KEPEMIMPINAN ORANG JAWA DALAM LAKU PRIHA

KEPEMIMPINAN ORANG JAWA DALAM LAKU PRIHATIN,
INVESTASI MENUJU SUKSES.
Oleh: Arfrian Rahmanta (13407141063)
Abstrak
Kebudayaan Jawa salah satunya adalah laku prihatin, laku prihatin dalam
kehidupan modern ini bersifat eksplisit dan hanya omongan orang tua yang masuk
telinga kanan keluar telinga kiri. Namun seorang pemimpin asal Jawa, harus
mengerti laku prihatin dalam kepemimpinan dan aktivitas kepribadiannya.
Dengan laku prihatin yang diamalkan dengan baik, seorang pemimpin dapat
dikatakan pemimpin yang sejati dan merakyat. Wahyu keprabon ada pada
pemimpin yang melakukan laku prihatin yang baik dan benar tanpa menginginkan
nafsu kehidupan duniawi. Ada beberapa pemimpin Jawa yang menerapkan laku
prihatin dalam hidupnya, seperti Soeharto dan Soekarno. Sebagai kebudayaan
yang baik, laku prihatin perlu dikembangkan dan diwariskan secara turunmenurun, karena merupakan tindakan yang berorientasikan investasi menuju
kehidupan sukses.
Kata kunci: Laku prihatin, Kepemimpinan, Jawa.
A. Pendahuluan
Sulit mendefinisikan mengenai siapa yang disebut orang Jawa, atau
manusia Jawa. Sebab bukan merujuk pada batas-batas geografi. Melainkan suatu
kawasan kebudayaan. Dengan demikian, DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
dapat dikatakan sebagai wilayah yang lebih spesifik memuat orang Jawa. Orang

Jawa yang terkenal dengan unggah-ungguh-nya mempunyai banyak kebudayaan
yang begitu kental dengan hal-hal yang berbau mistik, mitologi dan bercampur
dengan spiritual. Orang Jawa sering melakukan hal-hal mistis supranatural yang
menurutnya dapat menambah ilmu kanuraga dan kesuksesan di masa depan.
Mistik sendiri erat kaitannya dengan kekuasaan. Para penguasa di tanah
Jawa, seringkali menggunakan mistik untuk sebagai sarana menambah legitimasi
kekuasaannya. Kesaktian, kepemilikan benda-benda pusaka, serta kemampuan
melihat sesuatu yang tidak kasat mata, merupakan sesuatu yang melekat pada diri
penguasa. Inilah yang membuat adanya agama Kejawen, golongan ini sebenarnya
adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi telah
ada sinkretis terhadap ajaran Islam, Jawa maupun agama Hindu juga.

1

Semua itu didapatkan dari laku atau proses yang tidak bisa dilakukan
sembarang orang. Misalnya, bertapa berhari-hari, berminggu-minggu, hingga
berbulan-bulan. Hingga akhirnya mendapat sebuah wahyu. Wahyu keprabon itulah
yang menjadi legitimasi pokok bagi penguasa di tanah Jawa. Panembahan
Senopati harus bertapa sekian lama untuk mendapatkan wahyu, sehingga beliau
mendapatkan legitimasi dari para pengikutnya untuk mendirikan kerajaan.

Laku prihatin telah dijunjung tinggi kebanyakan orang-orang tua Jawa dan
para penguasa tanah Jawa jika ingin mendapatkan suatu kesuksesan di masa
mendatang, kesuksesan bisa terjadi di masa kehidupannya sendiri atau juga bisa
kesuksesan itu turun kepada keturunannya. Laku prihatin memang dilakukan
dengan berat, namun jika bersungguh-sungguh pasti mendapatkan suatu wahyu
atau ilmu yang dapat mendewasakan manusia dalam melakukan kegiatan seharihari sehingga dapat berbuat baik secara lisan ataupun perilaku, perlu diketahui
bahwa orang-orang tua dahulu membudayakan laku prihatin dalam kegiatan
sehari-harinya dan dengan baik diwariskan secara turun-temurun. Para orang tua
di Jawa pada khususnya tak jarang menasehati anak-anaknya agar selalu bekerja
keras dan prihatin dulu dalam melaksanakan kegiatan atau proses mencari ilmu
agar jika sudah menjadi orang (Orang sukses), mereka akan mengetahui pahitmanisnya kehidupan duniawi selama mereka berproses menuju puncak kejayaan.
Dengan mengetahui pahit-manisnya kehidupan duniawi itupula diharapkan jika
menjadi pemimpin kelak akan lebih bijaksana dan melaksanakan tugasnya dengan
baik untuk kelangsungan hidup orang banyak.
Namun demikian, hal tersebut bertolak belakang dengan realitas masa kini.
Banyak mereka para pencari ilmu telah berhura-hura dan hanya menyepelekan
hal-hal yang telah menjadi budaya dalam kehidupan orang Jawa. Sehingga para
orang tua sering berkata kepada anak-anak muda zaman modern ini dengan
perkataan seperti ini; “wong Jowo tapi lali karo Jowo-ne”. Itu bukti bahwa para
orang tua terlebih para sesepuh telah melihat bahwa begitu lemahnya mental dan

kerja kerasnya anak-anak muda zaman sekarang yang berbeda dengan masa
mudanya dahulu atau anak-anak muda zaman dahulu. Karena budaya laku
prihatin yang semakin hilang saat berproses mencari ilmu itu pula yang dapat
menjadikan para pencari ilmu yang nantinya dapat menjadi pemimpin tanah Jawa
2

sering tidak bijaksana dalam membuat sebuah kebijakan, tidak teguh hati atau
plin-plan dan rentan mengambil keuntungan untuk pribadi. Tak salah pula, kenapa
para pemimpin masa kini banyak yang melakukan korupsi. Karena itu, budaya
baik dan berfalsafah seperti laku prihatin perlu dikembangkan dan diterapkan
dalam proses kehidupan maupun kepemimpinan.
B. Istilah dan Makna Laku Prihatin di Jawa
Laku diambil dari kata perilaku. Perilaku sendiri berarti adalah perbuatan,
tindakan, kegiatan, atau aktivitas. Beberapa kalangan berpendapat bahwa arti laku
adalah proses.
Ada beberapa kalangan berpendapat kata prihatin di Jawa berasal dari kata
”perih” (pedih/susah) dan “ati” (hati). Sementara lainnya ada yang mengartikan
perih di batin. Jadi kalau digabung, artinya orang yang mengalami kepedihan di
hati atau keperihan di hati dan batin. Adapun menurut bahasa Indonesia, arti
prihatin adalah bersedih hati. Dapat juga diartikan menahan diri, atau bertarak.

Sedangkan tarak (bertarak) artinya adalah menahan hawa nafsu, bertapa,
mengasingkan diri.1
Jadi laku prihatin adalah seluruh tindak perbuatan manusia (dalam hal ini
adalah manusia Jawa) yang dilakukan dengan sengaja sebagai pengamalan ajaran
hidup yang dianut (dipercaya) dalam rangka melakukan pengendalian diri
terhadap dorongan nafsu (amarah, niat, gembira yang berlebihan) yang akan
berpengaruh terhadap moral akhlak, sikap batin, serta perilaku keseharian.
Laku prihatin di Jawa sendiri tidak hanya sebatas puasa, bertapa, nyepi
(bersunyi diri), melakukan ritual perjalanan ke makam leluhur atau petilasan yang
dikeramatkan. Laku prihatin lebih dari itu. Menjalani kehidupan laku prihatin di
Jawa bukanlah insidental atau selama waktu-waktu tertentu saja. Melainkan lebih
baiknya adalah seumur hidupnya, semisal salat lima waktu yang wajib dilakukan
oleh umat Islam. Laku prihatin pun memiliki pedoman yang nyata, rasional, dan
terukur, sesuai norma-norma adat budaya Jawa yang turun-temurun sejak berabad
lalu. Laku prihatin adalah melatih kemampuan batin dan lahir (rohani dan fisik)
sebagai bentuk penataan moral akhlak dan tata perilaku (tata krama/budi pekerti).
C. Tujuan Laku Prihatin
1

Iman Budi Santosa, Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses Manusia


Jawa, (Yogyakarta: Memayu Publishing, 2011), hlm. 67.
3

Laku Prihatin di Jawa sendiri tidak hanya seperti “menyengsarakan diri
sendiri” atau “memfakirkan diri” tetapi harus memiliki tujuan nyata. Bukan pula
seperti penari yang sengaja ingin mempertontonkan ekspresi seni dalam tariannya,
atau seorang komik2 yang memukau dengan kata-katanya yang lucu dan jenaka
dan membuat penonton bertepuk tangan dalam acara Stand Up Comedy.
Laku prihatin di Jawa bukan semata-mata mewujudkan impian yang
terkandung dalam ungkapan pantun: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Artinya, laku prihatin
bukan untuk mencapai kesenang-senangan dalam pemahaman yang dangkal.
Karena laku prihatin benar-benar mencangkup dimensi yang sangat luas dan
multidimensional.3
Laku prihatin mutlak harus memiliki tujuan jelas, karena tujuan tersebut
merupakan titik yang akan dituju, dicapai, dan ingin diwujudkan. Tanpa mengikuti
pedoman yang ada serta tujuan jelas, menjalani laku prihatin besar kemungkinan
akan sia-sia4. Seorang pemimpin negara pun juga harus melakukan laku prihatin
dengan tujuan yang jelas, terarah, dan berguna bagi kehidupan rakyat, bangsa dan

negara.
D. Ritualisasi Laku prihatin
Wujud laku prihatin di Jawa sangat beragam, karena pada hakikatnya
dilakukan oleh seorang diri. Beberapa metode pengamalan laku prihatin yang
banyak dilakukan oleh orang Jawa dan termasuk pemimpin Jawa selama ini,
antara lain: 1) berpuasa, 2) menyepi, 3) bertapa, 4) menahan tidur, 5) berpantang,
6) ritual perjalanan, 7) memperbaiki moral dan perilaku.5
Sebagian kecilnya adalah sebagai berikut:
1. Puasa Mutih.

2

Komik atau Komika adalah orang yang berbicara monolog dengan tujuan

menghibur dan melucu, berbeda dengan pantomim. Seni pertunjukkan ini, kini
telah menjadi seni pertunjukkan yang populer di kalangan masyarakat kota.
3

Ibid., hlm. 53.


4

Ibid., hlm. 54.

5

Ibid., hlm. 83.
4

Adalah puasa yang tidak diperbolehkan memakan apa-apa selain nasi
putih dan air putih, tanpa ada rasa. Buka puasa setelah maghrib dan berpuasa
sebelum subuh, dengan kedua-duanya memakan nasi dan air putih, tanpa rasa.
2. Tapa Brata
Dalam konteksnya, yang berarti tapa brata adalah orang yang setia
menjalani kegiatan bertapa. Sedangkan apa yang disebut bertapa adalah upaya
menyempurnakan batin dan jiwa atau dalam rangka menyampaikan maksud
dengan jalan riada. Seperti mengasingkan diri, berendam di air dan lain-lain.6
3. Berpantang
Menjalani berpantang di Jawa sendiri disebut nyirik atau sesirik.
Contohnya, selama hidup laku prihatin tidak memakan daging hewan yang

bernyawa, baik hewan darat maupun ikan yang hidup di air.
Tidak hanya dalam soal makanan, kadang nyirik ini juga kepada
perbuatan. Seperti pantang untuk berhutang, pantang menolak permintaan orang
jika terpaksa, pantang makan dengan sendok (selalu menggunakan tangan
telanjang).
Beberapa ritualisasi di atas merupakan sebagian kecil syarat yang dipakai
jika seseorang ingin mempunyai ajian dan ilmu kebatinan atau aji-aji kesaktian.
Karena itulah, seseorang yang melakukan laku prihatin kadangkala sadar bahwa
mereka akan mempunyai ilmu kebatinan semisal:
1. Aji Lembu Sekilan
Aji Lembu Sekilan sangat terkenal sejak zaman nenek moyang.
Sebab orang yang memiliki ajian ini bisa selamat dari semua senjata tajam dan
peluru (kebal). Bila diamalkan dengan baik, semua serangan lawan tidak akan
mengenai tubuh kita.
Persyaratannya:
Berpuasa mutih selama 41 hari, selama puasa jangan sekali-kali
menirukan suara sapi (pantangan). Kemudian dilanjutkan Pati Geni7 selama 2
malam.
Mantra yang dibaca:
6


7

Ibid., hlm. 90.
Pati Geni adalah puasa yang tidak boleh keluar kamar dengan alasan

apapun juga. Tidak boleh tidur, tidak boleh melakukan kegiatan apa-apa, tidak
boleh berkomunikasi dengan orang lain.
5

“ Niyat ingsun matek ajiku, Ajiku Lembu Sekilan, Rasulku
lenggah Brahim, Nginep babahan, Karekep barukut, Dadyo tan ana nedhasi,
Bedhil buntu, Wisa tawa jati tan turnama, Saking kersaning Alloh, La ilaha
illallah, Muhammadur rasulullah. “8
2. Aji Lalimunan
Orang dapat hilang tubuh wadahnya dari penglihatan mata kita
adalah orang yang memiliki ilmu Lelimunan.
Persyaratannya:
Mandi keramas sebelum melakukan puasa mutih 40 hari lamanya.
Kemudian Pati Geni selama semalam dilanjutkan dengan ngebleng 9 sehari

semalam. Selama berpuasa dilarang tidur dengan istri.
Mantra yang dibaca:
“ Bismillahirohmanirrohim, Sang wewe putih gendongen aku,
Sang wewe abang anglingana aku, Sang buta ijo ojo ana kono, Sukma toya ono
ing mburiku, Landhep kang katon, adoh katingal, Badanku ana ing sajroning wesi,
Katutup para Nabi, Kinunci malaekat Jibril, Den reksa para Wali, Landhep tan
katon, Kinemulan Illahi, Krono Muhammad Rosul Alloh.”10
E. Investasi pemimpin dalam Laku Prihatin
Setiap pemimpin di Jawa, hampir selalu berhubungan mistis dengan
kekuatan di luar dirinya. Mitos selalu menjadi tumpuan gaib para pemimpin Jawa,
agar legitimasinya lebih terpercaya. 11 Kepemimpinan Jawa pun bersifat sinkretis,
artinya konsep-konsep yang diambil dari berbagai konsep-konsep agama yang
memiliki pengaruh pada pola pikir di Jawa, khususnya Islam dan Hindu. Pola
8

Wongso Panji Indrajit., Kumpulan Aji Japa Mantra, (Surabaya: Bintang

Timur, 1994), hlm. 12.
9


Puasa Ngebleng sama seperti Pati Geni yaitu tinggal di dalam kamar

tidak ada kegiatan apapun, tidak ada penerangan semacam lampu atau cahaya
apapun. Tidak boleh berhubungan seksual, makan dan minum, waktu tidur pun
harus dikurangi. Masih boleh ke kamar mandi untuk berak dan kencing.
10

11

Ibid., hlm. 22-23.
Suwardi Endraswara., Falsafah Kepemimpinan Jawa, (Yogyakarta:

Narasi, 2013), hlm. 6.
6

pikir Islam yang disadap dari ajaran-ajaran sufi yang mengedepankan wara’
(menjauhi kemewahan dunia) dan hidup sederhana sebagaimana para sufi yang
meninggalkan kehidupan duniawi untuk menuju kebahagiaan sejatinya.
Laku prihatin yang kerap dikatakan sebagai ilmu kejawen memang benar
adanya. Dan nilai-nilai kejawen sudah semakin luntur. Pemimpin yang memegang
teguh konsep tapa brata, sudah dipertentangkan dengan agama. Anggapan minir
pada pemimpin yang gemar bertapa, di tempat sepi, serta tirakat di gununggunung, juga dianggap remeh. 12
Pemimpin harus menerapkan landasan pokok tepa selira dalam kehidupan
memimpin bangsa dan negara. Tepa berarti mengukur dan selira artinya badan
sendiri. Tubuh menjadi barometer atau dilakukan atas dasar ukuran diri. Ketika
pemimpin merasa bahwa dirinya itu juga orang biasa, pernah menjadi wong cilik,
tentu berbeda dengan pemimpin yang begitu lahir dari orang besar. Pemimpin
yang mampu merasakan sebagai wong cilik, akan terasa getaran tepa seliranya.
Pemimpin yang berideologi tepa selira jauh lebih disegani dibanding yang
sebaliknya, yaitu pemimpin berideologi kesewenang-wenangan.
Sikap pemimpin dari Soertono (2006:198-205) yang disadur dari
Endraswara (2013:196-202) ada sepuluh biasa disebut dengan dasa darma raja.
Dari sepuluh hal itu, ada yang sejalan dengan konsep watak pemimpin Jawa.
Watak seorang pemimpin adalah bagian psikologis yang perlu dikuasai siapa saja,
agar hubungan hubungan antara atasan dan bawahan semakin akrab. Perwatakan
pemimpin Jawa termaksud sebagai berikut.
Pertama, pemimpin harus selalu bersedekah, tidak hanya dalam konteks
memberikan kepada orang miskin, namun lebih dari itu, harus diwujudkan dalam
tindakan beramal demi kebahagiaan umat. Watak ini mau tidak mau harus
dilakukan sebagai keharusan. Setelah itu mengembangkan sikap bersedekah dan
beramal dalam kehidupan sehari-harinya.
Kedua, pemimpin harus berwatak tapa. Dalam kehidupan masyarakat
Jawa tempo dahulu yang masih menganut paham tradisi, sering diceritakan
adanya orang yang melakukan tindakan tapa atau bertapa (dalam bahasa Jawa
disebut laku). Tindakan bertapa harus dipahami sebagai tindakan sebagai ritual
pendekatan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam posisi bertapa, seseorang
12

Ibid., hlm. 87.
7

tidak lagi memikirkan hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi. Sebaliknya
seorang yang bertapa harus melepaskan semua keinginan duniawi untuk mencapai
derajat manusia yang bijak dan arif.
Kata tapa juga berarti kesederhanaan dan bersahaja. Kesederhanaan
seorang pemimpin harus dipandang sebagai keluhuran budi pemimpin.
Kesederhanaan merupakan cerminan dari semangat pengabdian terhadap bangsa
dan negaranya. Sebaliknya, bukan pada tempatnya bagi seorang pemimpin untuk
bergaya hidup mewah. Terlebih lagi, sangatlah naif jika seorang pemimpin hidup
mewah di antara kehidupan rakyatnya yang menderita. Kesederhanaan dan
kesahajaan hidup harus terpancar dari perilakunya, banyak pemimpin yang bisa
dekat dengan rakyat, akan tetapi jarang sekali ada pemimpin yang memiliki
kepribadian senasib dan sependeritaan dengan rakyat. Oleh sebab itu, pribadi
pemimpin yang berwatak tapa akan mendasari perilakunya dalam segala hal
bingkai kesederhanaan kehidupannya.
Ketiga, pemimpin harus berwatak susila. Pemimpin disebut memiliki
watak susila jika mampu menampilkan dirinya sebagai sosok yang berperilaku
luhur-mulia. Karena berposisi sebagai sosok yang sentral dicermati berbagai
pihak, seorang pemimpin perlu memperhatikan moralnya.
Pemimpin berwatak susila jika segala tindakannya tidak menjatuhkan
martabat kemanusiaan diri dan bangsanya. Kedudukannya selaku pemimpin
dipandangnya sebagai amanah untuk menjaga keluhuran moral bangsa dan
rakyatnya.
Keempat, pemimpin harus memiliki watak beramah-tamah. Pemimpin
harus selalu ramah kepada siapa saja. Jiwa ramah-tamah ini diharapkan mampu
menempatkan seorang pemimpin sebagai abdi bangsa, atau pelayan masyarakat.
Pemimpin dituntut harus ramah kepada bawahan, bukan sebaliknya bawahan yang
dituntut ramah dan menghargai pemimpinnya.
Kelima, pemimpin harus meletakkan dirinya pada kondisi yang tahan
amarah dan bukan seorang pendendam. Pemimpin harus mampu meredam hawa
nafsu amarah ketika masuk ke dalam pikirannya. Jika telah mampu menahan
hawa nafsunya, maka akan mendorong orang tersebut untuk berpikir dan
berperilaku waspada dan hati-hati. Di samping itu, dalam kondisi marah, seorang
pemimpin tidak baik menjatuhkan kemarahannya kepada bawahannya, dan atau
8

melakukan keputusan sepihak. Pada dasarnya semua persoalan harus dikelola
dengan kepala yang dingin, bukan sikap emosional.
Keenam, pemimpin harus memiliki sikap sabar dalam mengelola
kepemimpinannya. Dalam dinamika kepemimpinan, pastilah seorang pemimpin
dihadapkan oleh persoalan yang tidak dikehendakinya. Dalam kondisi tersebut,
pemimpin harus tetap memiliki hati yang sabar. Kesabaran menuntut konsekuensi,
bahwa pemimpin harus berhati-hati, cermat, dan tidak tergesa-gesa dalam
mengambil dan menetapkan keputusan atas masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Untuk memahami pemimpin dan laku prihatin-nya, kita harus kembali
kepada konsep hubungan kawula Gusti, yang mempunyai makna khas dalam
kebudayaan Jawa. Sebab dalam hal itu, kawula Gusti merupakan konsep
pemahaman makna mistik. Dalam kebudayaan Jawa, tujuan tertinggi manusia
adalah pencapaian “kesatuan” akhir dengan Tuhan, salah satu caranya adalah
dengan laku prihatin.
Kenapa pun harus orang Jawa, adanya perkataan orang tua yang dianggap
benar dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa sendiri walaupun sedikit
etnosentrisme, yaitu seng dadi Pemimpin (Presiden) lemah lan segara-ne
nusantara iki kudu wong Jawa, ojo seng liya. Itu ada benarnya, terbukti dari enam
Presiden Republik Indonesia hanya Habibie yang bukan orang Jawa, hasilnya
adalah keputusan yang mencoreng muka dan harga diri Indonesia di pentas dunia
internasional dengan melepaskan Timor Leste, dia pun hanya bertahan satu tahun
empat bulan di kursi Presiden Indonesia.
Pemimpin Jawa masa depan adalah sosok yang dapat menjadi suri
tauladan. Terkikisnya kepercayaan rakyat kepada pemimpin dewasa ini, karena
hilangnya contoh. Rakyat yang sudah semakin kritis ini, membutuhkan contoh
pemimpin yang peduli pada nasibnya. Pemimpin yang mampu menghayati proses
“jika aku menjadi” adalah contoh istimewa. Pemimpin yang demikian, di masa
depan akan mendapat apresiasi luar biasa dari rakyat.13
F. Laku prihatin para tokoh pemimpin di Jawa
1. Perjuangan Soekarno
13

Ibid., hlm. 251-252.
9

Salah satu wujud laku prihatin yang Soekarno adalah perjuangannya
menggapai cita-cita kemerdekaan Indonesia. Keluar-masuk penjara, bertahan
hidup dari tanah pembuangan ke tanah pembuangan lainnya. Bertahun-tahun
tokoh proklamasi Indonesia ini menghabiskan waktunya di balik kesunyian sel
tahanan, tanah pembuangan yang sunyi jauh dari keramaian, serta todongan
senjata tentara Belanda.
Menurut sejarah, Soekarno adalah alumni penjara Sukamiskin,
Bandung. Pernah pula mendekam di pembuangan Boven Digoel (Papua) yang
penuh dengan nyamuk malaria (1932). Kemudian dibuang lagi ke Ende (Flores)
tahub 1934-1938. Dari Ende pindah ke Bengkulu (1938-1942). Pada Agresi
Belanda II, beliau dibuang lagi ke Brastagi, Tanah Karo, Sumatera Utara.
Beberapa waktu kemudian dipindah ke Prapat, tepi Danau Toba, lalu ke
Pangkalpinang di Pulau Bangka. Namun, dengan semangat pantang menyerah,
dengan laku olah prihatin yang tinggi dengan cara yang khas, Soekarno berhasil
mengatasi tekanan penjajah terhadap pribadinya. Penjara dan pembuangan tidak
membuatnya hancur, melainkan malah menjadikan beliau kokoh tegak sebagai
pemimpin bangsa. Soekarno memang dipenjara dan dibuang di daerah yang sunyi
(dikekang), namun pikiran beliau selalu bebas dan merdeka.14
Beberapa nilai laku prihatin Soekarno selama menghuni penjara dan
rumah pembuangan semasa penjajahan Belanda, antara lain:
1. Tidak menyerah dan tidak mau kalah terhadap situasi apapun. Betapa
buruknya keadaan yang dihadapi (diterima), beliau terus bertahan karena
yakin akan kebenaran perjuangan memerdekan Indonesia yang ditempuhnya.
Dan hasilnya, Soekarno bukannya lemah dan hancur, melainkan tambah kuat
dan perkasa.
2. Selama di penjara, Soekarno terus belajar. Waktunya dihabiskan untuk
membaca, bukan menyesali diri atas kejadian yang dialami.
3. Soekarno bertindak sabar dan penuh perhitungan dalam memerdekakan
Indonesia.
4. Meskipun berkali-kali masuk penjara, Soekarno tidak kehilangan cita-cita,
ideologi, agama, serta semangat nasionalisme yang diyakini. Artinya,

14

Iman Budi Santosa, op cit., hlm. 169-170.
10

Soekarno tidak pernah kehilangan arah tujuan yang ingin dicapai
(didambakan).15
2. Fenomena Soeharto
Soeharto terkenal dengan jiwa militernya yang kuat, ahli strategi,
sekaligus anak desa yang menjadi presiden kedua Indonesia. meskipun selama
menjabat presiden maupun setelah lengser, banyak kritik yang ditujukan
kepadanya, namun harus diakui belilaulah presiden Indonesia yang sempat
mempraktikkan filosofi dan pandangan kejawen dengan terang-terangan pada
masa pemerintahannya. Kalau dicermati, hampir seluruh nilai kehidupan orang
Jawa nyaris diusung dan dijabarkan ke dalam kebijakan pribadi dan kenegaraan
yang ditempuhnya.
Di masa modern, kepercayaan-kepercayaan tradisi dan mistik masih
mewarnai arena kekuasaan. Khususnya apabila yang berkuasa dalam pemerintah
nasional adalah seseorang yang berasal dari Jawa. Mantan Presiden RI, Soeharto,
memiliki sejumlah penasihat spiritual untuk melanggengkan kedudukannya di
kursi kepresidenan. Para penasihat spiritual itu bertugas membentengi Soeharto
dari segala macam serangan yang akan menggoyahkan kedudukaannya.
Dibandingkan dengan presiden-presiden lain dalam sejarah Indonesia, Soeharto
adalah yang dikenal paling dekat dengan dunia perdukunan dan supranatural. Dan
mengakui bahwa akrab dengan ilmu kebatinan dan kejawen.16
Soeharto memang tumbuh besar dari kehidupan wong cilik di Jawa.
Lahir di desa Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta, 8 Juni 1921.
Dikisahkan pada biografinya, bahwa Soeharto pada masa kecil banyak mengalami
pahit getirnya kehidupan. Ayah dan ibunya berpisah ketika Soeharto masih bayi,
gara-gara ibunya menjalani laku tirakat ngebleng sampai kesehatannya menurun,
sang ibu jadi tidak dapat menyusuinya, sehingga Soeharto kecil terpaksa dibawa
dan diasuh oleh neneknya.
Tahun 1929, Soeharto dibawa ayah kandungnya ke Wuryantoro,
Wonogiri diikutkan bibinya. Di sana ia melanjutkan sekolah rendahnya, dan
15

16

Ibid., hlm. 171.
Ageng Pamungkas, Rahasia Supranatural Soeharto, (Yogyakarta:

Narasi, 2007), hlm. 6.
11

masuk kelas tiga. Dia sempat berpindah ke Kemusuk lagi, lalu balik ke Wonogiri
setelah diboyong oleh paman dan bibinya dan melanjutkan bersekolah rendahnya
hingga tamat di sana. Selanjutnya ia masuk sekolah lanjutan (vakshool) di
Wonogiri. Umur limabelas tahun, Soeharto tinggal bersama Pak Harjowiyono, di
sana ia ikut membantu keluarga itu yang telah menanggung biaya seluruh
kehidupannya. Di sana pula Soeharto remaja kenal dengan Kiai Daryatmo, yang
merupakan guru mengajinya. Olehnya pula, Soeharto mengenal dunia kejawen,
spiritualisme atau kebatinan, bahkan klenik, hingga perdukunan.
Soeharto akhirnya pulang kembali ke Kemusuk dan melanjutkan
sekolah di Sekolah Menengah Muhammadiyah di kota Yogyakarta. Meskipun
begitu, Soeharto tetap menjadi seseorang yang kekurangan dalam hal ekonomi.
Soeharto tidak memakai sepatu padahal waktu itu sekolah menetapkan semua
murid harus bercelana panjang dan bersepatu. Tahun 1939, Soeharto tamat dari
sekolah menengah. Namun keinginannya melanjutkan ke jenjang sekolah yang
lebih tinggi pupus, karena ayahnya tidak punya uang untuk membiayainya.
Lepas sekolah menengah, Soeharto kembali ke Wuyantoro dan
berusaha melamar pekerjaan. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya dia diterima
bekerja sebagai pembantu klerek bank desa (Volksbank). Namun tidak bertahan
lama karena merobekan kain yang dipinjam dari bibinya untuk keperluan
dresscode pekerjaannya.
Selanjutnya Soeharto sempat mencari pekerjaan ke Solo, tetapi gagal
total. Soeharto sempat menganggur dan hampir putus asa. Pada tahun 1940 jalan
hidup Soeharto mulai terbuka ketika ia dipanggil masuk dinas KNIL (tentara
Kerajaan Belanda). Tanggal 1 Juni 1940 ia masuk Sekolah Militer di Gembong.
Setelah itu melanjutkan ko Sekolah Kader, juga di Gembong. Selanjutnya dengan
pangkat Kopral ia ditempatkan di Batalyon XII di Rampal, Malang. Dalam waktu
singkat prestasinya menanjak dan pangkatnya naik jadi sersan. Pada masa
penjajahan Jepang, Soeharto sempat masuk kepolisian Jepang (Keibuho) dan
ditempatkan di Yogyakarta. Kemudian masuk PETA, dan pada 8 Oktober 1943 ia
diangkat menjadi shodancho (komandan peleton) dan ditugaskan di Wates
(Kulonprogo). Setelah mengikuti latihan di Sekolah Militer Tinggi di Bogor, ia
diangkat jadi komandan kompi dengan pangkat chudancho.
12

Waktu Jepang menyerah dan kemerdekaan RI diproklamasikan,
kemudian dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Yogyakarta, Soeharto
sempat dipercaya sebagai wakil komandan. Dari sini karier Soeharto terus melaju.
Pada Agresi Militer II di Yogyakarta, Soeharto sudah menjadi komandan resimen
dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kisah singkat di atas menunjukkan bahwa Soeharto di masa kecil
telah mengalami kesusahan hidup yang panjang. Sebagai anak, hidupnya nyaris
tidak pernah mapan. Berkali-kali ia harus kecewa, menumpang hidup sambil
bekerja kepada orang lain. Bermacam peristiwa pahit pun dilalui dengan tabah.
Dan akhirnya ia berhasil lolos dari batu ujian yang terus-menerus menghadang
hingga mencapai puncak karirnya sebagai presiden kedua Indonesia. Dalam
kepemimpinannya sebagai Presiden RI pun Soeharto tetap menjalankan
kejawennya.

Soeharto

sering

mengunjungi

tempat-tempat

keramat

para

leluhurnya, itu memang hal biasa. Banyak tempat keramat yang dikunjungi
Soeharto, antara lain adalah Jambe Pitu Cilacap dan Gunung Selok di sekitar
Gunung Srindil. Selain itu juga disebut-sebut nama Gunung Kemukus, Gunung
Arjuno, dan lain-lain.
Apa yang dilakukannya di tempat-tempat seperti itu? Tentunya ia
melakukan tapabrata, nyepi alias semedi. Ia berkomunikasi dengan kekuatan
supranatural dengan tujuan mendapat dukungan agar maksud dan keinginannya
bisa terlaksana, untuk membantu Soeharto menjaga kekuasaannya di bumi
Indonesia.17 Nyatanya kekuasaannya awet hingga 32 tahun.
Beberapa laku prihatin beliau yang layak diteladani antara lain:
1. Dalam kondisi apa pun senantiasa patuh dan taat pada perintah, arahan,
serta nasihat orangtua (baik orang tua sendiri maupun orang tua angkat)
serta orang yang dipertuakan olehnya (guru, kiai, atasan dalam bekerja).
2. Terus belajar menuntut ilmu lahir batin. Ilmu lahir dari sekolah formal,
ilmu batin dari agama, budaya atau adat tradisi kejawen. Selain itu mau
menjadikan pengalaman hidupnya sebagai pedoman untuk memperbaiki
hidupnya ke depan.
3. Berusaha sabar, rendah diri, jujur, hidup sederhana, dan bertindak apa
adanya sesuai nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
17

Ibid., hlm. 10.
13

4. Memiliki cita-cita yang kukuh untuk menjadi manusia yang baik, berguna,
serta mandiri kelak kemudian hari. Tabah di dalam mengatasi segala
macam tantangan dan kesulitan hidup yang dialami sejak kecil.
5. Memiliki pedoman hidup kokoh yang dipungut dari ajaran agama serta
nilai-nilai kebudayaan Jawa yang membesarkannya.
G. Simpulan
Laku prihatin merupakan salah satu kebudayaan Jawa yang harus
dikembangkan dan diwariskan secara turun-temurun ke generasi mendatang.
Kebudayaan Jawa yang dirasa memudar harus dipupuk kembali agar bisa menjadi
sebuah kebiasaan yang baik dan benar. Laku prihatin perlu dibiasakan pada anak
muda zaman sekarang agar kelak menjadi orang yang andhap asor dan tepa
selira. Para pemimpin pun juga harus mempunyai kepribadian dan kebiasaan laku
prihatin yang ajeg, bagi orang Jawa, laku prihatin tidak dikerjakan asal-asalan,
insidental, sehari dua hari, tetapi sepanjang hidup. Selama hidup, manusia Jawa
mengolah cita-cita berlandaskan laku prihatin yang tidak pernah berhenti, karena
konsep investasi yang dijalankan bukan investasi instan, dan sukses yang
didambakan adalah sukses dalam pemaknaan yang jauh lebih luas dan mendalam.
Pemimpin yang laku prihatin otomatis dia akan melayani rakyatnya
dengan baik dan ramah. Menjalankan tugasnya dengan baik tanpa mengeluh,
hidup dengan kesederhanaan dan bertanggung jawab penuh terhadap kekuasaan
yang

dipegangnya.

Sikap Asah

asih

asuh

pun

juga

muncul

dalam

kepemimpinannya. Pemimpin inilah yang menjadi pemimpin sejati dan dambaan
rakyat yang telah berpikir kritis.
Soekarno dan Soeharto telah menunjukkan bagaimana sistem laku prihatin
itu berjalan. Dengan berbagai cobaan dan tantangan hidup, mereka dapat menjadi
orang yang berpengaruh dalam kehidupan bernegara RI.
Manusia menentukan pilihan dan Tuhan yang menentukan adalah dasar
dari segala ilmu yang dicari oleh manusia, manusia perlu berusaha dan berdoa
semaksimal mungkin untuk kehidupan di dunia dan akherat. Atau dia memilih
hidup dalam kemalas-malasan dalam menjalani kehidupan jasmani dan ragawi.
Sementara itu, Tuhan atau hukum alam semesta cukup merangkai konsekuensi

14

secara detil, adil dan lugas untuk masing-masing pilihan manusia tersebut. 18 Itu
semua pasti akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Kata orang Jawa Yen
Kowe seng nandur, mesti Kowe seng metik buahe.

DAFTAR PUSTAKA
Ageng Pamungkas, Rahasia Supranatural Soeharto, Yogyakarta: Narasi, 2007.
http://ekasatriazamani.blogspot.com/2013/04/makna-laku-prihatin.html.
Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:02 WIB.
http://isnen-widiyanti.blogspot.com/2013/10/rahasia-pemimpin-idaman.html.
Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:04 WIB.
http://wongjowo86.blogspot.com/2009/02/berbagai-laku-prihatin-untuk.html.
Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:00 WIB.
https://sabdalangit.wordpress.com/2011/01/19/kritik-terhadap-laku-prihatin.
Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:04 WIB.
https://sabdalangit.wordpress.com/tag/laku-prihatin. Diakses tanggal 21 Mei
2014. Pukul 21:01 WIB.
18

https://sabdalangit.wordpress.com/2011/01/19/kritik-terhadap-laku-

prihatin. Diakses tanggal 21 Mei 2014. Pukul 21:04 WIB.

15

Iman Budi Santosa, Laku Prihatin: Investasi Menuju Sukses Ala Manusia Jawa,
Yogyakarta: Memayu Publishing, 2011.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan,
1979.
Suwardi Endraswara, Falsafah Kepemimpinan Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2013.
Wongso Panji Indrajit, Kumpulan Aji Japa Mantra, Surabaya: Bintang Timur,
1994.

16