Islam Liberal Vs Islam Literal

Islam Liberal Vs Islam Literal
Ketika suatu cara pandang untuk menafsiri agama berbenturan dengan
cara pandang lain, maka semakin membuka peluang-peluang untuk melakukan
“pembenaran” secara subyektif. Di satu sisi, sekelompok orang mempertahankan
cara pandang mereka, sementara di sisi lain terdapat sekelompok orang yang
bersikap serupa. Namun yang paling riskan ketika sekelompok orang itu
menjustifikasi kelompok lain atas nama agama. Dengan mudahnya kelompok itu
mengklaim “kafir”, “murtad”, “sesat”, “menyeleweng” dan sebagainya. Kondisi
seperti ini persis seperti yang dilukiskan oleh Hugh Goddard dengan istilah
Double Standard’s (Sukidi, Kompas, 2000). Nuansa “truth claim” semakin tidak
menyehatkan perdebatan yang seharusnya rasional dan dialogis itu.
Kondisi serupa terjadi dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah yang
dalam analisis makro, dari segi pemikiran telah terbelah menjadi dua. Di satu sisi
ada kecenderungan berpikiran “liberal” (kritis), sementara di sisi lain berhaluan
“literal” (normatif). Sebagaimana dikemukakan oleh Haedar Nashir, kondisi
seperti ini sebenarnya telah mencuat setelah periode kepemimpinan M. Amin Rais
dan A. Syafi’i Ma’arif yang keduanya dikenal sebagai cendekiawan muslim
(Suara Muhammadiyah,1-15 Oktober 2003). Kehadiran dua tokoh ini seolah-olah
membawa angin penyegaran, karena memang tipologi kepemimpinan dan karakter
pemikiran keduanya berbeda dengan para pendahulunya yang berpendidikan
pesantren. Kehadiran dua tokoh tersebut dinilai telah membelah pemikiran dalam

Muhammadiyah dalam dua kategori, yakni pemikiran kritis (liberal) dan literal
(normatif).
Namun kemudian, polemik dalam tubuh persyarikatan menjadi semakin
mengkhawatirkan mengingat masing-masing menggunakan prinsip Double
Standard’s. Di satu sisi, suatu kelompok menganggap dirinya “paling benar”,
sementara di sisi lain cenderung menganggap kelompok lain dalam kesesatan
yang nyata. Bahkan suatu kelompok dengan mudahnya menjustifikasi kelompok
lain atas nama agama. Gejala seperti ini semakin tidak menyehatkan karena sangat
rawan konflik. Masing-masing diliputi rasa curiga, sinis dan cenderung
menghakimi.

***
Menurut Mustofa Kamal Pasha, akhir-akhir ini di kalangan keluarga
besar Muhamamdiyah muncul beberapa tokoh elite Muhammadiyah dan di
dukung oleh sekelompok kecil Angkatan Muda, yang dengan penuh percaya diri
melontarkan wacana “Pluralisme Agama”, “Liberalisasi dalam memahami
agama”, serta “Pemahaman al-Qur’an dengan Metode Hermeneutika”.
Menurutnya, ketiga wacana tersebut bukan muncul dari ajaran Islam yang
bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunah. Ketiga-tiganya benar-benar merupakan
barang asing dan barang import dari agama Kristen (Barat).

Liberalisasi pemahaman Islam dalam tubuh persyarikatan dinilai sebagai
produk pemikiran Barat-Sekuler. Terutama sekali yang dibawa oleh para elite
Muhammadiyah yang mayoritas berpendidikan Barat (Amerika). Sebagaimana
penuturan K.H. Aliga Ramli, L.C., pembina Pondok Pesantren Persis Bangil,
Pasuruan,

Jawa

Timur,

mengatakan,

perkembangan

pemikiran

yang

menghebohkan Muhammadiyah seperti ini tidak lepas dari permainan agen-agen
Barat. Dosen-dosen IAIN yang disekolahkan di Amerika itulah yang membawa

virus ini ke dalam Muhammadiyah. Pemikiran liar itu semakin berkembang
Karena di Muhammadiyah sendiri ada kecenderungan lebih menyukai intelektual
dan menyingkirkan kaum ulama. Muhammadiyah mengalami kelangkaan kaum
ulama dan kaum mudanya juga gampang tersilaukan oleh hal-hal baru yang
dibawa oleh para murid Fazlurahman itu.
Mustofa
syubhatisasi

Kamal

ajaran

Pasha

Islam

kini

kembali
muncul


menambahkan
di

kalangan

bahwa,
keluarga

gerakan
besar

Muhammadiyah. Gejala seperti ini, menurutnya, mulai muncul beberapa waktu
yang lalu. Tepatnya ketika Munawir Syadzali mendengungkan wacana Tafsir
Kontekstual-nya dalam masalah harta warisan. Menurutnya pula, Pimpinan Pusat
Muhammadiyah telah “tersihir” dengan kemunculan wacana Pluralisme yang
digembor-gemborkan oleh beberapa tokoh elite. Beberapa tokoh elite tersebut
yang terlibat dalam wacana Liberalisasi dan Pluralisme seperti Prof. Dr. Amin
Abdullah yang pernah mengatakan, “ Al-Qur’an secara tegas mengajarkan perlu
saling mengakui adanya Keselamatan di luar diri atau kelompoknya sendiri”.


Atau Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Munir
Mulkhan, S.U. yang dengan penuh keyakinannya menyatakan, “Nash-nash alQur’an itu seluruhnya bersifat dzanni”. Dari sini, Pimpinan Pusat Muhammadiyah
dinilai telah mengambangkan persoalan yang sangat sensitif sekali, yakni prinsip
aqidah.
***
Dalam perspektif lain, adanya pemikiran kritis dalam tubuh persyarikatan
dipandang sangat urgen mengingat konteks zaman yang selalu berubah. Dimensi
pemahaman Islam yang satu ini bersifat historis—meminjam istilah Prof. Dr.
Amin Abdullah. Pemahaman Islam secara historis selalu dinamis sebab suatu
interpretasi akan direlatifkan oleh kondisi zaman yang selalu berubah. Maka,
pemahaman Islam pun tidak terhenti oleh satu interpretasi.
Menyikapi persoalan ini, Prof. Dr. Yunan Yusuf, Ketua Majlis Dikdasmen
Pimpinan Pusat Muhamamdiyah, menilai bahwa, perdebatan paradigma dalam
tubuh Muhammadiyah dipahaminya dalam konteks pencarian bentuk. Sebenarnya
kalau kita meneliti sejak awal kemunculan K.H. Dahlan, beliau membawa
pemikiran-pemikiran liberal dan gerakan-gerakan yang waktu itu terasa sangat
asing bagi masyarakat. Sebenarnya proses seperti itu harus terus berjalan, tidak
boleh mandeg, demikian tuturnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Nadjib Hamid, pengasuh Pondok

Pesantren Modern Muhammadiyah Paciran, Lamongan, Jawa Timur, bahwa pada
dasarnya gesekan dan perbedaan pemikiran di Muhammadiyah itu sudah dimulai
sejak dahulu. Dan yang begitu adalah proses untuk menjadi moderatnya organisasi
ini. Karena sebagai organisasi yang moderat memang harus seperti itu, dan itu
sesuai dengan sunnatullah. Dalam konteks perdebatan antara kelompok liberal
dan literal, pengasuh Ponpes Modern Muhamamdiyah itu memandang sisi
baiknya. Namun yang perlu dipertegas adalah agar masing-masing tidak saling
me-negasi-kan, katanya.
Gelombang pemikiran kritis telah mewarnai jajaran Pimpinan Pusat
Muhammadiyah yang secara dinamis menggulirkan wacana-wacana kontemporer.
Wacana-wacana seperti “Liberalisasi Pemikiran”, “Pluralisme Agama” dan

“Tafsir dengan Metode Hermeneutika” semakin meramaikan persyarikatan ini
secara intelektual. Dari fenomena-fenomena di atas mengindikasikan bahwa
persyarikatan Muhammadiyah dalam salah satu perannya sebagai gerakan
pemikiran (tajdid) terbukti masih hidup. Muhammadiyah masih dipandang eksis
sebagai gerakan modernis Islam.
***
Ketika masing-masing kubu berusaha membenarkan cara pandang
mereka sendiri sebagai “yang paling benar”, maka sikap seperti itu akan

mengancam eksistensi persyarikatan. Perdebatan yang seharusnya bersifat
rasional menjadi tidak sehat. Bahkan klaim-klaim agama sangat mengkhawatirkan
proses transformasi pemikiran dalam tubuh persyarikatan. Oleh karena itu,
dibutuhkan adanya upaya membangun “kesalingpengertian” antara dua kubu yang
berseteru itu.
Prinsip membuka diri untuk memahami pendapat orang lain akan mampu
mempertemukan kesalingpengertian antara dua kelompok itu. Sebagaimana
dituturkan oleh Nadjib Hamid, dialog antar mereka adalah mutlak untuk
dilakukan sehingga tidak muncul kesan kubu-kubuan. Pendapat serupa juga
dikemukanan oleh Haedar Nashir bahwa, sejauh prinsip para ulama dipegang,
bahwa “pendapat saya benar tetapi mengandung kemungkinan salah, dan
pendapat pihak lain salah tetapi mengandung kemungkinan benar, begitu juga
sebaliknya”, maka ruang dialog dan wacana masih tetap merupakan pilihan
terbaik dalam Muhammadiyah.
Membuka

pintu

dialog


merupakan

jalan

untuk

membangun

kesalingpengertian—to mutual understanding, meminjam istilah Hugh Goddard
—antara dua kelompok yang berseteru. Di samping itu, dialog juga berfungsi
sebagai kontrol atau media untuk mengoreksi diri (ikhtisab), sebab bisa jadi kita
keliru. Dalam konteks pemikiran, kita sama sekali tidak mendapat jaminan dari
Alloh untuk bebas dari kesalahan. Dengan dialog dimungkinkan kita terkontrol
dari langkah kebablasan, demikian wasiat Dr. Kuntowijoyo kepada warga
Muhammadiyah sewaktu menanggapi gejala liberalisasi pemikiran angkatan muda
yang terwadahi dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (Republika, 8

Desember 2003). Wasiat agar berwaspada itupun disampaikan oleh K.H.
Abdurahim Noer, pengasuh Pengajian Fajar Sadiq, Porong, Sidoarjo, bahwa
mengikuti perkembangan pemikiran baru itu pada dasarnya baik, akan tetapi harus

ada kontrol [Bahan: mu’arif, isngadi. Penulis: mu’arif]
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004