat baik dan buruknya. Tekad kuat juga terungkap dalam ungkapan sura dira jayaning rat, pangruwating diyu, lebur dening pangastuti, artinya siapa pun harus berani membasmi angkara murka untuk membela kebenaran karena adanya keyakinan bahwa angkara murka pasti dapat dikalahkan oleh kebaikan. Ungkapan itu perlu diresapi dan diketahui oleh masyarakat untuk menegakkan keadilan agar masyarakat bisa mengatakan yang benar itu benar dan yang salah harus mendapat sanksi dari perbuatannya. Sebuah ungkapan juga menggambarkan bagaimana masyarakat yang berusaha sendiri sehingga sukses, yaitu opor bebek awake dhewek artinya bahwa seseorang yang memetik kesuksesan karena tekad yang kuat dalam dirinya sendiri untuk belajar, berusaha dan melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh untuk sebuah kesuksesan. Ungkapan-ungkapan di atas adalah kearifan lokal yang perlu terus dihayati agar masyarakat tetap memiliki tekad yang kuat dan semangat dalam meraih cita-cita dalam hidup dan kehidupan ini.

Meskipun cirri-ciri karakter orang Jawa kadang mulai nampak tersamar, tergradasi oleh nilai-nilai baru yang muncul dari alam modernisasi, globalisasi, serta


(5)

akulturasi dengan kebudayaan baru, namun apa yang telah terpatri menjadi adat-istiadat di Jawa masih dapat disaksikan dengan mudah dan gambling. Semua yang digambarkan di atas masih nampak jelas dalam kehidupan masyarakat Jawa di berbagai tempat di tanah Jawa. Beberapa karakter yang melekat pada masyarakat Jawa masih banyak yang bisa diambil dan relevan dengan kehidupan saat ini.

LAKU PRIHATIN

Adalah kata-kata yang akrab di telinga kita, bahkan saya pernah mendengar kata

“prihatin” saban hari selama sebulan. Tapi saya semakin judeg memaknainya. Setelah

sekian lama, barulah saya pahami bahwa “prihatin” mungkin singkatan dari “perih ing

batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih ? Yah, tentu saja, karena batin

(jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau gue) memuaskan hawa nafsu. Padahal tahu sendiri kan, betapa nikmatnya bila kita sedang keturutan (terpenuhi) hawa nafsunya. Apalagi

untuk urusan “under ground stomach“.. namun dalam suasana jiwa yang “prihatin”

pemuasan nafsu jasadiah sangat dikendalikan, sekalipun sudah menjadi hak kita. Sampai

ada wewaler “ngono yo ngono ning ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan gitu dong..).

Sebagai rambu-rambu agar supaya tidak sampai berlebihan atau melampaui batas

kewajaran. Jadi, garis besarnya “laku prihatin” adalah upaya kita agar badan/jasad ini

selalu berkiblat mengikuti kehendak guru sejati/rahsa sejati (kareping rahsa sejati) yang selalu dalam koridor kesucian (berkiblat pada kodrat Tuhan). Sehingga kecenderungan nafsu/hawa/nafs/jiwa/soul kita yang cenderung ingin berbuat negatif nuruti rahsaning karep (nafsu negatif), senaniasa kita belokkan kepada kesucian sang guru sejati dan rahsa sejati. Sehingga menjadi nafsu yang selalu berkeinginan baik (an nafsul mutmainah).

Nah, “kekalahan” jasad (bumi) atas jiwa yang suci ini seringkali terasa

pedih/gundah/marah di dalam kalbu. Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melakukan laku prihatin terdapat 5 jurus atau empat tahapan yakni;

0. Nol adalah nihil. Substansi nihil di sini berarti belum ada manifestasi perbuatan konkrit. Masih berupa niat; niat ada dua level yakni; Niat Demi Tuhan, dan Niat Ingsun.


(6)

Yang pertama menyiratkan pemahaman yang belum utuh akan jati diri. Setiap mengikrarkan Demi Tuhan; terbayang bahwa perbuatan baik ditujukan kepada Tuhan, dengan membayangkan Tuhan itu nun jauh di atas langit ke tujuh. Akan tetapi kemudian dalam perjalanan spiritual ini sampailah pada pemahaman bahwa seseorang lebih merasa mantab bila berkata; Niat Ingsun. Alasannya ; niat Ingsun lebih pas, karena bukankah Tuhan itu lebih dekat dengan urat leher kita ? Tuhan (Sifat hakekat) berada dalam JATI

DIRI (sifat zat). Maka Ingsun bermakna “Aku” . Sedangkan “Aku atau Ingsun”

merupakan hakekat Tuhan (sifat zat) dalam diri. Aku (manusia) melakukan apa yang diridhoi AKU (hakekat Tuhan di dalam makhlukNya). Saya temukan suatu makna bahwa melakukan kebaikan pada sesama itu tidak lain memposisikan diri kita pada jalur

“kodrat” Ilahi. Jelasnya menurut pemahaman saya, bahwa Niat Ingsun ternyata memiliki

makna; sebuah ucapan yang keluar dari hakekat “manunggaling kawula-Gusti”.

1. Membersihkan hati; dengan cara membiasakan berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang buruk dan tidak menyenangkan, tetapi selalu berusaha mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai diri kita sendiri, selalu mengevaluasi diri, karena setiap orang akan cenderung merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan maupun merasa telah beriman. Namun mengapa banyak pula orang yang merasa banyak amal, banyak membantu, merasa sudah banyak sodaqah, merasa sudah bersih hati, merasa sudah menjalankan sariat, tapi kehidupannya kontradiktif; masih selalu merasa sial, dirundung musibah dan kesulitan. Dan dengan percaya diri lantas menganggapnya sebagai cobaan bagi orang-orang beriman. Ini menjadi suatu “kelucuan” hidup yang sering tidak kita sadari.

2. Berusaha setiap saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama. Dalam terminologi ajaran Jawa disebut donodriyah; atau sodaqoh. Dhonodriyah ada 4 cara dan tingkatan; yakni (1) dhonodriyah doa; (2) dhonodriyah tutur kata/nasehat yg baik dan menentramkan, (3) dhonodriyah tenaga, (4) dhonodriyah harta. Yang terakhir inilah yang paling sulit dilakukan tapi nilainya paling tinggi. Kita lakukan semua kebaikan kepada


(7)

sesama dengan tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame; ramai/giat dalam membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.

3. Belajar tulus dan ikhlas sepanjang masa. Agar supaya mampu mewujudkan keikhlasan yg sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan

“keikhlasan” kita sewaktu buang air besar. Kita enggan menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas. Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan berupa harta paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang masa ? Tidak lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum tentu berhasil kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain, dan belum tentu sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.

4. Meghilangkan sikap ke-aku-an (nar/api/iblis); menghindari watak mencari benernya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan anda.

5. Perbanyak bersyukur, sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita diberi kesehatan; bersukurnya dengan cara gemar membantu orang yang sedang sakit dan menderita. Latih diri kita agar selalu membiasakan bersukur TIDAK dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.

Dalam setiap melakukan amal baik kepada sesama, “transaksikan” kebaikan itu dengan Tuhan, jangan dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan

orang, maka kita hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu bisa dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan


(8)

kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima.(

http://budayaleluhur.blogspot.com/2010/12/memulai-laku-prihatin.html)

Menurut Imam Budi (2011) berpendapat bahwa mengenai perilaku prihatin di Jawa, atau laku tirakat, atau sering disebut tarak brata, atau ascetisme dalam ungkapan populernya, ada anggapan atau pemahaman yang perlu diluruskan. Selama ini, khususnya pada kalangan awam maupun masyarakat modern, cenderung menganggap laku prihatin orang Jawa penuh dengan nuansa mistik. Sarat dengan hal-hal yang berbau ghaib dan tidak terjangkau akal manusia biasa.

Selain itu, laku prihatin sering diidentikan dengan perbuatan syirik, seperti pemujaan setan, mencari pesugihn, serta perilaku-perilaku lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Gara-gara orang Jawa suka menjalani laku prihatin, banyak kalangan menilai pandangan hidup mereka kurang rasional, artinya dianggap punya kecenderungan menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dengan laku prihatin serta kekuatan metafisik belaka, tanpa menyelesaikan permasalahan tadi secara formal dan material.

Banyak perwujudan laku prihatin orang Jawa yang langsung tidak langsung dicap negative, baik oleh orang Jawa sendiri maupun mereka yang memiliki orientasi serta kepercayaan berbeda. Namun benarkah asumsi mereka itu ? Benarkan lku prihatin orang Jawa adalah manifestasi kebodohan, keterbelakangan, keputusasaan, eskapisme, serta ketidakmampuan orang Jawa mengatasi permasalahan yang dihadapi ataupun di dalam menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupannya ?

Jawaban yang layak disampaikan terhadap klaim negative ini adalah wajar mereka berasumsi demikian karena selamanya hanya memandang dari kejauhan. Ibarat seseorang yang memandang gunung. Benar dari jarak 30 kilometer berwarna biri, akakn tetapi penampakan tersebut akan berubah ketika menjejakkan kaki ke sana. Warna biru itu ternyata Cuma halusinasi belaka, setelah didekati semuanya lenyap berganti dengan


(9)

warna coklat tanah yang membentang sepanjang tebing dan jurang, serta kehijauan semak belukar yang memenuhi lereng-lerengnya.

Memahami laku prihatin perlu adanya kedekatan serta penghayatan total dan intens supaya makna laku prihatin meresap ke dalam hati sanubari, Untuk menjelaskan esensi laku prihatin yang hakiki, dengan jujur dan rendah hati perlu disampaikan;

Pertama, laku prihatin di Jawa bukan sebatas puasa, bertapa, nyepi melakukan ritual ritual perjalanan ke makam leluhur yang dikeramatkan. Laku prihatin lebih dari itu. Laku prihatin adalah seluruh tindak perbuatan manusia (orang Jawa) yang dilakukan dengan sengaja sebagai pengalaman ajaran hidup yang dianut dalam rangka melakukan pengendalian diri terhadap dorongan nafsu amarah, aluamah, supiyah yang akan berpengaruh terhadap moral ahlak, sikap batin, serta perilaku hidup keseharian. Kedua ;

menjalani laku prihatin di Jawa bukannya incidental melainkan selama hidupnya sebagaimana sholat lima waktu yang wajib dijalankan oleh umat Islam. Ketiga, laku prihatin memiliki pedoman atau aturan yang nyata, rasional, dan terukur sesuai norma-norma adat budaya Jawa yang turun temurun.

Dengan demkian, laku prihatin berbeda dengan laku olah batin. Laku batin adalah usaha mempelajari dan membangkitkan kekuatan atau kemampuan batin atau rohani yang kebanyakan dilakukan oleh penganut aliran kebatinan di jawa. Sedangkan laku prihatin adalah melatih kemampuan batin dan lahir sebagai bentuk penataan moral ahlak dan tata perilaku (budi pekerti). Sampai disini dapat dipahami bahwa laku prihatin orang Jawa mencakup dua hal pokok, yaitu; 1) lelaku mengolah rohani atau jiwa, 2) lelaku mengolah fisik dan perilaku. Dengan demikian laku prihatin orang Jawa ini serupa dengan kegiatan seperti puasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam. Disana ketentuan menjalankan antara lain sebagai berikut :

1. Berniat puasa karena perintah Allah

2. Melakukan puasa (tidak makan,minum, merokok,) dari imsak sampai saat berbuka puasa

3. Selama puasa tidak melakukan perbuatan yang membatalkan puasa


(10)

Gambaran ini menunjukkan bahwa puasa bukan sekedar tidak makan dan minim, melainkan bentuk ritualisasi pengendalian diri secara total. Demikian pula esensi laku prihatin, juga mengarah ke sana, sebagai lelaku dalam mengolah pribadi manusia secara keseluruhan (lahir batin) dengan cara-cara yang khas serta digali dari adat kepercayaan orang Jawa.

KETERKAITAN “LAKU PRIHATIN” DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER

Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai "any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible". Maknanya kurang lebih pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.

Dalam Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menggariskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”. Dari hal tersebut nampak bahwa pendidikan bukan

sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan.


(11)

Pertanyaan yang muncul adalah apakah “laku prihatin” sebagai tradisi budaya Jawa bisa memberikan kontribusi dalam pendidikan karakter sebagaimana saat ini menjadi

perhatian banyak pihak ? Siapa yang bisa mengajarkan “laku prihatin” tersebut. Melihat

dan mencermati hakekat “laku prihatin” sebagaimana dalam penjelasan di atas, tentunya bisa memberi kontribusi dalam membangun karakter seseorang, karena pada dasarnya

makna „laku prihatin” sebagai lelaku dalam mengolah pribadi manusia secara

keseluruhan (lahir batin) dengan cara-cara yang khas serta digali dari adat kepercayaan orang Jawa yang mungkin selama ini tidak sedikit orang Jawa yang telah melupakan karena terkikis oleh modernisasi dan kemajuan jaman. Siapa yang bisa mengajarkan

“laku prihatin” ini, tentunya juga sama dalam konteks pendidikan pada umumnya, yaitu keluarga (orang tua) sebagaimana endapat Suyanto (2002) salah satu upaya dalam meningkatkan moral dan ahlak adalah melalui peran pendidikan dalam keluarga, sekolah (pendidik), dan masyarakat dengan cara memadukan paradigma pendidikan saat ini dengan nilai-nilai tradisi Jawa “laku prihatin”. Dengan demikian pendidikan karakter

dengan tradisi Jawa “laku prihatin” dilihat dari konsepnya sebenarnya memiliki

keterkaitan yang erat dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan mengolah pribadi manusia secara keseluruhan baik lahir maupun batin.

KESIMPULAN.

Pendidikan karakter pada dasarnya bisa dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan baik secara formal maupun non formal. Jika kita cermati kondisi sekarang ini berbagai pihak terutama dalam seting pendidikan telah menggalakkan pendidikan karakter dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan. Namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, yang terlihat dari fenomena-fenomena dalam kehidupan ini yang masih menunjukkan belum optimalnya karakter yang dmiliki. Perkelahian antar pelajar, tawuran, perilaku asusila, kriminalitas dan lain-lain masih cukup tinggi kasus yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pendidikan karakter yang digunakan masih dijumpai banyak kelemahan.


(12)

Dalam kondisi seperti itu, dipandang perlu adanya model pendidikan karakter dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai budaya local yang relevan khususnya

budaya jawa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tradisi jawa “laku prihatin” dipandang memiliki arah tujuan yang senada dengan upaya membangun karakter.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta; Depdiknas RI

Imam Budhi S , 2011, Laku Prihatin Investasi menuju Sukses Ala Manusia Jawa. Yogyakarta : memayu pblishing

Pranowo. 2003. “Ungkapan Bahasa Jawa sebagai Pendukung Pembentukan Kebudayaan Nasional.Linguistik Indonesia,

Suyanto. 2001. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) (1999). Character Education: The Foundation For Teacher Education. Washington, DC: Character Education Partnership.

http://budayaleluhur.blogspot.com/2010/12/memulai-laku-prihatin.html di unduh senin 18 Juli 2011


(1)

sesama dengan tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame; ramai/giat dalam membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.

3. Belajar tulus dan ikhlas sepanjang masa. Agar supaya mampu mewujudkan keikhlasan yg sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu buang air besar. Kita enggan menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas. Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan berupa harta paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang masa ? Tidak lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum tentu berhasil kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain, dan belum tentu sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.

4. Meghilangkan sikap ke-aku-an (nar/api/iblis); menghindari watak mencari benernya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan anda.

5. Perbanyak bersyukur, sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita diberi kesehatan; bersukurnya dengan cara gemar membantu orang yang sedang sakit dan menderita. Latih diri kita agar selalu membiasakan bersukur TIDAK dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.

Dalam setiap melakukan amal baik kepada sesama, “transaksikan” kebaikan itu dengan Tuhan, jangan dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan orang, maka kita hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu bisa dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan


(2)

kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima.(

http://budayaleluhur.blogspot.com/2010/12/memulai-laku-prihatin.html)

Menurut Imam Budi (2011) berpendapat bahwa mengenai perilaku prihatin di Jawa, atau laku tirakat, atau sering disebut tarak brata, atau ascetisme dalam ungkapan populernya, ada anggapan atau pemahaman yang perlu diluruskan. Selama ini, khususnya pada kalangan awam maupun masyarakat modern, cenderung menganggap laku prihatin orang Jawa penuh dengan nuansa mistik. Sarat dengan hal-hal yang berbau ghaib dan tidak terjangkau akal manusia biasa.

Selain itu, laku prihatin sering diidentikan dengan perbuatan syirik, seperti pemujaan setan, mencari pesugihn, serta perilaku-perilaku lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama. Gara-gara orang Jawa suka menjalani laku prihatin, banyak kalangan menilai pandangan hidup mereka kurang rasional, artinya dianggap punya kecenderungan menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dengan laku prihatin serta kekuatan metafisik belaka, tanpa menyelesaikan permasalahan tadi secara formal dan material.

Banyak perwujudan laku prihatin orang Jawa yang langsung tidak langsung dicap negative, baik oleh orang Jawa sendiri maupun mereka yang memiliki orientasi serta kepercayaan berbeda. Namun benarkah asumsi mereka itu ? Benarkan lku prihatin orang Jawa adalah manifestasi kebodohan, keterbelakangan, keputusasaan, eskapisme, serta ketidakmampuan orang Jawa mengatasi permasalahan yang dihadapi ataupun di dalam menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupannya ?

Jawaban yang layak disampaikan terhadap klaim negative ini adalah wajar mereka berasumsi demikian karena selamanya hanya memandang dari kejauhan. Ibarat seseorang yang memandang gunung. Benar dari jarak 30 kilometer berwarna biri, akakn tetapi penampakan tersebut akan berubah ketika menjejakkan kaki ke sana. Warna biru itu ternyata Cuma halusinasi belaka, setelah didekati semuanya lenyap berganti dengan


(3)

warna coklat tanah yang membentang sepanjang tebing dan jurang, serta kehijauan semak belukar yang memenuhi lereng-lerengnya.

Memahami laku prihatin perlu adanya kedekatan serta penghayatan total dan intens supaya makna laku prihatin meresap ke dalam hati sanubari, Untuk menjelaskan esensi laku prihatin yang hakiki, dengan jujur dan rendah hati perlu disampaikan;

Pertama, laku prihatin di Jawa bukan sebatas puasa, bertapa, nyepi melakukan ritual ritual perjalanan ke makam leluhur yang dikeramatkan. Laku prihatin lebih dari itu. Laku prihatin adalah seluruh tindak perbuatan manusia (orang Jawa) yang dilakukan dengan sengaja sebagai pengalaman ajaran hidup yang dianut dalam rangka melakukan pengendalian diri terhadap dorongan nafsu amarah, aluamah, supiyah yang akan berpengaruh terhadap moral ahlak, sikap batin, serta perilaku hidup keseharian. Kedua ; menjalani laku prihatin di Jawa bukannya incidental melainkan selama hidupnya sebagaimana sholat lima waktu yang wajib dijalankan oleh umat Islam. Ketiga, laku prihatin memiliki pedoman atau aturan yang nyata, rasional, dan terukur sesuai norma-norma adat budaya Jawa yang turun temurun.

Dengan demkian, laku prihatin berbeda dengan laku olah batin. Laku batin adalah usaha mempelajari dan membangkitkan kekuatan atau kemampuan batin atau rohani yang kebanyakan dilakukan oleh penganut aliran kebatinan di jawa. Sedangkan laku prihatin adalah melatih kemampuan batin dan lahir sebagai bentuk penataan moral ahlak dan tata perilaku (budi pekerti). Sampai disini dapat dipahami bahwa laku prihatin orang Jawa mencakup dua hal pokok, yaitu; 1) lelaku mengolah rohani atau jiwa, 2) lelaku mengolah fisik dan perilaku. Dengan demikian laku prihatin orang Jawa ini serupa dengan kegiatan seperti puasa di bulan Ramadhan bagi umat Islam. Disana ketentuan menjalankan antara lain sebagai berikut :

1. Berniat puasa karena perintah Allah

2. Melakukan puasa (tidak makan,minum, merokok,) dari imsak sampai saat berbuka puasa

3. Selama puasa tidak melakukan perbuatan yang membatalkan puasa


(4)

Gambaran ini menunjukkan bahwa puasa bukan sekedar tidak makan dan minim, melainkan bentuk ritualisasi pengendalian diri secara total. Demikian pula esensi laku prihatin, juga mengarah ke sana, sebagai lelaku dalam mengolah pribadi manusia secara keseluruhan (lahir batin) dengan cara-cara yang khas serta digali dari adat kepercayaan orang Jawa.

KETERKAITAN “LAKU PRIHATIN” DENGAN PENDIDIKAN KARAKTER Williams & Schnaps (1999) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai "any deliberate approach by which school personnel, often in conjunction with parents and community members, help children and youth become caring, principled and responsible". Maknanya kurang lebih pendidikan karakter merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh para personil sekolah, bahkan yang dilakukan bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak dan remaja agar menjadi atau memiliki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggung jawab.

Dalam Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menggariskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dari hal tersebut nampak bahwa pendidikan bukan sekedar berfungsi sebagai media untuk mengembangkan kemampuan semata, melainkan juga berfungsi untuk membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermatabat. Dari hal ini maka sebenarnya pendidikan watak (karakter) tidak bisa ditinggalkan dalam berfungsinya pendidikan. Oleh karena itu, sebagai fungsi yang melekat pada keberadaan pendidikan nasional untuk membentuk watak dan peradaban bangsa, pendidikan karakter merupakan manifestasi dari peran tersebut. Untuk itu, pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan.


(5)

Pertanyaan yang muncul adalah apakah “laku prihatin” sebagai tradisi budaya Jawa bisa memberikan kontribusi dalam pendidikan karakter sebagaimana saat ini menjadi perhatian banyak pihak ? Siapa yang bisa mengajarkan “laku prihatin” tersebut. Melihat dan mencermati hakekat “laku prihatin” sebagaimana dalam penjelasan di atas, tentunya bisa memberi kontribusi dalam membangun karakter seseorang, karena pada dasarnya makna „laku prihatin” sebagai lelaku dalam mengolah pribadi manusia secara keseluruhan (lahir batin) dengan cara-cara yang khas serta digali dari adat kepercayaan orang Jawa yang mungkin selama ini tidak sedikit orang Jawa yang telah melupakan karena terkikis oleh modernisasi dan kemajuan jaman. Siapa yang bisa mengajarkan “laku prihatin” ini, tentunya juga sama dalam konteks pendidikan pada umumnya, yaitu keluarga (orang tua) sebagaimana endapat Suyanto (2002) salah satu upaya dalam meningkatkan moral dan ahlak adalah melalui peran pendidikan dalam keluarga, sekolah (pendidik), dan masyarakat dengan cara memadukan paradigma pendidikan saat ini dengan nilai-nilai tradisi Jawa “laku prihatin”. Dengan demikian pendidikan karakter dengan tradisi Jawa “laku prihatin” dilihat dari konsepnya sebenarnya memiliki keterkaitan yang erat dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan mengolah pribadi manusia secara keseluruhan baik lahir maupun batin.

KESIMPULAN.

Pendidikan karakter pada dasarnya bisa dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan baik secara formal maupun non formal. Jika kita cermati kondisi sekarang ini berbagai pihak terutama dalam seting pendidikan telah menggalakkan pendidikan karakter dengan menggunakan berbagai teknik dan pendekatan. Namun hasilnya belum seperti yang diharapkan, yang terlihat dari fenomena-fenomena dalam kehidupan ini yang masih menunjukkan belum optimalnya karakter yang dmiliki. Perkelahian antar pelajar, tawuran, perilaku asusila, kriminalitas dan lain-lain masih cukup tinggi kasus yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa strategi pendidikan karakter yang digunakan masih dijumpai banyak kelemahan.


(6)

Dalam kondisi seperti itu, dipandang perlu adanya model pendidikan karakter dengan menggunakan pendekatan nilai-nilai budaya local yang relevan khususnya budaya jawa. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tradisi jawa “laku prihatin” dipandang memiliki arah tujuan yang senada dengan upaya membangun karakter.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta; Depdiknas RI

Imam Budhi S , 2011, Laku Prihatin Investasi menuju Sukses Ala Manusia Jawa. Yogyakarta : memayu pblishing

Pranowo. 2003. “Ungkapan Bahasa Jawa sebagai Pendukung Pembentukan Kebudayaan Nasional.Linguistik Indonesia,

Suyanto. 2001. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa.

Williams, M., & Schnaps, E. (Eds.) (1999). Character Education: The Foundation For Teacher Education. Washington, DC: Character Education Partnership.

http://budayaleluhur.blogspot.com/2010/12/memulai-laku-prihatin.html di unduh senin 18 Juli 2011